Skip to Content

Sepertiga Matahari

Foto Bimoprasetyoo
files/user/6459/4d87f90395d3_I1v9j__1000_scale-height-1024x680.jpg

Sepertiga Matahari

(Bimo Prasetyo)

 

Sekali lagi aku mati, di bunuh paradigma kegagalan seorang penulis syair. Prosa lama ini tidak berhasil memenuhi ambisi kedua orang tua ku. Sontak kugeret diri diantara lampu-lampu kota yang mulai meredup. Kugulung lengan kemeja yang mulai tidak nyaman pada posisinya, kubuka satu kancing yang mencekik diantara dada, tidak satu, dua kancing membuatku lega dari emosi yang berhasil meluap.

 

 “Nak, semoga kamu bisa menjadi Insinyur kebanggaan keluarga”

 

Penggalan kata dari seseorang yang mengandung janin selama 9 bulan, dengan lembutnya mengusap tempurung kepala ku. Kali ini aku hancur, lebur serupa tanah Hiroshima yang terkena bom atom dari Amerika. Prosa ini terlalu kecil untuk menutupi kehidupan yang layak di Indonesia. Ibu kota selalu tidak sudi menerimaku sebagai Sastrawan, menghukum bagai ibu tiri yang memberi uang 100 ribu untuk pergi ke Athena.

 

Perbaikan mutu mulai menjamah negeri ini, adanya Masyarakat Ekonomi Asean memiliki dampak pada sekumpulan orang yang hanya menikmati pendidikan dari Sekolah Menengah Atas.

 

“Sudah jadi kurir narkoba saja, uang nya lumayan besar. Bisa buat kamu cepat kaya”

 

Celotehan spontan dari salah satu pedagang kaki lima, membuatku berfikir bahwa pekerjaan ini akan sangat mudah. Tangisan air mata mungkin bisa di tutupi dengan selembar sapu tangan, tapi bila sudah tangisan yang berasal dari lambung yang meminta sebungkus nasi di ujung jalan ? Percaya atau tidak, hal ini dapat membutakan akal sehat seorang lelaki yang sedang bertahan hidup. “Tidak ada pekerjaan yang mudah” kata yang tidak tau berasal darimana ini, membuatku yakin semua pekerjaan punya resiko nya masing-masing. Tanpa terkecuali, seorang kurir narkoba. Aku tidak takut dengan polisi yang selalu mencari para pengedar narkoba, dengan slogan “BACK TO CRIME” ini resiko yang mutlak harus aku temui bila memilih menjadi kurir narkoba. Seperti para pedagang kaki lima yang harus berlarian ketika melihat polisi pamong praja membawa lapak nya. Atau koruptor yang selalu menjadi target KPK. Ada yang aku cemaskan, selain dari resiko hukuman penjara. Penujualan narkoba telah mecapai titik populer nya, semua orang bisa menggunakan barang haram ini hanya dengan membelinya secara online. Tinggal duduk manis, kemudian pesanan datang tanpa perlu diketahui siapa pun. Persaingan ini yang membuat aku kembali berfikir, semua hal bisa dilakukan dengan instan. Apa pun itu, sekalipun bekerja sebagai kurir narkoba. Lalu adakah pekerjaan yang tidak bisa digantikan oleh tenaga robot ?

 

Berdoa, pekerjaan yang tidak mungkin digantikan oleh tenaga mesin. Sekalipun ada, mungkin dunia ini sudah kiamat. Sekali lagi aku berhasil di selamatkan oleh tuhan, mengharuskan mengejar mimpi menjadi seorang insinyur yang medioker. Aku selalu duduk diantara gedung-gedung pencakar langit, sekedar menghabiskan waktu bersama matahari yang perlahan redup. Sebungkus keripik dan segelas minuman dingin selalu menemani diantara ketinggian. Berada di sini membuatku nyaman, bebas lepas melihat seluruh kota dan lalu lalang orang-orang mempertanyakan sesuatu dari kehidupan. Terlihat dari seberang gedung, eksekutive muda berbincang melalui telepon selular nya. Amarah nya meluap, terlihat dari hentakan demi hentakan pada tangan nya. Mungkin dia sedang bingung, karena anak buah nya lagi-lagi gagal memenuhi target pasar. Atau anak nya kembali meminta uang untuk kebohongan yang tidak masuk akal. Aku masih disini, menikmati keripik yang mulai habis. Memandangi setiap sudut jalanan. Akhirnya eksekutive muda itu mulai duduk, sepertinya dia sedang menenangkan diri. Tangan nya mulai menutupi seluruh mukanya, mungkin dia sedang dalam masalah besar dan tidak tau bagaimana penyelesaian terbaik yang harus dia pilih.    

 

Seorang wanita paruh baya memasuki ruangan nya, menunjukan ekspresi penuh kebahagiaan. Lelaki itu mencium tangan nya, menunjukan rasa hormat. Kemudian mereka berdua pergi meninggalkan ruangan dengan penuh kebahagiaan. Keripik di tanganku mulai habis, pertanda tidak ada pekerjaan lagi di atas sini, selain memandangi langit sore. Lamunan ku terhenti di kejadian yang baru saja kulihat, pertemuan antara eksekutive muda dan seorang wanita paruh baya, membuatku terbayang akan sosok seorang ibu yang membesarkan ku hingga saat ini. Petuah nya menuntunku ke arah kehidupan yang lebih baik. Tidak ada yang tega melihat seorang ibu meminta kepada anaknya untuk segala hal. Sekalipun jantung yang memompa darah untuk mengalir di dalam tubuh, pasti rela kita berikan.

 

“Bagaimana dengan kuliahmu ?”

intimidasi moral yang menyudutkan, pengakuan apa yang paling tepat ? memilih meneruskan kuliah untuk menjadi seorang insinyur yang tidak sama sekali aku minati. Atau memilih menjadi sastrawan yang tidak memiliki dana pensiun. Aku hanya manusia yang mencoba bertahan hidup di kejam nya dunia saat ini. Tidak lebih.

 

Tidak ada yang bisa kunikmati lagi dari senja, langit meruam hebat menampar seluruh logika untuk mengatakan yang sebenarnya. Hari berlalu, membentuk bom waktu yang siap kuledakan hanya dalam hitungan detik. Telah kupersiapkan semuanya, pakaian dan seluruh peralatan menuju kampung halaman. Persiapan ini tidak mudah, perlu mental baja untuk menerima makian ayah yang siap menghujani-ku dengan kata-kata kasar. Pernah sesekali aku mendebatkan ini dengan ayah, berharap ada jawaban yang bisa memberikan jalan keluar yang baik untuk masa depan aku kelak.

 

“Mau jadi apa kamu, jadi tukang puisi ada dana pensiun ? ada dana BPJS ? ada jaminan bahwa kamu bisa membahagiakan anak orang melalui puisi ?”

 

Malah makian seperti ini yang kudapat, membuatku semakin takut bila membicarakan ini dengan ayah. Seandainya ada yang mengerti betapa aku ingin berteriak, mengatakan bahwa ini tidak sesuai dengan keinginanku.

 

Tidak ada yang berlalu begitu saja, sama seperti masa lalu. Membuat kita belajar bagaima menghargai masa depan. Aku pulang menuju kampung halaman. Berharap dengan mengambil cuti kuliah selama 1 tahun, dapat membuat pikiranku kembali terbuka dengan sesuatu yang baru. Bis mulai melaju membunuh malam, menjauhkan sesuatu yang sebenarnya tidak ingin aku dekatkan. Sesekali aku memandangi buku “Maintance Airplane” yang selalu kubawa pulang, sebagai bukti kepada ayah aku telah mempelajari sesuatu. Kali ini mungkin akan berbeda, pasti ada pertengkaran yang mengharuskan ibu menahan ayah untuk menghentikan nya. Rencana demi rencana kususun sebagai target selanjutnya, menjadi sastrawan sekelas Sapardi. Prosa demi prosa menghasilkan bait-bait puisi yang cukup menyentuh. Bukan perkara mudah bagi para pelaku sastra, terutama aku sendiri yang menekuni sastra setelah menginjak usia 19 tahun.

 

Aku masih ingat bagaimana kakek berbicara mengenai siapa itu Chairil, seorang lelaki yang tidak pernah takut kepada apapun. Suara nya lantang seperti peluru yang melesat menuju jantung. Semua orang kagum dengan beliau, karena mendedikasikan hidup nya untuk kaum yang lebih lemah. Aku hanya ingin kembali pada masa itu, dimana para tokoh sastra di hargai lebih dari sekedar picisan kata. Tidak dapat di pungkiri, ekonomi merubah semuanya. Seorang yang bergelut di bidang sastra bisa dengan mudah di pengaruhi oleh pasar. Budaya di jadikan tameng untuk menutupi kebenaran.

 

Entahlah, aku merasa tidak pantas menjadi anak seorang veteran perang, ayah selalu mengajariku bertahan dari segala masalah, sementara aku sekarang malah menyerah.

Ayah selalu membela kaum yang tertindas, aku selalu kagum dengan dia, bagaimana ayah merebut tanah Papua dari para pasukan belanda. Menghentak musuh melalui peluru yang berisi mesiu, menumpas segala ketidak adilan para kaum minoritas. Ibu selalu menceritakan bahwa ayah adalah pejuang Indonesia yang paling berani, dia tidak sungkan memasang badan demi kebenaran yang sedang dia bela. Sering sekali aku di lihatkan luka akibat perang oleh ayah, entah itu sayatan yang begitu dalam, atau luka tembak yang harus dia terima ketika mempertaruhkan nyawa nya untuk negeri ini. Aku masih ingat ketika aku kecil dulu. Hari itu aku bermain bola bersama teman-teman, mereka selalu membuat aku jatuh dengan alasan yang tidak masuk akal. Sehingga menyebabkan luka yang sangat serius di bagian lutut. Sepulang bermain bola ibu selalu mengobati nya dengan penuh perhatian, membasuh nya dengan air hangat agar tidak infeksi.

 

“Harus kuat ndok, masa lelaki nangis”

 

Ibu selalu mengingatkan aku adalah lelaki, yang harus kuat menahan luka seperti ini. Ayah selalu pulang ketika senja mulai tergelincir di langit bagian barat, menemui aku yang sedang meringis kesakitan. Aku selalu menghindari ayah, hal seperti ini pasti membuat dia merasa kesal karena anak nya menangis akibat luka yang tidak seberapa. Ibu selalu mencoba mengalihkan perhatian ayah ketika ingin mencari aku, Ibu selalu bilang bahwa aku sedang belajar di kamar. Semakin lama, ayah semakin curiga dengan tingkah aku yang selalu menghindar seperti ini. Hari itu luka aku sangat parah, aku tidak mau ayah sampai mengetahui semua ini. Ayah telah pulang, lengkap dengan seragam loreng khas tentara Indonesia. Ibu menyambut ayah dengan perasaan khawatir, karena takut bila sampai menemui aku yang sedang luka parah.

 

“Rendra ! Sini temui ayah nak”

 

Aku segera bersembunyi kedalam kolong tempat tidur, menghindari ayah yang ingin menemui aku. Luka ini sangat parah, membuat lutut-ku lebam membiru. Ayah memasuki kamar untuk menemui aku. Sudahlah, tidak ada harapan lagi untuk aku bersembunyi. Ayah selalu menemukan musuh nya, apalagi aku yang hanya anak kecil. Ayah masih berdiri di samping tempat tidur, aku mengetahui itu dari sepatu prajurit yang masih bisa kulihat dari sini.   

 

“Aww...Sakit”

 

Akhirnya ayah berhasil menemui aku, dia menarik kaki-ku dari sudut lain tempat tidur. Dia menggendong aku menuju ruang tengah. Ayah menatap mataku dengan penuh amarah, terlihat dari urat-urat tangan nya yang mulai memperlihatkan kekuatan seorang prajurit perang. Aku masih ketakutan, akan seperti apa bila dia tau bahwa luka ini di sebabkan oleh si Toni, anak pedagang yang menyebabkan lutut aku lebam. Ayah menyuruh aku mengangkat kaki sebelah kanan, tempat luka yang masih sangat segar.

 

“Kau di apakan lagi oleh si Toni ?”

 

Kali ini aku habis, ayah sangat marah karena anak nya lagi-lagi harus menerima luka di bagian yang sama. Ayah masih memegang kaki kanan-ku, dia masih tidak terima dengan luka yang di derita oleh anak nya. Aku mulai menangis, karena ayah sudah sangat menakutkan.

 

“Jangan kau keluarkan air mata itu ! Ayah tidak ingin melihat kau seperti ini”

 

Ayah mulai merasa khawatir dengan kondisi-ku, ayah mulai tersenyum. Dia selalu seperti itu kepada anak nya, meskipun ayah adalah prajurit perang, dia selalu menjaga seluruh keluarga dengan cara yang berbeda. Ayah selalu membuat aku percaya bahwa menjadi lelaki itu harus seperti apa. Ayah memukul kaki-ku, dengan seketika aku menjerit kesakitan. Dia memukul nya lagi, membuat aku tidak henti menangis. Lagi, lagi dan lagi.

 

“Seperti itukah seorang lelaki ? Tidak akan ku masukan kau menjadi perjurit di dalam pasukan-ku nanti. Kau lihat luka tembak ini ? Aku tidak menangis sedikit pun. Kelak bila kau betemu si Toni itu lagi, kau tendang kembali kaki nya”

 

Aku tersenyum, kemudian ayah memeluk-ku. Ibu memperhatikan dari balik pintu kamar, melihat kemesraan antara anak dan ayah yang jarang sekali dia lihat. Semenjak itu aku tidak pernah menangis akibat luka apapun, aku tumbuh menjadi anak yang berani, akibat didikan ayah yang mengharuskan aku menjadi kuat. Ketika lulus sekolah, ayah mencoba memasukan aku menjadi prajurit perang Indonesia. Karena aku mempunyai kelainan pada organ tubuh-ku, mengharuskan aku untuk menahan mimpi menjadi seorang prajurit perang.

 

Ayah masih berdiri di depan pintu, menunggu keputusan dari para tim seleksi. Aku mulai keluar dari dalam ruangan dengan raut muka yang sangat sedih, aku tertunduk karena ayah pasti akan sangat kecewa dengan keputusan yang di berikan oleh tim seleksi. Ayah menyuruh aku untuk tetap tenang, semuanya akan baik-baik saja. Sampai tiba giliran nama aku yang disebut.

 

“Rendra Sukmawijaya”

 

Aku menghampiri dengan perasaan yang sangat tegang. Kemudian aku membuka surat hasil keputusan akhir. Aku tau pasti tim medis menemui kejanggalan pada bagian organ tubuh-ku. Aku memberikan surat itu kepada ayah. Ayah hanya tersenyum dengan perasaan kecewa. Dia bangkit dari duduk nya, menghampiriku yang masih tertunduk. Ayah menangis sembari memberikan penghormatan kepadaku, seluruh orang memandangi dengan aneh. Melihat hal ini aku kembali memberi hormat pada ayah, aku menangis seperti seorang perempuan. Ayah menurunkan tangan nya, dia langsung memeluk aku yang masih menangis.

 

“Sudahlah, jangan kau hiraukan hasil akhir ini. Sudah cukup ayah saja yang menjadi prajurit, kau jangan. Lihatlah Habibie, ayah ingin kau seperti dia”

 

Aku masih menangis di pelukan ayah, aku telah membuat nya kecewa. Sejak saat itu ayah memutuskan agar aku kuliah di jurusan teknik mesin, meskipun aku tidak memiliki niat untuk bersekolah disini. Ayah selalu menginginkan aku seperti B.J Habibie yang dengan hebat nya membawa nama baik negara Indonesia di Jerman.

 

Aku kuliah di salah satu unversitas hebat di Indonesia, aku mulai mempelajari mengenai rangkaian mesin dan seluruh aspek yang terdapat di dalamnya. Perpindah dari kota kecil menuju kota besar. Menjadikan aku banyak menemui orang dari berbagai suku bangsa, mulai dari Aceh hingga Papua. Kehidupan kota besar membuat aku banyak mempelajari mengenai hal baru dari beragam suku di Indonesia. Pemikiran-ku mulai terbuka dengan hal-hal baru, aku sangat suka dengan sesuatu yang baru aku temui di kota besar. Semenjak aku gagal menjadi tentara, aku mulai suka dengan sejarah di Indonesia. Terlebih ayah adalah seorang tentara yang paham mengenai sejarah Indonesia, sejak kecil aku selalu di ceritakan bagaimana pahlawan mempertaruhkan nyawa untuk negara ini.  

 

Aku mulai aktif di lingkungan sosial kampus, menjadi aktifis dari berbagai pergerakan yang di lakukan oleh para mahasiswa. Aku bukan anak mesin, aku anak sosial politik. Aku selalu menyempatkan bergaul dengan para mahasiswa yang berbeda fakultas. Aku tidak sungkan memasuki ruang kuliah tentang sejarah, atau politik yang sedang di terapkan di Indonesia. Aku selalu bolos mengikuti perkuliahan di fakultas mesin, karena aku begadang membaca buku mengenai sejarah. Aku mulai mengabaikan kuliah yang aku ambil di jurusan mesin. Absensi dan nilai-ku hancur semua, membuat aku harus mengulang setiap mata kuliah. Ibu mengetahui hal ini, kampus selalu memberikan surat mengenai nilai dan absensi-ku yang hancur. Tetapi ibu selalu menyembunyikan ini dari ayah, ibu takut ayah marah karena ulah yang aku perbuat.

 

Aku mulai bergaul dengan  komunitas pecinta sejarah, mereka membuat aku nyaman dengan hal-hal yang ingin sekali aku tau. Rata-rata dari mereka adalah anak sastra, mereka selalu mengungkapkan sesuatu melalu puisi. Dan di dalam puisi mereka sering mengangkat tokoh-tokoh penting di Indonesia. Aku mulai banyak mengenal para tokoh sejarah, seperti munir yang memperjuangkan hak asasi wanita pada saat itu. Atau Wiji thukul yang selalu menjadi pemimpin pasukan mahasiswa ketika melakukan orasi. Mereka selalu membuat lingkaran kecil di sekitar taman, berbagi mengenai keresahan mereka masing-masing. Aku selalu mendengarkan mereka dengan seksama, ingin sekali aku menulis puisi mengenai seorang tokoh yang aku kagumi.

 

Hari itu negara Indonesia telah di lecehkan oleh Malaysia, mereka merubut pulau yang berada di wilayah Indonesia. Ayah memberikan kabar melalui pesan singkat, bahwa Indonesia akan kembali di jajah oleh negara Malaysia. Melihat hal ini aku tidak tinggal diam. Para mahasiswa mulai geram dengan kepemimpinan presiden kala itu, mereka tidak terima dengan perlakuan Malaysia yang bertindak semena-mena kepada Indonesia. Mahasiswa berdiri paling depan, mengucapkan perang kepada Malaysia. Ketua BEM mulai memanggil seluruh ketua himpunan, memberitahukan akan ada demo besar-besaran yang akan dilakukan oleh mahasiswa. Aku masih menjadi anak fakultas mesin, ketua himpunan kami mengatakan bahwa tidak ada bantuan untuk para demonstran nanti. Karena fakultas mesin sedang menghadapi ujian tengah semester. Hal ini membuat aku sangat kecewa, karena ini adalah pertarungan harga diri sebagai bangsa Indonesia. Aku mengambil tindakan tegas, aku memilih tidak mengikuti ujian dan berada di kumpulan para demonstran. Mengetahui hal ini, mereka yang berbeda fakultas memberikan dukungan, aku di berikan kesempatan melakukan orasi kepada mahasiswa yang akan berangkat demo.

 

Seluruh mahasiswa telah berkumpul di halaman kampus, sembari membawa poster dan alat-alat lain yang mungkin akan di butuhkan ketikan long march berlangsung. Aku di instruksikan untuk berada paling depan, agar lebih mudah ketika memberikan orasi kepada mahasiswa. Para mahasiswa mulai ramai, mempertaruhkan seluruh jiwa dan raga mereka untuk sebuah keadilan. Aku mulai mengambil microphone menyuarakan orasi untuk membakar seluruh semangat mahasiswa.

 

“Demi tanah yang aku pijak, demi darah dan air mata, dan demi para pahlawan yang memperjuangkan nyawa nya bagi negeri ini. Apakah kalian sudi melihat Malaysia mengambil bagian dari Indonesia ? Ataukah kita harus memberikan sebagian negeri ini untuk mereka ? Ganyang Malaysia !”

 

Aku berteriak sangat lantang, membakar seluruh semangat para mahasiswa. Tangan-ku mulai bergetar melihat banyak nya mahasiswa saat itu. Kukepalkan tangan kanan-ku sebagai instruksi untuk melawan. Seluruh mahasiswa menuju kantor tempat presiden melakukan rapat. Semua orang mempertanyakan kinerja dari presiden yang terkesan takut oleh Malaysia. Polisi anti huru-hara menghadang kami dengan tameng dan perlengkapan lain nya. Mahasiswa mulai meradang karena menganggap pemerintah tidak mendengarkan suara mereka. Polisi mulai menembakan gas air mata, mengakibatkan keterbatasan daya pengelihatan. Para mahasiswa akhirnya pulang dengan keadaan kecewa, karena melihat pemerintah yang seakan mengalah dengan Malaysia. Semenjak kejadian itu aku mulai dikenal banyak orang, mereka menganggap aku adalah titisan dari Wiji thukul. Kehidupan sosial-ku beranjak naik, dari yang sekedar ikut-ikutan menjadi salah satu aspek penggerak mahasiswa.

 

Aku mulai belajar bagaimana cara membuat puisi kepada teman-teman yang memang mengambil jurusan kuliah sastra. Aku tidak sungkan menanyakan hal-hal yang baru aku temui di dunia sastra, mereka memberitahu apa yang kurang dari puisi buatan-ku. Aku mulai menjadi penulis puisi dengan prosa lama, semua yang kutulis memiliki akhiran yang sama. Tidak jarang pusi-puisi yang kubuat menjadi perbincangan mahasiswa, mereka menganggap masih ada orang yang menulis puisi dengan prosa lama selain anak SD. Aku mulai mendapatkan kritikan pedas dari beberapa mahasiswa, mereka mengatakan aku seharusnya tidak menulis puisi karena hanya akan merusak makna dari puisi tersebut. Teman-teman kelas selalu mengejek dengan menyematkan anak teknik yang lemah, karena mereka menganggap anak teknik itu harus keras, jadi tidak seharusnya mereka belajar mengenai sastra.

 

“Sastrawan ilegal”

 

Julukan itu melekat di kehidupan kuliah-ku. Mereka selalu mengaitkan aku dengan para sastrawan yang tidak mempunyai ijin untuk menulis puisi. Ejekan demi ejekan membuat-ku semakin kuat untuk menjadi anak sastra yang diakui. Aku mulai belajar mendalami puisi ketingkat selanjutnya. Semakin hari nilai kuliah-ku semakin hancur, ini akibat aku yang tidak sama sekali belajar mengenai apa itu mesin. Aku di panggil untuk menemui dosen wali, mereka menyerah dengan nilai dan absensi yang telah aku peroleh. Aku disarankan untuk mengambil cuti sejenak, agar aku bisa menyadari kesalahan-ku mengambil kuliah jurusan ini. aku sadar ini terjadi karena ulah-ku yang lebih mementingkan sastra di bandingkan mesin.

 

Aku telah berada di depan pintu rumah, siap untuk mengatakan yang sebenarnya terjadi. Aku pulang sebelum ayah berada di rumah,  jadi hanya ibu yang aku temui. Aku menceritakan semuanya bahwa aku tidak bisa lagi meneruskan kuliah di jurusan mesin. Ibu sempat menangis karena merasa kecewa dengan keputusan yang aku ambil. Aku yakin ibu pasti takut apabila ayah mengetahui apa yang terjadi, ayah pasti akan marah besar mengetahui anak nya tidak bisa menjadi insinyur yang dia harapkan.

 

“Ibu aku pulang”

 

Suara ayah mulai terdengar di ujung pintu, sambil menyeka air mata ibu segera membuka pintu untuk ayah. Melihat hal ini ayah merasa heran, mengapa ibu sampai menangis. Ibu memberitahukan bahwa aku sudah pulang, ayah semakin curiga, pasti ada sesuatu yang tidak beres terjadi pada diriku. Ayah menghampiri dengan baju yang lebih dulu ditanggalkan, dia hanya memakai kaos singlet dan kalung khas tentara Indonesia.

 

“Sudah pulang kau ?”

 

Aku tertunduk karena takut menatap mata ayah, aku sadar jika aku membicarakan ini sekarang akan menyulut emosi nya. Aku masih diam tidak berbicara sepatah kata pun. Ibu memilih bersembunyi di balik pintu kamar. Ayah menunjukan surat yang di berikan oleh kampus, dia sangat kesal karena nilai dan absensi yang aku proleh sama sekali tidak memuaskan.

 

“Jadi mau kau itu apa ?”

 

Ayah menampar wajah-ku yang dari tadi menunduk. Untuk kali pertama ayah menamparku dengan begitu keras. Aku masih tidak bisa mengatakan apapun. Ayah menamparku dengan tangan kiri nya. Aku masih tidak mau bicara apa pun. ayah menampar berkali-kali hingga darah mengalir di hidung-ku. Ayah masih kesal, karena aku masih saja diam tidak bicara sepatah kata pun. Ibu yang melihat hal ini langsung beranjak dari balik pintu, ibu menahan ayah untuk memkul aku lagi. Ayah mulai menatap mata-ku tajam, dia sangat kecewa dengan semua hasil yang aku proleh. Aku mulai bisa mengendalikan semuanya, ibu akhirnya bisa membuat ayah tenang, aku mengutarakan inginku untuk menjadi sastrawan. Karena aku sama sekali tidak menyukai jurusan kuliah yang aku ambil saat ini, aku sadar jika ini di teruskan hanya akan menjadi seusatu yang di paksakan.

 

“Kau ini ingin seperti Munir ? Kau tau akibat ulah nya memperjuangkan hak wanita, dia mati di udara. Atau kau ingin seperti Sapardi yang dengan hebat nya di cintai wanita. Kau ingin mati seperti apa ? Kehidupan sekarang sudah berbeda, sudahlah biarkan para mentri yang mengurus hak-hak mereka. Apa yang bisa kau janjikan kepada anak isteri mu kelak ?”

 

Ayah menatap mataku dengan penuh rasa khawatir, ayah masih geram mengepalkan tangan nya. Dia merasa hal seperti ini tidak bisa di jadikan suatu pekerjaan. Aku hanya bisa diam, menahan rasa sakit akibat tamparan yang di berikan oleh ayah. Ibu masih menahan darah yang megalir di hidung-ku dengan menggunakan sapu tangan. Ayah pergi meninggalkan aku dan ibu, karena dia tidak tau lagi apa yang ingin dia bicarakan. Ayah merasa gagal mendidik anak, dia tidak menyangka anak satu-satu nya malah berpikiran ingin menjadi sastrawan.

 

Aku merasa malu kepada ayah, karena lagi-lagi aku membuat dia kecewa. Ibu menyuruhku untuk menghampiri ayah yang berada di belakang rumah. Aku segera menghampiri ayah yang sedang duduk sendiri. Untuk kali pertamanya ayah membakar rokok, padahal ayah adalah orang yang sangat peduli dengan kesehatan. Aku duduk di pinggir ayah yang sedang merokok. Aku mengambil satu bungkus rokok yang dia hisap, nikotin nya mencapai 1,8 MG dan TAR nya mencapai 32 MG ini sungguh di luar apa yang aku perkirakan. Ayah menyadari aku yang sedang duduk di sampingnya, ayah meraih kepala-ku dengan penuh perasaan. Dia membelai-ku seperti anak yang masih berusia 7 tahun. Dia sangat rindu dengan anak nya.

 

“Kau janji akan membuatkan puisi untuk ayah ?”

 

Aku tersenyum sambil menatap mata ayah. Kami sama-sama tersenyum hari itu di langit senja, aku sadar ayah tidak mungkin bisa menahan apa yang aku cita-citakan. Ayah selalu menjadi tempat untuk aku pulang, dia adalah sosok lelaki yang selalu bisa menjadi sandaran bagi anak nya.

 

Hari berlalu, seiring aku yang terus mencoba membuat puisi. Aku mulai menulis puisi dan cerpen untuk di kirimkan ke surat kabar. Menurutku, ini adalah pekerjaan yang sangat menjanjikan karena menulis adalah pekerjaan yang tidak bisa digantikan oleh mesin, selain berdoa. Aku mulai mempertaruhkan hidup dari puisi, mungkin di jaman seperti ini hanya beberapa orang yang bertahan hidup dengan syair. Akhirnya aku berhasil menembus surat kabar melalui prosa-prosa lama yang telah kubuat, aku bisa memberi ayah dan ibu sedikit hasil dari jerih payah-ku.

 

Lambat laun surat kabar mulai jarang memuat puisi yang kubuat. Aku mulai bingung dengan hal seperti ini, mungkin ada yang salah dengan puisi-puisi yang kubuat. Aku mulai mencari cara, dengan menghubungi teman-teman yang memiliki profesi yang sama dengan-ku. Mereka menyarankan  untuk membuat prosa baru, dengan akhiran yang tidak selalu sama. Pasar puisi sekarang sedang ramai menggunakan prosa baru, jadi aku di haruskan untuk membuat puisi dengan apa yang pasar inginkan.

 

“Lo coba deh prosa baru, jangan pake prosa lama terus. Soalnya lo nulis buat surat kabar, jadi butuh sesuat yang baru, kalau lo bertahan sama prosa lama gue engga janji lo bakal terus bisa nulis disana”

 

Peduli setan dengan prosa baru, aku harus terus bisa berkarya meski prosa yang aku miliki ini adalah prosa lama. Aku tidak ingin di mangsa oleh pasar, karena semakin aku mengikuti jaman, semakin kreatifitas-ku berkurang. Aku akan tetap menulis prosa lama di setiap puisi-puisi yang kubuat. Hari itu aku butuh sekali uang, sehingga aku harus bisa menjual beberapa puisi yang aku punya. Aku menuju kantor redaksi tempat biasa aku mengirimkan naskah-naskah puisi yang aku punya. Aku berharap ada orang-orang yang masih peduli dengan prosa lama yang kubuat.

 

“Aduh, prosa lama lagi. Gue engga janji deh ini bakal bisa dimuat, soalnya sekarang sudah banyak yang nulis pake prosa lama kaya gini. Kalau lo tetep ngotot, gue paling bisa kasih harga 1000 rupiah buat 1 puisi yang lo buat”

 

Akhirnya aku harus memberikan 100 puisi untuk bisa mendapatkan 100 ribu rupiah. Aku memberikan seluruh koleksi puisi yang aku punya, tanpa terkecuali. Aku pergi menuju taman. Hari semakin larut, aku masih disini bersama motor vespa. Aku masih memikirkan apa lagi yang bisa kulakukan untuk bertahan hidup sebagai penyair. Sekarang puisi yang kupunya tidak bisa lagi menghidupi aku sendiri, bagaimana bila aku sudah memiliki keluarga kelak. Hari mulai gelap, aku segera pulang untuk beristirahat. Di perjalanan vespa yang aku naiki tiba-tiba mati, aku mulai kesal dengan semua ini. Aku mulai mendorong vespa dengan sekuat tenaga, tapi masih saja tidak bisa hidup. Aku muak dengan semua ini.

 

“Ahhh ! Pasar, prosa lalu apa lagi yang kau inginkan dariku tuhan”

 

Aku merasa kehidupan begitu keras, terutama bagi para penyair seperti aku. Aku banting vespa dengan sekuat tenaga. Aku mulai geram dengan kehidupan, aku tidak ingin ini malah menjadi beban kedua orang tua-ku nanti.

 

Akhirnya aku bisa beristirahat di rumah, menghilangkan pikiran tentang puisi yang akan aku buat nanti. Hari mulai berganti minggu, aku masih saja menjadi pengangguran yang tidak memiliki penghasilan. Aku mulai mencoba menghubungi teman-teman sastra yang biasa nya memberikan pekerjaan menulis, entah itu puisi atau iklan-iklan di pinggiran kota. Akhirnya mereka memberikan aku pekerjaan. Mereka memberi tahu aku bahwa ada pekerjaan menulis puisi yang bertemakan membongkar sejarah. Dan yang membuat aku kesal, diharuskan menggunaka prosa baru sebagai syarat penilaian. Aku mulai mempelajari cara membuat prosa baru. Ternyata aku tidak banyak menemukan kesulitan, karena dalam prosa baru tidak ada aturan yang terikat, menjadikan aku lebih mudah menggunakan kata-kata tanpa mematokan akhiran yang sama.

 

Aku mulai membuka buku-buku tentanng sejarah yang aku miliki ketika kuliah. Banyak sekali sejarah tentang Indonesia yang salah, entah memang sengaja di salahkan oleh negara. Aku mulai tau betapa korup nya negara ini ketika era reformasi. Dan banyak lagi masalah-masalah yang menimpa negeri ini. Aku mulai menulis puisi dengan tema kehidupan di era reformasi,  ini mudah sekali, di tambah aku menggunakan prosa baru. Akhirnya aku berhasil menyelesaikan puisi tentang kehidupan di masa Soeharto. Aku merasa pemerintah pada saat itu begitu sensitif dengan isu-isu miring yang di sebarkan oleh masyarakat. Hampir tidak ada protes kepada pemerintah, masyarakat sangat takut dengan penembak misterius pada saat itu. Bagaimana bila orang sepertiku berada di jaman itu, mungkin aku sudah mati lebih cepat daripada ayah karena protes-protes yang aku berikan kepada pemerintah. Aku merasa ada yang salah dengan puisi yang telah aku buat, entah itu dalam hal apa, tapi aku yakin ada yang tidak selaras dengan pemikiran aku saat ini.

 

Aku mencoba membeli surat kabar, barangkali ada sesuatu yang bisa aku angkat menjadi topik pembahasan di dalam puisi yang akan aku tulis. Akhirnya aku menemukan artikel tentang gerakan G30SPKI aku mulai penasaran dengan artikel yang di letakan paling belakang ini. aku mulai mencari tau apa itu PKI dan apa permasalahan nya hingga Indonesia menyebut PKI sebagai penghianat. Aku segera menghubungi teman yang memang ahli dalam sejarah Indoneisa. Dia mengatakan PKI adalah dalang dari pembunuhan 7 jendral Indonesia. Aku tidak mudah menerima itu semua, pasti ada alasan pasti mengapa PKI seperti itu. Aku mulai mencari buku yang menjelesakan sejarah PKI berada di Indonesia. Ternyata PKI adalah partai terbesar kedua di dunia pada masa itu, dan hancur dalam sekejap oleh pemerintah Soeharto. Tunggu dulu, aku merasa ada kejanggalan dalam hal ini. Soeharto adalah jendral perang Indonesia, lalau mengapa dia tidak ikut di bunuh bersama 7 jendral Indonesia lainnya ? Aku mulai tertarik dengan hal ini, aku yakin bila topik ini bisa aku tulis menjadi prosa-prosa mungkin akan mengundang perhatian banyak orang.

 

Aku mulai menulis kembali seluruh keresahan tentang G30SPKI aku merangaki nya menjadi prosa-prosa yang cukup membuat orang-orang berpikir dua kali untuk membaca nya. Aku mulai berani dalam menggunakan kata-kata. Toh, bila tulisan yang aku buat salah tidak ada petrus yang akan menembak kepala-ku. Aku telah selesai menulis puisi, segera aku kirimkan melalui email kepada panitia penyelenggara lomba. Aku hanya tinggal duduk menunggu hasil yang di berikan oleh panitia. Hasil penilaian akan di umumkan melalui surat kabar pada 20 Mei. 2 orang yang terpilih akan di berikan uang tunai sebesar 10 juta rupiah dan beasiswa kepenulisan bagi yang memenangkan lomba. Sesuatu yang sangat menjanjikan untuk penulis sepertiku.

 

Sudah 2 minggu aku menunggu hasil dari tulisan yang telah aku buat. Seluruh pemikiran telah semua aku tumpahkan ke dalam puisi, apapun hasilnya aku harus terima. Aku masih di dalam kamar, menunggu hasil yang akan di berikan panitia lomba. Akhirnya handphone-ku berbunyi panitia mengumumkan bahwa puisi yang aku ikut sertakan terpilih diantara ribuan puisi lain nya. Sungguh pekerjaan yang tidak sia-sia. Aku segera membeli surat kabar, untuk di perlihatkan kepada ayah, bahwa puisi yang aku buat lagi-lagi bisa muncul di dalam koran. Aku menaruh koran di belakang rumah, tempat dimana ayah biasa duduk menghabiskan rokok. Aku sudah tidak sabar bagaimana reaksi ayah. Akhirnya ayah pulang sebelum matahari tenggelam, ayah selalu menghabiskan waktu bersama sebungkus rokok kesukaan nya.

 

“Rendra ! Kesini kau”

 

Ayah memanggilku dengan nada yang sangat keras, ayah pasti bangga dengan puisi yang aku buat. Ayah menyuruhku duduk. Dia masih menggengam koran yang berisikan puisi yang aku tulis. Ayah menatapku tajam, aku merasa heran dengan tatapan ayah yang harus nya senang. Ayah menamparku dengan tangan kiri, rasa nya sakit sekali, seperti petir yang hadir di siang bolong. Aku masih merasa heran dengan sikap ayah, apa yang salah denganku sehingga dia harus menampar wajahku ini.

 

“Kau di bayar berapa oleh si Aidit ? Kau tau apa yang kau tulis ini, membuat ayah menyesal melahrikan kau ke dunia”

 

Ayah pergi dari tempat duduk nya, karena muak melihat anak nya yang ternyata lebih membela PKI daripada Indonesia. Ayah kembali membawa pisau komando yang biasa dia simpan, dia menunjukan kepadaku betapa hebat nya pisau yang dia miliki.

 

“Kau lihat pisau ini ? Dulu aku sering menikam para komunis itu dengan menggunakan pisau ini. Sekarang kau pegang pisau ini, kemudian kau tusukan tepat di jantungku. Robek lah kulit-ku ini hingga kau puas, lalu kau masukan tubuhku ke dalam lubang buaya”

 

Ayah sangat marah sekali, terlihat dari urat-urat yang keluar dari tubuh nya yang sudah tua. Aku sadar seharusnya aku tidak membela PKI karena ayah-ku adalah pejuang Indonesia. dia lebih paham dengan sejarah Indonesia, karena dia terlibat langsung di dalam sejarah. Aku hanyalah orang yang mengetahui sejarah melalui buku-buku tidak seharusnya merasa paling benar dengan semua yang aku tau. Aku memutuskan untuk mengundurkan diri dari lomba, sebagai rasa bersalah-ku kepada ayah. Aku paham ini bukan tentang siapa yang paling mengerti tentang sejarah. Semua orang pasti punya cerita sendiri mengenai sejarah, sehingga sangat susah menyimpulkan siapa yang bersalah. Ada hal-hal yang harusnya tidak aku sentuh, seperti sejarah yang telah sengaja di kubur lama, dia memiliki sequance yang tidak bisa kita rasakan hanya dengan membaca. Aku paham mengapa ayah begitu sangat marah ketika aku membahas PKI. Hari itu aku langsung meminta maaf kepada ayah, karena telah menulis puisi dengan tema yang tidak seharusnya aku tulis. Ayah paham dengan semua ini, aku hanya anak muda yang ingin membenarkan sesuatu yang salah. Aku hanya tidak mengetahui bahwa ayah begitu sensitif dengan hal ini.

 

Sejak saat itu aku mulai tidak menggunakan prosa baru untuk setiap puisi yang aku buat. Aku mulai mempertanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Aku pesimis dengan semua ini, apakah aku telah benar memilih menjadi sastrawan di jaman yang seperti ini. Aku bukan anak sastra, yang paham mengenai cara pembuatan puisi dengan menggunakan prosa baru itu seperti apa. Aku bukan anak mesin, yang paham bagaimana Fisika terapan dengan begitu hebat. Jadi aku ini apa ? Atau aku hanya seonggok daging yang di berikan nyawa agar bisa bertahan hidup oleh tuhan. Aku benar-benar mati, entah itu suri atau selamanya. Mimpi aku hanya sederhana, menjadi sesuatu yang berguna bagi bangsa dan negara. Aku lebih baik mati kelaparan daripada harus sejahtera karena hasil korupsi. Hidup sungguh tidak adil. Hari itu, aku hanya ingin menemui malaikat yang menuliskan takdir seseorang, mungkin aku akan mencoret kehidupan bagi diriku sendiri. Aku lebih bahagia bila hidup bersama Adam di surga, atau membantu setan di neraka untuk menghasut orang menuju kesana.

 

Aku adalah pengikut Socrates dan Phytagoras yang menyebut dirinya kaum Philosopus. Pemerintah hanya kaum Sophist, yang menyatakan bijaksana karena dia merasa memiliki pendidikan untuk itu. Persetan dengan pendidikan, mereka hanya menggunakan nya untuk sesuatu yang bisa di beli dengan uang, mereka melakukan semua atas dasar kepentingan kaum nya semata. Politik, Politik, Politik lalu mereka korupsi tidak tau diri. Setelah menjadi koruptor, dengan hebat nya dia menulis sesuatu yang disebut buku. Dia menceritakan semuanya, menyatakan dia tidak bersalah. Dasar biadab !

 

Aku mulai mencari buku tentang filsafat, untuk mencagah bunuh diri yang sudah menganggu di pikiran-ku. Tidak ada salahnya mempelajari ilmu tentang filsafat, orang-orang selalu beranggapan bahwa jika kita mempelajari filsafat maka kita akan menjadi atheis. Agama adalah wujud pasti dari penyebab perang di seluruh dunia. Aku sekarang berdiri diantara Axismundi antara surga atau neraka, bumi atau langit, mati atau hidup. Tuhan hanyalah alasan agar kita berada di surga, bagaimana bila akhirnya surga memang benar-benar fana ? Seluruh agama mengajarkan agar kita berdamai dengan apapun, lalu apakah agama sadar bahwa sebenarnya dia adalah penyebab utama perang di muka bumi ini. Lalu bila tuhan memberikan kehidupan, lantas siapa yang menciptakan dia ? lalu siapa sebenarnya yang menciptakan kehidupan ini ? Apakah tuhan satu dengan yang lain nya terlibat politik ? Mereka melakukan itu agar bisa hidup dan menjadi besar di mata manusia, atau menjadi tuhan yang maha esa. Aku sadar ini hanya memperkeruh keadaan, aku mencari buku apapun itu yang penting aku bisa menulis puisi.

 

aku sedang dalam ketidak mampuan menjadi manusia, siap pun tolong lah aku dengan cara apa pun. setelah aku mencari diantara buku-buku akhirnya aku menemukan setitik cahaya.

 

“Menjadi hebat dengan puisi kontemporer”

 

Aku mulai membuka halaman demi halaman, aku mulai tertarik dengan puisi-puisi yang selalu mengundang air mata ini. Selama ini aku mempelajari puisi, aku baru tahu ternyata puisi milik Chairil anwar adalah puisi kontemporer. Puisi ini selalu memberi tekanan suara dari masing-masing kata, entah itu pengulangan kata atau pembalikan kata, sehingga menyebabkan kata itu sulit menemukan makna. Aku mulai menyukai puisi kontemporer ini. Aku memberitahukan sahabat-ku, yang memang sama-sama menggeluti dunia sastra. Mereka tertawa karena aku di anggap ketinggalan jaman. Tapi sudahlah itu urusan mereka, yang penting aku sekarang menyukai puisi ini. Aku mulai menulis puisi kontemporer ini, nyaris tidak ada keluhan yang berarti. Aku mulai mebacakan-nya di depan cermin, dengan suara lantang dan tegas. Ayah tersenyum di balik pintu kamar, aku yakin dia bangga memiliki anak yang pintar membuat puisi tentang pahlawan Indonesia. Ayah mulai menyukai setiap bait yang aku suarakan. Sesekali aku melihat dia memejamkan mata sembari meresapi puisi yang aku lafalkan. Untuk kali pertama aku ditawari ayah untuk membacakan puisi di ribuan pasukan tentara.

 

“Kau besok ikut dengan ayah, kau harus bacakan puisi ini di depan para pasukan. Mereka harus tau, ayah memiliki anak dengan suara lantang. kau buatkan puisi tentang jendral Sudirman, agar pasukan ayah tau siapa dia sebenarnya”

 

Sejak saat itu aku memulai menjadi penggiat puisi di kota ini. Panggung demi panggung aku hadapi, untuk sekedar mencari penghasilan dari sastra. Untuk kali pertama aku di nobatkan menjadi duta puisi kontemporer Indonesia, karena dedikasi yang aku berikan membuat para sastrawan hebat menghargai setiap puisi kontemporer yang aku buat. Sastra akan selalu ada di setiap mata kita terpejam, mereka selalu di anggap tidak penting oleh sebagian orang. Coba tanyakan pada otak, hati dan rasa bersalah-mu dia selalu menjadi kata-kata hebat bersama doa yang kau lafalkan ketika bersujud. Sastra menghubungkan kita dengan tuhan yang tidak terlihat dan tidak memiliki wujud. Aku telah mati bersama ribuan aksara, kini siapa yang akan membangkitkan ?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

tulis.sastranesia@gmail.com

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler