Skip to Content

Si Lesung Pipi

Foto Gellis

Si Lesung Pipi

 

Pagi itu, ketika matahari bersinar begitu indah nan elok dipandang, dengan kicau burung kutilang sahut-menyahut membuat irama alam yang merdu di dengar. Entah mengapa waktu itu aku bertemu pujaan hati. Deg-degan rasa menyesakkan dada.

”Ojan, aku ingin kau membantuku.”

”Dengan senang hati sobat. Apa gerangan yang membuatmu gundah gelana seperti ini?”

”Entahlah, aku merasakan jatuh cinta.”

”Aku mahpum. Siapa gerangan wanita yang mampu meluluhkan hatimu?”

”Eka, Si lesung pipi.”

Busyet, apa aku tidak salah dengar, bukankah dia kembang kampus? Mayoritas laki-laki tergila-gila padanya.”

”Justru itu sobat, aku ingin kau membantuku.”

”Apa yang harus aku lakukan untukmu.”

”Aku memiliki sepucuk surat yang isinya perkenalan, maukah kau memberikannya untukku.”

”Tentu sobat, demi persahabatan kita aku akan setia membantumu.” Lantas dengan berlenggak-lenggok Ojan segera memberikannya kepada Eka. Aku tidak tahu apa reaksinya, yang jelas aku masih nervous menunggu kabar berita dari Ojan.

”Bagimana tanggapannya, Ojan? Apakah dia membalasnya?”

”Entahlah sobat, dia mungkin telah membaca surat yang kau utarakan  itu. Tunggu saja reaksinya beberapa menit.”

Detik berganti menit, menit berganti jam tak kunjung jua ada surat balasan. Aku semakin gundah gelana dibuatnya. Semalaman suntuk aku tidak bisa tidur memikirkan surat yang kuberikan kepada Eka Si lesung pipi melalui perantara Ojan. Aku beranggan-angan akankah ia membalasnya saban hari. Esok hari, aku segera mehampiri rumahnya yang berlokasi di Loteng tepatnya di Mawar satu nomor dua. Ditemani super cup, aku tancap gas menuju rumahnya, tak satu pun kata terlontar, hanya senyum bibir pertanda persahabatan. Tapi aku ingin memastikannya kembali tentang cikal bakal surat yang aku berikan tempo dulu melalui perantara Ojan, sahabat karibku.

“Eka, apakah suratku telah sampai kepadamu?”

”Oh, sudah. Aku pikir itu surat dari Muslihat, sebab itu aku tidak balas.”

Lantas aku segera menghampirinya untuk menanyakan akan kebenaran surat tersebut, ternyata ia mengelaknya.

”Aku pikir kau menaruh rasa padaku. Benarkah begitu?”   

”Aku memang mencintaimu sejak kali pertama aku melihatmu, rasa ini sunguh menggetarkan nadiku. Aku mencintaimu seutuhnya.”

”Aku hargai ketulusan cintamu. Tapi maaf, aku tidak bisa menerima cintamu, sebab aku sudah ada yang punya. Aku telah menjadi miliki orang lain sobat.”

”Aku tidak peduli akan itu. Aku tetap mencintaimu, walaupun kau telah menjadi milik orang lain. Meski badai menghujam, petir menerpaku, kau tetap bidadari yang mengisi kekosongan hati dan jiwaku.”

”Kau adalah temanku, sama seperti halnya Martini dan Indah. Aku tidak mungkin menyakiti hati kalian. Aku .....!!” lantas ia meninggalkanku sendirian di pelantaran rumahnya.

”Eka, aku akan menunggumu hingga kau berubah pikiran.”

Betapa ngototnya aku, aku mabuk kepayang oleh parasnya yang ayu. Ingin rasanya aku menghampirinya, memeluknya, mendekap kehangatan tubuhnya, karena ia tercipta begitu sempurna bagiku. Ia bagaikan dian yang menerangi kegelapan jiwaku. Aku begitu menyukainya, menginginkannya menjadi pendamping hidup walau sejenak dalam angan-angan, tetapi aku telah mampu menghargai diriku sendiri, betapa aku mampu mengutarakan rasa yang terpendam di dada. Sungguh luluh lantak jiwaku, tetapi aku tidak menyesali keputusannya itu. Tekadku telah bulat untuk memperjuangkan cinta yang sejati. Rasa kekecewaan timbul dalam hati yang ranum, ditambah penolakan pertama dari seorang wanita yang teramat mulia dan mempesona.

 

Aku lantas meninggalkan rumahnya, dan segera melampiaskan amarah yang terpendam dengan tancap gas sejadi-jadinya menuju pantai Sire. Akh..! betapa tololnya aku, kenapa hal itu aku utarakan terlebih dahulu tanpa memikirkan akibat dari itu semua. Aku tahu bahwa setiap aksi tentu akan menimbulkan reaksi, dan sekarang reaksi yang ditimbulkan adalah negatif. Sungguh malang nasibku. Di pantai Sire nan indah aku termenung seorang diri, merefleksi kejadian-kejadian yang pernah kualami sebelumnya. Di atas pasir nan basah oleh buih lautan, aku menuliskan kalimat ”Eka, I Love You” lalu sejenak buih menerpa tulisan tersebut, dan kandas ditelan air yang tak kunjung berhenti antara pasang dan surut. Aku berteriak sejadi-jadinya.  Khalayak ramai melirikku, dan berparadigma aku telah grazy. Persetan dengan mereka, persetan dengan masalah yang aku miliki. Aku ingin mengeluarkan keluh kesah yang membatin. Cukup lama aku memandangi lautan, lantas ada seekor Wings Air melintas di atas khatulistiwa. Akh, aku berpikir sejenak, apa yang membuat Wings Air terbang? Pertanyaan klasik muncul dalam benak dan tersimpan di otak. Sungguh Wing Air mengilhamiku tentang sesuatu. Aku berpikir untuk menciptakan sebuah usaha yang bergerak dalam bidang miniatur alat trasportasi menggunakan remote control. Tidak mudah memang untuk memulainya, tapi tidak ada sesuatu yang tidak bisa, kecuali takdir Tuhan yang menentukan lain. Aku menyingsingkan lengan baju melepas kekecewaan yang ada, dan segera berbenah menuju masa depan yang lebih baik. Aku tidak ingin memikirkan wanita yang mengilhami jiwa. Aku teringat akan cerita ibuku dulu, ketika aku beranjak pubertas. Ibu berfatwa, ”Nak, apabila kau dalam keadaan gundah gelana, singkirkan itu semua dengan bekerja tanpa memikirkan hal yang terjadi.”

Fatwa kecil tapi memiliki makna yang teramat luas bagiku, lantas ibuku bercerita kembali tentang kisah silam mengenai seorang pengantin perempuan yang menunggu pendamping laki-lakinya datang untuk menikahinya.  Ia menunggu dari pagi hingga siang menjemput. Batang hidup pendampingnya tak kunjung datang. Alasan klasik muncul dalam benak wanita itu. Jakarta makanan seharinya adalah macet dan jalan kaki solusi tepat untuk mengatasi hal tersebut. Sungguh malang nasib wanita itu. Tapi ia tidak mau merasa kekecewaan yang mendalam membelenggunya. Ia lantas mengganti pakaian pengantin yang dikenakannya, lalu menggantinya dengan T-shir biru warna kesayangannya, segera ia  mengambil cat dan kuas untuk mengecat tembok kamar tidurnya yang saban hari belum pernah dicat seperti biasanya. Ia menutup pintu rapat-rapat. Para tamu undangan keheranan dibuatnya. Apa gerangan yang terjadi dengannya?

”Nak, hentikanlah perbuatanmu itu!” perintah ibu.

”Tidak, Bu. Aku tidak ingin kekecewaan ini berlanjut begitu saja.”

”Aku tahu perasaanmu itu nak, hentikan itu semua!”

”Ibu pikir aku melakukan hal buruk pada diriku? Tidak, Bu. Aku tidak ingin menyakiti diriku sendiri dan orang lain.”

Dari balik pintu tiba-tiba muncul seorang pemuda yang gagah dengan mengenakan jas dan dasi. Seseorang yang ditunggu akhirnya datang juga. Wanita itu segera mengganti T-shir biru itu dengan baju pengantin setelah mandi susu. Akh, tamu undangan hampir  pulang.

Akhirnya lima menit kemudian setelah dilakukan akad nikah keduanya resmi menjadi suami istri. Sungguh bahagia mereka sampai ubun di kepala.

Cerita itu sering mengilhami pikiranku. Dan aku beranjak meninggalkan pantai Sire yang indah dengan polesan gunung Fuji oleh kejauhan yang terletak di pulau Bali. Aku segera mencari literatur tentang hal-hal yang berhubungan dengan alat transportasi baik di internet, maupun di intranet. Pagi, petang, siang, hingga malam menjemput aku terus mencarinya, tak henti-hentinya sebab dengan usaha semuanya bisa berubah, berubah menjadi lebih baik. Usiaku masih belia, dan perjalanan yang aku tempuh masih jauh ke depan ....   

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler