Skip to Content

Setali Dua Gunung

Foto Sastrabudhi

SETALI DUA GUNUNG

Oleh Rahmat Setiawan

2012

 

            Tiap tengah, mungkin sepertiga malam, bangunlah badanku oleh goncangan tangan ibu. Menggoncang dengan kerasnya sampai aku terbangun. Tak berhenti sampai itu, suaranya meminta untuk segera sembahyang. Air tengah malam bisa dibayangkan seberapa dinginnya, apalagi di daerah pegunungan seperti ini, jauh dari kota yang terlihat kecil dibawah sana, hanya lampu-lampu kota yang terlihat. Setelah semua selesai, tak lupa berdoa, keselamatan hidup, dan lain sebagainya, manusia memang terlalu banyak menuntut. Tapi seperti apa yang ibu bilang jika Tuhan memang suka diuntut dengan begitu kita mengingat-Nya.

            Dari kecil ibu selalu mengajak aku ke jalan Tuhan, beribadah, berbuat baik, dan berhati bersih. Nikmat sekali rasanya hidup seperti ini, jika marah hanya ingat Tuhan dan mencoba ikhlas, jika kecewa akan hidup hanya ikhlas, jika apapun yang tidak menyenangkan di hati hanya ikhlas. Ya memang ikhlas, sederhana sekali kata itu tetapi tak semua orang mampu menjalankannya. Setiap hari, lima kali sehari ibadah wajib, membuatku selalu mengingat tuhan, ditambah setiap sore sepulang sekolah mengaji, dan membaca kitab suci, dan ditutup dengan malam yang menemani belajarku.

            Di kampung ini, semua temanku pandai membaca kitab suci, tak terkecuali aku, bahkan banyak di antara kita yang tak mengenal lawan dari jenis kita. Karena janggal sekali mengobrol dengan mereka, apalagi mengenal lebih jauh, jika bukan oleh satu tali, tali yang mengikat, tali pernikahan. Kehidupanku di sini, seperti tidak ingin kemana-mana lagi, akan tetapi rejeki keluarga yang cukup membuatku harus pergi dari desa ini, yang kelak juga akan membuatku pergi jauh dari Tuhanku.

            Lurah, semua memanggil bapakku dengan kata Pak Lurah, dan memanggil Ibu dengan sebutan Bu Guru. Bagaimana mereka mendapatkan sebutan seperti itu, tak pernah ingin tahu, tetapi merekalah yang bercerita, membuatku harus kuliah, sampai mendapatkan gelar dan dihormati di desa. Kemana? Aku tak tahu apa, selain desa ini, tetapi yang aku tahu aku mempunyai Tuhan yang selalu mengantarku, menemani melalui ayat-ayat di kitab suci-Nya. Pergilah aku mendaftar, sebuah kota, akhirnya aku melihat, inilah kota, besar, megah, tak ada hutan, alas, yang ada hanya gedung bangunan dan wanita. Menyebut aku nama Tuhan karena itu dosa, menduakan keagungan Tuhan dan wanita-wanita menonjol itu. Bapak mengantar sampai selesai ujian, menginap di kos, tiga hari, langsung pulang kembali ke tempat sejuk, desaku tercinta lagi.

            Aku selalu berdoa, agar diterima, agar orang tuaku bangga, bahagia, dan nyaman. Dan secara tak aku mengerti bayang-bayang kota itu kembali datang, dengan wainta-wanitanya. Ya Tuhan, lupakan yang satu ini, aku tak berdoa agar aku diterima karena wanita-wanita itu. Beraktifitaslah aku seperti Pujo biasanya, alim, dan pendiam. Sebulan berlalu, saatnya pengumuman, Bapak menanyakan nomor pendaftaranku, dan segeralah Bapak berangkat ke kantor kelurahan. Jaringan inter, uh apa itu yang menghubungkan dengan dunia luar melalui komputer di sini sangat minim seperti rok-rok wanita-wanita di kota itu, ya Tuhan maafkan hamba-Mu ini, lagi-lagi mengingat mereka. Hanya orang-orang mampu dan kantor kelurahan yang terjaring dengan dunia luar melalui inter, uh apa itu namanya, susuah sekali mengingatnya, terlalu sulit aku menghafal benda-benda asing dengan namanya yang tak familiar di kedua telinga satu otak suciku ini. Entah mengapa bapak tak membuat jaringan itu juga di rumah, tak pernah aku menayakan, dan aku juga tak tahu itu apa.

            Sepulang Bapak, memberi kabar baik tetapi dengan merengut, dan aku melihat hasil yang sudah di cetak, tercetak tulisan selamat Pujo Riyantoko dengan nomor pendaftaran 33109766643 di terima di pilihan dengan kode 00215988723. Tentu, sudah pasti bapak tak tahu, apalagi aku, beruntungnya aku ingat di mana aku menaruh informasi tentang kode-kode itu. Ternyata, pilihan ketiga, jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, senyum dari bibir hitamnya yang terkontaminasi dengan batang rokok itu menyeruak, dasar Bapakku ini. Aku memeluknya, segeralah keesokan harinya Ibu dan Bapak, dan tak ketinggalan Dwi, adikku yang lebih tampan daripada aku. Perjalanan dengan mobil keluarga yang tak begitu mengkilap, melaju dengan kecepatan sekitar 80 Km/Jam, lama sekali, ya memang jauh, bangun, tertidur lagi, bangun lagi, makan camilan, tidur lagi sampailah di kampus. Sangat berbeda dengan sewaktu SMA, semua harus diurus sendiri, selesai, beres, capek pastinya, ada satu hal yang belum terlunasi, pencarian kos. Berputar-putar sekitar kampong terdekat dengan kampus, akhirnya ada satu rumah yang cocok dengan hatiku, sedikit jauh dengan tempat ibadah, tetapi yasudahlah, aku tidak ingin merepotkan keluarga lebih jauh lagi. Semua benar-benar sudah selesai, apalagi? Sudah, sudah sudah selesai, kita pulang, dan seminggu kemudian hidupku disini, akan dimulai.

            Ospek, apa itu, ya tapi merekalah yang menamakan aktifitas ini dengan kata itu, hanya menuruti, dorong kesana, seret kesini, tari ke sebelah sana, teriak sebelah sini, menyanyi melolong, berseragam, dengan atribut serba aneh, Tapi, dengan ini selama seminggu aku mulai mengenal beberapa teman entah itu laki-laki atau wanita. Sibuk sekali rasanya seminggu ini, tetapi semua akan berlalu, jika di renungkan saja tak akan selesai dengan cepat. Aku mulai bergaul dengan banyak orang, teman, dan wanita. Aku lebih sering diam, karena aku menyadari ini bukan daerah asalku, bukan! Aku lebih gagap dalam hal apapun, itulah yang membuatku lebih baik diam. Di kampus, ya Tuhan aku harus bagaimana, setiap mata memandang selalu wanita, jika mereka biasa tak akan aku ceritakan, mereka seperti memang memamerkan itu. Jurusanku seperti didominasi wanita, tak hanya yang pendidikan, yang murni juga. Dan semuanya memakai baju yang membuat tali itu Nampak dengan jelas, mengikat bagian depan yang tak ingin aku jelaskan lagi. Hampir semua wanita di sini seperti itu, aku harus lebih menahan iman, dan mengingat Tuhan. Terkadang ada bisikan di telinga, pasti itu menyenangkan, tapi siapa yang bilang? Apa setan itu di luar tubuh kita? Ataukah di dalam diri kita? Atau memang kita sendiri itu setan? Berat sekali untuk tak menghiraukannya. Kita harus bersosial, itu yang kutahu, haruskah dengan wanita-wanita seperti ini. Menyesal aku di anugrahi wajah tampan, yang membuat wanita-wanita itu mendekati, dan aku harus tak mengabaikan, karena pesan bapakku untuk tidak menyakiti hati wanita.

            Satu, dua, dan tiga semester berlalu, aku memutuskan untuk mengikuti saran teman-teman untuk mengajar secara pribadi. Mencarilah aku, anak siapa yang ingin aku ajar, dan ketemu. Di perumahan mewah, tak jauh dari kampus, dengan ini aku tak harus merepotkan Bapak dan Ibu di rumah untuk mengirimkan uang, aku yang hanya pulang satu semester sekali, pastilah sangat merepotkan dengan biaya kuliah dan hidup di kota. Mulailah, aku menyadari terkadang setan itu seperti malaikat, dan begitu sebaliknya, jadi siapa diriku? Cerita ini yang akan menjawab, siapa setan dan malaikat itu.

            Hari pertama mengajar, anak seorang keturunan Tiong Hoa, masih sangat kecil, perempuan, cerewet pastinya. Berat sekali mengajar anak seperti ini, tak betah tetapi harus tetap semangat, hari berganti dan lega dia sudah tak secerewet dulu. Keluarganya sudah mengenalku cukup dekat, bahkan sering aku di bawakan makanan, orang bermata sipit ini tak sepelit dugaan orang-orang Indonesia, menghakimi mereka orang pelit, sombong, nyatanya tak seperti itu. Mei datang, sepulang dari Australia, menyapaku sudah barang tentu dengan bahasa Inggrisnya. Aku yang kaget bukan karena sapaannya, tetapi sapaan pahanya yang menyeruak lewat di depan mataku, ya Tuhan tolong, tolong aku tak ingin ini meracuni hamba-Mu ini. Kubalik menyapa, selesai mengajar, hendak pulang, seluruh keluarga mengajak makan bersama, kita mengobrol banyak hal, sudah seperti keluarga, yang kudengar orang-orang bangsa mereka yang sedikit rasis dengan orang pribumi, tak nampak. Selesai, hendak pulang. Menunggu angkot, lama sekali, Mei datang, menghampiri, mengantar pulang sekalian dia membeli keperluan di mini market. Di mobil dia mengobrol banyak hal, dan ini mungkin hanya untuk mengetes guru Bahasa Inggris adiknya.

            Sudah dua semester aku mengajar di rumah besar itu, sekarang lebih akrab, tetapi ini adalah petaka. Saat Pak Mario dan Bu Mario ke luar negeri, tak ada orang karena pembantu juga pulang kampung, mengajar aku seperti biasanya. Terdengar suara mobil Mei, memarkir, aku tetap mengajar, dia membawa teman laki-lakinya, dari sedikit sudut yang terlihat dia membawa laki-laki itu ke kamarnya. Pikiranku mulai hilang, tetap berusaha fokus, sembari mengingat Tuhan, ampuni aku, ampuni aku, biarlah mereka, biarlah mereka bersama dosanya. Agamamu-agamamu, agamaku agamaku. Ampuni aku Tuhan. Selesai mengajar, aku beranjak pulang, terlintas di halaman rumah sebelum keluar pagar, Mei mnggunakan tali pengikat bagian depannya itu, hitam, dengan punggung kulit putihnya. Langsung aku berpaling. Dan pulang.

            Matahari belum terbit, bangunlah aku, menghendaki ibadah. Berdoa, tiba-tiba, terdengar dari jendela kamar kosku yang berada di lantai dua dekat jalan. Kuamati, dia seorang wanita, darah-darah bercucuran dari punggungnya, jelek sekali, maanya merah, memakai penutup kepala, serta membawa pisau berlumuran darah, ini pasti kau! Setan! Setan! Enyahlah kau, jangan engkau menggaguku! Kusebut nama Tuhan, dia tak pergi, melototiku sepanjang detik. Aku bertanya siapa engkau, namun dia tak menjawab, hanya diam dan melotot beringas. Aku beranikan untuk menuruninya, dan dia sudah tidak ada. Datang dengan tiba-tiba masuk telinga, suara panggilan ibadah, dari tempat ibadah yang tak terlalu jauh namun juga tak terlalu dekat. Lama sekali aku tak mengunjungi tempat itu, lama sekali, ya Tuhan, ampuni aku, sudah melalaikan. Berangkat aku, melangkahkan kaki ke tempat yang terakhir kali aku kesana setahun yang lalu, kesibukan ini membuatku mengabaikan Tuhanku. Bukan! Pasti Wanita-wanita itu, ya Tuhan berkali-kali aku, ya Tuhan harus berkata apa, aku malu pada-MU.

            Pulang beribadah, kuletakkan penutup kepala, melepaskan baju putih ini, dan menggantinya dengan baju olahraga, hendak berolahraga di sekitar kampus, terlihat seorang wanita cantik di luar jendela. Tanyaku lagi-lagi tentang siapa gerangan dirinya tak terjawab, cantik sekali, manis sekali, ingin sekali aku bertanya padanya, sayang dia menguraikan rambut panjang lurusnya, dia menolehku, tersenyum, malu-malu, tetapi tetap tak mau menjawab, seolah ingin mengajak berolahraga bersama di kampus. Aku menuruni tangga kos, beranjak, dengan segera, memakai sepatu, dan bergegas. Tetapi dia menghilang lagi. Aku berharap akan bertemu lagi, tetapi dia tak ada.

            Keesokan malam, tepat sepertiga malam, seseorang melempar kaca jendelaku, sontak kaget. Aku dekati jendela, ternyata tak ada serpihan atau pun batu lemparan, ini hanya mimpi. Terlintas, wanita jelek itu datang lagi, tetap dengan darah-darah yang menjijikkan itu, dengan pisaunya dia menunjukkannya. Setan! Selalu mengganguku, ya Tuhan usirlah dia. Aku segerakan mengambil air mensucikan diri, hendak menemuinya, terlintas dalam pikiran, lebih baik sekalian beribadah malam. Sebelum menemui setan itu, dan memintanya pergi. Setelah semua doa selesai aku panjatkan, melihat ke  luar jendela, dia masih melotot dengan mata merahnya, turun aku kebawah, menemuinya. Lagi! Dia pergi, dasar setan pengecut, lama aku mencarinya, sampai ke gang sebelah, rumah ke rumah, dengan pakaian suci ini dan masih mengenakan penutup kepala serta sarung ini, mencari setan itu tetapi tak ada. Capek rasanya di bodohi oleh setan, tak sadar sudah dekat tempat ibadah, datang seorang yang biasa mengumandangkan panggilan beribadah, dan aku meminta izin pada pak tua itu untuk mengumandangkan. Dalam pikir, kasihan sekali orang setua ini harus bangun lebih dini untuk meneriakkan panggilan ibadah.

            Pulanglah dari tempat ibadah itu, seperti biasa aku hendak berolahraga, Wanita cantik itu nampak lagi. Lebih cantik dari kemarin, tersenyum dia padaku, melambaikan jari manisnya padaku, terbuai aku akan kecantikannya, ya Tuhan inikah cinta. Indah sekali. Kudekati dia, dan dia hilang seperti angin, berhembus seperti kemarin. Siapakah gerangan wanita cantik itu? Berlalu saja.

            Kembali lagi, di rumah Mei dan adiknya. Masih sepi, belum pulang kedua orang tua mereka serta pembantunya. Setelah mengajar, Mei datang, dengan mobilnya, setelah terparkir dia keluar, bau apa ini, dia sempoyongan. Seperti tak kuat menahan badannya, dia hampir jatuh. Dengan segera aku menopangnya, dia meminta di antar ke kamar, kuantarlah dia dan meminta maaf pada Tuhan dengan alasan hanya ingin membantunya. Sesampai di kamar dia langsung nmenuju kasur, tak sempat aku keluar, dia merasa risih dingin udara kamar, dengan segera dia membuka kaos minimnya, terkuaklah tali itu, ya Tuhan, segera aku berlari keluar, Mei memanggil tetapi aku tetap beranjak pergi. Dalam perjalanan, tubuh itu teriyang-iyang di kepala, langsung aku tampar dengan menyebut nama Tuhan, meminta maaf, ya Tuhan, ya Tuhan, ampuni aku. Lupakan ini, aku tak ada maksud, indah tetapi ini dosa.

            Malam datang, dalam tidurku, wanita cantik itu datang, mengobrol banyak, aku seperti sudah menjadi guru, mempunyai rumah, segera aku melamarnya. Lama kemudian, saatnya mengucapkan janji dan sumpah pernikahan. Tak selesai itu semua terucap, tersedak aku, suara ketokan pintu yang sangat kencang membangunkan aku dari mimpiku, jengkel sekali aku, mengapa tak sampai selesai, indah sekali rasanya. Dengan marah aku buka pintu kamar, dan ternyata. Wanita berengsek itu datang lagi, jelek sekali, lebih jelek dari kemarin dan kemarin. Sekarang membawa golok, tak lagi pisau. Darahnya sudah terlalu banyak yang menetes, membasahi lantai, melotot dia ke arahku, menyapukan goloknya, tetapi aku segera masuk dan mengambil kitab suci. Setelah mengambil dan menunjukkan padanya, dia sudah hilang. Tersadar apa yang aku pegang, kitab suci. Ya Tuhan, aku segera meletakkannya di atas meja, dan segera mengambil air untuk bersuci, dosa sekali aku ini, memegang kitab suci dalam keadaan belum bersuci. Setelah mensucikan diri, segera aku membaca kitab suci itu dan beribadah, dan membacanya lagi. Tak terasa kumandang panggilan ibadah sudah terdengar, aku berangkat. Selesai, dan pulang, badanku terasa sakit sekarang, agak pusing. Tak jadi, besok saja aku berolahraga, dari jendela muncul lagi wanita cantik itu, ingin segera aku menuruni tangga dan menemaninya, tak sempat membuka pintu kamar, terlihat kitab suci itu tertidur di atas meja, ya Tuhan, aku lupa menaruhnya. Selagi masih suci, kusempatkan diri membaca sebentar, dan berdoa agar bertemu dengan wanita cantik itu. Semakin lama aku membaca, semakin merdu, lama kemudian, aku tertidur. Aku bangun, tiba-tiba Bapak dan Ibu datang. Tetapi kamarku sangat gelap tak tahu dimana soket lampunya. Bapak dan Ibu menanyakan siapa wanita cantik itu, menunjuk ke arah wanita jelek, berdarah dan melotot itu. Setan ternyata kau mempengaruhi ayahku. Dan Ibu menanyakan hal sebaliknya pada wanita yang kujelaskan sangat cantik dan anggun itu, dengan pertanyaan siapa wanita yang busuk ini. Tak sempat aku menjawab kedua wanita itu masuk dua pintu berbeda dimana si jelek masuk di tempat yang ku sebut tempat ibadah dan si cantik yang masuk di tempat yang kusebut apa, aku tak tahu, bau seperti bangkai, busuk, dan ingin muntah aku. Aku ingin menarik tangannya agar tak masuk tempat busuk itu, tetapi dia tersenyum, dan melemparkan baju putihnya sehingga tali di punggungnya, yang mengikat bagian depannya, Nampak. Akan tetapi, busuk sekali, banyak cacing seperti muntahan, bergelayutan bersama lalat berbau bangkai, dan darah yang bercucuran. Ingin muntah aku, dan tak ingin menolehnya. Semua pergi.

            Terang sekali kamarku, cahaya matahari sudah terlalu tinggi, siapa mereka. Sebenarnya, siapa aku, yang kutahu, aku banyak berdosa. Tuhan, aku memang banyak melakukan dosa, dosa yang tak aku lakukan lebih banyak dari pada dosa yang aku lakukan, dan semuanya memang dosaku. Siapa wanita-wanita itu? Aku juga tidak tahu, tetapi banyak hal yang aku sadari wakau aku tak tahu. Orang tuaku selalu mengajakku ke kebaikan dan mendekat ke Tuhan walau ada yang selalu membisikkan untuk menjauhi-Nya. Aku tahu! Siapa yang setan dan siapa yang malaikat. Semuanya adalah aku sendiri.

---Selesai---

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler