Skip to Content

Separuh Jiwa

Foto Asri Nandarwati

SEPARUH JIWA

Fathaya Kautsar

 

 

Gerimis. Tidak bisa di tebak kapan hujan turun. Ini kah tanda-tanda kiamat yang sering di peringatkan. Dari dulu sampai sekarang satu hari satu malam tetap 24 jam, tapi mengapa jaraknya terasa lebih pendek?. Setiap kehidupan memiliki masa. Tidak ada yang abadi. Harta yang banyak pasti akan habis. Wanita cantik dan laki-laki yang tampan akan menua dan tidak menarik lagi.

Sunyi menggelayut. Mesmudarkan harap yang merayu. Rantingpun ikut mengoceh. Menggoda wanita tua yang berdiri di balik pintu. Dengan daster berwarna merah motif bunga anyelir yang lusuh. Menunggu gadis kecilnya yang telah tumbuh dewasa. Gadis manja yang sudah bisa menentukan pilihan hidupnya sendiri. Memilih siapa yang menjadi kawannya, memilih apa yang ia sukai. Bahkan membuat wanita tua menunggu kepulangan gadisnya yang selalu pulang ralut malam, dengan seabreg aktifitasnya di luar rumah. Ia hanya wanita dengan sebelah jiwa. Membesarkan gadisnya dengan peran penuh. Tanpa pendamping. Ia pernah menikah lagi untuk menambal separuh jiwa yang hilang. Sayang, tambalannya tidak begitu kuat. Jiwa itu separuh lagi.

“Lika, bisa kamu ajarkan, bagaiaman menggunakan hp ini?” menekan-nekan tombol hp jadul berwarna hitam sesukanya tanpa tahu bagaiaman fungsi dari setiap tombol yang ia permainkan.

Lika bangkit dari duduknya dan menghampiri wanita tua itu.

“Kalau Mak bisa, Mak tidak lagi repot minta tolong Nilam supaya menghubungi kamu. Kalau kamu pulang telat.” Lanjut wanita tua itu.

“Iya Mak, Lika ajarin Mak. Nah, tombol warna hijau, itu tombol jawab. Kalu yang merah untuk menggakhiri panggilan.” Dengan telaten Lika mengajari Emaknya, walau terkadang jengkel karena harus beberapa kali mengulangi cara menggunakan hp tesebut.

“Yang ini hurufnya kecil-kecil. Mata Mak gak jelas.” Keluh wanita tua.

“Mak gak usah sms. Cukup terima atau memanggil saja. Nama-nama di kontaknya Lika buat dengan huruf gede semua, biar Mak bisa jelas mencari nomor tujuan yang mau di hubungi.” Lika menjelaskan. Diliriknya wanita tua yang terus memperhatikannya dengan antusias.

Setiap kerut didahi ada cerita kisah hidupnya. Pagi itu. Dengan menggendong Lika kecil ia harus bangun pagi untuk menyiapakan keperluan suaminya. Di pagi yang sama membantu mertua beres-beres rumah dan mengasuh adik ipar yang seusia dengan Lika. Siangnya ia harus menyusul suaminya ke pasar membawa makan siang dan membantu melayani pembeli di pasar. Saking sibuknya terkadang Lika kecil di taruhnya di atas kardus di bawah meja dagangan. Dengan menggendong Lika dan membawa belanjaan untuk makan malam ia harus pulang jalan kaki dari pasar menuju rumah. begitulah rutinitasnya sehari-hari. Adik iparnya yang lain tidak begitu suka dengannya. Karena ia hanyalah gadis kampung yang kebetulan dinikahkan oleh bapaknya dengan anak majikannya. Seorang duda tampan dan sukses dalam perdagangan.

“Mbak, tidak bisakah mbak berdandan lebih modis. Gaya mbak terlalu kuno. Malu-maluin.” Cerecau adik iparnya.

Wanita itu tidak menjawab apa-apa. Bagaimana ia bisa mengurus dirinya sendiri. Tidak ada waktu untuk memanjakan diri. Ia terlalu sibuk mengurusi rumah tangganya. Hanya malam yang bisa membalut lelahnya menyembunyikan air mata yang liar mengalir. Percuma mengadu pada suaminya. Ujung-ujungnya ia tetap menjadi manusia kalah. Cuku. Cukup setahun ini ia tertekan dengan tuntutan dan penyesuain keluarga ningrat. Ia memutuskan pergi, pulang pada kedua orangtuanya dengan membawa Lika yang masih berusia satu tahun. Ia ingin menenangkan dirinya sejenak dari rutinitas yang padat, dari ocehan iparnya, dan semua yang membuat hatinya remuk.

Sebulan. Suaminya tidak pernah datang untuk menjemput, mengajak wanita itu pulang dan mempererat hubungan mereka yang renggang. Mentari mulai meninggi wanita itu mengajak main Lika di teras rumah, berceloteh dengan Lika yang sudah bisa bicara. Seorang wanita setengah baya menghampiri ia dan anaknya.

“Ibu.” Menyalami mertuanya

“Masuk bu.” Ajaknya. Membawa Lika dan mempersilahkan Ibu mertuanya duduk.

“Ibu, hanya sebentar. Ingin menyampaikan pesan dari suamimu.” Membuka kipas kayu mengibas-ngibas sanggul besarnya.

“Mengapa ia tidak langsung menyampaikannya. Datang kemari menemuiku dan Lika?”

“Kamu pulang, itu keputusanmu. Sudahlah. ibu mau langsung menyampaikan pesan suamimu. Ia telah menjatuhkan talaq dan tiga bulan lagi ia akan menikah.” Bangkit dari tempat duduknya dan meninggalkan wanita itu yang mematung. Nanar hatinya. Pikirannya membuncah. Marah, kecewa.

***

            Di bawah tanah legundi ia mengubur dalam pilunya. Dan Lika adalah masa depannya. Dua puluh enam tahun ia merawat Lika dengan penuh kasih dan sayang. Apapun ia lakukan untuk mewujudkan impian Lika. Demi Lika ia rela menanggalkan idealismenya. Mengumpulkan keberanian untuk meminjam uang pada sodara-sodaranya saat Lika tergolek sakit dan harus di rawat dengan biaya yang lumayan besar. Belum lagi biaya kuliah yang mahal. Meski Lika mendapatkan beasiswa. Tetap saja biaya kos dan makan sehari-hari harus di tanggung sendiri.

            “Lika.” Sapa wanita tua. Lika memandang Emaknya.

            “Sekarang kamu sudah besar, gadis kecil Emak. Ingin rasanya ada suara-suara manja lagi. Rasanya sepi. Kita hanya hidup berdua selama ini. Kamu sudah lulus kuliah dan sudah mendapatkan pekerjaan yang layak. Waktu itu akan terus berjalan Nak.” Lika sudah bisa menangkap maksud pembicaraan Emaknya.

            “Kamu, jangan melihat pengalaman Emak.” Sambung wanita tua itu.

            Sudah sering kali wanita itu mengeluhkan keadaanya yang semakin renta. Ia tidak mungkin sanggup setiap saat menunggui Lika pulang larut malam. Atau mengkhawatirkan keadaannya saat gadis itu berada di luar rumah. tanggung jawabnya selama ini begitu besar. Memikul beban berat di pundaknya.

            “Aku paham maksud Emak. Mak khawatir dengan segala rutinitasku yang lebih banyak di luar rumah. Aku juga paham dengan kegelisahan Emak. Ini hanya masalah waktu. Ketetapan Tuhan tidak mungkin meleset. Kalaulah ketetapannya itu sudah ada, tidak akan bisa dipercepat atau di majukan. Toh kita sudah berikhtiar.”

            “Emak hanya kkhawatir.” Lirihnya.

            Wanita itu, selalu mengkkhawatirkan gadisnya. Kkhawatir kalu-kalu gadisnya takut menikah. Selama dua puluh enam tahun gadisnya tidak pernah bercerita tentang lawan jenis yang dekat dengannya. Selama SMP samapi lulus kuliah ia hanya sibuk berorganisasi. Tidak pernahkah gadisnya jatuh cinta?. Apa mungkin anaknya…. Ah, ia buang jauh-jauh pikiran jelek terhadap gadisnya.

            Nilam sepupunya sudah beberapa kali mengajak teman prianya ke rumah. memperkanalkna setiap teman dekatnya pada keluarganya. Sedangkan Lika siapa teman dekatnya? Sekalinya ada laki-laki yang datang ke rumah wali kelas waktu ia SMA.

            “Wanita solehah itu selalu menjaga hatinya. Untuk kekasih halalnya. Ia tidak akan menyewakan bahkan menggadaikannya pada lelaki manapun.” Canda Lika

            “Omongan mu itu Lik, kayak ustadzah aja. Siapa sih yang ngajarin?”

            “Emak.” Jawabnya singkat

            “Kapan, Emak ngomong begituan?” mengaduk sacangkir kopi yang beradu dengan air panas.

            “Ya, memang tidak secara verbal Emak mengatakannya. Tapi Emak mengajarkannya padaku dengan bahasa ibu.” Memeluk tubuh kecil wanita tua yang memiliki hati seluas samudra itu. Kau. Emak wanita yang mampu berlayar tanpa nahkoda. Yang mampu berlabuh meski tanpa dermaga. Jiwamu separuh tapi hatimu penuh.

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler