Skip to Content

Serial Tujuh Manusia Harimau (1) Pantang Berdendam Karya Motinggo Boesye

Foto Soei Rusli

KUMAYAN NEGERI ILMU HITAM Karya Motinggo Boesye 


Sejak Gumara tiba di desa Kumayan, dia sudah diberitahu. Bahwa desa Kumayan adalah biang
dari segala ilmu hitam. Tetapi Gumara sudah diajari orang tuanya bagaimana mesti bersikap
rendah hati. Dia tahu, bahwa dia tidak akan sebentar tinggal di Kumayan. Begitu dia menerima
tugas untuk mengajar di desa ini, dia telah menyelidiki lebih dahulu siapa orang-orang yang
diakui sebagai “Tetua” di sini. Lepas waktu maghrib setelah menempati rumah jabatan dari
Guru Yunus, Gumara berkata “Saya akan pergi sebentar, Pak Yunus."
“Menghadap kepala sekolah?”
“Tidak. Itu besok. Saya akan ke rumah Lebai Karat,” sahut Gumara.
“Lho, anda mengenal nama itu di mana?” Yunus tercengang.
“Sebelum saya menerima tugas mengajar di sini."
“Dia orang sakti, lho,” kata Pak Yunus.
“Saya tahu.”
“Dan jika anda salah masuk padanya, anda celaka.”
“Itu saya juga tahu.”
“Hati-hatilah. Desa Kumayan ini sering membuat penghuninya celaka.” Gumara disalami oleh
Pak Yunus. Ujar lelaki itu pada Gumara, “Semoga selamat anda menghuni rumah ini, juga
selamat menjadi guru selama di sini. Saya hanya petugas yang menyambut guru baru. Tapi
tahukah anda, setiap penghuni baru di sini dicoba oleh juara-juara?”
Gumara hanya bisa diam. Dia juga tahu, Pak Yunus ini termasuk orang yang “ada isinya”.
Setelah lelaki tua itu berlalu, Gumara menatap sekeliling. Sepi sekeliling. Memang beginilah
desa Kumayan jika waktu maghrib telah berlalu. Namun dia harus menemui Lebai Karat. Dan,
setelah dia mengunci pintu rumah jabatan itu, belum lagi dia siap melangkah, dirasakannya
bulu kuduknya merinding semua.
Gumara mencoba mengatur nafas. Tentu ada sesuatu yang ghaib. Dia mendehem. Dan tak
jauh darinya terdengar sahutan orang mendehem pula. Kedengarannya memang itu suara
manusia. Tapi di sini, di Kumayan ini, semua yang lahiriah tampak sebagai manusia, belum
tentu manusia.
Dan tanpa menoleh ke arah sahutan dehem tadi, Gumara berkata “Saya penghuni baru di sini,
mohon ijin.” Terdengar suara mendehem. Gumara pun membalas dengan mendehem. Lalu
terdengar sekelebatan suara makhluk meloncat meluncur memasuki ilalang. Dan barulah
Gumara menoleh ke sana. Ilalang itu masih bergoyang, pertanda “Inyit” baru berlalu.
Di Kumayan orang tak pernah menyebut nama harimau. Mereka harus menyebut dengan
sebutan “Inyit” agar tidak kuwalat. Dan Gumara kini lega, karena salah seorang mahluk halus di
desa ini sudah muncul dengan sikap yang layak untuk memperkenalkan diri.
Gumara memperbaiki selendang shawlyang melilit di lehernya. Lalu dia turun tangga rumah.
Dia harus jalan kaki sejauh dua kilometer untuk sampai ke rumah Lebai Karat. Peta untuk ke
sana sudah dia hafal luar kepala.
Beberapa langkah setelah keluar dari pekarangan, ia harus ikuti jalan lurus yang sepi itu. Di kiri
kanan jalan tidak ada rumah. Hanya padang ilalang belaka. Dan tentu semua orang tahu, di
balik ilalang haruslah dicurigai bersarangnya harimau.
Namun Gumara melangkah pasti. Langkah itu barulah terhenti ketika dia mendengar suara
wanita merintih. Siapa itu? Gumara menoleh ke arah ilalang itu. Dia yakin, rintihan itu
datangnya dari sela-sela ilalang itu. Tentulah wanita itu membutuhkan pertolongan.
Kemungkinan dia baru mendapat musibah diterkam binatang buas, tapi binatang itu melarikan
diri.
“Hai, siapa di sana?” tanya Gumara.
Dia mencoba menekan knop senter di tangan. Tapi entah mengapa lampu senter itu mendadak
tak bisa menyala. Rintihan itu semakin memelas. Gumara mendekati. Lalu dia sibakkan
pohonan ilalang itu.
Ya Allah!
Seorang wanita terkapar, telentang luka parah, dalam pakaian minim pula. Jika Gumara bukan
lelaki beriman, tentu dia mempunyai kesempatan untuk memperkosanya.
“Siapa kau?”
“Tolong,” desah wanita itu, “Tolong gendong aku.”
Gumara menaruh kasihan. Cuma ia agak ragu. Belum tentu wanita ini manusia. Dia terlalu
cantik. Dan ketika Gumara mengangkatnya untuk membopongnya, ada terasa bau ular.
“Kau begitu gagah,” ujar wanita yang dibopong Gumara pada bahunya itu. Gumara terus
melangkah, dan terus merasakan bau aneh itu. Langkahnya terhenti ketika Gumara merasa
lehernya dililit mesra oleh tangan wanita itu.
ULAR MEMBELIT
Gumara merinding. Sebab lilitan lengan wanita ini melebihi kemesraan karena merangsang
birahinya. Ketegangan perasaan jantan begini tak boleh. Dan untunglah Gumara segera ingat
soal bau itu. Itu bukan bau yang wajar sebab dia mengenal bau ular.
“Kamu ular!” teriak Gumara dengan nada marah seraya menyeruakkan lengan yang melilit itu.
Memang benar, karena mendadak saja menjelma kepala ular yang mengerikan ingin mematok
kepalanya. Gumara segera membanting diri ke tanah lain berguling agar benar-benar terjadi
pergumulan bila ular ini lepas dari membelitnya.
Sungguh ajaib. Begitu Gumara memutar gerak pinggang dengan teriak “Fuh!”, ular tadi secara
ghaib menghilang. Dan rupanya, perkelahian seru itu disaksikan oleh seorang tua yang
kemudian berkata “Di mana engkau belajar ilmu tangkisan sehingga Siti Marfuah lari terbirit?”
“Siapa anda, Pak Tua?” tanya Gumara.
“Bagusnya kamu sebut dulu siapa kamu”, kata Pak Tua itu.
“Namaku Gumara. Lengkapnya Gumara Peto Alam. Aku guru muda yang baru dibenum di desa
Kumayan ini”.
“Cuma sekadar itu?” tanya Pak Tua.
Mendengar hal itu Gumara gugup. Keringat dinginnya mengocor. Seakan rahasia pribadi siap
dibongkar orang.
“Saya tahu, anak muda, bahwa kamu ke sini dengan rencana panjang. Kau akan membalas
dendam pada seseorang. Demi cintamu pada ibumu, bukan? Lalu kau akan menghadap Lebai
Karat malain ini juga! Untuk mendapatkan ilmunya? Padahal, Lebai Karat inilah yang
memperkosa ibumu”
Mata Gumara melotot.
Wah, tak disangka!
Gumara menjadi tertarik, lalu bertanya “Siapa anda sebenarnya?”
“Saya? Pernah mengenal nama Hum Belang?”
Suara itu berat, bergetar. Mengerikan. Tapi yang lebih mangerikan lagi pada perasaan Gumara
seketika itu adalah, karena dia kenal nama itu.Dia telah diberitahu jauh hari sebelum ini, bahwa,
apabila dia tinggal di Kumayan, harus bisa menyesuaikan diri dengan tokoh Hum Belang. Hum
Belang menatap Gumara. Dia menyeringai dan benar-benar mirip dengan seringai harimau.
“Kalau mau selamat, jangan lanjutkan perjalananmu, nak”, ujar PakTua itu.
“Lalu, apa nasehat Pak Tua selanjutnya?” tanya Gumara.
“Kau akan diketahui oleh Lebai Karat, bahwa kedatanganmu menghadapnya bukan untuk
belajar. Tapi untuk membalas dendam. Kau akan celaka, anak muda”, ujar lelaki tua yang
misterius ini.
“Lalu, Pak Tua ada di sini sekarang, untuk maksud apa?” tanya Gumara.
“Hanya mencoba mencegah langkah engkau”.
“Jika saya tetap ingin melanjutkan?” tanya Gumara bernada pasti, tanpa maksud melagak
menantang.
“Itu hakmu. Terserah”, ujar Pak Tua yang masih perlu diragukan, apakah dia benar-benar Hum
Belang yang tersohor ataukah sekedar mengaku-ngaku.
Gumara membungkuk hormat pada Pak Tua itu, lalu melanjutkan perjalanan. Semakin gelap
menjelang tengah malam ketika dia merasa tersesat. Kalau benar jajaran bintang di langit itu
adalah jajaran Bima Sakti, itu berarti kini waktu tengah malam. Padahal jarak yang harus
ditempuhnya cuma berjalan kaki sekitar dua kilometer saja.
Setidaknya kini dia telah berjalan sekitar hampir lima jam.
Gumara sadar, bahwa dia benar-benar tersesat, untuk kembali, dia bingung, hendak
menempuh jalan yang mana. Tapi tekad Gumara memang bulat. Dia membersihkan kelopak
matanya agar pemandangan yang dilihatnya di sekitar bukanlah palsu. Alangkah bahagianya
dia, setelah bersih diucek-uceknya kelopak matanya itu, dia melihat di langit letak bintang Bima
Sakti itu. Juga hutan sekitar dan satu jalan kecil itu, yang tadi tidak ada. Barulah ia kini yakin,
bahwa pandangan matanya telah “dibalikkan” oleh Pak Tua yang melarangnya menemui Lebai
Karat
Gumara membelokkan langkah. Alangkah gembiranya ia, ketika didengarnya suara motor. Ini
sebagai pertanda, bahwa dia tidak sesat jalan. Sudah sering dia dengar bahwa memang ada
sepeda motor yang disewakan naik turun lembah bagi orang-orang Jakarta yang akan
menemui Lebai Karat untuk keperluan sesuatu. Gumara tinggal mengikuti suara motor itu saja.
Ya, di sana itu, di rumah terpencil itu,tentu di situlah tinggalnya Lebai itu.
Ketika Gumara tiba di sana, dia mendapati dua orang yang sedang diguyur air kembang. Lain
tamu yang baru datang tadi masih didaftar. Gumara ragu, apakah dia perlu mendaftar?
KETUA SEMUA HARIMAU
Gumara ingin memperlihatkan sikap rendah hati. Diantara dua orang tamu lain yang sudah
mendaftar, dia duduk. Lalu petugas pencatat bertanya padanya “Anda mau ketemu Ki Karat?”
“Ya”.
“Silahkan maju”, ujar petugas pencatat. Gumara berdiri dan menunjukkan kartu penduduknya.
“Mau berobat atau ada keperluan lain, misalnya guna-guna?” tanya pencatat itu.
“Oh, sama sekali bukan”, kata Gumara.
“Lalu ke sini mau apa?”
“Cuma mau jumpa Lebai Karat”, ujar Gumara.
“Barangkali permintaan anda ditolak, Tadi kesini naik apa? Naik ojek juga?” tanya pencatat.
“Saya? Oh, saya akan jadi penduduk Kumayan, mas”, kata Gumara.
Pencatat itu agak curiga. Dia mempersilahkan Gumara kembali duduk di tempat. Dengan
kecurigaan yang tidak dapat disembunyikannya, pencatat itu akhirnya masuk ke dalam rumah.
Sementara pencatat itu masuk, Gumara bertanya pada dua orang tamu itu “Bapak mau berobat
ke sini?”
“Ya, saya diracun orang. Lihat, badan saya sudah kurus kering, uang sudah habis. Cuma
karena berebut pangkat di kantor badan jadi begini”, kata yang kurus. “Dan ibu?” tanya Gumara
pada tamu yang satu lagi. “Saya dimadu. Suami saya kawin lagi. Mau minta bantuan Ki Karat
supaya suami saya benci pada bini mudanya”, ujar wanita yang datangnya hampir serempak
dengan Gumara.
Gumara hanya menghela nafas sejenak. Lalu dia melihat pencatat tadi begitu sibuk dalam
ruangan. Kemudian dia berkata “Bapak tadi yang namanya Gumara ya?”
“Betul”. kata Gumara.
“Bapak disilahkan Ki Karat masuk menghadap”, kata orang itu.
“Baik”.
Gumara menarik nafas sejenak, lalu berdiri dengan sikap dada lapang. Lalu dia melangkah
perlahan menuju orang yang memanggil, Kemudian sebuah pintu dibukakan bagi Gumara.
Gumara pun masuk ke dalam. Dia membungkuk hormat memberi salam pada lelaki tua yang
duduk bersila di atas kasur empat segi.
“Silahkan duduk, juragan”, ujar lelaki tua itu, yang sudah diketahui Gumara adalah Lebai Karat.
Gumara duduk. Lalu dia merasakan ada bau tidak nyaman di hadapannya. Gumara seperti
ketakutan. kendati Cuma sedetik saja.
“Ada perasaan tidak enak ya?” tanya lelaki tua berjanggut putih.
“Ya”.
“Itu tanda kamu ada maksud tidak baik mau mencari saya”. Ucapan itu jelas sebuah tuduhan.
Gumara siap untuk diuji.
“Barangkali kamu mau mencoba?” tanya Ki Karat.
“Mencoba apa, Guru?”
“Jangan bohong. Kamu ke sini mau membalas dendam”, ujar Ki Karat.
“Tidak demikian. Saya menghadap kesini karena tahu bahwa bapak adalah Ketua dari semua
Tetua di kawasan ini. Sedangkan saya ke sini mau menjadi Guru SMP dalam mata pelajaran
Fisika dan Matematika. Supaya saya aman selama menjadi penduduk Kumayan, Saya pun ke
sini, menghadap Bapak. Saya sudah dengar kesaktian bapak”.
Ki Karat tersenyum senang. Dia jarang mau dipuji, kecuali pada saat ini.
“Jadi itukah keperluanmu menghadap saya?” tanya Lebai Karat.
“Ya, pakGuru”.
“Tapi saya ingin jawaban yang kesatria, nak”.
“Maksud Pak Guru?” tanya Gumara.
“Kau dengan rendah hati menghadap saya ke sini bukan untuk mempersiapkan suatu maksud
jahat?”
Gumara sengaja tak menjawab, kecuali tersenyum lebar sembari berkata; “Ah, anda yang
ilmunya begitu tinggi, tentu lebih tahu dari segala orang pandai”.
Lalu Gumara melihat perubahan sosok di hadapannya, ketika dia menyeringai. itu bukan lagi
seringai Lebai Karat. Tapi seringai seekor raja harimau. Dan harimau itu siap menerkam
Gumara. Ia mundur, tapi Gumara tetap tenangduduk bersila. Harimau tadi mundur lagi,
seakan-akan mau mengambil acuan untuk melompati dan menerkam Gumara. Namun Gumara
hanya tenang saja, kecuali mengatur nafas. Dua tamu di luar, dan juru catat tadi, justru
merekalah yang gelisah.
LEHER YANG DIPOTONG
Tidak berapa lama kemudian, mereka melihat lelaki muda yang tadi disuruh masuk sudah
muncul di luar. Petugas pencatat berubah menjadi hormat melihat munculnya Gumara.
Lalu petugas pencatat memanggil nama lelaki kurus. Lelaki kurus itu dipersilahkan masuk.
Waktu itu, Gumara sudah meninggalkan rumah Lebai Karat. Dia menganggap tugasnya sudah
selesai, yaitu menghadap Ketua dari semua Tetua di desa Kumayan.
Malam semakin jauh, namun langit semakin benderang gemintang. Seekor babi melintas
sekelebatan. Dan Gumara tahu, mungkin itu bukan babi. Memang hampir di seluruh desa ini
dipenuhi oleh mahluk jadi-jadian. Buat yangtidak memiliki kelebihan indera dan sekedar cuma
punya lima (panca) indera saja, memang sulit untuk meraba mana yang salah dan mana yang
benar.
Yang anehnya, setiba di rumah jabatan menjelang tengah malam, Gumara agak terheran-heran
sudah ada tamu tak diundang. Dia duduk di sebuah kursi dengan kepala menekur.
Gumara memberi salam. Tamu itu menyahut, tanpa menolehkan muka. Gumara agak berhatihati bertanya
“Dari mana anda masuk tadi?”
“Dari belakang”, ujar tamu tak dikenal dan tak di undang itu.
“Bagaimana anda bisa masuk, Pak?”
“Ini milik saya dulu. Tapi pemilikan rumah ini ada permainan uang sogok, sehingga saya
ditendang. Karena saya masih protes terus, nak, inilah akibatnya”, lalu lelaki tak dikenal itu
memperlihatkan wajah. Dan wajah itu begitu mengerikan. Yaitu adanya lima enam lubang, dan
lubang itu keluar semacam getah pepaya.
“Ki Karat yang punya kerjaan begini, nak”, ujar tamu tak dikenal itu.
“Oh, dia yang punya kerja”, kata Gumara seraya menghela nafas.
“Camat di sini juga ikut main. Tanah saya sudah banyak yang dicomot, nak. Pendeknya, yang
bandel akhirnya jadi mangsa ilmunya Ki Karat”, kata tamu itu.
“Nama Bapak siapa?” tanya Gumara.
“Tohing”.
“Maksud ke sini mau apa?” tanya Gumara.
“Mau minta pertolongan”.
“Pertolongan? Lewat saya?”
“Ya, saya mau minta tolong pada anak”, kata orang yang mengaku Pak Tohing.
“Coba terangkan”, kata Gumara.
“Saya tahu, antara nak Gumara dengan Ki Karat ada satu kaitan. Tapi itu cuma cerita orang.
Dan saya juga tahu, tadi barusan saya dengar bahwa nak Gumara datang menghadap Ki Karat.
Ini tindakan aman jika orang mau selamat tinggal di Kumayan. Pendeknya, calon penduduk sini
yang sudah laporan pada Ki Karat, aman selamanya tidak akan diganggu. Lalu mengenai
permohonan saya minta tulung nak Gumara, yaitu soal penyakit saya ini. Wah, sejak kena
pertama, di sini, di sini, di sini, gatalnya bukan main. Nanti muncul lagi lobang di bagian sini,
lalu keluar getah begini…aduh gatalnya bukan main”.
Gumara memotong “Jadi jelas yang bikin teluhini Ki Karat”.
“Ya”.
“Kenapa musti lewat saya. Bapak Tohing kan bisa pergi sendiri, minta kesembuhan pada Ki
Karat?”
Lelaki tua ini lalu meneteskan airmata. Dengan nada hiba dia berkata “Ki Karat ilmunya nakal.
Dia pasti nanti minta kehormatan bini saya”.
“Oh ya?” Gumara terpelongo.
“Sedikit yang tahu mengenai kenakalannya ini”.
“Dia dukun cabul ya?”
“Bukan cabul. Tapi itulah syaratnya. Kalau syaratnya diminta begitu, kita tidak bisa mengelak”.
“Aku sungguh-sungguh kaget”, Gumara menghempaskan pantatnya pada jok kursi rotan, lalu
melirik ke wajah Pak Tohing yang mengerikan itu.
“Baiklah, Pak Tohing. Saya akan membujuk Ki Karat agar penyakit anda bersedia dia cabut”,
kata Gumara. Tohing kelihatan girang sekali. Tetapi, sungguh mengherankan, sewaktu Tohing
keluar dari pekarangan rumah Gumara, dari balik pohon kapuk berkelibat sebuah golok. Dan
leher Tohing putus seketika. Tampak orang melarikan diri setelah melihat Tohing roboh.
Dan paginya Gumara kaget melihat begitu banyak orang berkumpul. Lebih kaget lagi sewaktu
polisi meminta keterangan dari Gumara.
FITNAH ATAS CALON GURU
Yang lebih mengagetkan Gumara lagi, sebelum polisi mengajukan pertanyaan, seorang lelaki
berpici memperkenalkan diri.
“Oh, Pak Direktur”.
“Ya, saya Direktur SMP di Kumayan sini”, kata orang yang berpici dan mengaku bernama
Jamhur itu. Pak Yunus, yang mengurusi rumah jabatan semalam, muncul pula dengan
pertanyaan “Apa anda khilaf ketika menebas leher Tohing?”
“Saya menebas leher Tohing? Ya, Tuhan, ini fitnah!” seru Gumara geram.
“Tapi semua orang menyebutkan hal itu”, ujar Pak Yunus.
Inspektur polisi menyela, “Akhirnya hukum yang menegakkan kebenaran. Boleh kami
mengganggu sedikit?” Inspektur itu memperlihatkan borgol. Jiwa Gumara terkoyak oleh cara
begini.
“Bukti belum cukup saya membunuh Tohing, kenapa tangan saya harus diborgo!?” protes
Gumara.
“Kami kuatir anda akan memotong leher yang lain atau leher kami petugas keamanan. Tentu
anda tidak menginginkan kami keras kan?” suara inspektur itu lembut namun menyakitkan hati
Gumara.
Gumara, masih dalam berpakaian kaos oblong dengan bercelana jean, harus mengikuti
perintah petugas keamanan yang syah di kecamatan ini. Dan karena kejadian ini pulalah nama
Gumara dalam tempoh satu hari menjadi terkenal di seluruh kecamatan Kumayan. Dan desa itu
membangkitkan orang-orang pada seni keindahan. Sebab semua ibu-ibu, dan semua gadisgadis, lalu berkata “Gumara berwajah tampan”.
Ya, Gumara tampan. Dan hal ini pulalah yang menyebabkan Wati memberanikan diri muncul di
kantor polisi, langsung minta diizinkan bicara dengan Gumara. Dan di balik terali besi kamar
tahanan itu, Gumara tentunya heran karena munculnya seorang gadis jelita berambut panjang
ingin bicara dengannya.
“Katakan siapa kamu sebenamya. Saya tidak ingin kamu hanya menyebut Watisaja, atau
Harwati saja. Kamu anak siapa?”
“Saya anak seorang yang suka menolong”, kata Wati.
“Siapa ayahmu?” tanya Gumara.
Gadis jelita itu diam beberapa saat. Lalu dia berkata; “Ayahku adalah seorang yang disegani di
sini, yang kakak datangi tadi malam”.
Gumara melongo. Lalu bertanya polos “Jadi kamu puteri Ki Karat?”
“Ya Tuhan, kenapa kamu bersusah payah mendatangi saya?”
“Lewat ayahku, anda dapat bebas dari tahanan. Ini hanya fitnah dari orang yang berhati busuk
di sini karena anda ingin mengajar. Mungkin yang membuat ulah adalah seorang guru tua yang
akan dipensiun lalu akan anda gantikan. Tapi, dengan dipotongnya leher Tohing semalam
sekembali dari rumah kakak, si pembunuh ingin menjelekkan nama kakak!”
Gumara terperangah beberapa detik. Dia kemudian berkata “Terima kasih atas uluran
tanganmu. Sampaikan salam saya untuk Bapak”.
“Jadi anda menolak uluran bantuan keluarga kami?” tanya Wati.
“Lain kali, jika saya membutuhkan benar”.
“Dan kali ini kakak akan menyelesaikannya sendiri?”
“Memang begitu. Hidup ini ibarat ilmu berhitung. Jika kita mau menyelesaikan sebuah hitungan,
yang penting memggunakan rumusnya yang tepat barusoal dapat dicari dan diselesaikan. Jika
minta bantuan bapak, mungkin kami berbeda rumus”.
Tampak, Wati kesal. Dan dia tak dapat menyembunyikan kekesalannya dengan berkata
“Tahukah kakak bahwa penduduk Kumayan mengagumi wajah kakak yang tampan itu? Seolah
anda adalah dewa ketampanan di sini. Tapi mereka tak tahu, di balik ketampanan kakak ini ada
kekurangan. Bahkan itu cacad”
“Cacad apa?” tanya Gumara.
“Engkau sombong dan angkuh!”
“Lho, orang yang percaya dan itu memang memberikan kesan sombong dan angkuh! Itu
kawanmu yang salah”, kata Gumara.
Gadis manis itu berdiam diri.
“Kamu pun punya kekurangan di samping kelebihanmu, dik manis. Kelebihanmu mungkin
karena kau yang tercantik di Kumayan ini. Kekuranganmu yaitu bibirmu judes, ucapanmu
nyelekit di hati lelaki,” kata Gumara,
“Terimakasih atas penghinaan tuan guru”, ujar Wati lalu merentak berlalu meninggalkan lorong
kamar tahanan.
TAMU MENGERIKAN
Harwati pulang dengan langkah-langkah gemas. Lebai Karat menyambut puterinya dengan
ketenangan seorang Guru.
“Dia pasti menolak tawaran jasa baikmu, Wati”.
“Benar, Pak”, sahut Wati.
“Aku sudah menduga”.
“Dan kesombongannya menjijikkan!”, gerutu gadis itu.
“Ya. Dia mungkin merasa dirinya mampu membebaskan tuduhan pembunuhan itu. Tapi kamu
lihat dia masih dalam tahanan polisi ? tanya Ki Karat.
“Biarlah dia mampus. Tapi kesan saya dia meremeh kan Bapak”, kata Harwati dengan harapan
agar ayahnya ikut jadi gemas. Tetapi sifat waskita seorang Guru, Ketua dari harimau-harimau
Kumayan ini, justru lebih menonjol.
“Namun aku tahu siapa yang bekerja di balik pembunuhan Tohing ini”, ujar Ki Karat, “Ini pasti
pekerjaan kawanku juga”.
“Maksud bapak, ini kerja Pak Humbalang?” tanya Harwati.
“Bukan. Ini pasti pekerjaan si Lading Ganda”.
“Di mana Bapak tahu?” tanya sang anak.
“Setiap kerja iseng dengan golok, itu pasti kerja si Lading Ganda. Dia pasti tak suka Gumara
ada di Kumayan ini”, kata sang Guru.
Ramalan itu tepat Memang benar kepala Tohing terpisah dari badannya adalah akibat tebasan
sebuah golok. Dan golok itu ditemukan polisi berada di langkan atap rumah jabatan Gumara.
Sehingga menambah lagi bukti bahwa memang Gumara yang membunuh Pak Tohing.
Dan malam ini Gumara tak bisa tidur, Karena nyamuk sangat banyak di kamar tahanan.
Sedangkan ia satu-satunya berada di kamar tahananan itu, Tapi, ketika dia mengebaskan kain
sarong mengusir nyamuk, dia tiba-tiba melihat ada satu gerak aneh di luar jeruji besi itu.
“Siapa itu!” Gumara berseru mematikan puntung rokok.
“Aku”.
“Siapa?”
“Tohing”, jawab sosok yang berdiri di kegelapan itu.
“Hei, bukankah kau sudah mati terbunuh?”
“Bukan aku yang dibunuh pagi tadi. Aku masih hidup.
Boleh aku mendekati kau, guru muda?”
Gumara bukan menjadi puas atas jawaban itu. Malahan dia jadi ngeri. Jangan-jangan itu hantu,
atau roh si Tohing yang masih berkeliaran!
Tetapi, sebelum Gumara melarang, tubuh tinggi itu mendekat Karena cahaya lampu lorong
amat suram, tak jelas sosok yang mendekatinya itu. Semakin dia mendekat, sepertinya
semakin tinggi tubuhnya. Dan ini membuat Gumara merinding lalu memejamkan mata.
Namun langkah sosok orang tinggi itu semakin dan semakin mendekat menuju jeruji kamar
tahanan itu. Dan kini terasa pula ban yang amat menusuk. Yaitu bau bunga mayat.
“Jangan takut. Aku bukan hantu”, Gumara mendengar suara.
“Tapi siapa anda?!”
“Aku Tohing”.
“Tidak. Tidak!”
“Aku Tohing” Bukalah matamu, jangan takut”, suara itu kini lembut. Tapi Gumara tetap takut
untuk membuka mata. Dia benar-benar ngeri saat ini. Sebab yang semacam ini dirasakannya
bersuasana aneh.
“Hai, guru muda. Dengarlah. Percayalah. Aku Tohing yang masih tetap hidup sepulang dari
rumahmu semalam”, kata suara dibalik terali besi itu.
“Jika kau tak mau melihatku, ulurkan tanganmu. Supaya bisa kubantu untuk meraba wajahku
yang penuh bintil ini, yang penuh getah yang mirip getah pepaya ini”.
Biarpun punya rasa ngeri, tapi hatinya agak terpikat untuk menyaksikan kebenaran ini. Siapa
tahu memang dia ini Tohing. Dan aku bisa bebas dari tuduhan membunuh Tohing. Agak
enggan, Gumara mengulurkan tangan kirinya. Maksudnya sedikitpun tiada membuka mata.
Tapi setelah jarinya merasakan bintil-bintil yang menjijikkan itu, Gumara cepat menarik
tangannya. Lalu matanya dibukanya! Bah, benar! Benar Tohing masih hidup. Mata Gumara
melotot heran. Lalu didengarnya Tohing berkata “Beri aku sebatang rokok”. Dan Gumara
merogoh kantong. Karena rokok itu ada di kantong belakang celana dalam, ia agak sulit
mengeluarkannya. Dan setelah rokok itu dia dapatkan, maksudnya akan menyodorkan pada
Tohing. Tetapi ... yang dilihatnya adalah tubuh tanpa kepala! Gumara menjerit dan ketika
dilihatnya lagi, sosok itu tak berkepala itu sudah menghilang. Sersan jaga Ahmad mendekat,
lalu bertanya; “Kau melihat setan ya?”. Gumara tidak menjawab. Keringat dinginnya bercucuran,
tak henti-henti.
NGERI TAPI DILUDAHI
Seharusnya Gumara tak usah sekaget itu. Sampai pagi dia tak tidur. Dia menyesali diri,
mengapa dia setolol dan sepengecut itu. Dia sudah banyak mendengar ciri khas desa Kumayan
ini. Terutama dari ibunya. Sehingga khayal mengenai yang aneh-aneh tentang desa ini sudah
hidup semenjak dia kecil. Karena itu ketika muncul tawaran mengajar ke desa, dari tujuh desa
yang diajukan maka dipilihnyalah desa Kumayan. Tetapi yang sebenarnya menghendaki dia
kesini adalah ibunya. Juga ibunya yang menyuruh dia menemui Lebai Karat melebihi Pak
Camat atau Kakanwil setempat
Seharusnya pagi ini Gumara letih sekali. Tapi karena dia sudah puas memaki-maki
ketololannya semalam, pagi ini dia seperti sadar apa yang mesti dilakukannya. Gumara segar
bugar. Dia berolahraga di kamar tahanan, sehingga mencengangkan polisi-polisi jaga di sana.
Tiba-tiba saja, muncul seseorang yang tidak dia kenal. Orang itu tua, bercakap-cakap sejenak
dengan petugas jaga, lalu menuju ke kamar tahanan. Letaki tua itu bersikap amat sopan.
Ketika dia mengulurkan tangan menyalami Gumara, dia memperkenalkan dirinya “Panggil saya
Pak Lading Ganda”. Namun genggaman salamannya tidak dia lepaskan setelah Gumara
memperkenalkan nama dirinya.
“Apa maksud Bapak ke sini?” tanya Gumara.
“Tadi kau tidak melihat seseorang yang saya serahkan pada polisi?”
“Siapa dia?” tanya Gumara.
“Pendekar Cacing. Dialah yang membunuh si Tohing. Dia taruh goloknya di Kelangkan atap
rumahmu. Jadi saya ke sini bukan ingin menonjolkan jasa baik saya. Tetapi hanya
memberitahu, bahwa saya telah tangkap pembunuh Tohing yang sebenarnya. Satu jam lagi
paling-paling tuan guru muda akan dibebaskan dari tahanan”, barulah lelaki tua itumelepaskan
salamannya. Gumara hampir tak yakin akan keterangan ini. Dadanya seakan sesak. Dia tak
mengira, bahwa di desa ini masih ada seseorang yang berbudi baik.
“Siapa nama Bapak? Mau bapak mengulangi?” ujar Gumara.
“Lading Ganda, Mampirlah ke padepokan saya setelah keluar. Nah, selamat atas
kebebasanmu!” ujar Pak tua Lading Ganda.
Rasanya terlalu singkat bagi Gumara pertemuan indah ini. Dia akhimya memang dipersilahkan
keluar dari tahanan dan menerima surat pembebasan. Cuma, dengan syarat untuk 15 hari
berikutnya dia tidak diperkenankan meninggalkan kecamatan Kumayan. Kemudian dia
mengucapkan Terimakasih pada Letnan Amir, tapi Letnan Amir ber tanya “Pak Guru tahu lewat
jalan mana untuk sampai ke rumah?”
“Saya bisa menanyakannya ke sekolah tempat saya mengajar”, kata Gumara. Kebetulan di
tengah jalan dia sendiri pun sudah jadi perhatian banyak anak sekolah dan orang-orang. Dia
menanyakan rumah Pak .Yunus. Seorang murid mengantarnya
ke SMP. Ah, aku belum mandi. Kepada anak itu Gumara bertanya
“Mau menunjukkan rumah tempat pembunuhan Tohing terjadi?”
“Kenapa kakak dibebaskan?” tanya anak itu.
“Karena aku seorang Guru, bukan pembunuh. Pembunuhnya Pendekar Cacing, yang kini
meringkuk di bekas kamar tahananku”, kata Gumara.
Dengan diiring beberapa anak sekolah, Gumara tiba di rumah jabatan. Dia berusaha ramah
kepada anak-anak yang baik hati itu. Tapi dia perlu segera mandi. Sebab dia mesti menghadap
Bapak Kakanwil, lalu ke sekolah tempat dia harus mengajar.
“Maaf, kalian terlambat masuk kelas nanti. Kakak akan mandi dulu ya?” ujar Gumara
ramah.Setelah anak-anak itu pergi, Gumara siap untuk mandi pagi. Dia membawa handuk,
tetapi secara naluriah dia seperti nya merasakan sesuatu bau. Bau amis. Bau darah yang
sudah menginap! Bulu romanya merinding. Tapi dia tak ingin sekonyol tadi malam. Dia harus
berani dan mengusir khayal yang mirip dongeng itu.
Tapi ketika dia mendorong pintu kamar mandi, dia rasakan lagi bau lain. Bau bunga tujuh
macam, yaitu bau bunga untuk orang mati. Namun terus didorongnya pintu. Dia belalakkan
mata melihat sekeliling. Lalu dia mandi. Tetapi, sewaktu Gumara selesai mengenakan celana
dalam, lehemya seperti kena tepuk tangan. Dan dia berbalik ... Bah! Tampak ada satu kepala
bergantung tanpa tubuh. Kepala itu kepala Tohing, penuh bintil dan nanah, dengan leher
terjulur dan mata terbelalak. Gumara kali ini tak mau tertipu oleh pandangan matanya. Dia
melotot terus menatap kepala tergantung itu, kemudian meludahinya dan berteriak “Setan!”.
Gumara berhasil, Dalam sekelebatan, sehabis diludahi, kepala tergantung mengerikan itu
tenyap dari pandangan matanya. Hatinya lega. Dan dia tetap lega ketika melangkah ke luar
rumah menuju Kantor Kakanwil.
TAK SUDI GAYA PAKSA
Sebelum langkahnya berbelok di simpang jalan yang menuju Kantor Kakanwil, terdengar
seorang menegur “Nak Gumara”.
Gumara menoleh. Kaget sekali dia. Tapi juga senang sekali. Sebab orang yang menegurnya itu
adalah seseorang tempat Dia seharusnya berterimakasih. Dialah Pak Lading Ganda.
“Mau ke mana?” tanya Lading Ganda.
“Pagi ini saya harus laporan pada Pak Kakanwil”.
“Mari mampir ke padepokan saya dulu”, ujar Lading Ganda.
Gumara ragu. Lalu Pak tua itu berkata “Jika kau berkeberatan, lain waktu saja”,
“Wah, jika saya berkeberatan, saya jadi manusia tak berbudi, pak”.
“Nah katau begitu silahkan mampir”, ujar si tua itu.
Gumara memindahkan letak map ketangan kiri, Dia mengikuti langkah lelaki tua itu. Jalan orang
tua itu begitu cepat. Jadi Gumara harus mengepit map lebih kuat dan melangkah lebih cepat.
Tapi...
Jarak ke padepokan pak tua ini tampaknya jauh. Keringat sudah mulai terasa di sekitar ketiak
dan krah baju, Namun Gumara harus melangkah lebih cepat lagi, sebab Lading Ganda setiap
disusul tampaknya malah mempercepat. Dan karena lelaki tua itu beberapa meter di depan
Gumara, Gumara merasakan ada bau bangkai dari arah depan.
Ibunya dulu pernah berkata semasa dia kecil, bahwa orang yang memiliki ilmu penjelmaan
harimau memiliki pula bau bangkai, walaupun pada saat-saat tertentu saja.
Tapi usaha Gumara untuk menyusul pak tua yang bersicepat itu akhirnya berhasil. Dan ada
kesan mengejutkan ketika dia mengikuti masuk pekarangan padepokan itu. Yaitu satu tubuh
melintas di depan Gumara, bagai baru terlempar. Tubuh berbaju hitam-hitam itu terlempar
sungguhan, menerjang rumpun pohon nenas. Dan pohon nenas itu terbongkar sampal akarakamya.
“Mereka muridku. Mereka latihan. Jangan kaget”, kata Pak Lading Ganda.
Hanya tiga orang sedang berlatih. Gumara terpaksa mencopot sepatu. ini mengikuti Pak Lading
yang mencopot sandalnya.
“Mari masuk”, ujar Lading Ganda.
Gumara agak ragu, sehingga orangtua tadi mengulangi ajakan masuknya. Lalu Gumara
melewati pendopo latihan itu. Dan masuk lewat pintu tak berdaun itu.
Ada ruangan lebar di dalam. Ditiap sudut ada pot-pot berisi menyan yang dalam keadaan
berasap. Tapi baunya tak menyengat, sebab cukup semerbak bagi hidung Gumara.
Pak Lading Ganda sudah bersila. Ujarnya; “Silahkan bersila saja di hadapanku”.
Gumara “menaruh map di pahanya ketika bersila. Tapi Pak Lading memungut map itu seraya
berkata “Yang di dalam ini semua tidak begitu penting di bandingkan persahabatan di antara
kita”.
“Tentu, pak”
“Jika kamu ke Kumayan cuma mau menjadi Guru di SMP itu, tentu ada seseorang yanq
berkecil hati”, kata Pak Lading,
“Kenapa begitu, pak?” tanya Gumara.
“Yah. Ada guru tua yang harus kamu gantikan”, kata Pak tua itu.
“Wah soal itu saya kurang tahu. Yang terang saya dibutuhkan mengajarkan ilmu matematika
dan fisika di Kumayan ini”, kata Gumara.
“Hidup ini jangan sampai mengecilkan hati orang lain. Sebelum kamu datang, Pak Tarikh sudah
bersedih hati. Sebab dialah yang akan minggir dan kamu maju sebagai penggantinya. Nah,
sebelum kamu mati konyol diracun si Tarikh, ada baiknya ikuti nasehatku!”
Gumara, betapapun harus berterimakasih, betapapun harus menghormati Pak Lading yang
berbudi ini, dia merasa harus terlebih dahulu menghormati tugas yang dibebankan padanya.
“Atau kamu akan bersedia mati diracun?” tanya Pak Lading Ganda.
“Tapi saya belum mengerti maksud Bapak”, kata Gumara.
“Mudah saja. Mari kita bakar saja map ini, yang aku tahu berisi surat perintah tugas mengajar di
Kumayan sini, di SMP sini. Kau tahu, aku membutuhkan murid, dan itu adalah kau. Sebab kau
seorang bibit unggul”, kata Lading Ganda. Suaranya berusaha menekan, mempengaruhi, dan
ingin menaklukkan Gumara secara tuntas. Justru cara beginilah yang tak disukai Gumara,
betapapun dia berhutang budi pada lelaki tua ini. Lalu Gumara berusaha tak menyinggungnya.
Yaitu menampilkan sikap tanpa kata. Yaitu cuma mengambil map itu, seraya berkata “Terima
kasih atas ajakan Bapak. Ajakan itu mulia. Cuma, itu lebih baik lain kali saja”.
BELUM PERNAH BERKELAHI
Semua sikap dan ucapannya serba polos. Tapi bagi Lading Ganda justru kepolosan demikian
tidak dikehendakinya. Dia merasa, tak pernah ada seseorang yang berani menolak ajakannya.
Baru anak muda inilah !
Yang pertamakali pula!
Jadi, fikir tua, orang begini mesti dicoba.
Sewaktu Gumara bangkit sehabis bersalaman pamitan pada Lading Ganda, sebelum ia tegak
lurus berdiri, sebuah tendagan sapu menyapu pantatnya. Gumara terjungkir di permukaan batubatu pualam di ruangan itu. Dia malahan menyerosot meluncur. Ketika kepalanya hampir
membentur dinding, untunglah ada gerak refleks sehingga bahunyalah yang menghantam
dinding. Memang cukup sakit juga.
Gumara belum pernah berkelahi. Dengan siapapun, semenjak kanak. Jadi dia tidak tahu cara
mengelakkan serangan sewaktu dia dengar ucapan Lading Ganda; “Anak Keparat!” disertai
satu tendangan yang hampir mencopot kepalanya andaikan dia tak menghindari tendangan itu
dengan menunduk. Semua kemampuan mengelak itu bukannya karena dia pandai bersilat
Bahkan dia sendiri tercengang sewaktu tubuh Pak tua melontar ke langit-langit lalu turun cepat
mau menginjaknya, namun Gumara bergulung-gulung menghindari injakan demi injakan yang
gagal itu.
Malahan, saking ngeri, akhirnya Gumara lari tunggang langgang meninggalkan padepokan.
Dan malahan dia amat terheran-heran, mengapa dia dapat lari sedemikian cepatnya seperti
derasnya angin limbubu.
Padahal tadi sewaktu mengikuti langkah cepat Pak tua Lading Ganda dia merasa lelah.
Kini, di depan kantor Kakanwil, Gumara sedikit pun tak merasa lelah. Dia malahan santai.
Masuk menghadap. Segala pembicaraan menjadi lancar. Juga dia merasa amat lancar sewaktu
menghadap Pak Camat memperkenalkan diri, terlebih lagi menghadap Pak Direktur SMP dan
berkenalan dengan semua guru. Yang mencengangkan dia, dia cukup merasa aman ketika
berkenalan dengan pak Tarikh, malahan dipeluk oleh guru tua itu seperti bapak memeluk
anaknya.
“Nanti jam 10.30 giliran saya mengajar, sebaiknya Pak Gumara bersama saya masuk kelas dan
saya perkenalkan dengan murid-murid”, ujar Pak Tarikh. Keramahan Pak Tarikh ini pun
sebenarnya tidak menerbitkan rasa jengkelnya kepada Pak Lading Ganda. Atau mau
menuduhnya si tua pendusta Tidak! Dia cuma mendapatkan kesan tercengang-cengang saja
dari seluruh pengalaman singkat namun bertubi-tubi semenjak dia memasuki wilayah Kumayan
ini.
Maka, ketika sehabis diperkenalkan dan dipersilakan mengajar di Kelas I B itu, Gumara
menganggap dirinya bukan sebagai guru baru di sekolah ini.
“Kalian pernah mendapatkan pelajaran matematika dari Pak Tarikh. Dan saya akan mengulangi
sedikit dari pelajaran dasar, sekedar sebagai ulangan. Dan ini bukan berarti pelajaran dari saya
berbeda dari Pak Tarikh. Maksud saya cuma menjelaskan, bahwa yang yang saya ulangi
adalah semua yang pernah diajarkan Pak Tarikh”, kata Gumara. Hal itu diucapkannya satelah
guru tua tadi keluar kelas.
“Jangan kira saya lebih pandai dari Pak Tarikh. Karena beliau guru senior, lebih tua. Lebih
berpengalaman. Tentulah beliau lebih pandai dari saya. Saya baru berpengalaman dua tahun
mengajar. Itupun sebagai guru bantu. Berhubung Pak Tarikh memasuki pensiun. saya ditawari
ke sini, dan saya mengajar”.
“Pak Guru”, seorang murid lelaki mengacungkan tangan,
“Yah, nama kamu siapa?”
“Dalip, pak. Saya ingin menanyakan apakah betul Pak Guru ditahan polisi kemarin pagi?”
Gumara hanya tersenyum dan menjawab ramah “Itu persoalan pribadi yang akan
menghabiskan waktu jika dibeberkan dikelas ini. Tapi baiklah saya jawab singkat Saya ditahan,
itu benar. Tapi saya tadi pagi dibebaskan dari tahanan, juga benar Buktinya sekarang saya
mengajar disini”.
Enak memang pengalaman pertama pada siang ini bagi Gumara. Tapi yang tidak enak, setelah
dia diberi sepeda oleh Direktur SMP, masih menuntun sepeda, ada suara teguran dari arah
warung kopi “Pak Guru Gumara!”,
Gumara menoleh ke arah warung.
Bah! Ada seseorang yang nyengir. Melambai padanya. Dan dia adalah Pak Lading ganda, yang
melambai berseru “Mari masuk makan siang bersamaku!”
Ajakan ini sungguh sebuah tantangan. Tak mungkin seorang guru makan di warung yang
memberi kesan inilah warung preman, manusia-manusia koboi. Gumara hanya menghampir
menuntun sepeda, lalu berkata “Maaf, terimakasih”.
Lalu akan dinaikinya sepedanya itu. Tapi terdengar bunyi desis pada ban belakang. rupanya
gembos. Eh, ban depan berdesis juga.
MASIH BERBAIK SANGKA
Sepeda itu terpaksa dituntun oleh Gumara. Tentu saja, mendorong sepeda yang kedua-dua
bannya kempis, buat seorang guru baru, memalukan. Apa lagi dia tak tahu di mana tempat
tukang tambal ban. Tapi Gumara punya cukup peralatan yang dibawanya ke Kumayan ini,
bahkan sampai jarum pentul sekalipun. Dia berniat akan menambal ban itu sendiri di rumah.
Memang kadangkala dia menjadi orang aneh dengan menuntun sepeda begitu. Namun dia
berharap, orang yang menontonnya itu bukan karena mau menonton guru baru yang menuntun
sepeda, melainkan hanya ingin mengenal seorang penduduk baru saja.
Tapi menjelang dia berbelok ke gang rumahnya, dia disapa seseorang. Orang itu memakai
dastar, berkain sarung dililit ke leher, berpakaian hitam-hitam, bersandal jepit terbuat dari kulit
Kayaknya orang ini pendekar silat Sapa orang ini cukup ramah “Dua ban kempes ya guru
muda?”
“Betul”, sahut Gumara.
“Mampir ke rumah saya, guru!”
“Terimakasih”.
“Kalau begitu ke ladang saya!”
“Lain kali saja, Pak”.
Orang itu ramah memperkenalkan dirinya “Saya Ki Limbubu”.
“Saya Gumara”.
“Saya sudah tahu. Tapi memang aneh dua ban kempes sekaligus. Apa anda melindas
tumpukan beling?” tanya Ki Limbubu.
“Tidak”, sahut Gumara, “Dua-dua ban ini kempis dalam jarak semenit sebelum saya naiki”.
“Kalau begitu kempisnya bukan karena paku atau beling kaca. Ini tentunya dikempiskan oleh
kuku-kuku yang tajam”, ujar Ki Limbubu.
Gumara tak paham kata-kata itu. Atau dia kurang perhatian karena merasa perut lapar, Apalagi
dia tak enak jika Pak Yunus yang mengantarkan makanan rantangan harus menunggu lama di
depan rumahnya. Maka dia pun mengangguk hormat pertanda pamitan.
Maka, ketika dia tiba di pekarangan, dia pun menyatakan maaf pada Pak Yunus. Lalu dia tak
lupa menceritakan bertemu Ki Limbubu.
“Dia juga manusia harimau”, kata Pak Yunus.
“Oh ya”, Gumara agak heran, lalu “Pantas dia mengambil istilah kuku ketika dia mencurigai
penyebab kempisnya ban sepeda saya”.
“Di sini kita tak boleh melukai hati seseorang”, kata Pak Yunus. Ucapan ini membuat Gumara
tak dapat menghabiskan makanan rantangnya. Kini dia tatap lagi rantang yang masih ada isi itu.
Melintas perasaan ganjil yang membuatnya merinding. Yaitu kenangan pada ucapan Pak
Lading Ganda soal peringatan akan diracun.
Lalu Gumara pun ingat pesan ibu, agar di Kumayan menghindari diri daripada makan di warung.
Ah, Gumara pada akhirnya menanakan lagi pesan ibu agar dia selalu berbaik sangka. Adalah
buruk sangka jika menduga makanan rantang itu berisi racun. Tetapi ketika dia lihat sepedanya
yang belum dia tambal itu, Jika betul dugaan Ki Limbubu bahwa kempisnya ban karena torehan
kuku, bagaimana mungkin harus terus berbaik sangka?
Gumara buru-buru menanggalkan ban sepeda itu. Dan memeriksa ban dalamnya. Tampaknya,
melihat koyaknya amat lebar, mungkin saja yang mengoyak ban itu adalah harimau suruhan
lewat kukunya. Tapi, fikir Gumara lagi, daripada dia berburuk sangka, lebih baik ditambalnya
saja ban sepeda itu. Dan dia pun mulai menambal. Setelah selesai dua-duanya ditambalnya,
lalu dipompanya, dia sandarkan kembali sepeda itu pada tiang lunas rumah. Kemudian dia
mencuci pakaian. Dan senja pun tiba dengan cepat. Menjelang malam, muncul Pak Yunus
membawa rantang. Beliau heran makanan tak dihabisi Gumara.
“Kurang enak masakannya?” tanya Pak Yunus.
“Siapa yang memasak?”
“Isteri Pak Tarikh”, sahut Pak Yunus.
Seketika itu juga darah berdesir di dada Gumara. Namun dengan keberanian dan keyakinan
pada mujizad kata bismillah, Gumara melahap juga makanan rantang masakan Bu Tarikh. Dia
merasa tak diliputi firasat buruk. Tetapi pada hari ke lima, bukan saja firasat buruk yang
dirasakan Gumara sehabis makan malam. Gumara muntah. Dan gumpalan-gumpalan darah
segar berhamburan dari mulutnya. Bahkan dadanya sesak. Ketika itu Gumara harus
memutuskan, apakah dia mesti ke Puskesmas ataukah mendatangi Pak Lading Ganda.
Gumara tak ingin pula berburuk sangka. Dia cepat naik sepeda menuju Puskesmas. Dia
mendapat suntikan. Dan darah pun terhenti keluar dari mulutnya.
“Jangan menduga anda diracun orang, Pak Guru”, ujar dokter muda Kadir.
“Saya ke sini adalah bukti saya tak curiga. Kalau tidak, saya tentu ke dukun”, kata Gumara.
“Namun, kemungkinan anda diracun orang iseng pun ada”, ujar dr. Kadir.
Mendengar ucapan dr. Kadir itu pun wajah Gumara tidak berubah. Seolah-olah dia memang
tidak diracun seseorang pun. Lalu dia pamitan pada Dokter muda itu seraya berkata
“Terimakasih, dokter. Anda muda, saya pun muda. Anda bertugas di sini berbakti untuk Peri
Kemanusiaan. Saya pun mengajar di Kumayan ini atas keikhlasan yang bertolak dari dasar Peri
kemanusiaan jua. Tapi, sebelum saya pamit sayaingin bertanya, apakah anda bertugas di sini
sudah cukup lama?”
“Cukupanlah. Tiga tahun persis di bulan depan”.
“Pernahkah Anda diracun orang di sini?”
“Ya, pernah sekali”
“Lalu apa cara Anda mengatasi, dr, Kadir?”
“Saya terpaksa berguru”, ujar dr. Kadir.
“Siapa puru anda?”
“Tuan Putih Kelabu”, ucap sang dokter agak gugup.
“O, dia. Dia termasuk Tujuh Manusia Harimau di sini, bukan?”
Dokter” muda itu tercengang.
“Pak Guru mengetahuinya?” tanyanya.
“Ya”.
“Tetapi di Kumayan ini, termasuk guru saya Putih Kelabu itu, cuma ada Enam Harimau”, lalu
dokter muda itu bertanya “ dari mana ada keterangan di Kumayan ini ada Harimau Tujuh?
Buktinya, pancuran Pemandian Umum di sini pun cuma Enam Pancuran”.
Gumara tersenyum lembut, lalu bertanya “Sulitkah untuk belajar pada Sang Guru Putih
Kelabu?”
“Jika anda rajin membaca, kedalaman ilmunya berdasarkan Kitab. Dan dia tidak pernah
mengandalkan kekuatan fisik. Dia lebih cenderung pada dunia obat-obatan”.
Dr. Kadir lalu menambahkan “Murid anda ada yang anak syah Tuan Putih Kalabu jika saya tak
salah duga”.
“Siapa nama murid saya itu?” tanya Gumara ingin tahu.
Tampaknya sang dokter agak berat menyebut nama itu. Dia cuma berkata “Pokoknya yang
tercantik di kelas, yang namanya aneh”.
Dengan segera Gumara dapat Mengingatnya “O, nama itu memang aneh. Pita Loka.
Rambutnya pun bagus. Memang diakah anak kandung Tuan Guru Putih Kelabu?”
“Betul. Tapi maaf jika saya terpaksa menyebutkan, bahwa si Pita Loka Konon kabarnya sudah
ditaksir orang”.
“Ditaksir orang? Maksud pak dokter sudah bertunangan?” tanya Gumara seolah bernapsu.
“Begitulah menurut pendengaran saya”,”, jawab sang dokter.
“Oh, jika wanita belum bersuami, apalagi belum bertunangan, itu masih berupa bunga di kebun
yang jika Tuhan kehendaki dapat saja dipetik. Tapi harap tuan muda ketahui, saya bukanlah
type lelaki yang mudah jatuh cinta. Oh, sudah banyak obrolan kita. Jadi sekedar mencegah
keracunan, suntikan tadi sudah cukup, bukan?”
“Sudah cukup”, sahut dokter muda itu.
“Terima kasih karena anda menolak pembayaran”, ujar Gumara lalu melambai hormat dan
berlalu menuju rumahnya.
Dan dalam perjalanan pulang ke rumahnya itu, dia dicegat seorang tua di tengah jalan.
“Maaf, Bapak ingin bicara dengan saya?” tanya Gumara sopan, “Saya mau minta api.”
Gumara buru-buru memberikan korek api gas. Setelah menyulut, sebelum sempat Gumara
orangtua itu berlalu.
Yang agak aneh pada perasaan Gumara ketika itu adalah kopiah yang dikenakan orangtua itu.
Warnanya mengingatkan kemungkinan itu. Kopiah itu berwama putih dan berwama kelabu,
Jangan-jangan, dialah Tuan Guru Putih Kelabu.
Setiba di rumah, Gumara masih mencoba mengingat kopiah orangtua tadi. Dan secara tiba-tiba
saja terjadi kejutan.
Pintu terdengar diketuk. Gumara tenang dan membuka pintu. Terdengar salam dan dilihatnya
ada orang membungkukkan tubuh begitu hormatnya “Maafkan saya tadi jika kurang sopan
meminta api rokok, Tuan Gumara”.
“Bapak tentu Tuan Guru Putih Kelabu”, ujar Gumara seraya mempersilahkan masuk.
“Benar”, sahut orangtua itu melangkah sopan.
“Tapi begitu secepat kilat secara mendadak Bapak sudah di sini.
Dengan kendaraan apa Bapak ke sini?” tanya Gumara masih heran.
“Katakanlah dengan angin”, ujar sang Guru.
Gumara bukan orangnya yang sok merahasiakan rasa terkajut. Nafasnya terhempas dan
bibirnya menanya “Berkendaraan angin Pak Guru ke sini? Wah, ilmu anda amat tinggi sekali?”
“Anak muda salah, Yang datang menghadap sebetulnya ilmunya rendah. Saya mendatangi
anda, itu berarti ilmu andalah yang tinggi!”
“Ha? Ilmu saya? Saya cuma Guru Ilmu Matematika, Tuan Guru!”
“Itu bukti ilmu anda tinggi. Anda merendah sampai ke bawah bumi, sehingga saya tak dapat
mengenali anda. Tapi agar saya jangan merasa terjerumus mengagumi anda, saya nyatakan
apa maksud saya menemui Guru Gumara sekarang?”
“Silahkan, Tuan Guru”, ujar Gumara amat sopan.
“Begini! Saya dengar tuan menjadi guru di sini. Di sekolah tempat anda mengajar, di situ ada
anak perempuan saya. Dia masih gadis mentah. Belum punya kematangan.
Karena anda gurunya di sana, saya mohon anda melindungi Pita Loka dari segala
kemungkinan!” Gumara terpelongo beberapa detik.
“Jadi Pita Loka itu puteri Tuan Guru?” tanya Gumara.
“Betul. Dia bandel, jika berkata melukai orang. Jadi ada kemungkinan anakku itu dijahati orang.
Sebelum hal itu terjadi, mohon perlindungan anda, Tuan Guru Gumara”. Begitu santun dan
hormatnya orangtua itu, sampai Gumara terlena di ambang pintu sewaktu melepasnya. Tapi
terlena itu mendadak berubah menjadi terpelongo ketika orangtua itu dalam sekejap mata
hilang berbentuk asap putih kelabu Secepat angin beliung.
Dan sewaktu mengajar di depan kelas, Gumara lebih dahulu bertanya “Siapa di antara kalian di
kelas ini yang paling gemar pada matematika?”
“Wah, itu pertanyaan bohong”, kata seorang murid.
Dan waktu Gumara melihat murid itu, temyata suara jelas itu dari Pita Loka.
“Kamu yang bernama Pita Loka?” tanya Gumara,
“Sudah gaharu cendana pula, sudah tahu bertanya pula”, jawab murid itu.
Memang mulutnya culas dan judes. Gumara hanya tersenyum. Lalu dia mencatat nama muridmurid yang menjadikan pelajaran matematika sebagai mata pelajaran favorit.
Tapi Pita Loka tidak mengacukan telunjuknya.
Sekedar menguji sejauh mana kemampuan murid di sini terhadap mata pelajaran matematika,
Gumara membuat lima soal di papan tulis.
“Wuwwww”, gerutu murid sekelas.
Gumara membalik pada mereka, bertanya “Kenapa berteriak wuuu?”
“Guru baru jangan kejam, Pak!”
“Lho, koq saya dibilang kejam?” Gumara bertanya tertawa.
“Soalnya lima, sulit-sulit lagi”, ujar Pita Loka.
“Buat yang pandai tidak ada yang sulit”.
“Buat yang bodoh seperti saya, tentu itu sulit, Pak”, ujar Pita Loka.
Gumara tertawa menyengir sejenak, lalu tidak dilayaninya lagi ocehan murid itu.
Ketika semua murid menyerahkan jawaban soal, hanya Pita Loka yang menyerahkan kertas
tanpa jawaban soal. Yang ditulis cuma salinan soal dari papan tulis belaka.
Malahan, setelah salinan soal no. 5, Pita Loka menulis kalimat
KARENA GURU LEBIH PANDAI DARI MURID, SEBAIKNYA LIMA SOAL INI DIJAWAB OLEH
PAK GURU SAJA. Pita Loka ...
Gumara ternyata bukan guru sembarangan. Setelah membaca itu, dia peragakan kertas itu ke
hadapan murid-murid itu, disertai tanya “Siapa Pita Loka yang cukup sok ini?”
“Saya, Pak Guru” jawab gadis itu.
“Oh kamu, ya. Saya minta kamu beristirahat di luar kelas saja”, ucap Gumara cukup lembut,
tapi tegas.
Seketika kelas pun hening. Wajah Pita Loka merah padam karena dlanggapnya dirinya
dipermalukan guru baru itu. Tapi dia pun cukup tabah, Dia merentak berdiri, lalu melangkah
dengan masgul meninggalkan kelas. Seperginya, Gumara berkata penuh wibawa “Harap kamu
ketahui, setiap pekerjaan bersama, butuh pimpinan. Begitupun belajar, adalah pekerjaan
bersama. Guru, dalam hal ini saya, jadi pimpinan. Jadi setiap yang menciptakan hilangnya
wibawa dalam satu pekerjaan bersama, dianggap melanggar konsensus, dan dia berhak
menerima perintah agar minggir. Jelas oleh kalian?”
Murid-murid semuanya terdiam.
Murid-murid kelas yang terdiam itu mendadak menjerit. Karena mereka melihat Pak Guru
Gumara muntah. Lalu bergumpal darah pun turut dimuntahnya.
“Pak Guru muntah darah!” teriak di antara mereka. Pita Loka mendengar juga suara itu. Lalu
dia menjenguk ke dalam. Bahkan dia juga mendengar suara sumbang dalam kelasnya “Wah,
Pak Guru dikerjain oleh Pita Loka”. Mendadak saja suara gumam dugaan itu terhenti karena
terdengar bentakan seorang gadis yang baru masuk ke kelas itu, dari kelas lain “Kalian jangan
menyebar fitnah!”
“Hai, Harwati!” seru Pita Loka yang meloncat masuk kelas.
Pak Guru Gumara masih mengurut dadanya yang dirasanya terbakar, untuk mengurangi darah
yang meleleh dari bibirnya.
“Saya jadi terkena fitnah, Wati”, kata Pita Loka. Tetapi Harwati rupanya tidak menjawab. Dia
sedang berkonsentrasi dengan menyerap saringan napas, Tiap serapan yang dilakukannya,
Gumara merasa napasnya teratur. Dan panas yang membakar dada berkurang. Harwati terus
bagai orang bersemedi dengan kedua tangan bersilang di dada.
Rupanya Harwati membuat bejana abstrak antara pernapasan Gumara dengan pernapasannya.
Lalu, puncaknya yang menegangkan semua orang, adalah sikap Harwati yang tenang
meniupkan napasnya keluar mulut. Terciptalah pemandangan aneh mengagumkan. Dari
mulutnya keluarlah gelembung-gelembung merah jambu bagai gelembung sabun. Tiap
gelembung itu menabrak dinding dan pecah di sana, tampaklah bercik merah muda itu menjadi
semacam percikan darah.
Pada puncak yang paling menegangkan, ketika Harwati menghembuskan gelembung terakhir,
bukan gelembung lagi yang terlempar dari mulutnya. Melainkan segumpal darah beku.
Baru setelah itu dia berkata; “Tolong berikan padaku segelas air putih”. Beberapa murid
bersibuk diri mendapatkan segelas air putih dari warung depan sekotah. Lalu Harwati
berkumur-kumur dengan air itu. Setelah itu barulah ada gema pembicaraan dari murid ke murid,
guru ke guru, dan juga Kepala Sekolah.
Pita Loka terkagum-kagum, lalu duduk di bangkunya, Gumara berkata pada Wati, “Terimakasih
atas bantuanmu, Dadaku kini lapang”.
Betapa gembira hati Harwati oleh ucapan itu. Wajahnya tak dapat menyembunyikan rasa
bangga dan bahagia. Matanya melirik pada Pak Guru Gumara dengan lirikan getaran asmara,
Lalu
“Kembalilah kamu ke kelasmu”, ujar Gumara.
Harwati kembali ke kelasnya. Gumara kembali berdiri menghadapi muridnya. Dia menatap
pada Pita Loka. Kelas tegang sejenak, begitu pun Pita Loka.
“Bapak curiga pada saya?” Pita Loka bertanya dengan nada cemas.
“Kamu begitu manis, tak mungkin melakukan hal yang kecil”, jawab Gumara.
Mendengar itu Pita Loka tersenyum ceria . Dia mengacukan telunjuk. Gumara heran.
Bertanya
“Mau apa kamu, Pita Loka?” tanya sang guru,
“Saya mohon dapat menjawab lima soal Bapak di papan tulis”, ujar Pita Loka.
Gumara tercengang. Dia melihat ke papan tulis di mana tertera lima soal yang dibuatnya untuk
seluruh murid, tapi yang tak dikerjakan Pita Loka.
“Silahkan ke depan”, ujar Gumara.
Pita Loka mengambil sebatang kapur tulis. Dengan cepat dikerjakan satu demi satu soal
matematika itu. Seluruhnya diselesaikannya dalam lima menit saja, Gumara tercengang dan
berseru “Wah, kamu anak genius!”
“Semua soal betul jawabannya”, tambah sang guru dengan nada kagum. Mendengar pujian itu,
Pita Loka kelihatan berbinar-binar matanya. Dan dengan malu-malu dia berkata bernada renyai,
“Tapi sepandai-pandai saya, tentu lebih pandai Pak Guru”.
“Ayahmu Tuan Guru Putih Kelabu, ya?” tanya Gumara.
“Koq Bapak tahu?” tanya Pita Loka senang.
“Saya tahu”, ujar sang guru.
Murid yang cantik itu tampak senang sembari memperbaiki bagian depan rambutnya. Karena
diperhatikan seluruh biji mata di kelas, gadis inipun jadi salah tingkah. Lalu dia berkata
“Maafkan kesalahan saya tadi sampai saya diusir. Tapi Pak. karena kebetulan Bapak saya Ki
Putih Kelabu, harap Bapak dan teman-teman sokelas ini jangan lagi mencurigai bahwa muntah
darah Bapak tadi karena perbuatan saya. Saya memang berilmu. Tapi ilmu matematika. Ilmu
akal. Bukan ilmu akal-akalan”.
“Percayalah, Bapak dan teman-temanmu tak mencurigaimu, Pita Loka dan selanjutnya marilah
kita lanjutkan pelajaran dengan rumus baru”, ujar Gumara.
Lalu ketika jam istirahat tiba, muncullah pembicaraan di emper-emper sekolah itu pertaruhan
dan spekulasi.
“Aku bertaruh, Pita Loka yang nantinya jadi isteri Pak Gumara”, ujar seorang gadis.
“O, tak mungkin. Harwati yang akan jadi tunangannya”.
“Apa alasanmu, Rika?”
“Alasanku berdasarkan budi baik. Orang Indonesia itu, betapapun tinggi derajat atau
kesombongannya, masih bertolak pada budi baik. Dan orang Indonesia termasuk penduduk
bumi yang suka membalas budi. Bukankah ketika Pak Gumara muntah darah, yang
menolongnya sembuh adalah Harwati? Tentu Pak Gumara suatu saat akan membalas budi itu,
dan yang terkekal adalah melamarnya?”
Setelah Rika menjelaskan alasannya, temannya Dina menangkis pula “Tapi taruhlah Pak
Gumara ingin membalas budi. Apakah harus selalu dengan Cinta?”
“Pembalasan budi yang terbaik adalah memilih balasan yang terbaik dari semua yang baik.
Yang terbaik balasannya adalah jalinan kasih melalui cinta”, ujar Rika.
“Tapi Pak Gumara tampaknya jenis lelaki yang berbeda”, kata Dina.
“Berbeda bagaimana?” tanya Rika.
“Istimewa. Kulihat dia tidak begitu kagum dengan pengobatan Harwati. Reaksi wajahnya wajarwajar saja. Tetapi ketika dilihatnya Pita Loka menyelesaikan lima soal dalam lima menit saja,
wajah Pak Gumara bersinar berbinar-binar. Kagum dan tercengang. Ini bisa membuat bibit
asmara”.
Beberapa cewek bertepuk tangan atas analisa Dina. Rika sediri pun terecengang. Memang
penduduk Kumayan telah diwarisi sikap budaya yang merupakan paduan tehnologi dan cara
berfikir maju bersamaan dengan tradisi kuno yang dipelihara, termasuk ilmu-ilmu ghaib.
Remajanya paling suka menganalisa sesuatu secara rasional, namun tetap pula menghargai
yang tradisional tapi yang belum terpecahkan oleh tehnologi dan ilmu mutakhir, seperti ilmuilmu ghaib dan soal paranormal.
Rika lalu berdebat; “Aku melihat, dan mendengar sendiri, bahwa Harwati menaruh cinta
pertama lewat pandangan pertama pada Pak Gumara”.
“Lalu kamu bikin kesimpulan Harwati bisa menarik simpati?”
Dina mendebat, dan melanjutkan debatnya “Lalu dengan demikian kamu beranggapan bahwa
Harwati dengan mudah bisa mencantol Pak Gumara?”
“Hai, aku koq jadi bahan gunjingan?” mendadak muncul saja Harwati ke kelompok itu bersama
Pita Loka.
“Kurasa akulah yang bisa mencantol Pak Guru”, ujar Pita Loka. Ucapan Pita Loka ini
mengagetkan Harwati. Telinganya merah padam seakan disengat kala. Harwati melirik pada
Pita Loka dan berkata “Kamu memang yang tercantik, Pita Loka. Tetapi dalam soal cantol
menyantol itu ada faktor nasib”.
“Wah Nasib? Apa itu ada rumusnya?” tanya Pita Loka.
“Rumusnya di tangan Tuhan”, jawab Harwati.
“Jawabmu itu tidak ilmiah”, kata Pita Loka.
“Tapi cantol menyantol dan sejenisnya yang bernama cinta itu “kan masuk dalam klasifikasi
jodoh”, ucap Harwati.
“Jadi kamu akan memojokkan saya, yang pada akhirnya tiba kita pada dogma, bahwa jodoh,
langkah, rejeki dan maut ada di tangan Tuhan?” debat Pita Loka.
Dina dan Rika memperhatikan dengan tekun perdebatan itu, terlebih murid lain yang ber-IQ
rendah. Tampaknya Harwati terdesak, lalu berkata “Di atas kertas memang kamu yang paling
mendapat simpati Pak Guru. Karena kamu Jagoan matematika. Karena kamu cantik. Karena
kamu puteri Tuan Guru Terpandang, Putih Kelabu yang bijak bestari. Tetapi dari fihakku sudah
terekam sejarah, Yaitu kepada siapa pertama kali Pak Guru menghadap manusia di Kumayan
ini. Ya, semua tahu dia menghadap Ki Karat, kendati dia dijuluki Harimau Komersil dari yang iri
hati. Bukankah kau sendiri ketika kita bertengkar dulu menyebutku dengan ejekan Puteri
Harimau Komersil? Ingat?”
“Wah, sorry. Ini bukan debat sehat lagi. Unsur emosi sudah terlibat. Jadi saya mundur dari
pembicaraan”, kata Pita Loka lalu meninggalkan teman-teman gadis sebaya, masuk ke dalam
kelas.
“Aku pendukungmu”, ujar Rika memegang bahu Harwati,
“Dan aku pendukung Pita Loka”, kata Dina.
“Wajar, karena di kelasmu engkau juara matematika juga”, tuding Harwati dengan tertawa
renyai.
Setelah itu kelompok itu membubarkan diri sebab lonceng masuk kelas sudah berbunyi. Tetapi
di dalam kelas, Harwati tampak begitu gelisah. Seakan hatinya tak sabaran lagi menanti Pak
Gumara masuk mengajar di kelasnya.
Gumara memasuki kelas Harwati dengan senyum yang lega. Tentu hal ini membuat Harwati
senang, Tetapi dia benar-benar merasa risau karena sudah pasti Pak Gumara terkena racun.
Kebetulan Pak Gumara memberikan soalan matematika yang musti diselesaikan dalam kelas.
Jadi Pak Gumara harus berkeliling dari bangku-kebangku. Untuk memperhatikan apa yang
diperbuat setiap murid. Pada giliran Pak Gumarasampai ke bangku Harwati, Harwati bertanya
“Apa setelah maghrib Bapak ada waktu ke mmah saya?” Gumara agak kaget. Dia bertanya
“Untuk keperluan apa?”
“Ya, siapa tahu ada yang dapat Bapak bicarakan dengan Ayahku”, ujar Harwati.
Gumara segera faham. Harwati adalah puteri Lebai Karat, seorang guru yang disegani di
Kumayan.
“Saya rasa, saya memang perlu datang”, ujar Gumara.
“Terimakasih, Pak”, ujar gadis itu.
Gumara pulang dari mengajar dengan pikiran tenang, Ketika Yunus tiba membawa makanan
rantang, Gumara bertanya; “Pak Yunus. Sayaingin bertanya. Sebagai penduduk baru di
Kumayan ini, apa kedatangan saya melukai hati Pak Tarikh?”
“Melukai hati?” tanya Pak Yunus heran.
“Lebih baik Pak Yunus tidak menyembunyikan sesuatu. Tiap Pak Yunus membawa makanan
ke sini, apakah Bapak tak pernah curiga?”
“Curiga bagaimana?” tanya Yunus.
“Bahwa makanan itu berisi racun?” tanya Gumara.
Mata Gumara dengan tajam menatap pada Pak Yunus.
“Anda mungkin belum mengenal saya”, ujar Gumara.
“Jangan tuduh saya menjadi perantara si pemberi racun. Saya cuma membawa makanan
rantang. Tapi tak pernah berfikir bahwa makanan yang saya bawa ini diberi racun oleh ibu atau
Pak Tarikh”.
“Tadi siang saya muntah darah di depan kelas”, ujar Gumara.
Yunus terdiam, tapi dia ketakutan.
“Kalau begitu sebaiknya masakan yang saya bawa ini jangan Pak Guru makan lagi”, kata
Yunus,
“Wah, itu tindakan tidak terpuji”, Ujar Gumara.
“Daripada anda mati terkena racun? Bukankah itu perbuatan tolol ?”
“Biarkan makanan rantang ini dikirimi terus.
Tapi ... “, Gumara mengambil rantang demi rantang. Lalu dia berkata “Mari ikuti saya!”
Pak Yunus mengikuti Gumara menuju kamar mandi. Dan dia terpelongo ketika Gumara
membuang makanan itu. Terlebih kaget lagi ketika Gumara didengarnya berkata geram
“Makanan dari setan, sebaiknya untuk setan”.
Lalu makanan yang sudah ditumpah ke lantai kamar mandi itu disiram Gumara “Siapa yang
belum kenal siapa Gumara Peto Alam mestilah menganggap dia leceh. Tapi aku pernah
digelari ibuku sipahit lidah”.
Dengan meludahi bekas-bekas makanan itu, Gumara berkata geram; “Kembali pada yang
mengirimkan”
Ia meludah lagi “Semoga pahit terus lidahku!”
Ucapan Gumara bagaikan angin taufan yang dapat merubuhkan raksasa dalam sedetik. Pada
detik itu pula, Bu Tarikh jatuh terpeleset di kamar mandi. Dia bagaikan orang kemasukan. Dia
menggelepar. Pak Tarikh datang. Lalu menggotong isterinya masuk ke kamar tidur.
Wanita itu mengigau “Aku melihat raja harimau ketika masuk kamar mandi!”
“Ha?” Tarikh melotot
“Raja Harimau!” teriak bu Tarikh.
“Tentu kamu lagi diteluh oleh si Lebai Karat!”
“Bukan! Bukan Lebai Karat!”
“Siapa? Lading Ganda?” desak Tarikh.
“Harimau yang tidak kukenal di sini. Harimau perkasa!”
Pak Tarikh mencoba memikirkan sesuatu.
Tiba-tiba dia melotot melihat isterinya muntah darah.
Lelaki itu serentak berteriak “Kau muntah darah! Kau diracun orang!”
Wanita itu menangis terus, dan menggugu-gugu. Lalu dalam keadaan tak sadarkan diri dia
berkata “Tolong panggilkan Guru Peto Alam”.
“Siapa itu? Siapa Guru Peto Alam?” tanya Pak Tarikh.
“Yang mengajar matematika, guru baru!”
“Gumara?” tanya Tarikh lebih tercengang.
“Cepat panggilkan sebelum aku mati. Dialah harimau raksasa itu! Cepat, cepat, cepattttt!”,
Darah kental terus meleleh, sementara Pak Tarikh dengan naik sepeda cepat menuju rumah
Gumara. Ia cuma menemukan Pak Yunus yang berada di rumah itu.
“Dia sedang pergi”, kata Yunus.
“Kemana?”
“Entah”.
Pak Tarikh jadi kebingungan.
Ki Lebai Karat menatap tajam pada mata Gumara “Anda sebaiknya segera pulang. Aku tahu,
ada seseorang yang membutuhkan kau, Peto Alam.
“Membutuhkan saya, Pak?”
“Ya. Dia dalam keadaan sekarat”.
“Siapa dia?” tanya Gumara heran.
“Seorang wanita”.
“Wanita?”
“Jika kau tidak segera menemuinya, dia akan mati”, ujar Ki Karat.
Gumara tenang bertanya “Katakan pada saya nama wanita itu !”
“Kau tau”.
“Tidak, Pak. Demi Tuhan saya tak kenal”.
Ki Lebai Karat hanya tersenyum ramah. Lalu dibelainya kepala Gumara seraya berkata; “Peto
Alam. Kau cepat saja meninggalkan tempat ini, Isteri si Tarikh sedang sekarat membutuhkan
kau. Kukatakan untuk kedua kalinya, jika kau tak segera menolongnya, dia mati. Nanti kau
berdosa, nak!”
Harwati berada di pintu, berusaha mencegat Gumara sewaktu Gumara akan keluar. Tapi tak
sempat dia mengucapkan sepotong katapun. Malah dia ternganga melihat Gumara meloncat
dan berlari secepat kilat bagaikan angin limbubu!
Dan bagaikan angin limbubu sepertinya Gumara menerjang pohon-pohon kecil yang
berpatahan. Konsentrasi Gumara yang hebat telah mengalahkan seluruh jurang kecil maupun
sungai kecil yang dia lompati, demi tertolongnya nyawa Bu Tarikh.
Aneh sekali, ketika Gumara memasuki rumah Tarikh, wanita yang tak sadar dan muntah darah
itu berteriak, bagai mengenalnya “Peto Alam, tolong hentikan muntahku”.
Gumara heran, dan tak tahu menahu bagaimana caranya. Sebab dia bukan dukun. Dia cuma
memekap mulut wanita itu. Lalu wanita itu menggelepar. Tetapi kemudian setelah Gumara
melihat wanita itu sudah sadarkan diri, pekapan telapak tangannya pada mulut Bu Tarikh
dilepasnya.
Darah tak keluar lagi. Bu Tarikh lalu duduk bersimpuh. Dia melihat Gumara berdiri, tapi
dijambanya kaki lelaki muda itu, seraya bersembah; “Ampuni kesalahan saya. Hampir saja saya
mati konyol, Peto Alam”.
Semua yang menyaksikan kejadian itu tercengang. Mereka bergumam. Tapi Gumara kemudian
berkata; “Tolong buatkan makanan yang lebih enak besok ya Bu Tarikh?” Pak Tarikh lalu
menoleh pada isterinya. Ada bahasa rahasia antara kedua suami isteri itu, tanpa berkata
sepatahpun.
Seperginya Gumara, Pak Tarikh memberitahu pada tetangga-tetangga yang menengok
kejadian seram tadi “Maaf, mungkin kalian semua sudah lelah, dan isteriku pun lelah”.
Semua tamu pulang. Sepulangnya mereka Pak Tarikh berkata pada isterinya, “Ternyata kau
lebih dulu dari saya”.
“Aku menyesal telah meracuni dia”, kata Bu Tarikh.
“Sekarang tahulah kita, dia bukan sembarang manusia. Jangan-jangan dia memiliki ilmu
Harimau Juga”, kata Pak Tarikh.
Sementara itu Gumara telah tiba di rumah.
Pak Yunus bertanya “Sempat bertemu dengan Lebai Karat?”
“Sempat”, sahut Gumara membuka jacketriya.
“Lalu, besok makanan rantang kita minta pada orang lain?”
“Jangan. Itu akan menyinggung perasaan. Tetap saja minta makanan rantang dari Bu Tarikh”.
Yunus melongo sesaat, lalu dia pamitan.
Dan Gumara kemudian menggeletak di balai-balai. Kedua telapak tangannya dijadikan bantalan.
Ketika itu dia seakan berbicara dengan dirinya sendiri “Aku datang ke Kumayan ini untuk
kebaikan. Kenapa aku disambut dengan kejahatan berturut-turut”.
Dan pagi harinya Gumara kaget sekali mendengar suara ketukan pintu yang agak keras. Ketika
dia buka, dilihatnya Pita Loka yang cantik sudah berdiri di depan pintu. Gadis itu bertanya “Pagi
ini Bapak tidak mengajar?”
“Pagi ini tidak”, ujar Gumara.
“Jam berapa Bapak mengajar?”
“Jam sepuluh”.
Dan barusan saja Pita Loka akan pamit, muncul pula Harwati. Harwati menyapa Pita Loka. lalu
dia bertanya pada Gumara; “Berhasilkah pak Guru tadi malam?”
“Berhasil. Tapi aku bukan dukun. Aku hanya menuruti perintah Ayahmu saja, Wati”.
Ucapan itu menjadi tanda tanya bagi Pita Loka, yang masih sempat mendengar seraya keluar
dari pekarangan. Maka ditunggunya Harwati di pekarangan. Tetapi sampai dekat lonceng
masuk kelas pelajaran pertama berbunyi, Pita Loka belum melihat Harwati muncul. Perasaan
cemburunya pun berkobar.
Dan rupanya, persaingan antara Harwati dan Pita Loka tidak dapat dirahasiakan lagi. Bahkan
hal ini sampai ke telinga Ki Putih Kelabu, ayah Pita Loka. Ayah yang bijak itu memanggil Pita
Loka ketika gadis ini pulang dari sekolah.
“Saya gembira dan karena itu ingin bicara denganmu, nak”, ujar sang Ayah.
“Gembira karena apa, Ayah? Dan bicara tentang apa?” tanya Pita Loka.
“Saya gembira karena mendengar kau jatuh hati pada Guru Gumara”.
“Hmmm”.
“Dan saya ingin bicara tentang itu, nak.”
Sang Ayah memilin-milin Jenggotnya. Dia sebenarnya gemetaran. Tapi dia memaksakan diri
juga untuk berkata “Segembira-gembira seorang ayah, tetapi jika ada sesuatu yang kurang
wajar, perlu dikatakan juga, Pita Loka”
“Katakan saja. Jangan bicara bertele-tele”, kata Pita Loka.
“Kau . . . akan sia-sia, Pita Loka!”
“Saya akan berhasil. Berhasil menyantol Pak Guru Gumara”, ujar gadis itu dengan nada ketus.
“Nanti kau akan kecewa”, kata Ki Putih Kelabu.
“Dari sudut apa ayah berkesimpulan begitu?”
“Dari sudut ilmuku, tentu”.
“Ilmu ayah itu tidak rasional. Tapi alasan saya pasti masuk akal. Pak Gumara akan terpikat
pada saya, sebab saya menyenangi ilmu Matematika. Dan dia selalu kagum jika ada soal saya
cepat menjawabnya”.
“Itu sajakah alasanmu?” tanya Ki Putih Kelabu.
“Alasan lain adalah karena saya lebih cantik dari Harwati. Semua teman bilang begitu”.
“Tapi saya tetap gembira, karena kamu selalu punya keyakinan teguh berdasarkan otak
encermu itu. Namun ada kenyataan lain yang tidak dapat kau bantah. Tahukah kau, sejak dia
berada di Kumayan ini tidak seorang pun guru-guru yang dia datangi rumahnya, kecuali Ki
Lebai Karat?
Dia guru besar, memang itu wajar. Tapi aku tahu, Harwati lebih gesit mengajak Gumara ke
rumahnya dengan alasan berhubungan dengan ayahnya. Dalam matematika kamu memang
hebat, tapi dalam hal siasat Harwati lebih hebat”, Pita Loka hanya tersenyum sinis. Lalu berkata
gagah “Saya tidak sudi numpang bercinta dengan nama besar ayahku. Harwati menumpang
dengan nama besar Ki Lebai Karat. Saya ingin berjuang sendirian, tanpa bantuan. Tapi Harwati
juga berjuang mau merebut Gumara dengan bantuan ayah”,
“Dan dia akan menang”, ujar Ki Putih Kelabu.
“Huh! Pak Guru tidak pernah kagum pada seseorang yang nebeng dengan kebesaran ayahnya.
Dia kagum padaku, aku yakini itu!” ujar Pita Loka tandas. Hal ini membuat Ki Putih Kelabu
penasaran. Tengah malam dia duduk bersila menyatukan konsentrasi. Lalu dia menjelma
menjadi seekor harimau. Dan dia menyelinap keluar rumah secara rahasia. Keluar masuk
kebun jeruk dan kebun pisang, di tengah malam itu Ki Putih Kelabu sampai juga ke pekarangan
rumah Gumara.
Gumara sedang tidur pulas, Tapi kepulasannya terganggu oleh suatu bau yang amis. Bau
bangkai! Dia menyelidiki keadaan sekeliling.
Lalu dia membuka pintu.
Gumara tersentak sejenak begitu melihat seekor harimau bersimpuh tepat di depan tangga
rumahnya ia tahu, itu bukan harimau sejati, tapi harimau jadi-jadian. Dan ia yakin, ini salah
seekor dari harimau-harimau Kumayan yang sakti. Ia berkata pada harimau itu dalam bahasa
manusia “Silahkan bertamu, tuan. Tapi jika tuan memasuki rumahku ini, harap tuan menjelma
jadi manusia biasa saja”. Gumara sengaja meninggalkan pintu masuk ke dalam, lalu dia duduk
menanti. Lalu kedengaran pintu berciut. Gumara mendongak menatap, Tampak olehnya lelaki
tua berjenggot dan Gumara amat kagum melihat kebersihan wajah lelaki tua itu.
“Anda belum mengenal siapa saya”, ujar Ki Putih Kelabu.
“Saya mengenal tuan, Bukankah tuan adalah Ki Putih Kelabu, ayah Pita Loka yang pintar
matematika?”
“Betul”.
“Tentu ada keperluan penting maka tuan di tengah malam ke sini”.
“Betul. Saya ingin membicarakan sesuatu. Sesuatu yang penting bagi diri saya, keluarga saya
maupun keturunan saya”, ujar Ki Putih Kelabu.
“Saya kira ada baiknya tuan bicara terus terang”, kata Gumara.
“Baiklah. Kami dari keturunan baik-baik dan karena itu ingin menjalin darah dengan keturunan
yang baik pula. Maksud saya, sebelum didahului orang lain, ada baiknya saya mendahului.
Secara ringkas, saya ingin agar nak Gumara Peto Alam segera saja bertunangan dengan anak
saya Pita Loka. Saya kuatir, saya memiliki saingan berat, puteri Ki Lebai Karat yang konon
menaruh hati pada anda”.
Gumara mencoba tersenyum. Kendati senyumnya pahit. Dan kepahitan senyum itu dirasakan
oleh Ki Putih Kelabu. Orangtua itu mulai merasatak enak badan. Dia menjadi rikuh. Apalagi
Gumara hanya berdiam diri saja.
Ki Putih Kelabu mencoba menatap mata Gumara. Dia mencoba mengukur sampai di mana ilmu
ghaib yang dimiliki Gumara.
Dan dengan memberanikan diri, Ki Putih Kelabu bertanya
“Anda menolak?”
Gumara hanya berdiam diri. Dia mencoba tersenyum lagi. Tapi pahit lagi! Dan Ki Putih Kelabu
seketika menjadi malu. Dia bertanya dengan menahan malu
“Jadi anda telah ada pilihan?”
“Belum!”
“Anda jangan berdustal”
“Jangan marah, pak. Kita baik-baik saja. Saya tidak berdusta, dan saya memang belum ada
pilihan”, kata Gumara, tenang.
Ki Putih Kelabu mulai geram. Terdengar dengus nafasnya yang sesak, nafas harimau!
“Puteri tuan, Pita Loka, rasanya belum patut diperisteri. Baik oleh saya, maupun oleh lelaki lain.
Dia terlalu muda”, kata Gumara.
“Anda hanya berkilah, Peto A/am!” Aku ingin menguji, sampai mana batas maluku!” suara Ki
Putih Kelabu menjadi tambah geram.
“Tuan jangan tantang aku berkelahi, Ki Putih Kelabu!” ujar Gumara, “Aku tak pandai berkelahi.
Aku hanya guru matematika”.
Tapi ucapan Gumara yang sabar, bukan menjadi air si dingin. Malah ucapan Gumara dianggap
air mendidih yang disiramkan ke mukanya. Ki Putih Kelabu dengan secepat kilat meloncat dan
tubuhnya langsung berubah menjadi seekor harimau.
“Pulanglah anda!” pinta Gumara.
Tetapi harimau itu menggeram dengan bengis. Dengan satu gerak mundur, dia lalu meloncat
ke depan menerkam Gumara.
Gumara mencoba menangkis dengan tendangan sembari jatuh miring. tendangan itu agaknya
begitu hebat, sehingga darah bercucuran dari tulang rusuk sang harimau. Harimau itu tetap
saja menghambur deras, menerkam Gumara. Tetapi Gumara mengibaskan lengan untuk
mengelak, sehingga sang lawan tersungkur setelah menghajar sebuah kursi sampai hancur.
Gumara tegak tegap menanti.
Dia berharap si tua itu kapok. Dia menghirup nafas sejenak, dan hampir saja lengah. Satu
tubrukan ditangkisnya dengan tinju. Tepat mengenai dada harimau itu sebelum cakarnya
mengenai muka Gumara.
Rupanya tinju itu begitu ampuh.
Terdengar suara hentakan nafas dari mulut harimau itu menjelang dia jatuh tertelentang.
Gumara tidak ingin melayaninya lagi. Gumara langsung ke kamar mandi. Dia handuki
keringatnya. Keringatnya menetes lagi. Dia berhanduk lagi! Dan kemudian dia melihat pada jam
dinding. Wah, satu jam kami telah berkelahi. Tapi rupanya perkelahian sedemikian hebat dan
cepatnya. Keringatnya dihapusnya lagi dan dipungutnya pecahan kursi tadi, sembari melirik ke
tubuh yang terlentang di lantai itu. Dan tubuh itu bukan tubuh harimau iagi. Tetapi tubuh lelaki
tua, Ki Putih Kelabu.
Jidatnya berbekas lima garis yang masih menetes luka.
Rusuk bajunya robek dan dari sana tampak juga darah.
Gumara kasihan juga padanya. Dalam keadaan si tua pingsan itu, Gumara mendekapkan
telapak tangan pada luka di jidat dan di perut. Hingga keringlah seketika.
Lalu Ki Putih Kelabu siuman dari pingsan. Dan bangun dengan meringis. Dia memegang
dadanya, Gumara berkata, “Pak, coba buka pakaian tuan. Tadi saya tinju dada tuan”.
Ki Putih Kelabu membuka pakaiannya. Tampak bekas tinju Gumara membiru di dadanya. Lalu
Gumara melekatkan jempol jari ke langit-langit mulut. Lumeran dari langit-langit mulut itu
digosokkan Gumara ke dada yang biru itu. Ki Putih Kelabu meringis, Gumara berkata,
“Tahankan sebentar”, lalu dia barut dengan jempol jarinya ke bekas tinju yang membiru itu.
“Aku ingin berguru padamu, Peto Alam”, ujar Ki Putih Kelabu.
“Cukup puteri anda saja yang berguru matematika pada saya”, sahut Gumara.
“Di mana kamu belajr ilmu macanan begitu hebatnya?” ujar Pak Tua.
“Belajar? Saya tak pernah belajar kecuali untuk menjadi guru sekolah SMP saja”.
“Luar biasa!” ujar Ki Putih Kelabu.
“Ah, saya cuma orang biasa saja”.
Setelah mohon maaf pada Gumara, Ki Putih Kelabu pun pulang. Dia melihat wajahnya di
cermin, Bekas cakaran layaknya! Juga di perut bekas cakaran macan juga! Ha?
Dan rupanya, perkelahian seru yang satu jam malam itu, membuat Ki Putih Kelabu lelah sekali.
Dia tidur menggeletak begitu saja bagaikan orang mati, sampai tiba waktunya subuh.
Betapa terkejutnya Pita Loka sewaktu kembali dari surau, mendapatkan ayahnya ketiduran. Dia
kasihan melihat sang ayah bagai lelaki tua tidak diurus sepertinya! Diciumnya kening sang ayah
dengan sayang. Tapi dia amat terkejut melihat bekas guratan luka yang mengering!
“Ayah!”
“Apa Pita?”
“Ini bekas luka?”
Lalu diguncangnya sang ayah dengan kesal. Tapi Ki Putih Kelabu pun kesal pula sebab
letihnya belum hilang.
“Ini di jidat ayah semacam bekas cakaran yang mengering, apa ayah kembali berkelahi dengan
Ki Lebai Karat?” tanya Pita Loka.
“Bukan”, sahut Ki Putih Kelabu.
“Ayah jangan berdusta!”
“Sungguh bukan, Pita. ini cuma perkelahian dengan harimau biasa. Aku tadi malam ingin
berlatih silat lagi, lalu kuundang si Mantege”.
Setelah menyiapkan sarapan pagi dengan kopi daun (kopi daun adalah ternikmat bagi pewaris
ilmu harimau . . . maka Pita Loka menyelidiki lagi bekas luka di kening itu.
“Itu bukan bekas cakaran harimau, pasti cakaran Ketua Harimau. Rupanya ayah ingin
membuktikan diri lebih hebat dari Ki Karat, ya?”
“Lagi-lagi kau sebut lagi nama Ki Karat! Kau kira ia pantas kulawan untuk menggertak dia?
Untuk membuktikan padanya, bahwa jika aku menang dari Ki Karat lantas kau patut jadi isteri
Gumara?”
“Ayah harimau tua yang konyol”, Pita Loka menggerutu.
“Sebentar, Pita!” ujar Ki Putih Kelabu geram.
“Aku mau menyiapkan buku-buku pelajaran”, Pita Loka tak acuh.
Ki Putih Kelabu mendatangi puterinya tercinta. Dibelainya rambut Pita Loka yang sedang
berkaca di kaca hias antik itu, lalu bertanya “Kaukira kamu begitu cantik dari Harwati, sehingga
Gumara Peto Alam bisa tergiur padamu?”
Mendengar ucapan ayahnya itu, Pita Loka berkata geram “Yang jelas, saya tidak membutuhkan
dukungan ayah dalam bersaing dengan Harwati !”
Dan Pita Loka mengulangi kemba!i kejengkelannya “Ayah konyol”.
Ki Putih Kelabu meninggalkan puterinya menuju ruang tengah. Sembari tegak dia menikmati
kopi daun. Dia berkata “Semoga kamu dengar, Ki Karat bukan sainganku. Tapi pasti, Harwati
sainganmu. Kau tidak memiliki kelebihan apa-apa dari sainganmu”.
Ucapan itu didengar Pita Loka yang sedang bersisir. Gadis itu melempar sisir ke tempat tidur.
Dia melangkah jantan mendekati sang ayah lalu membalas “Harwati tidak pantas jadi saingan
saya”.
“Kau mengira Gumara mencintaimu, ya nak?” tanya sang ayah bernada sedih.
“Ya”.
“Kalau ya, potong semua kuku-kuku harimauku”, ujar Ki Putih Kelabu.
“Kenapa ayah begini pesimis? Tak layak seorang jagoan di antara enam jagoan Kumayan ini
untuk berkata demikian!” ujar Pita Loka.
“Kini di Kumayan bukannya enam jagoan lagi yang menjadi pagar kejantanan. Kini di Kumayan
telah ada tujuh jagoan, anakku!”
“Tujuh?” tanya Pita Loka heran.
“Betul, tujuh. Yang ketujuh itu adalah Gumara Peto Alam”.
Mendengar itu, Pita Loka tersenyum menyeringai. Hatinya begitu yakin ketika berkata “Tidak
pernah saya dengar, jagoan yang berilmu tinggi pantas terkena racun sampai muntah darah”.
“Itu aku tahu. Aku sudah faham mendengar laporanmu ketika Gumara muntah darah di dalam
kelas. Lalu Harwati yang mengobatinya dengan ilmu warisan ayahnya yang hebat. Tapi siapa
tahu itu cuma siasat saja? Untuk mengelabui anggapan enam harimau Kumayan lainnya? Baru
terbukti dia bukan jagoan ilmu ghaib jika dia mati diracun!”
Pita Loka mencoba mencerca analisa ayahnya. Baru dia berkata kemudian dengan nada pasti
“Dia lebih menyukai ilmu matematika ketimbang ilmu ghaib yang tidak masuk akal itu. Dia
bukan tampang manusia yang gemar berkelahi. Dia lebih pantas untuk dicintai daripada untuk
dilawan, ayah!”
“Soal begitu, aku tak usah kau ajari, anakku! Akulah yang pantas mengajari kamu. bahwa
Jagoan yang menyamar lebih berbahaya daripada yang suka pamer kekuatan. Gumara hadir di
Kumayan ini bukan untuk jadi guru sekolah. Tapi untuk menggenapi kami yang enam menjadi
tujuh. Harap kau ketahui, angka tujuh adalah angka keramat, seperti semua angka ganjil 1, 3, 5,
7. Sedangkan 8, 9, 10 pun masih bisa dibagi!”
Otak matematika Pita Loka lantas menjabarkan angka itu. Senyumlah dia.
Di depan kelas, Guru Gumara sedang menerangkan pelajaran “Berdasarkan penjabaran secara
matematis, angka 19 merupakan yang tertinggi. Dan itu penemuan saya, bukan Wagner dan
bukan Einstein. Angka 19 adalah pilar tertinggi dari semua angka!”
Pita Loka unjuk telunjuk “Bukannya angka 7 yang tertinggi, Pak?”
“Menurut saya, bukan angka 7. Menurut penelitian saya secara pribadi, angka 7 masih
mengandung unsur relativitas. Tetapi angka 19 adalah angka konkrit yang benar-benar tertinggi
dan tak bisa dibagi. Kalau kamu tak percaya, Pita Loka, tanyakan saja kepada ayahmu”.
Semua murid tertawa. Mereka mentertawakan Pita Loka, sebab selama ini Pita Loka mampu
menjawab, namun kali ini dia terbengong-bengong.
Dan dia pun tidak dapat menyembunyikan wajahnya yang kagum dan jatuh cinta itu, seketika
dia memberi komentar “Pak Guru lebih pandai dan sarjana dunia mana pun”.
“Aku cuma menemukan teori matematika yang kusebut tadi itu berdasarkan ayat Kitab Suci
yang berbunyi Di atas itu, ada 19. Apa maksud ayat ini kecuali sebuah teori berdasarkan
matematika? Ingatlah jika ayat itu berbunyi dalamBahasa Inggerisnya Over it are nineteen. Di
atas itu ada sembilanbelas. Nah, kini ada baiknya kita membuat soal”.
“Wuuuuu”, gerutu murid di kelas, sebab mereka kurang senang apabila soalan matematika
dibuat dalam kelas.
Ketika murid sibuk menjawab soal, muncul Lading Ganda ke dalam kelas. Beliau dihormati
ketika masuk oleh Gumara yang bertanya “Tuan guru ingin bertemu dengan saya?”
“Ya. Saya ingin bicara sebentar, Peto Alam”, ujar Lading Ganda.
Mereka berdua menghindari kelas dan keluar. Lelaki tua itu berbisik “Maukah kau menolong
keluarga kami?”
“Apa yang bisa saya tolong?” tanya Gumara.
“Puteriku yang sudah bersuami, diguna-gunakan orang.
Dia sekarang membLiat aib keluarga kami, merangkaki dinding!” ujar Lading Ganda.
“Wah, saya bukan dukun, Tuan!” ujar Gumara.
“Jadi Tuan menolak” permohonan saya yang cukup rendah hati?” tanya Lading Ganda dengan
nada ancaman.
“Kalau begitu, akan saya coba sepulang mengajar nanti”, ujar Gumara. Tetapi Harwati
memperhatikan dari kelasnya dengan cermat. Dia melihat ada hal yang tidak wajar apabila
jagoan semacam Lading Ganda mendatangi Gumara ketika Gumara mengajar di kelas Pita
Loka.
Maka ketika ada kesempatan pada jam istirahat, Harwati mendatangi Gumara yang kebetulan
sedang berdebat dengan Pita Loka. Kata Harwati pada Pita Loka “Maaf saya mengganggu
pembicaraanmu dengan Pak Guru. Saya bisa bicara sebentar saja dengan Pak Guru?”
“Boleh. Tapi Pita Loka sebaiknya ikut mendengar. Sebab saya tak suka pembicaraan rahasia”,
ujar Gumara.
“Ah, dia akan mentertawakan saya, Pak”, ujar Harwati.
“Kalau begitu saya menyingkir demi sopan santun”, ujar Pita Loka yang segera menghindar.
“Ada apa sih?” tanya Gumara.
“Tadi Lading Ganda menemui bapak?” tanya Harwati.
“Ya betul.”.
“Puterinya terkena guna-guna. Tentu bapak dimintainya pertolongan”, ujar Harwati.
“Betul. Saya sudah berjanji datang ke rumahnya”.
“Hati-hati, Pak. Itu cuma samaran. Bapak tahu, di Kumayan ini ada enam jagoan. Satu di
antaranya Lading Ganda. Tiap jagoan di Kumayan, ingin menguji ilmu bapak. Itu tipu muslihat
Lading Ganda saja, pak”.
Gumara hanya tersenyum santai “Ah, kita tak bolah buruk sangka pada siapa pun. Saya hadir
di Kumayan dengan maksud baik. Sebagai guru sekolah. Kamu tak usah risau”. Mendengar
penolakan sarannya itu, Harwati amat kecewa. Dan cemas! Sehingga dia ingin menanamkan
budi baiknya lagi kepada sang guru. Maka dia buru-buru pulang sebelum jam belajar habis hari
itu. Dia khusus berjalan melewati rumah Lading Ganda. Memang kedengaran suara teriakan
histeris orang kesurupan. Dan karena itu pula ada alasan baginya untuk mampir ke rumah Ki
Lading Ganda, Ketika dilihatnya Pina-- Puteri sulung Lading Ganda--merangkaki dinding
dengan berteriak-teriak, Harwati berkonsentrasi sejenak. Ki Lading Ganda tahu bahwa puteri Ki
Lebai Karat saat itu sedang berkonsentrasi. Tepat ketika itu Gumara memberi salam ke seisi
rumah untuk masuk.
Konsentrasi Harwati tetap tak buyar dengan datangnya Gumara. Gumara pun akhirnya tahu
Harwati sedang berkonsentrasi dan sedang mendapat kesulitan. Gumara ingin membantu
Harwati yang sedang mendapat kesulitan. Diam-diam dia menatap mata Pina yang kayak mata
setan.
Tiga belas orang yang hadir tegang semuanya. Tapi semuanya tak mengetahui apa yang
sedang diperbuat Gumara, sebab semua mata memperhatikan tingkah Harwati yang begitu
tegang dalam konsentrasi. Juga semua orang tak mengetahui ketika Gumara melenguh dan
lenguhannya bagaikan menampar muka Pina. Dan Pina terbanting di lantai lalu sadarkan diri.
Ketika itu pula Harwati mengembangkan jari-jarinya yang tadi tergenggam bagai tinju.
“Nah, Ki Lading Ganda sebaiknya berterimakasih kepada puteri Ki Karat. Saya kira puteri anda
telah sembuh total”, ujar Gumara.
Harwati senang sekali, sebab di balik kalimat gurunya ini tersembunyi pujian tak langsung.
Lalu, ketika Harwati pamitan pada keluarga Lading Ganda, maka Gumara pun ikut berpamitan.
Dengan alasan terburu waktu, Gumara menolak minuman kopi daun yang disediakan Lading
Ganda untuknya, juga untuk Harwati.
Gumara dan Harwati jalan beriringan. Jalan itu menuju rumah Gumara. Harwati berkata “Saya
cemas sekali bapak akan lebih dulu tiba di rumah Ki Lading Ganda. Maka saya segera
meninggalkan kelas sebelum pelajaran selesai”.
“Kau masih saja berburuk sangka”, kata Gumara.
“Itu hal yang pasti. Bapak tahu, yang meracun bapak sebetulnya bukannya bu Tarikh. Bu Tarikh
cuma minta rempah-rempah racun itu kepada Lading Ganda untuk dia masukkan ke dalam
makanan rantang yang diantar Pak Yunus. Tahukah bapak bahwa ayahku mati-matian
melakukan pengobatan terhadap Bu Tarikh dalam jarak jauh sewaktu ayahku menyuruh bapak
segera menemui Bu Tarikh?”
“Salam terimakasihku pada Ki Karat, ayahmu, atas bantuan dari jauh itu. Juga terimakasih
padamu yang tadi sudah mendahuluiku mengobati si Pina sebelum saya kena jebakan Lading
Ganda”.
Di samping jalan itu, Pita Loka memergoki Harwati dan Guru Gumara sedang melangkah
berdampingan. Pita Loka bukan menghindar, tetapi menggabung. Dan langsung saja berkata
mengolok gurunya; “Wah, Pak Guru barusan saja jadi dukun menyembuhkan Ki Lading Ganda
ya?”
Harwati mendongak kepada Pita Loka “Itu hanya jebakan, karena itu aku mendahului datang ke
rumah si Pina. Yang membuat si Pina histeris kayak orang gila itu kan ayahnya sendiri, Pita?”
“O, jadinya kau yang dukun, Wati?” Pita Loka sinis.
“Kau jangan menyindir, Pita”, ujar Harwati.
Kemudian Gumara berhenti melangkah “Saya akan istirahat. selamat siang”.
Harwati dan Pita Loka sadar bahwa mereka berdua ditinggalkan Gumara yang langsung
memasuki pekarangan rumahnya.
“Saya rasa kita berdua tak usah bersaing lagi, Wati”, ujar Pita Loka sewaktu keduanya sama
melangkah meninggalkan tempat mereka tercengang tadi.
“Apa kau merasa saya menyaingi kamu?” tanya Harwati.
“Saya merasa begitu”, kata Pita Loka.
“Saya hanya menyelamatkan Pak Guru”, ujar Harwati.
“Untuk menanam budi baik kedua kalinya?”
“Ya”. sahut Harwati tegas.
“Tapi budimu tetap saja tidak dibalasnya dengan cintanya. Dia lebih menyukai ilmu matematika
dari ilmu ghaibmu itu, Wati. Tapi jika pun dia bersimpati karena di kelasku akulah jagoan
matematika, toh Pak Guru tidak juga akan jatuh cinta pada saya. Itu maka kau dan saya tidak
perlu bersaing lagi. Secara singkat, Wati . . . di Kumayan ini tak ada satu manusia pun yang
ditakuti, dikagumi dan dicintai Pak Guru. Termasuk enam manusia harimau yang hebat-hebat
seperti ayahmu, ayah saya maupun Lading Ganda. Kita hanya kehabisan energi untuk
mamperebutkan Pak Guru”.
Harwati terdiam sejenak, meski hatinya jengkel.
Dan mereka berdua tetap berjalan seiring, sekalipun dengan batin yang bertentangan. Mereka
membelok ke kanan bersama. Jalan kecil ini kelak akan sampai di rumah Pita Loka. Namun
Harwati harus melewatinya sebelum dia menuju jalan pintas ke rumahnya.
“Berdasarkan akal sehat, Pak Guru datang ke Kumayan demi karirnya sebagai guru. Karir itu
memerlukan menjaga nama baik agar terhindar dari fitnah. Tapi kau dan saya cukup sehat pula
tergila-gila pada Pak Gumara. itu hal yang wajar.Namun setelah saya fikir secara sehat, kita
berdua bukan tergila-giia. Kita berdua sebenarnya gila. Mencintai pak guru itu kan gila?
Sedangkan tadi kita berdua tidak diajaknya mampir”.
“Itu karena kau muncul. Jika tadi kau tidak muncul sebagai orang ketiga, secara sehat Pak
Guru akan mengajak saya untuk mampir. Itu wajar saja, sebab saya telah menolong dia dari
jebakan Lading Ganda. Kini jelas olehmu bahwa kau salah duga. Kau menganggap saya ini
saingan kamu. Padahal saya tidak punya saingan seorang gadis pun dalam merebut hati Pak
Guru”.
“Kau ingin mampir ke rumahku?” tanya Pita Loka setiba di depan rumah.
“Terimakasih. Dan renungi ucapan terakhirku tadi” ujar Harwati.
Setiba di rumah, Pita Loka benar-benar merenungi ucapan Harwati. Namun dia akhirnya
berkata sendiri “Tolol dia mengira menanam budi itu sebagai perbuatan konkrit. cuma
perbuatan abstrak, dan Pak Guru tidak kagum pada hal-hal abstrak”.
Ki Putih Kelabu yang mendengar Pita Loka bicara sendirian lalu nyeleluk “Kau bisa jadi gila,
anakku!”
Pita Loka tersadar dan merasa malu. Namun dia cepat menjawab “Saya bisa jadi gila? Saya
rasa tidak”,
“Barusan saja aku duduk di warung. Orang-orang mengagumi Harwati, karena dia barusan saja
membela Gumara Peto Alam sebelum si Peto Alam terjebak dengan pancingan yang dibuat
Lading Ganda”.
“Lalu ayah kira itu budi baik?”
“Budi baik! Budi baik mengatasi harta kekayaan. Budi baik mengatasi orang-orang pintar
berotak encer sepertimu. Kau sudah ketinggalan dua langkah dari Harwati, kendati kau mengira
kamu cantik!”
Pita Loka merasa dilukai ayahnya.
“Lalu ayah gembira jika saya gagal memikat Gumara Peto Alam yang hebat itu? Lalu ayah
gembira jika Harwati yang lebih berhasil dari saya?”
“Aku malah jadi sedih!” Ki Putih Kelabu menghentakkan kaki ke lantai papan rumahnya,” Selain
sedih aku malu! Malu kalau semua orang tahu bahwa puteri Ki Putih Kelabu kalah bersaing
dengan puteri Ki Lebai Karat, Malu ini bagiku hanya dapat ditebus dengan nyawa”.
“Saya juga malu jika ada orang yang tahu bahwa ayah beradu kekuatan dengan Ki Lebai Karat
demi supaya saya menang dalam persaingan. Saya juga malu pada bekas luka cakaran di jidat
ayah, dicakar oleh Ketua Harimau yang tak bisa ayah tandingi”.
“Hei dengar, Pita Loka!” ujar Ki Putih Kelabu dengan nada sedih, Dia duduk di kursi goyang,
dan suaranya pun luruh “Jangan kaget, apabila bekas cakaran ini bukannya bekas kuku Ki
Karat. Ini bekas cakaran Gumara!”
“Ayah! Jangan memfitnah!” seru Pita Loka.
“Aku tak menggemari fitnah. Harap saja kau rahasiakan hal ini. Demi cintaku padamu, harus
kuceritakan hal ini kepadamu. Demi cintaku padamu, justru akulah yang menginginkan Gumara
jadi suamimu. Demi keturunan darah keluarga kita akan berkembangbiak, beranak pinak.
Tengah malam aku datangi dia. Aku secara jantan meminta kepadanya, agar dia sudi
memperisterimu. Tapi harap kau jangan sedih, dia menolak saranku itu!”
Pita Loka terdongak kaget.
“Aku sedih, demi cintaku padamu, Aku malu, demi kehormatanku sebagai ayah,
Lalu aku keluarkan semua ilmuku. Kami berkelahi. Namun dia menang. Jadi, aku telah kalah
dua kali, anakku!” Pita Loka melihat ayahnya meneteskan airmata. Tanpa dia sadari, betapa
pun dia coba bertahan, airmatanya pun ikut berhamburan,
“Ayah salah langkah”, ujar Pita Loka dengan pilu.
“Memang aku salah langkah”.
“Tanpa sadar, ayah telah menjegal saya”, kata Pita Loka.
“Yah, ini terpaksa kau ketahui. Aku harus mengajarmu jujur, terus terang dan hal ini kupupuk
dalam jiwamu sejak kecil. Kini kau dan ayahmu sama sedih dan sama malu!”
Pita Loka melompat menyambar tubuh ayahnya, memeluknya “Jangan berkecil hati, ayah.
Memang saya pun jadi sedih dan malu karena tindakan ayah yang tergesa-gesa. Saya akan
berusaha untuk menjadi pemenang dalam persaingan merebut hati Pak Gumara”.
“Tidak perlu lagi. Persaingan itu sudah tak ada lagi. Dengan perbuatanku yang salah langkah
itu, persaingan itu musnah sudah, Dan kini, Harwati yang merupakan satu-satunya pemenang”.
“Tidak, ayah”, bantah Pita Loka, “Jalan apa pun akan saya tempuh untuk menebus sedih dan
malu ini, Jalan apa pun!”
“Lalu apa rencanamu?” tanya Ki Putih Kelabu.
“Kini saya meyakini yang ghaib. Di atas segala yang konkrit dan nyata, ada keghaiban yang
tersembuyi, yang mesti dicari mata hati manusia. Saya akan meninggalkan cara konkrit, demi
sedih dan malu ini”.
Alangkah gembiranya sang ayah.
“Kau akan mencari guru penakluk?” tanya Ki Putih Kelabu.
“Ya”.
“Alangkah senangnya hatiku! Kucoba mengajarkan, demi mewarisi ilmuku padamu, kau tolak
selama ini! Kini kau sendiri menyatakan padaku akan berguru. Boleh ayah tahu kepada siapa
kau akan berguru?” “
“Yang terang bukan kepada Pak Gumara Peto Alam. Ayah bilang, Peto Alam adalah harimau
yang ketujuh di Kumayan. Tapi saya akan berguru kepada Harimau Yang ke -19”.
Mendengar angka yang aneh itu, Ki Putih Kelabu kuatir puterinya sudah menjadi gila.
Sebaliknya, Gumara kini merasa dirinya lebih aman dari dulu. Kalau ibunya bercerita tentang
desa Kumayan begitu mengerikan, kini Gumara tidak melihat kengerian itu.
Tapi dia pun sadar, bahwa dia sebenarnya dicintai oleh dua gadis cantik di Kumayan ini.
Namun tujuan Gumara ke sini bukan untuk bercinta. Semata-mata memenuhi khayalannya di
masa kanak, lalu ingin bertemu dengan Ketua Para Harimau Kumayan, dan kebetulan
ditugaskan mengajar matematika ke sini.
Gumara mempunyai kesan, kota kecil kecamatan ini sesungguhnya memiliki bibit-bibit manusia
unggul dalam llmu Fisika dan llmu Matematika. Dia berharap, salah seorang daripada bibit
unggul itu dapat melanjutkan ilmu ke kota agar dia menjadi sarjana dan ilmuwan. Dia telah
menguji ketajaman otak bibit unggul ini. Pendeknya semua soal dapat dijawab tangkas oleh
Pita Loka.
Dan suatu hari di depan kelas Gumara bertanya pada Pita Loka yang barusan menyelesaikan
soalan dalam waktu lima menit dari waktu setengah jam yang disediakan.
“Setamat SMP, ke mana kamu akan melanjutan pelajaran?” tanya Gumara.
“Kawin”, ujar murid lelaki. Ini membuat seisi kelas ketawa terkakah. Pita Loka biasanya tersipusipu malu tapi setuju. Kini dia berubah banyak. Dia yang gemar bercanda dan suka mendebat,
berubah menjadi pendiam. Hal itu pun diketahui oleh Gumara.
“Kamu pendiam sekarang, Pita Loka”, ujar Gumara.
“Patah hati, Pak”, kata murid-murid lelaki. Seisi kelas tertawa terkakah-kakah lagi. Segera saja
Gumara ingat pada kedatangan Pak Putih Kelabu dulu, Yang menyuruhnya melamar puterinya
itu. Yang ditolaknya. Yang menyebabkan uji adu tenaga. Yang mungkin saja hal itu
diceritakannya pada Pita Loka, sehingga kelincahan Pita Loka yang dulu memikat, kini lenyap.
Hal ini pun diketahui oleh Hura Gatali, sekalipun hanya reka-rekaan saja. Hura Gatali yang
bertubuh kekar itu, yang pernah dianggap pahlawan muda setelah berhasil membunuh seekor
ular sanca yang panjanguya 15 meter itu, sekarang mencoba mendekati Pita Loka. Dicegatnya
Pita Loka sepulang dari sekolah.
“Boleh saya temani kau pulang?” tanya Hura Gatali.
“Tidak”.
“Wah, mentang-mentang kamu cantik ya, saya ini kau kira pengemis cinta!”
“Masa bodoh!” balas Pita Loka.
“Memang teman kecantikan adalah judes dan angkuh”, ujar Hura Gatali.
Pita Loka berhenti sejenak. Ingin saja diludahinya pemuda iseng itu. Lalu dia melanjutkan
melangkah. Dan Hura Gatali melanjutkan menggoda.
“Percuma kamu mengharapkan cinta Pak Gurumu. Semua orang tahu, bahwa Pak Gurumu
lebih suka pada Harwati. Jadi sebaiknya kamu dengan saya saja”, ujar Hura Gatali menggoda.
Pita Loka menghentikan langkah. Dia menatap Hura Gatali. Kali ini bukan muka Hura Gatali
yang diludahinya. Tapi tanah bumi yang dia ludahi sembari memaki
“ Lelaki tak tahu sopan santun!”
Dan Pita Loka melangkah bergegas pergi. Dan Hura Gatali terdiam malu. Wajahnya merah
padam sampai Pita Loka hilang di simpang jalan.
Hura Gatali geram. Dilihatnya tanah bumi itu. Disitu masih tersisa air ludah Pita Loka. Niat
jahat pun memperangkap batinnya. Dikoreknya tanah yang terkena ludah Pita Loka. Lalu
dibungkusnya tanah itu dengan sapu-tangan, Dan dengan langkah dendam, Hura Gatali
langsung menuju rumah Ki Lading Ganda.
“Saya menyerah sekarang, Ki Lading Ganda”, ujar Hura Gatali.
“O, saya faham. Kamu menyerah untuk belajar ilmu pada saya sebab kamu membutuhkan
sesuatu. Dulu, ketika jadi pahlawan Kumayan karena berhasil membunuh ular sanca raksasa,
saya sendiri menganjurkan padamu untuk mempertinggi keberanianmu dengan belajar padaku.
Kini kamu menyerah, tentu ada sebabnya”.
“Ya, tentu ada sebabnya. Saya menyerah untuk belajar dengan tuan, tapi dengan syarat agar
tuan berikan bukti kepandaian tuan padaku lebih dulu”, ujar Hura Gatati seraya mengeluarkan
saputangan pembungkus tanah yang berisi bekas ludah Pita Loka. Digelarkannya saputangan
yang berisi tanah basah itu. Dan berkatalah pemuda itu
“Selagi ludahnya belum kering, saya minta anda kerjakan puteri Ki Putih Kelabu. Namanya Pita
Loka, dia hina saya dan dia ludahi bumi. Tak ada malu paling besar selain penghinaan ini.
Karena ludah ini datang dari mulut, dapatkah anda rusak mulutnya yang cantik itu?”
Ki Lading Ganda tersenyum senang. Dia suruh Hura Gatali menghampirinya. Setelah Hura
Gatali mendekat, dibelainya kepala pemuda ganteng itu, Dia berbisik; “Sekarang aku senang.
Karena semua anak harimau di desa Kumayan ini perempuan termasuk semua anakku, kini
ada yang akan mewarisi ilmuku. Aku yakin dapat merusak mulut yang cantik itu menjadi buruk!”
Malam itu juga, Hura Gatali diminta untuk menyaksikan pekerjaan itu. Ki Lading Ganda duduk
bersila di kamar tempat dia selalu bersemedi. Hura Gatali di sampingnya. Lalu Ki Lading Ganda
mencabut dua goloknya sekaligus mengadu mata golok itu sehingga terdengar bunyi disertai
kilatan api. Dan golok itu seketika itu juga dari dua menjadi satu. Kalau tadi mata golok itu cuma
satu, kini mata golok itu menjadi berganda, muka dan belakang, tapi gagangnya pun menjadi
kembar.
Golok dua yang menjadi satu itu pun ditaruh Lading Ganda di atas tikar. Lalu dia berkata pada
Hura Gatali “Taruh buah pepaya itu di depan golokku ini, Hura”.
Hura menaruh buah pepaya itu.
“Jika pepaya ini kepala si Pita Loka anak si Putih Kelabu anak si Mayang Saga anak si Peto
Gaharu . . . coba kamu tunjuk saja di mana mulut Pita Loka!” Hura Gatali menunjuk kira-kira
tempat mulut Pita Loka.
“Rupanya dari mulut ini keluar ludah penghinaan Pita Loka kepada Hura Gatali”, ujar sang guru
seraya memungut tanah bekas ludah Pita Loka dari saputangan, lalu memolesnya pada buah
pepaya yang ditunjuk Hura Gatali tadi.
Ujung golok lalu ditusuknya sedikit pada tepi bibir imajiner itu, dan getah pepaya itu mulai
menyembul. Lalu keluar.
“Beginilah jadinya mulut Pita Loka yang menghinamu”, ujar sang guru. Hura Gatali senang
seketika.
“Itu semacam koreng bernanah ya tuan?” tanya Hura Gatali.
“Dan tidak akan sembuh”, ujar Ki Lading Ganda.
“Tapi jika ayahnya Ki Putih Kelabu lalu minta pertolongan Ki Lebai Karat, bagaimana pak?”
tanya Hura Gatali.
“Dia takkan mau, itu merusak gengsi. Mereka berdua merasa sama berilmu tinggi”, ujar Ki
Lading Ganda. Lalu, bahu Hura Gatali ditepuknya.
“Kapan saya bisa melihat buktinya, bahwa mulut Pita Loka berkoreng dan bernanah ini, pak?”
tanya pemuda ganteng itu.
“Besok pagi mampir saja ke rumahnya. Cari alasan untuk bertemu muka. Dan kau berhak
menghina mulutnya yang korengan dan bernanah itu”, ujar sang guru.
Ketika Hura Gatali tergesa hendak pergi, Ki Lading Ganda menyergap tangannya, “Kapan
kamu akan belajar padaku?”
“Jika ilmu bapak sudah saya saksikan”, sahut Hura Gatali.
“Memang kamu calon jagoan”, kata Ki Lading Ganda, “Sebab setiap jagoan senantiasa punya
kesan angkuh yang sebetulnya harga diri!”
Pada saat yang sama di tengah malam itu, Pita Loka merintih kesakitan. Dia merasa mulutnya
gatal. Ketika dirabanya mulutnya, terasa melendung bagai bisul. Cepat Pita Loka melompat
menuju kaca hias antik. Dan dilihatnya wajahnya di kaca itu. Melihat lendungan bisul di sekitar
mulutnya, Pita Loka bukan menjerit. Dia hanya menahankan rasa gatal itu, dan seketika itu juga
tahu siapa yang mengerjakan ini.
Dia bersitenang sejenak. Rasa gatal dia lawan. Rasa takut dia singkirkan. Dan ketika sebuah
koreng (bisul) itu pecah, nanah pun keluar. Pita Loka kembali ke kaca. Dia lihat nanah busuk itu
menetes sedikit demi sedikit. Dan ketika pagi ayahnya bangun, Pita Loka bukannya mengadu
pada sang ayah. Dia tunggu sampai reaksi ayah muncul. Betul. Ayahnya terpana sejenak
melihat mulut anaknya yang dihiasi koreng bernanah.
“Aku tahu siapa yang membuatku. Tapi kuharap, jangan ayah membantuku”, ujar Pita Loka.
“Bagaimana kamu ini, Pita? Aku sudah dapat menerka, bahwa ini diperbuat oleh si Hura Gatali
bin Dang Samar bin Abdi Kumat bin Taja Gugu. Dan dia pasti minta kepandaian si Lading
Ganda, sebab Lading Ganda bersimpati pada anak muda itu ketika berhasil membunuh ular
sanca tempohari. Nah, masihkah kau keras kepala tidak minta bantuanku?”
“Saya dapat mengatasinya sendiri”, ujar Pita Loka. Setelah melayani ayahnya sarapan pagi,
Pita Loka pergi ke rumah dr. Kadir. Dokter itu belum bangun. Begitu dia bangun dan melihat
mulut Pita Loka, sang dokter risau.
“Saya minta pak dokter menyuntikkan obat antibiotik”, kata Pita Loka.
“Ini bukan koreng biasa”, kata sang dokter.
“Persetan dengan ilmu setan, Pendeknya saya minta dokter menyuntik saya dengan obat anti
biotik beserta obatnya”, segera Pita Loka menaruhkan uang di atas meja.
Setelah Pita Loka disuntik, lalu dokter memberikan kapsul anti biotik pada Pita Loka seraya
berkata “Semoga cepat sembuh”.
Pita Loka ketika keluar dari pekarangan rumah dokter menjadi tontonan tetangga. Mereka
saling berbisik, “Kenapa dia tidak berobat pada ayahnya saja? Bukankah itu mudah
disembuhkan?”
Setiba di rumah, Pita Loka kembali dibujuk ayahnya, Tapi Pita Loka menolak.
Pita Loka teramat tenang. Rasa gatal ditahannya. Dia mencoba penyakit ilmu teluh ini dapat
diatasi secara akal sehat saja. Namun tekadang dia tergoda untuk belajar ilmu sakti pada
seorang guru yang jauh melebihi enam harimau Kumayan tersohor. Cuma ketika dia digoda
untuk itu, hatinya bertanya “Tapi apa ilmu sakti begini di zaman moderen mampu melawan bom
kimia?”
Lalu dia persiapkan buku-buku sekolahnya. Ketika akan berangkat, Ki Putih Kelabu
menegurnya, “Pita, coba kau menghadap pada ayah”.
Pita Loka berbalik dan menghadap. Sang ayah tampak begitu sedihnya melihat puterinya yang
cantik berubah jadi buruk.
“Kenapa kau masih akan ke sekolah, padahal mukamu . . . . “
“ . . . Mukaku jelek? Ah, kecantikan dan keburukan itu pun relatif. Seorang gadis cantik setelah
usianya tua pun jadi jelek”, sahut Pita Loka, “Saya akan berangkat sekolah sekarang!”
“Pita!”
“Ya ayah?”
“Apa nanti pembicaraan orang-orang mengenai kau?”
“Justru itu yang saya harapkan. Mereka membicarakan saya. Dan mereka tahu, saya tidak
minta bantuan ayah. Lalu berobat pada dokter Kadir”, kata Pita Loka.
“Itu akan membuatku jadi malu”. kata Ki Putih Kelabu “Setidaknya mereka menganggap ilmuku
lebih rendah dari ilmu si Lading Ganda, sehingga tidak mampu mengobati teluhan dia”.
“Biarlah tiap orang Kumayan membicarakan itu, Agar mereka yakin, saya tidak bersedia
menerima warisan ilmu ayahku”, kata Pita Loka.
Susah bagi Ki Putih Kelabu untuk marah pada puterinya. Karena dia amat begitu sayang.
Setiba di sekolah, Pita Loka jadi tontonanmurid -murid. Dia santai saja. Tapi Harwati
memegang kedua bahunya “Hai, kamu diteluh seseorang!”
“Ya”.
“Minta bantuanlah pada ayahmu!” ujar Harwati.
“Aku tidak membutuhkan bantuan siapa pun”.
“Atau kau sedia jika saya yang membantumu?” tanya Harwati.
Pita Loka tersenyum “Alangkah luhurnya budimu, Wati!”
“Kau bersedia kuobati,sekarang juga?” tanya Harwati.
“Aku menghormati kesucian hatimu, Tersentuh hati nuranimu melihat temanmu menderita teluh
musuh. Alangkah baiknya kau, Harwati”, ujar Pita Loka.
“Tapi kau menolak kuobati?” tanya Harwati.
“Ya”.
Ketika Pita Loka memasuki kelas, semua biji mata tertuju pada mulut Pita Loka. Dan hari itu
tidak ada jam pelajaran matematika. Tapi ketika jam pelajaran ilmu Fisika dan Pak Guru
Gumara memasuki kelas, murid-murid berkata “Pak, obatilah mulut Pita Loka”.
Barulah Gumara sempat melihat gadis manis yang kini sekitar bibirnya ditumbuhi koreng.
Wajahnya tenang. Tanpa kelihatan satu reaksi mengasihani. Ia seakan-akan sedang diuji
seluruh kelas untuk bersikap.
“Saya sudah pergi berobat pada dokter Kadir, pak. Sudah disuntik”, kata Pita Loka.
“Kenapa tidak berobat pada ayahmu sendiri?” tanya Parlindungan.
“Ayahku bukan seorang dokter”, sahut Pita Loka yang. membuat seluruh kelas heboh tertawa.
Tetapi, seharian mengajar itu, Guru Gumara risau.Dia kuatir apabila dia obati Pita Loka, akan
muncul dua macam isyu. Isyu pertama adalah, dia akan dianggap dukun sakti. Isyu kedua,
mungkin dia dianggap mencintai Pita Loka.
Ketika Pita Loka pulang ke rumah, ayahnya tak didapatinya. Tapi jelas, ayah tampaknya sudah
makan siang, Ada bekas tanda-tanda sudah makan siangnya ayah. Tapi kemana pula ayah
pergi? Pita Loka menduga, ayah akan menempuh jalan sendiri, demi cintanya padaku,
mencoba mengembalikan sakit teluh ini kepada pengirimnya.
Sehabis makan siang, Harwati muncul. Dia berkata ramah Ayoh ikut aku ke rumahku.
“Aku tahu kau risau melihat keadaanku. Dan kau akan minta bantuan ayahmu, sebab dia Ketua
Harimau Kumayan. Terimakasih atas simpatimu. Aku dapat sembuh sendiri”. Harwati pamit
pada Pita Loka. Setiba di rumahnya, kejadian yang dialami Pita Loka diceritakannya pada
ayahnya.
Ki Lebai Karat menjawab singkat “Kalau memang Pita Loka itu turunan syah Ki Putih Kelabu,
dia akan sembuh sendiri”.
“Apa sikap ayah jika terjadi pertarungan antara dua harimau?”
“Maksudmu pertarungan Ki Putih Kelabu dan Ki Lading Ganda?” tanya Ki Karat.
“Jadi ayah mengetahui, teluh itu dibuat oleh Lading Ganda?”
“Ya, jika pun terjadi pertarungan, itu biasa di antara kami”.
Matahari mulai menggelincir. Tetapi dua lelaki tua itu masih saja bertarung sejak waktu asyar
tadi. Jadi sudah dua jam lebih dua jagoan itu beradu tenaga. Tubuh mereka sudah bercampur
tanah lumpur. Sebagian lagi menyelip daun-daunan.
Memang, Bukit Anggun konon tempat berkelahinya harimau-harimau Kumayan. Sebagian sisi
bukit itu berlumpur tempat turunnya bangau-bangau. Kini, menjelang magrib, Ki Putih Kelabu
dan Ki Lading Ganda masih saja bertarung. Pertarungan itu mungkin jadi lama karena tanpa
senjata. Juga mereka sudah berjanji secara satria, bahwa mereka satu sama lain tidak akan
menjelma menjadi harimau.
Kini, nafas kedua lelaki tua itu mulai sama sesak.
Tanaman liar berupa pohonan kecil setinggi badan umumnya sudah rusak, Biarpun lelah,
kedua jagoan itu tak seorangpun yang mau mengusulkan dihentikannya perkelahian itu.
Dengan sempoyongan, Ki Putih Kelabu maju lagi menuju Ki Lading Ganda yang juga
melangkah sempoyongan.
Ki Putih Kelabu mengambil napas dalam-dalam, lalu menghantamkan tinjunya ke dada Ki
Lading Ganda. Lading Ganda terlambat mengelak. Dia terpelanting jungkir balik sampai ke
lumpur. Lain Ki Putth Kelabu menghampirinya. Ketika Ki Lading Ganda merasa sulit untuk ke
luar dari lumpur, waktu itulah Ki Putih Kelabu menghantam leher Ki Lading Ganda dengan
ujung kakinya, Namun dia sendiri berteriak kesakitan dan jatuh terhempas di tepi lumpur.
Ki Putih Kelabu berusaha bangkit. Hampir tegak, dia jatuh lagi.
Ki Lading Ganda pun berusaha untuk bangkit sekeluarnya dari lumpur. Tapi dia tidak berdaya,
lalu jatuh pula.
Kini kedua jagoan itu sama menelentang dalam jarak dekat dalam lelah dan sesak napas. Mata
mereka menatap langit. Ki Putih Kelabu berkata dengan napas sepotong sepotong “Kau belum
juga mau menyerah?”
“Belum”.
“Bangsat kau!”teriak Ki Putih Kelabu.
Langit semakin merah jingga, pertanda malam akan tiba. Ki Putih Kelabu berusaha sekuat
tenaga untuk berdiri. Begitu dia berdiri, setelah tiga langkah dia berjalan, dilangkah keempat dia
berteriak seraya mencuatkan tubuhnya ke udara, lalu kedua kakinya menghentak ke perut Ki
Lading Ganda.
“Adddduuuuuh!” teriak Lading Ganda menahankan nyeri perutnya.
“Mampus kau!” seru Ki Putih Kelabu.
Serentak dengan itu, setelah mengumpulkan tenaga, Lading Ganda bangkit yang langsung
mengejar dan menubruk tubuh Ki Putih Kelabu dengan sabetan gasingan. Ki Putih Kelabu
tegak teguh berdiri, lalu setelah itu dia jatuh tersungkur. Ketika dia menelentang untuk bangkit,
dari pandangan matanya di udara ada dua kaki yang mau menghentak perutnya. Cepat dia
berkelit berguling dan didengarnya suara teriakan, “Aduh kakiku patah!”
Memang kaki Ki Lading Ganda patah seketika.
Ki Putih Kelabu hanya menatapnya saja dengan menyeringai, lalu dia berucap “Patah kakimu
sudah cukup bagiku.”
Lalu Ki Putih Kelabu pulang dengan hati yang sudah puas. Sewaktu dia melintasi rumah
Gumara, ia berfikir sejenak. Perlukah aku mampir? Dia merasa perlu.
Begitu dia mengetuk pintu dan terbuka, tampaklah olehnya Gumara tercengang, Gumara
bertanya “Kenapa bapak mandi lumpur dan darah ?”
“Aku ingin pulang dalam keadaan bersih,bolehkah aku numpang mandi di sini?”
“Tentu.”
“Boleh aku memetik daun sirih di pekaranganmu itu . .sementara itu aku minta tolong dengan
sembah 10 jari agar kau sudi menjerang air panas?”
“Tentu, tuan Guru”, ujar Gumara dengan nada hormat. Gumara segera menjerang air panas,
sementara Ki Putih Kelabu memetik daun sirih. Setelah penuh dua kantong baju Cina, sirih itu
dibawa masuk. Dan langsung saja dimasukkan ke jerangan air. Dia membuka pakaiannya,
kecuali celana dalam. Gumara masuk ke kamar.
Tapi dia tak menyaksikan bagaimana Ki Putih Kelabu berbuat sesuatu di depan tungku. Dia
berkonsentrasi dengan mantera — Panas api panas matahari panas kau tungku panas kau
tungku panas matahari —.
Jerangan air berisi daun sirih itu menggelegak mendidih. Lalu dia basuh luka-luka di tubuhnya
dengan airpanas bercampur daun sirih yang jadi hancur macam bubur. Baru kemudian dia
mandikan seluruh tubuhnya. Tiba-tiba Ki Putih Kelabu mendengar suara Gumara “Pak, ini
pakaian untuk salin, pakaian Cina saya dan celana batik saya. Semoga muat di tubuh bapak.”
Aduh betapa senangnya hati si tua dengan penghormatan itu. Apalagi baju Cina maupun
celana batik itu begitu pas. Dia ke luar dari kamar mandi dia berkata “Pita Loka mengira aku
barusan kembali dari pesta.”
Setiba Ki Putih Kelabu di rumahnya. dia mengharapkan dipuji oleh Pita Loka karena berpakaian
rapi. Tapi sekonyong yang muncul malah pertanyaan “Di mana ayah berkelahi dengan Ki
Lading Ganda ?”
Sembari duduk menghempas, Ki Putih Kelabu terpaksa mengaku; “Kami bakuhantam di Bukit
Anggun”
“Ayah menang?”
“Dia patah kaki. Aku tentu menang.”
“Ayah menang, tapi ayah tidak menaklukkan dia. Dia tidak menyerah, bukan?”
“Betul.”
“Lalu . ,. .. baju Cina yang rapi ini tentulah ayah pinjam pada Guru Gumara”, ujar Pita Loka.
“Dari mana kau tahu, heh?”
“Dari huruf G di kantong”.
Ki Putih Kelabu langsung duduk bersila pada tikar permadani Bagdad, menyantap makan
malam.
“Masih gatal koreng teluh kamu itu?”
“Tidak lagi, ayah.”
“Besok akan sembuh. Percayalah. Biarpun dia tidak menyerah, patah kaki itu bukti
kekalahannya. Kami harimau yang berenam di Kumayan ini. seburuk-buruk laku kami, masih
menghargai kelebihan lawan. Dengan patah kaki, kini pun dia mengakui kelebihanku
daripadanya. Pengakuan itu mengurangi mantera-manteranya sewaktu dia menteluh kau.
Kurasa besok pagi ketika kau bangun, kau dapati wajahmu sudah cantik kembali!”
Pita Loka terharu. Sewaktu dia menunggui ayahnya yang makan dengan lahap, airmata gadis
jelita itu pun berluruhan. Lalu airmata itu disaksikan Ki Putih Kelabu. Tak ada bicara di antara
keduanya. Tapi luruhnya airmata sang ayah, membuktikan, jalinan kasih antara anak dan ayah
maupun sebaliknya amat indah. Seindah angin yang menyanyi sembari mengipas keringat Ki
Putih Kelabu yang akhirnya kekenyangan makan.
Malam itu Pita Loka menyukuri nikmat kehidupan
“Ya Tuhan, aku bersyukur punya ayah seperti Ki Putih Kelabu yang selalu sayang padaku.
Hanya padamu jua aku bersyukur dan memohon kesembuhan.”
Lalu dia memicingkan mata, tertidur pulas. Paginya ketika dia membuka mata, pertama teringat
kembali ucapan ayahnya bahwa wajahnya akan sembuh. Ketika dia meraba mulut dan
sekitarnya, dia tak merasa ada bentolan-bentolan koreng teluh. Cepat dia melompat menuju
kaca hias. Dan dia berucap lagi dengan berlinangan airmata, “Terimakasih padaMu Tuhanku,
aku kausembuhkan.”
Ketika sarapan pagi, sang ayah berkata “Kini sudah waktunya kau menyediakan diri berguru
pada ayahmu.”
“Usulan yang baik. Tapi lebih baik lagi jika ayah mengusulkan supaya saya berguru pada
Harimau Ke Sembilan Belas, bukan Harimau ke Dua ayahku sendiri.”
“Tapi si Wati berguru juga pada Ki Karat”, ujar sang ayah.
“Dia berbeda dengan saya”, kata Pita Loka.
Dan Harwati pun kaget ketika Pita Loka memasuki pekarangan sekolahnya dalam keadaan
cantik kembali.
“Ini hasil kerja keras ayahmu membela anak. Kudengar dia berbakuhantam selama tiga jam di
Bukit Anggun melawan Ki Lading Ganda”, ujar Harwati.
“Benar. Dan ayah menang.”
“Tadi pagi ketika kutemui di jalan, Ki Lading Ganda kakinya pincang,”
“Itu hasil pekelahian seru itu”, ujar Pita Loka, “Tapi tawaran ayah agar aku mewarisi ilmunya,
aku tolak. Aku ingin jadi penerbang pesawat jet, bukan jadi harimau. Beda dengan kau, yang
belajar mantap dari ayahmu, Sudah sejauh mana ilmu yang kau dapat ?”
Harwati bangga menjawab, “Taruhlah tumpukan bara panas, aku akan berjalan di atasnya
dengan telapak telanjang.”
“Itu Ilmu Nabi Ibrahim”, kata Pita Loka.
“Ada baiknya kau belajar pada ayahmu”, anjur Harwati.
“Aku ingin belajar ilmu harimau pada Guru Gumara”, kata Pita Loka.
Seketika itu juga Harwati ternganga, lalu bertanya “Sudah kau kemukakan maksudmu?”
“Tidak, aku hanya sekedar mengujimu saja, kau cemburu atau tidak pada ucapanku.”
“Aku cemburu”, kata Harwati.
“Apa alasan cemburumu padaku?”
“Kurasa dia lebih sayang kepadamu”, kata Harwati.
Pita Loka kaget “Jangan kau bohong.”
“Buktinya kemarin sore dia minta ayahku agar menyembuhkan sakit terkena teluh yang kau
derita. Dia sendiri meminta pada ayahku, apakah itu bukannya bukti bahwa dia lebih cinta
padamu daripada pada saya?”
Pita Loka melongo.
Dan rupanya, ucapan Harwati itu telah melecut kembali semangat Pita Loka untuk
memenangkan persaingan. Ketika bubaran sekolah, Pita Loka menyamperi Guru Gumara dan
berkata “Bapak tidak pulang naik sepeda kan ?”
“Ya, betul. Ada apa?”
“Boleh saya berjalan pulang seiring dengan bapak?” tanya Pita Loka,
“Boleh saja”, sahut Gumara.
Harwati meneliti dari jarak jauh sewaktu Guru Gumara berjalan seiring dengan Pita Loka. Dia
ingin melihat akhir perjalanan itu.
Ketika membelok ke jalan kecil, Harwati juga ikut membuntut dari jarak jauh. Pita Loka dengan
gugup berkata “Pak, besar terimakasihku pada Bapak, yang membuang waktu meringankan
langkah ke rumah Guru Lebai Karat agar saya yang terkena teluh diobati beliau.”
“Saya?” Gumara terheran.
“Jadi bukannya kemarin sore bapak ke sana?”
“Saya ada di rumah memperbaiki sepedaku yang suka dicakar kuku”, kata Guru Gumara.
“O,maafkan. Jadi bapak bukan ke sana”, kata Pita Loka.
“Untuk apa saya ke sana. Saya tidak akan kedukun selagi ilmu kedokteran dapat menolong
diriku. Ketika saya muntah darah, saya ke dokter Kadir, murid ayahmu itu.” Pita Loka sulit untuk
menyembunyikan malu mukanya. Dia tahu Harwati membuntuti dari belakang tadi. Rupanya dia
ingin melihatku malumuka.
“Baiklah pak, kita pisah di sini”, ujar Pita Loka.
Pita Loka melangkah berbalik agar dia dapat bertemu dengan Harwati. Begitu dia berpapasan,
Pita Loka langsung menuding “Kamu . . . . si cantik busuk!”
Pada malam itu juga, mengingat betapa dongkolnya dia pada Harwati, Pita Loka ingin berbicara
resmi dengan ayahnya.
“Ayah, katakan padaku, siapa Guru Ayah?” Ki Putih Kelabu tentu saja gembira.
“Kau ingin belajar?”
“Saya ingin belajar. Tapi tidak menuntut ilmu pada ayah, Katakan padaku Guru Ayah.”
“Guruku Harimau Tunggal”, ujar Ki Putih Kelabu.
“Guru dari enam harimau di Kumayan ini ?”
“Benar”.
“Tapi setelah mendapatkan ilmu dari Harimau Tunggal, lalu kalian yang berenam
mengembangkan ilmunya sendiri-sendiri.”
“Begitulah jalan yang kami tempuh”, kata Ki Putih Kelabu.
“Tunjukkan padaku di mana Harimau Tunggal berada”, kata Pita Loka.
“Kenapa?”
“Bukankah di Kumayan baru ada enam harimau? Aku akan menjadi Harimau Yang Ketujuh”,
ujar Pita Loka.
Mendengar ucapan puterinya itu, Ki Putih Kelabu bukan bersemangat. Tetapi beliau menyesali
“Sayang kamu terlambat, nak. Harimau yang ke Tujuh itu sudah hadir dan hidup di Kumayan
ini.”
“Siapa?”
“Kau sudah tahu”.
“Siapa, ayah?” Pita Loka agak memaksa.
“Guru matematikamu itu. Guru Gumara Peto Alam”, ujar sang ayah.
Pita Loka tertawa mencemooh “Tidak mungkin. Dia tak meyakini ilmu yang ghaib-ghaib. Sama
halnya dengan saya sebelum saya terperangkap dua tiga kali untuk membuktikan ilmu nyata
lebih tinggi dari ilmu tak nyata.”
Putih Kelabu dalam kesulitan. Dia kenal benar puterinya ini keras kepala. Tapi sikap keras
kepala ini cukup sebagai modal.
“Lewatilah Bukit Anggun. Jika tiba dibukit itu, kau pandang ke timur. Di situ ada satu bukit lagi,
namanya Bukit Kerambil. Di sana ada guru yang khusus mengajarkan silat kera. Lalu kau lewati
lembah di bawahnya untuk sampai kepada Bukit Cangang, di mana di situ kau akan
menemukan ahli-ahli sihir yang membikin orang tercengang-cengang. Semua bukit itu ada
anaknya, kecuali sebuah bukit terakhir, Bukit Tunggal. Di sana ada sebuah guha. Di situ ada
seorang lelaki tua pertapa. Beliaulah Harimau Tunggal. Tapi .....………. apakah kau sanggup,
menempuh jarak itu dengan syarat berpuasa siang malam? Seluruhnya 40 hari baru kau akan
tiba di sana. Beliau tentu akan gembira apabila kau minta diajari ilmu harimau, untuk pelengkap
Harimau Yang Enam di Kumayan. Beliau sudah lama berharap mempunyai murid wanita, tapi
tak ada yang ke sini, Apakah kau berani sendirian ?”
“Berani”, ujar Pita Loka dengan mantap.
“Bagaimana dengan sekolahmu?” tanya Ki Putih Kelabu.
“Sekolah untuk mendidik orang jadi pandai, tapi bukan mendidik bagaimana mengatasi dibikin
malu orang.
Tekad Pita Loka semakin berkobar, ketika suatu pagi dia pergoki Harwati barusan saja ke luar
dari rumah Guru Gumara. Kobaran itu tak lain dan tak bukan adalah tujuan untuk berguru
kepada Harimau Tunggal yang tempat pertapaannya adalah di BukitTunggal. Pita Loka merasa
pedih hatinya karena dia telah dipotong kompas oleh Harwati secara kurang jujur. Hatinya
berkata “Suatu ketika, aku akan membalas dendam.”
Karena cemburu butanya itu, setiba Harwati di sekolah, Pita Loka mencegatnya. Matanya
bemyala, nafasnya sesak. Dia tidak lagi menggunakan akal sehat yang dia agungkan selama
ini. Dia langsung main todong tanya “Hai, sejak subuh atau sejak semalam kamu di rumah Guru
Gumara ?”
Harwati tahu apa maksud pertanyaan itu. Karena itu dia cuma berkilah, sekedar memanaskan
hati Pita Loka, dengan jawaban; “Itu rahasia pribadi.”
“Kau sudah melakukan persaingan tak jujur, Wati”, ujar Pita Loka.
“Itu wajar saja, kan? Kurasa, aku sah yang pertama jatuh cinta dengan pandangan pertamaku.
Jadi aku berhak menghalangi siapapun untuk mencintai dia, dengan cara apapun. Kejujuran
dalam bercinta hanya bagi dua insan yang bercinta saja, kepada siapapun di luar yang berdua,
boleh saja kita berdusta. Dusta itu halal demi eratnya pertalian hidup.”
“O, begitu falsafahmu ya?” Pita Loka mulai panas.
“Kau jangan coba adu tenaga denganku. Injak dulu olehmu bara panas dengan telapak kaki
telanjang, nanti baru kau berhak melawanku”, ujar Harwati.
Ucapan Harwati semakin memperteguh tekad Pita Loka untuk mendapatkan gelar Harimau.
Gumara tak berhak untuk mendapatkan gelar Harimau Yang Ketujuh, sebab dia bukan orang
aseli Kumayan, fikirnya. Aku akan mendahului dia sebelum penduduk Kumayan
menobatkannya sebagai harimau terakhir di negeri ini.
“Berani kamu menginjak bara api?” tanya Harwati menantang.
Pertengkaran itu dekat pagar. Kebetulan ada orang merokok di warung. Harwati meminjam
rokok orang itu dan mendemonstrasikan ilmunya. Te!apak kakinya yang bersih kemerahan itu,
disundutnya dengan api di ujung rokok. Perlahan,perlahan, dan dengan perlahan api itu padam.
Harwati langsung berkata “Lihat, api padam, tapi tak ada bekas melepuh atau memar di
permukaan telapak kakiku. Kau mau coba seperti yang kulakukan tadi?”
Pita Loka jadi malu, kuatir dia akan gagal.
Dengan sedih tanpa sepatah kata pun, dia masuk kelas. Dalam kelas, pelajaran guru-guru lain,
diperhatikan dengan tekun. Terutama ketika ibu Wamiri mengajar mata pelajaran Sejarah. Pita
Loka bertanya “Apakah ibu pernah mendengar nama Harimau Tungga!?”
“Siapa itu, Pita ?”
“Dia seorang pahlawan besar. Apa tercatat dalam sejarah, Bu?”
“Kita kurang mengenalnya. Mungkin dia pahlawan kecil, pahlawan lokal”.
“Memang seorang Pahlawan, tidak selalu mesti terkenal. Ketika patroli Belanda akan menyerbu
desa Kumayan, pahlawan tak dikenal Harimau Tunggal membiarkan tank-tank musuh itu lewat,
Lalu dirubahnya pandangan mata Belanda itu, sehingga semuanya Jatuh masuk tebing. Ketika
itu orang berfikir cuma suatu kecelakaan, Bu Guru. Dan Harimau Tunggal tidak menceritakan
kisah kepahlawanan itu kecuali pada ayah saya. Maka ia tak dikenal, dia dianggap sebagai
pahlawan lokal. Padahal 20 tank musuh yang masuk jurang, Bu!”
“Terimakasih atas keteranganmu, Pita. Tapi ada pertanyaan lain sejalan dengan mata pelajaran
yang barusan ibu berikan pada kalian?”
“Ada lagi, Bu”, ujar Pita Loka.
“Silahkan, Pita!”
“Guru tidak pernah disebut oleh sejarah, Karena itu bisa saja seorang Hitler yang tak bermoral
diejek-ejek oleh sejarah. Tapi guru yang tak bermoral tak pernah diejek oleh Sejarah kan Bu?”
“Siapa guru yang tak bermoral, Pita?” tanya Bu Wamiri.
“Yaitu guru yang bermain cinta dengan murid perempuan”, ujar Pita Loka.
Seisi kelas tertawa berderai, dikira Pita Loka melucu. Padahal wajah Pita Loka tetap saja geram.
Dan dia tetap saja berwajah geram sewaktu Guru Gumara memasuki kelas. Seperti biasa, dia
mengembalikan buku-buku PR yang sudah beliau periksa. Pita Loka menerima buku PR-nya,
dan tentu dapat angka 10. Kemudian, seperti biasa, Gumara berkata, “Kalian akan bapak
berikan rumus baru.”
“Lagi-lagi rumus”, Pita Loka menggerutu.
“Siapa yang menggerutu itu?” tanya Gumara ramah.
Ketika dia menoleh mau melihat yang mengacungkan tangan, Gumara kaget. Sebab selama ini
Pita Loka paling getol dengan urusan rumus.
“Hai, koq kamu tiba-tiba seperti anti matematika?” tanya Gumara.
“Karena matematika tunduk pada rumus, maka matematika tidak mengenal moral. Jadi saya
berpendapat, matematika adalah musuh manusia”, ujar Pita Loka. Gumara tenang, lalu berkata
“Kalau tak suka, silahkan ke luar.”
Pita Loka bukannya sedih diusir dari dalam kelas. Malahan dia santai ke luar kelas. Dan
Gumara dengan tenang melanjutkan mengajar.
Tapi lebih dulu dia memberi komentar “Saya kagum pada orang pintar. Tapi saya tidak suka
pada orang kebelinger. Orang pinter sering kebelinger. Tahu kamu apa arti kebelinger? Inilah
rumusnya.”
Lalu Guru Gunnara menulis rumus matematikanya di papan tulis;
0 = 0
Barulah beliau mengajar rumus yang dia janjikan tadi. Hal ini tidak dibicarakannya kepada
Dewan Guru yang biasanya duduk ngobrol pada jam istirahat. Tetapi keesokan harinya, ketika
Guru Gumara memasuki kelas, dia melihat ada tulisan di papan tulis
MATEMATIKA = TANPA MORAL
TANPA MORAL = MUSUH MANUSIA
MATEMATIKA = MUSUH MANUSIA
MUSUH MANUSIA = NOL (0)
MATEMATIKA = NOL (0)
NOL = NOL
0 = 0
Belum pernah Gumara marah dengan wajah merah padam. Kali ini wajahnya merah padam.
Dia langsung menuding PitaLoka “Kamu yang membuat rumus konyol itu?”
“Betul, pak. Apa hukumannya kali ini?” tanya Pita Loka.
“Saya akan mengusulkan pada Dewan Guru supaya kamu dipecat. Ini kelas, bukan ruang
sidang DPR, mengerti ?”
“Saya tidak mengerti”, ujar Pita Loka, “Kalau matematika saya mengerti Pak. Tapi mengerti
bukan berarti setuju.”
“Kalau kamu tidak setuju dengan kurikulum, silahkan minta berhenti.” kata Gumara.
“Saya tak akan minta berhenti. Saya lebih suka dipecat”, ujar Pita Loka.
Gumara menahan geram. Lalu dengan tenang beliau berkata “Keluar kamu.”
Tapi dengan tenang pula Pita Loka ke luar kelas. Juga dengan tenang ketika dia menerima
surat pemecatan dari Kepala Sekolah yang disepakati oleh Dewan Guru. Surat itu
diserahkannya pada ayahnya. Ki Putih Kelabu hanya menggeleng-gelengkan kepala “Aku tahu.
yang kau benci bukan ilmu matematikanya.Tapi Gumara, guru matematikanya.
“Kenapa kau berubah picik?” Pita Loka tahu ayahnya marah, sekalipun berkata lembut. Tapi
semula dia kira, pemecatannya itu membuat ayahnya berpihak padanya. Bukan pada Gumara,
Maka dengan hati yang luluh, Pita Loka lari ke kamar, dan membanting diri ke kasur.
“Yang membuat kau merasa begini, adalah soal jodoh. Soal yang ghaib, yang cuma Tuhan
Maha Tahu. Ayah tidak menyangka, kamu begini gila mencintai Gumara. Padahal ada pemuda
tampan dan gagah, yang dulu begitu baik, yang mencintaimu, koq kamu tolak cintanya?
Apakah kau mencintai Gumara?”
“Tidak, saya membencinya”, sahut Pita Loka.
“Kalau kau sudah membencinya, apa tindakanmu selanjutnya?”
“Aku akan memohon suatu permintaan”, ujar Pita Loka seraya merangkul sang ayah. Dan Ki
Putih Kelabu merasa amat terharu karena belum pernah menyaksikan puterinya tersayang
begini sedih dan pilu.
“Katakan, akan ayah kabulkan, Pita”, ujar Ki Putih Kelabu.
“Aku mohon, malam ini juga, supaya ayah mewariskan satu saja ilmu mantera untuk saya,” ujar
Pita Loka.
“Baiklah. Mantera apa yang kau minta?” tanya Ki Putih Kelabu.
“Mantera untuk membikin pikiran seseorang menjadi kacau” ujar Pita Loka.
“Ha? Wah, itu tak baik, aku tak mau!” Ki Putih Kelabu menolak tegas.
Pita Loka menangis sejadi-jadinya. Dia peluk ayahnya erat, lalu berkata “Belum pernah saya
meminta pada ayah. Saya telah dibuatnya malu. Kali ini saya ingin membalas malu itu.”
“Tidak bisa, Pita”, ujar sang ayah berat.
Dia tetap merasa berat, sekalipun sudah tiga jam Pita Loka menangis sampai larut malam,
sampai bengkak matanya. Ki Putih Kelabu, demi cintanya pada anak gadis tunggalnya,
akhirnya menyerah, “Kendati berat, terpaksa kuberikan. Tapi selesai membaca mantera itu, kau
harus meninggalkan Kumayan, sekalipun tebusannya adalah mati bagimu.”
Airmata Ki Putih Kelabu tertahan lalu bercucuran melihat Pita Loka begitu teguh ampuh
berkonsentrasi membaca mantera itu, dengan telunjuk bergerak di atas sebuah piring sebagai
syaratnya. Ketika telunjuk itu berhenti, Ki Putih Kelabu terdongak kaget, dan, berseru,
“Cepatlah pergi dari sini”,
Rupanya Pita Loka sudah slap untuk pergi. Begitu cepat langkahnya ke luar masuk hutan rimba,
menjelang matahari terbit dia sudah melewati Bukit Anggun dan tanpa istirahat dia mulai
mendaki Bukit kedua, Bukit Kerambil.
Gumara resah seharian. Biasanya, sepulang dari mengajar dia masih sempat membaca
beberapa buku-buku atau catatan. Hari ini, sehabis makan siang dia langsung mengantuk dan
tidur. Dan sewaktu bangun dari tidur, dia kembali resah tanpa tahu sebab-sebab keresahan.
Keresahan itu tampak ketika dia mengajar matematika atau fisika di depan kelas. Hal ini
diketahui hanya oleh seseorang yang memperhatikannya dengan cara saksama.
Dan yang memperhatikan hal itu adalah Harwati. Maka pada jam istirahat terakhir, Harwati
sengaja mendekati Guru Gumara yang tidak berada di ruang Dewan Guru melainkan di bawah
pohon flamboyan di pekarangan sekolah. Pak Guru sedang memegang dahan flamboyan yang
merendah.
“Wah, kali ini koq Bapak ada di sini?” tanya Harwati. Gumara diam saja.
“Kalau pulang jalan kaki, boleh Wati menemani Bapak?” tanya Harwati. Juga Gumara diam saja.
Dan sewaktu guru itu pulang sehabis bubaran sekolah, dengan lngkah yang dipercepat seperti
di”kejar”nya Guru Gumara. Setelah seiring, Harwati bertanya “Sudah tahukah Bapak, setelah
dipecat si Pita Loka melarikan diri dari Kumayan?”
“Dia minggat?” tanya Gumara.
“Mungkin minggat. Hai ini diberitahukan sendiri oleh tuan guru Ki Putih Kelabu pada ayahku,
Sebagai laporan bahwa puterinya pergi entah ke mana.”
Langkah Gumara dan Harwati terus menyelusuri jalan kampung yang kecil itu. Dan Gumara tak
memberikan komentar apa-apa.
“Saya duga Bapak sedih atas kepergian Pita Loka”, tuding Harwati.
Karena Gumara diam saja, Harwati mengepungnya dengan pertanyaan, “Apa Bapak jadi risau
begini karena mencintainya ?”
“Mencintai Pita Loka? Ah. itu cumatuduhanmu”, kata sang guru.
“Kalau begitu apa yang membuat Bapak kelihatan murung ?”
“Entah, saya tak tahu.”
Harwati lebih mengepungnya “Jadi kemurungan Bapak bukan karena kepergian Pita Loka dari
Kumayan?”
“Sama sekali bukan,” sahut Gumara.
Alangkah senangnya hati Harwati mendengar jawaban itu. Hal itulah yang dia harapkan, Tetapi
anehnya, malam itu Gumara bermimpi! Dia bermimpi melihat Pita Loka sedang dikerubungi
kera-kera besar di sebuah hutan. Ia menganggap mimpi ini ada takwilnya. Begitu terbangun,
Gumara memikirkan takwil mimpi itu untuk mencari tafsirannya.
Dan anehnya, apa yang ada dalam mimpi Guru Gumara itu, memang sedang dialami Pita Loka.
Pita Loka berputar di sekitar lorong-lorong-sesat yang diperbuat penduduk Bukit Kerambil. Dua
hari dua malam Pita Loka berjalan di sekitar tempat yang sama, digiring o!eh monyet-monyet
kecil, Karena letih, Pita Loka duduk pada sebuah batu. Seingat dia, ayahnya tidak menceritakan
lebih terperinci mengenai lorong sesat Bukit Kerambil ini. Namun dia usahakan agar dia tetap
memenuhi puasa, sebab puasa 40 hari itu musti dia lakukan sampai dia tiba di Bukit Tunggal
tujuan terakhirnya.
Mendadak melompat ke depannya seekor kera besar.
Jelas itu raja dari kera-kera yang menggiringnya. Waktu itu matahari telah terbit. Pita Loka
meneliti kera besar itu. Agaknya dia bukan kera, tapi manusia berwujud kera. Tampaknya kera
itu menawarkan kelapa yang sudah berlubang. Kelapa muda! Ah, tawaran yang ramah, Pita
Loka menggelengkan kepala. Kera besar itu memberikan contoh bahwa kelapa hijau yang
diberinya itu untuk minum. Kera itu minum dan tertawa. Pita Loka langsung berfirasat, bahwa ini
jebakan.
“Saya puasa, tuan”, sahut Pita Loka ketika kera besar itu sepertinya memaksanya untuk minum.
Lalu kera itu membelah kelapa itu, dan mengambil daging kelapa. Baunya harum seakan
menguji daya tahan Pita Loka yang sudah 3 hari berpuasa siang malam. Kera itu menggodanya
dengan unjuk cara, memakan daging kelapa itu. Pita Loka mengulangi penolakannya “Saya
puasa, tuan.”
Untuk mengelak, Pita Loka melanjutkan langkah. Namun dia kembali lagi ke tempat semula,
dengan bukti bekas belahan kelapa hijau tadi. Pita berkata “Aku tak sudi terjebak dalam
labyrinth. Lorong sesat ini sengaja menjebakku untuk menetap di Bukit Kerambil.”
“Ya, menetaplah di sini”, lalu dengan cepat Pita membalik tubuhnya dan mendengar seorang
berkata, ternyata memang manusia, berwujud orangtua. Orangtua itu memegang rantai.
“Jika kamu menolak, kamu kami tawan”, ujar lelaki tua itu.
Pita Loka melihat dirinya dikepung oleh kera-kera. Tetapi dia seketika itu juga merasa yakin
bahwa dia mampu mengalahkan si tua, Dia tidak menunggu sampai kena rantai. Dia hentakkan
kedua telapak kakinya ke dada si tua itu dengan sekuat tenaga dan loncatan macan. Lelaki tua
itu memang terjengkang jatuh, namun bangkit lagi dengan gerak gerik menyeramkan.
Pita Loka tidak menunggu waktu sampai lelaki tua itu berdiri teguh. Langsung saja dia lompati
dengan sebuah tendangan sebagaimana pemain bola sayap kanan menendang bola ke gol
dengan tujuan membobolkan gawang lawan. Di luar dugaan tendangan itu mengenai rusuk
lelaki tua itu. Lelaki tua itu tersungkur. Tapi kera-kera yang mengepungnya tampak hanya
menontoni saja.
Aneh! Begitu lelaki tua itu tersungkur, tampak ada jalan ke luar. Tampak bukit di hadapannya.
Itulah Bukit Cangang yang dikatakan ayah! Pita cepat melarikan diri melewati jalan “ke luar” di
hadapannya. Tetapi kalau dia tidak cekatan, tentulah dia sudah masuk ke jurang. Jalan “keluar”
itu rupanya jebakan bagi siapa yang mencoba melarikan diri dari Bukit Kerambil ini.
Bagai rem yang pakem, Pita Loka menghentikan langkah, sementara suara batu-batu
bergelundungan ke bawah menciptakan gema di lembah bawah. Pita Loka mau segera berbalik,
tapi lelaki tua yang tadi dia sungkurkan kini telah mencegatnya.
“Pilihan hanya dua, anak perawan. Kalau terus mati masuk jurang, atau menyerah dan belajar
pada kami”, kata lelaki tua itu.
“Belajar apa, tuan?” tanya Pita Loka berpura-pura ramah.
“Belajar ilmu silat kera,” sahut lelaki tua itu.
“Berapa lama pelajarannya?”
“Tujuh tahun”, sahut lelaki tua itu, mengulurkan tangan.
Uluran tangan itulah yang membuat Pita Loka mendapatkan siasat. Diterimanya jabat tangan
itu, tetapi kemudian dia remas telapak tangannya dengan tekukan kuat, sehingga lelaki tua itu
mendadak mencakar-cakar Pita Loka. Setika dia berteriak kesakitan, dia berubah menjadi
seekor kera besar. Ya kera besar yang pertama menawarkan minum air kelapa dan
menawarkan daging kelapa.
Pita Loka tidak sedikitpun mengurangi remasan dan tekukannya, membiarkan kera besar itu
menjerit-jerit. Pada saat yang sudah dianggapnya tepat, Pita Loka membungkuk sedikit untuk
mengambil tenaga mengentakan tubuh untuk membanting kera besar itu. Bantingan itu sangat
sempurna!
Kera besar itu menggelepar begitu terjengkang di tanah. Dan pita Loka cepat melarikan diri
ketika dia melihat adanya batu bersusun kayak tangga. Dia tidak terjebak o!eh jalan lurus di
depan, karena dia menduga dalam sedetik bahwa itu cuma jalan “ke luar” jebakan lagi. Betullah.
Setelah sekuat tenaga dia naik tangga itu tampaklah rumpunan pohon-pohon kelapa dan dia
lintasi pohon-pohon kelapa itu mengarah ke Bukit nun jauh di sana, yang tak lain tentulah Bukit
Cangang. Dia tidak tercengang menatapi Bukit Cangang itu, tetapi dengan meluncur dia terus
turun ke lembah di bawah, berbelok-belok di sela-sela pohon petai cina.
Dan pada tengah hari, Pita Loka sudah sampai pada lembah yang terbawah. Nafasnya sesak,
dan sungai yang mengalir itu membuat dirinya tambah sesak nafas. Lalu rasa haus mulai
menggodanya. Tapi dia ingin mempertahankan tekad bulat untuk tetap berpuasa 40 hari siang
malam dalam perjalanan ke Bukit Tunggal.
Tiba-tiba dia memutuskan untuk menyeberangi sungai itu. Ketika dia mencelupkan kaki,
dirasanya betapa nikmatnya air pada telapak kakinya. Menyegarkan tubuh secara menyeluruh!
Namun Pita Loka tak tergoda berlama-lama mencelupkan kaki. Dia melangkah di air, dan
terdengar bunyi kecipak air. Dia meloncat ke sebuah batu, Tapi ketika dia sudah meloncat pula
ke batu yang kedua, mendadak muncul seperti potongan kayu. Ternyata itu punggung seekor
huaya. Adanya sungai yang berbuaya itu pun tidak pernah dituturkan oleh ayahnya. Tapi satu
hal yang membuat dia selalu berani, karena ayah berpesan pada suatu malam dulu “Jika kau
menemui halangan menjelang tiba di Bukit Tunggal, kau mantapkan hati bahwa rintangan itu
dapat kau kalahkan.”
Kini Pita Loka bersikuat batin. Dia kumpulkan tenaga untuk meloncat ke batu besar yang
dirintangi oleh punggung buaya itu. Punggung buaya itu hanya jebakan saja.
Lalu . .. .. setelah tenaga terkumpul dan batin membaja, Pita Loka meloncat ke batu besar itu
melangkahi dahan kayu jebakan punggung buaya itu. Satu pukulan keras menampar tubuhnya
sehingga Pita Loka jatuh terjerembab ke permukaan batu. Dianggapnya saja punggungnya tak
sakit.
Lalu dia berdiri tetapi di hadapannya dia melihat ada benda kayak gergaii yang mau menampar
mulanya. Pita Loka tidak mengelak. Dia nanti beberapa detik menjelang benda itu tepat untuk
dipegang sebelum menampar. Seketika dia pegang saja ekor buaya itu, yang licin, namun
akhirnya terpegang erat, yang kemudian ternyata sebuah kaki manusia.
Manusianya menggelepar dalam sungai, berkecipak-kecipak.
Pita Loka berusaha agar tidak kecebur. Dia terus bertahan dengan dua telapak kaki bagai
dipakukan pada permukaan batu besar itu. Dia biarkan manusia yang menggelepar itu mereguk
air sampai pengap dalam usaha membebaskan diri dari cengkeraman cekatan tangan Pita
Loka. Setelah dia sesak nafas, Pita Loka menghela ujud manusia itu. Yang ternyata lelaki tua
berkaki satu. Pita Loka bersikuat hati untuk tidak terbujuk oleh rasa kasihan padanya, karena
kuatir rengek si tua hanya jebakan. Malahan dia segera melompat ke sebuah batu dan
kemudian ke batu-batu yang menyembul di permukaan sungai, sampai dia mencapai tepi
sungai di seberang itu. Dia tidak tunggu waktu tergoda haus oleh wanginya bau sungai. Dia
terus memanjati tebing dengan berpegang pada akar-akar besar. Lalu memanjati Bukit
Cangang.
Dikumayan, malam itu Gumara berteriak nyaring karena sebuah mimpi. Teriakan ini membuat
Talang Padu, jirannya di sebelah rumah yang dibatasi kebun sirih, terbangun dan segera
menuju rumah Gumara. Diketuknya pintu rumah guru yang dikenalnya amat berbudi itu,
“Siapa?” tanya Gumara menghapus keringat.
“Saya, Pak Talang”, sahut Talang Padu.
Talang Padu dikenal baik oleh Gumara setelah mendapat keterangan dan Harwati. Dia
bernama Sariman, tapi setelah berilmu dia digelari Ta!ang Padu. Dia terima gelar itu setelah
bertaubat dari ilmu hitam dan cuma bertani dan bersembahyang saja setelah bertobat itu.
Begitu Gumara membuka pintu, Talang Padu masuk.
“Sepertinya nak Gumara cuma bermimpi”, kata Talang Padu.
“Ya. Saya mimpi melihat seorang yang saya kenal sedang disihir oleh ahli telepati di satu bukit”,
kata Gumara.
“Oh, saya tahu bukit itu, Bukit Cangang. Di situ berkumpul ahli sihir, dan bahkan saya pun
sebelum bertobat menuntut ilmu sihir di sana. Yah, tak mungkin nak Gumara tak diceritakan
orang mengenai masa silam saya. Saya punya masa silam yang buruk, yaitu gemar
mengganggu rumah tangga orang yang sedang damai. Caranya menaruhkan sebuah batu di
talang air rumah orang yang damai suami isteri itu. Setelah itu, batu yang sudah saya isi
dengan sihir itu akan menciptakan pertengkaran rumah tangga. Akhirnya Ki Putih Kelabu yang
menaklukkan saya sampai saya digelari si Talang Padu.”
Setelah bicara tentang dirinya, kini dia bertanya “Boleh saya tahu siapa orang yang anda kenal
dalam mimpi itu?” Gumara menggelengkan kepala. Dia memejamkan mata sambil mengingat
mimpi yang barusan berlalu. Mimpi itu masih segar. Tampak olehnya Pita Loka dihadapkan
pada duabelas orang tua. Karena tidak sudi menjadi murid, satu dari 12-tua itu mencekik leher
Pita Loka. Ketika itulah karena kasihan menyaksikan, Gumara menjerit dengan teriakan
ketakutan ........ lalu dia terbangun dalam keadaan mandi peluh.
Talang Padu lalu pamitan pulang. Dan Gumara tak dapat tidur hingga pagi. Paginya setelah dia
berkemas untuk menomon pertandingan olahraga volley, muncullah Harwati dalam pakaian
celana panjang olahraga berwarna merah berstrip dua putih. Dalam pakaian “training” itu,
Harwati tampak lebih jelita dan gagah. Dia akan memperkuat regu SMP melawan regu Muspida.
Lalu Harwati berjalan seiring dengan Guru Gumara.
“Saya tadi pagi dapat informasi dari ayah”, ujar Harwati.
“Informasi? Mengenai apa?”
“Ada info mengenai Pita Loka. Dia rupanya bukan minggat. Tentu saja ayahnya merahasiakan
kepergiannya.
Ayah barusan kembali dari tempat pertapaan, dan menerima wangsit bahwa Pita Loka sedang
menuju Bukit Tunggal untuk menuntut ilmu ghaib pada Ki Harimau Tunggal. Anehnya, ayah
gembira!” Harwati menunggu reaksi Gumara. Tapi Gumara merahasiakan mimpinya semalam.
Dia berdiam diri.
Juga sehabis pertandingan volley, Gumara berdiam diri. Dia menolak Harwati untuk pulang
bersama. Dan ingin jalan sendirian ke suatu tempat. Dia ingin duduk di puncak Bukit Kumayan,
bukit satu-satunya di sebelah kidul yang tidak ditumbuhi pohonan. Anehnya, bukit itu bundar.
Dan mungkin di situ ada kadar menyan yang banyak, atau bisa juga seluruh bukit bundar itu
adalah bukit menyan. Menikmati bau menyan di Bukit Kumayan itu, bukan menciptakan
ketenangan. Malah dia gelisah. Lebih heran lagi muncul Lading Ganda. Lalu Ki Lading Ganda
berkata “Hati-hati duduk di bukit yang seluruhnya berisi menyan raksasa ini. Kalau di sini terjadi
perkelahian, maka yang mati akan masuk ke tanah tak ke luar lagi jadi tumbal dan jadi batu
menyan.”
Gumara hanya melirik. Ki Lading Ganda lalu bersimpuh menghadap pada Gumara yang
bersimpuh pula. Ki Lading Ganda berkata “Percuma tuan guru mengingat Pita Loka di sini.
Karena aku mendapatkan ilmu peramal dari guruku, aku ingin menyatakan ramalanku!”
“Tak usahlah, Ki. Saya tak percaya ramalan”, ujar Gumara.
“Namun ingin saya nyatakan. Saya ramalkan Pita Loka bukan minggat sebab malu dipecat, tapi
melarikan diri ke satu tempat menuntut ilmu. Harimau yang enam termasuk Ki Putih Kelabu
pasti sudah tahu ke mana perginya. Dia akan kembali ke Kumayan untuk jadi musuh tuan guru.
Dan Harwati? Saya ramalkan takkan jadi isteri anda. Memang dia mencintai tuan dan tuanpun
mencintainya. Tapi lebih tepat jika tuan mengawini Keni, puteriku, adik si Pina.”
Keni memang cantik, Tapi Gumara diam. Dan Ki Lading Ganda menjebaknya dengan berkata
“Kalau anda diam, berarti setuju.”
Gumara terpaksa jadi marah. Kemarahan inilah yang diharapkan Lading Ganda. Berdiri
merentak, Gumara berkata merentak pula “Jangan lamar aku. Sebab aku ingin hidup
membujang!”. Ki Lading Ganda bagai mencegatnya. Lalu orangtua itu berkata, “Penolakan
berarti penghinaan. Kalau anda jantan, jangan dulu pergi. Layani dulu permintaanku.
Aku ingin mencoba ilmumu.”
Gumara tenang. Teramat tenang. Matahari sore agak menyilaukan Gumara yang sedang
berdiri berhadapan dengan Ki Lading Ganda. Ki Lading Ganda menggertaknya “Jika kau tak
menyerah, kau akan kuhabisi sekarang!”
Langsung saja lelaki tua itu dengan dua tangannya mencabut dua buah golok dari pinggangnya.
Dalam sekelebatan golok itu diadunya dan menciptakan kilatan api dan bunyi nyaring, Golok itu
seketika berubah menjadi satu golok yang bergagang kembar dan bermata dua.
Gumara berdiam diri, namun tak mengucapkan kata-kata menyerah. Tetapi hatinya
menganggap ilmu si tua ini amat rendah. Sekelebatan tampak olehnya sinar yang melayang
mau menebasnya, membuat Gumara merunduk menjatuhkan diri sebab sinar itulah sinar mata
golok yang mau menebas lehernya. Begitu dia menjatuhkan diri, Ki Lading Ganda menyerang
dari belakang, tetapi kaki kanan Gumara menuat menangkis dengan putaran. Tepat mengenai
Ki Lading Ganda sampai ia terjengkang.
Gumara tidak mengambil sikap menyerang, melainkan bertahan. Terutama menyalurkan
ketenangan nafas. Waktu dia hendak berdiri, satu kilatan menghantam bahunya. Golok itu tepat
mengenai bahu kanan, tetapi golok itu membal, terpelanting lepas dari tangan Ki Lading Ganda.
Ki Lading Ganda sudah menduga bahwa itu akan membuat tangan kanan Gumara copot. Kini
dia terpelongo, terheran-heran. Dia tidak memungut goloknya. Tapi cepat menghatur sembah
sungkem layaknya, berlutut dihadapan dengkul Gumara. Katanya, “Anda rupanya diam-diam
punya ilmu kebal.”
Gumara berpekak-telinga seolah tak mendengar. Dia melangkah, dengan maksud
meninggalkan Ki Lading Ganda. Tetapi Ki Lading Ganda menungkai dengan kakinya sehingga
Gumara jatuh tersungkur. Dia bangun lagi. Tapilalu pergi setelah membersihkan tanah yang
diciumnya oleh mukanya sewaktu tersungkur tadi.
Ki Lading Ganda masih duduk di puncak Bukit Kumayan itu bagai terpesona. Setelah diambil
goloknya yang tadi terpelanting itu, lalu golok itu ditetakannya ke keningnya. Sebuah dari
kembarannya meloncat ke udara, dan disanggep oleh tangan kiri Ki Lading Ganda. Dengan
serempak kedua golok itu masuk ke sarung-sarungnya kiri kanan di pinggang lelaki tua itu.
Ketika Gumara tiba di rumahnya, ia kaget melihat sudah tersedia hidangan di meja selain
rantang kiriman Pak Yunus. Lalu muncul Harwati dari dapur„ Rupanya dia!ah yang telah
memasak makanan siang ini.
“Jika ayahmu tahu, kurasa dia akan marah kau ada di rumahku”, kata Gumara. Dan memang
benarlah apa yang dikatakan Gumara senja itu. Setiba di rumah Harwati dipanggil oleh ayahnya.
Sebelum ayahnya bicara, Harwati berkata “Sudah banyak orang yang mau berobat pada ayah.”
“Katakan pada mereka, hari ini aku tidak melayani tamu, kecuali orang yang sakit parah.”
“Tapi ada satu tamu, pejabat penting dari kota, ingin minta perkukuh jabatan pada bapak,
katanya. Malah dia ingin didahulukan”, ujar Harwati.
Dengan langkah geram Ki Lebai Karat keluar dari ruangannya menemui tamu itu. Dan tamu itu
memperkenalkan diri sebagai tamu dari kota. Drs. Jamal Wangsadan menyatakan hasratnya
untuk diangkat sebagai walikota.
“Oh, itu mudah saja. Tuan tak usah mendatangi Ki Karat. Berbakti pada kepentingan rakyat
dengan baik, sampai Pak Gubernur tahu bahwa anda paling tepat untuk menjadi walikota. Itu
saja. Saya kira tuan sakit atau berkelahi dengan isteri.”
Ucapannya yang kedengaran angkuh itu membuat Drs. Jamal Wangsa pun mengimbanginya
dengan keangkuhan.
Katanya “Saya kira, begitu saya dengar bapak adalah dukun sakti, bapak dapat berbuat segalagalanya.”
“Oh, yang bisa berbuat Segala-Galanya itu, cuma Tuhan Maha Pencipta Semesta Alam. Bukan
saya. Saya rasa tuan salah alamat”, kata Ki Karat.
Lalu Ki Karat menyuruh masuk seorang ibu tua yang lumpuh, Setelah Ibu tua lumpuh itu ke luar
lagi sehabis diobati, ia tak lagi dibimbing. Ia malahan menolak untuk dipegangi. Ia melangkah
dengan sempurna. Sehabis seluruh pasien di obati oleh Ki Lebai Karat, kini Harwati mendengar
namanya diteriaki oleh ayahnya. Dia merasa nada itu tinggi, terlalu tinggi, dan benarlah ramalan
Pak Guru bahwa dia akan di marahi. Wajah ayahnya setelah berhadapan tampaknya begitu
geram.
“Aku tidak setuju kau terlalu rapat dengan Peto Alam.
Gumara Peto Alam itu hanya tepat sebagai guru sekolahmu, saudaramu dan bukan calon
suamimu. Orang menyampaikan kau sibuk memasaki di rumahnya, padahal rumahnya tak
pernah ada asap dapur sebab dia menerima kiriman rantangan dari guru Tarikh,”
Mendengar kata-kata ayahnya itu, Harwati berlinang airmata. Dan dia tampaknya melawan
dengan tudingan tuduhan “Pantas ayah begitu senang mendengar Pita Loka pergi berguru ke
Bukit Tunggal. Jadi ayah lebih rela apabila kelak Pita Loka menjadi isteri Gumara Peto Alam
ketimbang aku, ya?”
Ayah yang berbudi itu lalu membelai kepala Harwati setelah tak kuasa mendengar isak tangis
anaknya, Katanya; “Gumara itu bukan dampinganmu, nak!”
Dibelai dengan ucapan yang begitu, bukannya membuat Harwati lega, malahan tambah terisakisak. Semalannan dia tak dapat tidur. Menjelang subuh tiba, Harwati menemukan keputusan
sendiri. Dia secara rahasia memasuki kamar-pertapaan ayahnya. Dibongkamya semua buku
yang berisi mantera-mantera yang bertulisan arab-gundul. Tanpa tanda baca. Tapi Harwati
dapat membacanya karena tulisan arab-gundul itu bukan berbahasa Arab melainkan manteramantera berbahasa daerahnya sendiri. Karena kamar ini jarang dimasuki ayahnya, Harwati
bertambah tekun mencari satu kitab yang berisi rumusan-rumusan pikat. Kitab Pikat yang
dicarinya itu agaknya disembunyikan ayah, fikirnya. Lalu dia melihat ada sebuah gembok pada
lantai papan. Rupanya ayah membuat lantai itu berpintu, Gembok itu membuat dia penasaran.
Karena dia harus mencari kunci. Dia cari tempat kunci itu. Dan dia temui. Semua kunci
dicobakannya pada gembok itu. Seluruhnya tujuhpuluh buah kunci. Dan pada kunci bernomor
arabgundul 49, Harwati lega karena kunci itu cocok.
Pintu rahasia itu kini dia buka. Jika saja dia tidak diwarisi keberanian, tentu dia menjerit melihat
seekor kelabang hitam berkaki 33 yang muncul dari lemari bawah tanah itu. Kelabang hitam itu
menatapnya lama, tapi lama-kelamaan mengerikan sekali.
Tiba-tiba Harwati menjerit sewaktu kelabang hitam itu melompat ke arah kepalanya. Ki Karat
yang sedang makan siang segera bertindak cekatan menuju kamar pertapaan. Dia dapati
puterinya pingsan, Dia langsung menoleh ke lemari bawah tanah yang pintunya terbuka. Dia
membaca-baca mantera. Lalu merangkaklah kelabang-hitam berkaki 33 itu. Begitu patuh.
Begitu ketakutan gayanya merangkak. Dia lalu merangkak ke kening Harwati. Tambah ada
beberapa tetes seperti minyak yang dipoleskannya dengan sungutnya ke kening yang
membundar biru itu. Makin lama kening itu berkurang birunya, tapi Harwati belum sadarkan diri.
Tampaknya kelabang hitam itu sudah menyelesaikan tugasnya, lalu kembali menuju sarangnya,
yakni lemari rahasia tadi. Ketika kelabang hitam itu hampir pada tepi pintu, Ki Karat membentak
ke arahnya; “Mampus kau!”
Kelabang itu terjengkang menelentang seketika.
Malahan dia diinjak-injak oleh Ki Lebai Karat. Dan rupanya Harwati tersadar dari pingaannya
karena bentakan ayahnya pada kelabang hitam tadi. Dia kemudian duduk. Dia belum tahu ada
ayahnya di kamar pertapaan itu. Dia mencari-cari kelabang hitam yang menyengat keningnya
tadi. Ketika dilihatnya kelabang itu sudah remuk, barulah Harwati sadar tentu ada seseorang
yang menginjaknya.
Barulah dia menoleh sekeliling. Tolehannya terhenti pada wujud ayahnya yang duduk tenang di
korsi goyang. Dan Ki Karat pun berkata “Terpaksa kubunuh si penjaga itu hanya karena
kelakuan kau. Memang kitab itu, Kitab Pikat itu, aku sengaja sembunyikan. Sudah kuterka
sekali waktu kau akan mencarinya. Tapi dengan menggembognya, itu berarti termasuk kamu
dilarang membacanya.”
“Kenapa ayah?”
“Kitab Pikat itu penemuanku sendiri setelah selesai berguru pada Ki Macan Tunggal.
Sesungguhnya dia sebuah kitab yang buruk dan merusak. Jadi kuharap, jangan sekali-kali kau
baca kitab itu, sekalipun si kelabang penjaga sudah mampus. Aku tahu, kau amat cinta pada
Peto Alam. Tapi masih banyak pria yang mungkin lebih baik sebagai dampinganmu. Cinta itu
berbuah perkawinan. Kau bukan sakedar dampingan suami, tetapi isteri itu harus menjadi
garwa suaminya. Tahukah kau arti garwa?”
“Tahu, ayah, ketika Wati berusia 12 dan mulai menstruasi, ayah menerangkan arti garwaitu.
Saya mohon maaf dan ampunan ayah atas kelancangan saya”, lalu dia meraung dengan suara
ratapan yang menghibakan hati.
Hati Ki Lebai Karat memang hiba. Tetapi dia tidak ingin mewarisi pada Harwati ilmu memikat
yang dangkal. Dan batinnya tetap tidak rela apabila Harwati justru akan menjadi garwa bagi
Gumara Peto Alam.
Kemurungan Ki Lebai Karat itu membuat kawanan empat sekawan Harimau Kumayan yang
dipimpin Ki Lading Ganda, adalah termasuk yang ditolak oleh ayah Harwati. Empat lelaki tua itu
pulang dengan kecewa, juga orang-orang yang akan berdukun kecuali yang sakit keras.
Dan sejak larangan ayahnya itu dimaklumkan, Harwati tetap saja mengukuhkan perasaan
cintanya pada Gumara. Tapi memasuki pekarangan Gumara, dia tak berani. Dan takkan pernah
berani, sebab dia tahu jika ayah mengutuk seseorang. Akibatnya akan selalu negatif.
Dan di sekolah, pada hari Kamis itu, seluruh murid tercengang ketika melihat Guru Gumara
jatuh pingsan sewaktu mengajar, Guru itu digotong murid lelaki, namun Harwati ikut
memegangi kepala Gumara sambil berdesih-desih membaca mantera bagi seseorang yang
pingsan. Harwati gembira, manteranya kabul dan Guru Gumara sadarkan diri di ruang Dewan
Guru.
Tak ada desas-desus, Tapi hari berikutnya, ketika Guru Gumara mengajar !agi di kelas IPA itu,
ucapannya tiba-tiba aneh Saya sering pusing, siapa di antara kalian yang sering bawa obat
pening kepala?”. Semuanya heran membisu.
Hari demi hari, pribadi Guru Gumara berubah. Anak-anak SMP Kumayan membicarakan hal ini.
Tetapi, yang paling cemas adalah Harwati. Dan pada suatu hari Harwati berkata pada ayahnya
“Ayah, jika saya melaporkan hal ini pada ayah, jangan ayah mengira karena saya mencintainya,
dan saya kepingin jadi garwa-nya. Ini adalah soal Prikemanusiaan”.
“Mengenai nasib Gumara?” tanya Ki Karat.
“Ya”.
“Aku sudah lebih dulu mendapat berita”.
“Dari mana?”
“Dari Harimau Yang Empat, dipimpin oleh Ki Lading .Ganda. Semua laporannya masuk akal.”
“Tentang pergunjingan orang mengenai Guru Gumara?”
“Ya, tentang si Peto Alam itu. Mulanya kukira karena Lading Ganda merasa iri tak habis-habis
kepada Ki Putih Kelabu,”
“Nah, itulah yang akan saya laporkan”, ujar Harwati gembira, “Yaitu terlibatnya Ki Putih Kelabu
dalam penyakit aneh Guru kami itu, Pak. Seakan dia diperbuat malu di hadapan murid-murid.
Tapi kami murid-murid tidak terpengaruh oleh kegugupan, mudah lupa kadangkala ketololan
Pak Guru kami itu. Saya sudah mempengaruhi teman sejak awal, bahwa pasti Pak Gumara
dikerjain orang. Pendeknya, wibawa Pak Gumara tidak menurun. Soalnya, Ayah . . . kasihan
kita pada dia. Kita harus selidiki siapa yang bikin gara-gara. Saya cenderung untuk menduga ini
semua perbuatan halus dan licik Ki Putih Kelabu. Dia membalas penghinaan terhadap Pita
Loka. Bayangkan halusnya teluh Ki Putih Kelabu. Sudah 21 hari Pita Loka melarikan diri, baru
akhir-akhir inilah muncul penyakit aneh Pak Gumara”.
Ki Lebai Karat terdiam. Ia sebetulnya kagum pada puterinya. Masuk akal memang, yang
mengerjai Gumara adalah Ki Putih Kelabu. Memang teluh. Tapi lelaki tua ini berkata yakin “Ki
Putih Kelabu mungkin saja terluka hatinya. Tapi dia tidak sejahat Lading Ganda”.
Harwati jadi tidak puas. Namun dia kembali lega ketika ayahnya berkata “Nanti akan kupilih hari
memanggil dia. Kalau dia tak datang, itu suatu tanda bahwa dia perlu dicurigai”.
Keesokan harinya, ketika melalui jalan yang melewati rumah Guru Gumara, Harwati mampir.
Mampirnya dia kebetulan terlihat oleh Hura Gatali. Hura Gatali menyelidiki di bawah pohon
randu depan rumah Gumara. Harwati mengabarkan usulnya kepada ayahnya, agar sang guru
bersimpati padanya. Gumara berkata “Sebetulnya aku tak ingin melibatkan hal ini melalui
ayahmu. Tapi nyeri di kepala ini menyebalkan sekali”.
“Yang semacam mimpi aneh, pernah Pak Guru alami ndak?” tanya Harwati, Gumara hampir
menceritakan mimpinya yang dua kali, yaitu ketika dia mimpi Pita Loka di Bukit Kerambil
disergap kera dan mimpinya tentang Pita Loka yang terjebak dengan ahli-ahli sihir di Bukit
Cangang.
“Yah, tak usahlah aku ceritakan”, ucap Gumara.
“Katakanlah, supaya ayahku dapat mempermudah pemecahannya”, kata Harwati.
“Mimpi itu mengerikan, semalam . . .. Ah, tak usah saya ceritakan. Mari kita berangkat ke
sekolah, sudah dekat setengah tujuh”, kata Gumara. Nah, ketika turun tangga rumah di
pekarangan, Hura Gatali yang penuh selidik itu pun mulai nguping. Dia mendengar percakapan
Gumara dan Harwati.
“Katakanlah mimpi Pak Guru itu”, ujar Harwati.
Saat itu Gumara kebetulan kurang kontrol. Penyakitnya kambuh. Dan dia bicara tanpa tahu
akibatnya, padahal dia ingin merahasiakannya agar orang-orang Kumayan tidak bertambah
jengkel pada Pita Loka atau Putih Kelabu.
Gumara bercerita, didengar baik oleh Hura Gatali “Begini, Wati. Tadi malam itu saya menjadi
yakin, bahwa Pita Loka sudah berguru pada ahli-ahli sihir dan teluh di Bukit Cangang!”
“Astagfir, ya Tuhan!”
“Dia berguru di sana, mungkin ilmunya kelak akan sejalan dengan Lading Ganda” Mendengar
ucapan ini, Hura Gatali yang sembunyi di balik pohon randu menjadi geram. Ditunggunya
sampai Gumara lewat dua langkah, lalu dia hantam dengan tendangan ke sudut pinggang.
“Aduh, sakitnya!” teriak Gumara. Dia seperti orang mabuk. Geraknya lamban . Dia hanya
menangkis tidak pernah menyerang. ia seperti satria mabuk. Tiga sampai lima kali tendangan
Gatali ditangkisnya jatuh bangun. Harwati menjadi murka sekali, lalu dia lepaskan tendangan
giling-tebu hingga Hura Gatali jatuh jungkir balik kayak orang bersalto. Hura Gataili jadi ragu.
Gumara seperti mabuk mendekatinya, dan menyodokkan kepalanya ke perut Hura dengan
lamban.
Kepala itu dipelintir oleh Hura.
Pelintiran itu menyebabkan Harwati dengan buas melakukan tendangan berbalik badan tepat
mengenai dada Hura Gatali. Darah kental menyembur seketika dari mulut pemuda yang
sempat dikenal sebagai Pahlawan Ular Sanca itu. Dia tersungkur. Lalu Harwati menggunakan
kesempatan itu menyeret tubuh gurunya sekuat tenaga, masuk kembali ke pekarangan rumah
Gumara.
Gumara tersenyum, lalu meronta minta dilepas. Dia macam orang gila merangkak memasuki
pintu rumah. Harwati kehilangan akal. Dia mau melihat dulu keadaan di luar. Di luar, di tempat
Hura jatuh muntah darah, dia pun tak ada lagi di situ!
Harwati kalang kabut kembali dia masuk rumah, dan didapatinya Gumara bukan duduk, tapi
macam binatang berkaki empat layaknya. Telapak tangan di lantai papan, dan dengkul pun
menekan lantai. Raut wajahnya macam orang bodo.
Harwati segera berlari kencang menuju rumah, Dengan nafas sesak, dia masuk rumah, “Ayah!
Ayah! Ayah!” Ki Lebai Karat tak di rumah. Ternyata beliau dengan lewat hutan kecil menempuh
jalan pintas yang begitu kencang langkahnya sampai merobohkan sekian pohon pisang, pohon
petai cina ataupun pohon akasia lainnya.
Dia tiba di rumah Gumara bagaikan harimau yang sedang cemas. Begitu dia masuk,
didapatinya Gumara menjulurkan lidah, Bengong. Macam binatang berkaki empat. Melihat
kejadian itu, teteslah airmata Ketua Harimau Yang Enam di Kumayan itu, dan menyergap
Gumara dengan pelukan erat “O, Peto Alam . . . Kenapa kau jadi menderita begini, nak?”
“He-he-he . . . . “
“Peto Alam!” bentak Ki Lebai Karat sembari terpaksa menampar Gumara agar segera sadar.
Tapi Gumara tersenyum lebar, seperti orang teler yang kesenangan disakiti;
“He-he-he . . . tuan Ki Karat ya?”
“O, Peto, bangkit dan berdirilah! Lawan musuhmu dengan kepala tegak!”, dan didekapnya
kepala Gumara. Diangkatnya untuk berdiri, tapi Gumara menjatuhkan dirinya lagi ke lantai
bagai binatang berkaki empat; “He, he . . . . “
Tampaklah kecemasan luarbiasa di wajah Ki Lebai Karat. Dibiarkannya Gumara begitu saja.
Orangtua itu lalu duduk di kursi, terperangah. Dia sedang memilih cara terbaik Menghancurluluhkan Ki Putih Kelabu . . . atau . . . mengobati Gumara lebih dulu. Untuk keduanya diperlukan
tindakan sportip. Lalu dilihatnya lagi Gumara. Hati Ki Karat hancur luluh tak tahan melihat Peto
Alam lebih gila dari orang gila, lebih pikun dari orang pikun, lebih teler dari orang mabuk.
“Gumara, sadarlah nak”” bentak Ki Lebai Karat. Bentakan dahsyat ini membuat Harwati tak jadi
masuk pintu. Dia, hanya mengintip lewat celah, memperhatikan apa yang diperbuat ayahnya.
Harwati melihat satu kejadian yang aneh. Dilihatnya ayahnya memeluk kepala Gumara,
membelainya dengan cucuran airmata, dan berkata “O, Peto Alam . , , sekiranya aku boleh
kembali pada ilmu kasar, aku mampu mengembalikan pikun kau ini pada pembuatnya.
Ah, kasihan aku melihat kau!”
Harwati bercucuran airmata babagia mendengarnya. Dia masuk tetapi kaget ketika ayahnya
mendadak berubah sikap menghapus airmata dengan cepat dan segera menjadi gugup namun
gagah.
Mendadak saja ayah itu meninggalkan Harwati dan Gumara. Dia kemudian menuju rumah Ki
Putih Kelabu, hal yang tak pernah diperbuatnya sebelumnya! Kesombongannya Karena dialah
ketua Harimau Kumayan ditanggalkannya. Dia sangat hormat ketika bertanya pada Ki Putih
Kelabu “Bolehkah hamba masuk?”
“O, tuan Ketua . . . kenapa tidak?”
Hati-hati ia duduk. Hati-hati ia berkata “Aku mohon pertolonganmu. Dengan segala kerendahan
hati, dengan sepuluh jari tanganku disertai satu kepalaku, kumohon kau obati si Peto Alam”.
Ki Putih Kelabu jadi terheran-heran melihat Sang Ketua begitu merendah. Dia jadi kebingungan.
Dan dengan nafas tersengal-sengal dia berkata menyerah
“Mungkin tuan Ketua tidak percaya, bahwa bukan saya membuatnya”.
“Kalau begitu aku mohon petunjuk”, ujar Ki Karat. Ki Putih Kelabu berada di persimpangan
pikiran. Jika diberinya petunjuk, Pita Loka puterinya tercinta akan menanggung akibatnya. Jika
ditolak, penolakan ini tidak sesuai dengan sifatnya yang dia punyai. Kalau berdalih, pasti Ki
Karat akan tahu alasannya dibuat-buat. Lalu dia Cuma bertanya “Kenapa tuan Ketua begitu
bersemangat membela nasib seorang yang tak ada kaitan darahnya dengan tuan?”
Di luar dugaan, itu membuat Ki Karat bukannya bersemangat, tapi mundur dan berkata “Kalau
begitu, baiklah aku akan atasi sendiri. Jika atap gagal diraih, terpaksalah anak tangga terbawah
yang kuperbuat. Kumaklumkan dari sekarang, kucopot kedudukanku sebagai Ketua. Aku
terpaksa menempuh anak tangga yang terendah”.
Dengan cekatan beliau pulang. Mandi kembang dan berkata “Harimau Tunggal aku terpaksa
melepaskan ilmu yang kau berikan, demi nyawa Peto Alam!”
Pada detik itu juga, di sebuah guha di Bukit Tunggal di tempat pertapaan nya, lelaki tua keriput
berambut putih tersentak dari duduk rapinya bersila.
Sebuah keris jatuh di hadapannya. Dibacanya hurufarab gundul pada gagang keris itu, tertera
nama Ki Putih Kelabu. Dan beliau cuma diam memegang keris itu. Gagangnya terbuat dari
kayu cendana mengering bagai areng pikulan. Dan batangan logam keris berukir itu meleleh
hancur berjatuhan di permukaan tanah.
Pada detik itu juga. Ki Lebai Karat dalam keadaan telanjang menebah dadanya sendiri, “Aku
kini Ki Gumilang yang dulu!”
Tindak-tanduknya jadi kasar. Dan ketika dia masuk ke rumah, dia dapati Harwati tersenyumsenyum dan berkata “Dia sudah sembuh!”
“Apa kamu bilang?”
“Peto Alam yang ayah sayangi sudah sembuh. Saya kira dia sendiri yang menyembuhkan
dirinya, bukan saya dan bukan ayah”, ujar Harwati. Dan pada waktu makan malam, Harwati
berkata pada ayahnya, “Tahu ayah berita gembira yang perlu saya sampaikan?”
“Katakan, anak tolol” bentak lelaki tua yang kini merasa Ki Gumilang.
“Hal pertama Hati saya luluh bahagia sewaktu ayah memeluk Gumara Dan hal kedua yang
membahagiakan hatiku Cinta saya berbalas!”
“Apa katamu, goblok!”
“Dia membalas ucapan cinta saya. Dia juga berkata, bahwa dia bersedia melamar saya. Dan
saya akan dengan segera menjadi garwaatau isterinya. Oh, ayah, betapa bersyukurnya diriku
sehabis musibah ini!”
Ki Gumilang Jalang tersenyum menyeringai. Dia geleng-geleng kepala, lalu tertawa terkekehkekeh.
“Kalau kau bahagia dua kali, malam ini kumaklumkan padamu, bahwa aku benci dua kali.
Pertama benci pada diriku sendiri, kedua aku benci pada Gumara. Malu aku kalau dia melamar
kamu, Harwati!”
“Ayah, betapa takaburnya ayah!” seru Harwati.
Dan tiba-tiba lelaki tua yang amat dihormati itu membuat Harwati jadi ngeri. Sorot matanya
jalang. Biarpun dalam jarak jauh, seakan-akan mata ayahnya berkobar nafsu sampai Harwati
berteriak, “Ayah! Ayah akan jadi gila! Itu bukan sorot mata Ki Lebai Karat yang mulia! Sorot
mata ayah adalah sorot mata lelaki pejantan yang suka melacur!”
Ki Gumilang bukannya jadi malu karena ucapan puterinya. Dia malah mendekat ingin meraih
rambut Harwati, tapi gadis itu segera melakukan tindakan cepat memutar tubuh dan menyepak
ke belakang sampai Ki Gumilang terjungkal setelah telapak Harwati mengenai dadanya.
“Baik, aku kalah”, kata lelaki tua itu.
“Nikahkan saya segera dengan Gumara!”
“Oh, itu boleh saja”, ujar Ki Gumilang.
Dan dengan nada terharu, Harwati berkata, “Terimakasih untuk ayah. Terimakasih untuk Ketua
Harimau Yang Enam atas dikabulkannya permohonan ini. Tapi kapan ayah menerima Guru
Gumara Peto Alam untuk melamar saya?”
“Pertama akan kujawab dulu soal yang sulit untuk dirahasiakan lagi. Kau tentu sudah melihat
bahwa ayahmu sudah berubah”, kata lelaki tua itu.
“Memang hari ini saya lihat ayah halus, tapi kepadaku berubah kasar, Toh ayah sayang pada
Gumara, dan sayang pada saya. Buat apa lama-lama ditunda perkawinan kami?” tanya Harwati.
“Perlu kau ketahui mengapa aku berubah watak?”
“Tidak perlu, yang perlu kawini kami segera”, ujar Harwati.
“Itu soal ringan. Tapi soal pelik yang menggoncang jiwaku sekarang ini mesti kau ketahui. Dulu,
ataupun malam ini, pada hakikatnya aku tak sudi kau mencintai Gumara, begitu pun aku tak
sudi Gumara mencintai kau, Apalagi Gumara kawin dengan kau!”
Harwati terdongak mendengarnya. Dia cepat membalik dan menuding.
”Kenapa ayah tidak semulia dulu?”
“Karena aku tak patut dimuliakan lagi. Tanyalah pada Ki Putih Kelabu, bahwa aku telah
mencopot gelar Ketuaku di Kumayan ini. Hanya karena Gumara. Lalu, apa masuk akal kalau
lamarannya kuterima?”
“Lidah ayah kini bercabang! Harimau yang aku segani, ayah yang aku hormati, kini lidahnya tak
dapat dipercaya lagi. Sebentar setuju, sebentar menolak. Di mana pendirian ayah yang
sebenarnya?”
Lelaki tua itu hanya diam. Hatinya sedang membeku, Lalu secara mendadak dia tarik kaki kursi
kecil dan dia lempar kursi itu pada Harwati. Harwati kaget ketika ayahnya meloncat mau
menerkam dia. Dia terpaksa mengeluarkan tangkisan dengan tendangan melurus ke leher
ayahnya sampai ayahnya tersungkur. Tapi, kali ini sang anak terheran-heran. Pencak silat itu,
yang diajarkan ayah, sepertinya tak mampu ditangkis ayah, Kenapa? Jiwanya berubah,
raganya pun tidak memperlihatkan kemampuan bersilat seorang Ketua. Apalagi Ketua Macan.
Dan Harwati tambah kaget karena dilihatnya ayahnya pingsan! Jagoan pingsan?
Dan ternyata kemudian, sebelah badan ayahnya lumpuh. Harwati kuatir ilmu ayahnya yang
dulu itu sudah pudar. Mungkin sebagaimana ilmu itu rumah yang dikontrak penghuninya,
penghuninya pergi karena kontraknya habis.
Pagi buta, Harwati mendatangi Gumara. Gumara senang dan mengulangi ucapannya kemarin
“Terimakasih karena kamu yang pertama ketika saya sadar dari kemabukan aneh itu. Tapi
tentu terimakasih pada ayahmu yang baik hati. Dan barusan saja pergi Ki Putih Kelabu dari sini
setelah menjenguk saya”.
“Apa perlunya Putih Kelabu ke sini?” tanya Harwati.
“Mulanya kedatangannya ingin mengobati saya. Namun setelah dilihatnya saya segar bugar,
dia malahan heran. Setelah mengucapkan selamat sembuh, dia pergi. Barusan saja dia pergi”,
ujar Gumara.
“Hampir aku curiga atas kedatangannya”, kata Harwati.
“Apa lagi yang perlu kau curigai. Toh sebentar lagi aku menjadi suamimu dan kau jadi isteriku”.
Harwati tersenyum senang, lalu bertanya “Apakah tidak sebaiknya segera melamar?”
“Tak usah terburu-buru”, kata Gumara.
“Tapi ada kabar sedih. Ayahku lumpuh. Badannya mati sebelah. Aku kuatir ayah berlarut dan
mati, kita kehilangan waktu perkawinan yang tepat”, kata Harwati. Gumara tercengang
mendengar ayah Harwati bisa menderita sakit badan mati sebelah, Tapi Harwati tidak
menceritakan kejadian yang sesungguhnya.
“Kalau begitu aku perlu menemui beliau”” ujar Gumara.
“Maka pagi ini aku ke sini agak kepagian. Sebab selain hari ini hari Minggu, juga ayah sudah
meminta aku tadi pagi bahwa beliau tidak lagi melayani pengobatan”.
“Wah, kalau begitu sekarang sajalah kita ke rumahmu”, ujar Gumara.
Tak ada hal yang lebih menyenangkan bagi Harwati kecuali sikap Gumara Minggu pagi ini! Dia
memang tidak ingin terlambat, takut keduluan Pita Loka saja! Ya, siapa tahu Pita Loka
mendadak kembali dari perguruan sihir, lalu merebut hati Gumara dengan caranya sendiri?
Dan kedua pasangan insan itu melangkah. Jalan sunyi. Kesunyian itu bertambah lagi sunyinya
karena udara berkabut berhubung tibanya musim panas dl kawasan Kumayan. Harwati tiba-tiba
merasa perasaannya tak enak. Dia berbisik sembari memegangi lengan Gumara “Aku tiba-tiba
ngeri”.
Barulah saat ini Gumara menemukan pertanyaan yang selalu mengganggunya. Sejak tiba di
Kumayan yang dia teruji oleh beberapa orang lawan. Tapi semua bisa diatasi. Yang
mengherankannya ketika dihajar oleh Hura Gatali tempohari, dalam keadaan seperti teler dan
mabuk, dan masih bereaksi, cuma lamban. Tapi serangan Hura Gatali yang mengenai
tubuhnya tidak sakit. Seperti tidak lukanya dia dibacok golok sakti Lading Ganda di Bukit
Menyan.
“Kaulah orang yang memberi jawaban dari pertanyaanku sejak kanak. Kenapa aku pandai
mengelak jika diserang. Yah, mungkin saja ini warisan dari ayahku”.
“Siapa ayahmu?” tanya Harwati.
“Aku cuma kagum cerita ibuku mengenai ayahku. Tapi tentu dia orang sakti. Ilmunya pasti
tinggi, sedemikian tingginya dia warisi pada diriku, kemungkinan ketika aku masih dalam
kandungan ibuku”, suaranya gembira, dan tanpa mereka sadari telah sampailah mereka ke
padepokan Ki Lebai Karat.
Begitu masuk ke rumah memberi salam, Gumara mempunyai perasaan bahwa rumah ini
seperti sedang mengalami perubahan. Entah apanya yang berubah. Dan dia terkejut melihat
ayah Harwati terbaring. Lalu disapanya ramah orangtua yang badannya mati sebelah itu.
“Jangan kalian berdua kuatir. Aku akan sembuh dan kuat perkasa lagi seperti masa mudaku.
Apa maksud kedatangan kau ke sini Peto Alam?”
“Pertama saya ingin menjenguk tuan yang sakit”, kata Gunnara.
“Lalu apa lagi, Peto Alam?” tanya ayah Harwati.
“Dia ingin melamar saya pada ayah”, potong Harwati yang tak sabaran. Sang ayah menatap
berang pada Harwati
“Kau sebaiknya tak mendengar kata-kata lamaran Gumara. Jika kau tak ngeri kesakitan kau
tidak akan luntur, ikuti nasehat ayahmu Kau keluar. Tinggalkan kami berdua. Dan jangan sekalisekali mengintip atau nguping apa yang kami bicarakan, mengerti?!”
“Mengerti, ayah”, ujar Harwati.
Dia sungguh-sungguh menepati janji. Dia malahan pergi ke sebuah kebun jeruk dan menikmati
keharuman limau-limau ranum itu.
“Aku hargai kau, Peto Alam, sebagai pria bujangan, bicara langsung melamar puteriku. Tapi
aku pun ingin menjawabuya secara jantan AKU MENOLAK LAMARANMU DAN TAK
KURIDOI JIKA KALIAN BERDUA KAWIN LARI”
Gumara terperangah. Airmatanya berlinang. Tapi anehnya, jiwanya tenteram dan langkah
mereka berdua makin hati-hati. Derak suara dahan yang terpijak seakan menimbulkan gema.
Kadangkala keduanya berhenti karena keraguan akan sesat. Mendadak Gumara merinding.
Dan berbisik; “Bau apa yang kau rasakan?”
“Bau bangkai”, ujar Harwati.
“Tentu ada salah seorang tua di sekitar sini”, ujar Gumara.
Harwati mendadak merinding lagi. Dipegang eratnya lengan Gumara, lalu dia berbisik “Kau
rasakan bau menyan?”
“Ya, bau setanggi”, ucap Gumara.
“Kita berhenti dahulu”, ucap Harwati gemetaran.
Dia belum pernah segemetar pagi berkabut begini. Tadi pun sudah ada kabut ketika dia ke
rumah Gumara, lewat jalan ini juga. Tapi kini tambah tebal. Dan itu mempertebal kengeriannya
kini !
“Ada bayang sosok mendekat”, bisik Harwati.
Gumara berdiam diri. Mendadak angin kencang berhembus ketika bayangan sosok manusia
mendekat itu semakin dekat. Kabut terusir oleh derasnya angin. Dan makin nyatalah siapa yang
mendekat itu.
“O, Kau, Hura Gutali”, ujar Gumara geram.
“Apa yang kau mau lakukan?”
“Aku, bersama seluruh murid yang setia ke Ki Cangan siap menghabisimu. Dan kau harus tahu,
bahwa Pita Loka sekarang sudah sealiran dengan kami. Kau berdua perlu dihabisi”, kata Hura
Gutali.
“Ingatlah kau Jagoan muda usia. Bahwa siapa pun manusianya, di Kumayan ini harus
mengenal pantangan. Disini pantang berdemdam,” ujar Gumara, yang mendadak dilihat Hura
Gutali menjelma menjadi seekor harimau. Tapi Gumara sendiri tidak menyadari dirinya berubah
bentuk. Geraknya bagai siap untuk menerkam. Dan Hura Gutali ingin mengalihkan perhatian
Gumara dengan jalan seakan-akan hendak menerkam Harwati. Ketika Hura Gatali siap untuk
melakukan, tendangan suara mengaum yang mengerikan Gumara sekaligus menerkam Hura
Gutali. Hura Gutali berteriak kesakitan terkena cakaran, dan dengan meraung-raung kesakitan
di melarikan diri. Sementara itu Harwati hanya berdiam diri bagai patung.
“Heran, ilmu apakah yang kau punyai sehingga dia meraung setelah kau serang”, kata Harwati.
“Ilmu rasional saja, tanpa mantera. Ada aksi, ada reaksi. Tindakanku tadi diluar dugaanku,
diluar kemauanku, datang saja secara mendadak”, kata Gumara. Cepat Harwati berkata, “kalau
begitu ilmumu diwarisi ketika anda lahir. Jadi tanpa menuntut-nuntut!”
Lelaki tua itu batuk-batuk sejenak. Lalu, “Mari kulanjutkan alasanku menolak lamaran, Pertama
kedatanganmu menemuiku karena disuruh ibumu, bila ke Kumayan, kau harus pertama kali
menemuiku. Kau tahu, ibumu adalah wanita yang paling cantik? Dia bukan isteriku. Dia isteri
seseorang yang malah tidak aku kenal. Dan ketika namaku termashur sampai jauh ke luar
Kumayan, ibumu muncul ingin berobat padaku karena katanya dia mandul. Ingat, namaku
ketika itu Ki Dukun Gumilang. Aku pada mulanya bukan berniat cabul pada ibumu. Tapi aku
maupun dia, begitu saling pandang pertama kali, sama-sama jatuh cinta. Demikianlah, tiap dia
berobat padaku, kami melakukan hubungan gelap. Harap kau jangan sedih, itu semua bukan
atas kemauanku. Lalu dia hamil. Sejak hamil tua dia tak ke sini lagi hingga hari ini. Sempat aku
pesan padanya, agar kalau dia melahirkan, berilah nama anaknya Peto Alam. Tapi entah
bagaimana dia menambah nama itu menjadi Gumara Peto Alam. Dalam bahasa kami di sini,
dalam kamus kuno, Petoartinya Putera. Jadi Gumara adalah putera alam. Tapi kenapa kau
tidak sedih?”
Gumara berdiam diri. Dia terus berdiam diri. Tapidalam diam itu jantungnya bergerak teratur,
dan batinnya menyatakan ingin mengobati Ki Lebai Karat dan ingin mengembalikan wibawanya.
Lalu dia menoleh pada Ki Lebai Karat. Lelaki tua itu terheran-heran, “Izinkan aku menyebut
tuan dengan sebutan Ayah. Aku tak menolak takdir ini. Kuterima takdir ini. Coba bangunlah
ayah, semoga ayah telah kusembuhkan”.
Ki Lebai Karat tercengang. Dia langsung bisa duduk. Dan tetap tegar berdiri. “Bagaimana
caranya melunakkan hati Harwati? Bukankah dia adikmu, biarpun adik tirilah namanya namun
dia sedarah denganmu, sama-sama titisanku!”, ucap Ki Lebai Karat.
“Akan kurubah secara berangsur lewat kekuatan batin yang kini makin yakin aku, bahwa ini
kumiliki sebagai rahmat Maha Pencipta Alam, secara gaib. Ayah tak perlu merisaukannya. Aku
akan mencoba secara sabar dan berangsur-angsur agar cintanya padaku pupus perlahan.”
Gumara semakin tenang. Juga dia tenang tanpa haru ketika Ki Lebai Karat, ayah kontannya,
memeluknya erat. Dan ketika itulah Harwati masuk lagi dan mendapatkan Gumara dan
ayahnya sedang berpeluk erat. Dia tentu mengira, lamaran Gumara diterima ayahnya. Padahal
perkiraan itu meleset. Perkawman itu tidak akan terjadi, tidak pernah akan dia alami, selamalamanya.
Ketika Gumara pamitan, Harwati melepas kepergiannya dengan hati yang sangat-sangat,
sangat bahagia. Ki Lebai Karat pun lega saat itu, dan beliau pantas merasa bahagia yang
paling bahagia da!am hidupnya.


TAMAT

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler