Skip to Content

Siapa Lagi Kalau Bukan Dodot?

Foto andreas raditya

Siapa Lagi Kalau Bukan Dodot?

                Perjalanan ke kota Magelang masih panjang. Magelang kotaku tercinta, di sanalah aku tercipta. Goresan luka dan asmara kurangkai indah di sana.

                Panggil aku Dodot, bukan nama samaran melainkan nama sebenarnya. Konon, ibuku terpaksa melahirkan aku di kontrakan dekat dengan alun-alun Magelang karena saat itu memang bisnis rumah sakit sedang marak, pasien-pasien miskin dibiarkan terlantar hingga akhirnya mati K.O karena penyakit. Bukan, bukan penyakit akibat virus atau sejeninya tapi penyakit rakusnya manusia oleh demam duit. Ah, sudahlah, aku tak mau bicara soal uang.

                " Mas, kalau di bus jangan melamun, nanti kecopetan lho..." tegur seorang lelaki tua di sebelahku.

                Earphone di telingaku masih menyanyikan lagu dan musik yang keras itu tak sanggup menghiraukan nasehat laki-laki tua itu sehingga tanpa sadar aku telah mengabaikan beliau. Dan aku masih ingat.....

 

23 Maret 1999

                " Dot.....!!!" teriak bapak. "Cepatlah kemari dasar anak tak tahu malu!!!!"

                Kakiku bergetar hebat mendengar gertakan bapak. semenjak ibu meninggal, sikap bapak terhadapku berubah. Beliau menjadi sosok pemarah, banyak mengeluh dan cepat putus asa. Segala kegalauan diutarakan kepadaku secara blak-blakan. Bukan dalam bentuk curhatan melainkan hantaman keras asbak yang seringkali mengena di dahiku.

                " Ada apa bapak memanggil aku?" aku mencoba bersikap tenang meskipun setengah badan bersembunyi di balik tembok.

                " Kau tahu apa ini?!!"

                Aku menggeleng.

                " Ini surat peringatan dari Romo Broto akibat pencurian uang yang sudah kau lakukan!!!" gertak bapak lagi. " Dan mau ditaruh mana muka bapak kalau punya anak seperti kau ini???!!!"

                Ya, aku memang mencuri. Anak berusia lima tahun yang berani mencuri uang dari pastoran hanya aku. Adalah aku yang melakukan tindakan memalukan itu. Cuma sejuta, tidak lebih sepeserpun. Uang sebesar sejuta itu tidak aku nikmati sendiri tapi hutang piutang bapak sudah di mana-mana dan dengan sejuta itu aku lunasi hutang bapak yang sudah di mana-mana secara tuntas dan sekarang beres. Bapak bebas dari hutang.

                " Maaf pak.....tapi uang sejuta itu......"

                Perkataanku kandas oleh cacian bapak.

                " Tidak, tidak ada tapi-tapian dasar dungu!!! Sekarang kau berendam semalaman di bak mandi sampai besok pagi!!!"

                Dasar bapak, selalu tak mau mendengarkan dan keras kepala.

 

***

                Kampung Sawo nama dusunku, terletak di sebelah barat alun-alun Magelang. Tempat di mana aku bermain dan berbagi rasa. Kampung Sawo nama dusunku yang masih asri.

                " Hih.....ada pencuri cilik...." sindir seorang ibu dengan menggendong balita.

                Aku diam.

                Setidaknya alun-alun sudah dekat, sindiran umat paroki yang berpapasan denganku hampir berkurang. Aku akan mencari kerja guna mengganti uang sejuta yang kucuri dari paroki. Terserah bapak mau leha-leha di rumah tapi aku tetap akan cari duit.

                Di dekat pohon beringin ada penjual balon, mungkin aku bisa membantunya. Bapak si penjual balon itu berdiri menawarkan dagangannya kepada setiap anak-anak yang lewat. Aku kasihan, bapak itu merasa tak digubris dan merasa sendiri.

                " Bapak, apakah balon itu dijual??" aku bertanya sopan

                " Tentu saja, nak. Kau mau beli?" jawabnya ramah.

                " Tidak, pak. Saya hanya mau membantu bapak menjual balon-balon itu, bolehkah??"

                " Kau yakin?"

                Aku mengangguk.

                " Baiklah," bapak itu tersenyum senang. " Satu balon ini harganya lima ratus rupiah, jadi kalau ada yang beli lebih dari satu balon, kalikan saja lima ratus dengan jumlah balon yang ingin dibeli. Paham?"

                " Ok. Saya paham."

                Bapak itu menyerahkan sepuluh balon kepadaku. Lumayan, sekarang aku bisa mulai bekerja. Lalu lalang orang-orang banyak mengabaikan aku, kadang tak digubris sama sekali ketika aku menawarkan balon-balonku kepada anak-anak mereka. Tapi itu tidak menyurutkan semangatku untuk mencari duit demi bapak.

                Begitu seterusnya hingga balonku tersisa dua, jadi balonku yang sudah terjual adalah delapan dengan uang yang aku kumpulkan berjumlah empat ribu rupiah.

                Bulan bersinar terang. Wajah alun-alun Magelang terlihat megah dengan keindahannya. Bagi kaum Muslim saatnya sholat Maghrib dan aku akan cepat pulang karena pasti sudah ditunggu bapak.

                " Dodot......sudah jam enam sore kau baru pulang?!" bentak bapak (lagi).

                " Dodot habis....."

                Perkataanku kandas lagi oleh ocehan bapak.

                " Sudah, kau habis main, kan? Sekarang kau tidur di halaman rumah, biar kau tau rasa!!"

                Dasar bapak, selalu tak mau mendengarkan dan keras kepala. Kulangkahkan kaki ke luar rumah dan berbaring di atas tanah kering, memandangi sinar sang rembulan.

                " Kak bulan, kapan ya bapak berhenti marah-marah?" batinku. " hahaha....aku tak perlu jawabannya sekarang tapi cukuplah sinarmu menghangatkan aku..."

 

***

                Hari-hari aku lalui dengan bekerja setiap sore sebagai penjual balon. Bapak penjual balon itu memang baik, beliau memberikan aku uang sepuluh ribu rupiah setiap aku selesai menjual balonnya. Setiap hari. Dan aku yakin derma rahasia yang aku kumpulkan dengan susah payah itu akan menjadi sejuta yang telah aku curi dari paroki. Tapi, aku belum minta maaf kepada Romo Broto.

                Kak bulan bersinar lagi dan matahari redup kembali. Jalanan menuju pastoran banyak berbatu, lampu jalan juga belum menyala sehingga aku kesulitan melihat.

                " Romo.....Romo Broto....permisi, apa ada orang di dalam?" kuketuk keras-keras pintu kamar romo dan tak lama kemudian terdengar jawaban.

                " Sebentar...."

                Wajah Romo Broto kusut setelah melihat kehadiranku. Mungkin ini akibat dari pencurian yang aku lakukan tempo lalu.

                " Romo....saya kemari ingin meminta maaf karena saya telah mencuri sejuta milik umat paroki ini. Saya janji akan mengganti uang itu secepatnya dan saya mohon jangan tuntut bapak saya." pintaku sambil menangis.

                " Saya tahu uang itu kamu gunakan dengan baik dan sudahlah, jangan menangis karena kamu sudah saya maafkan tapi ingat lain kali kau tidak boleh mencuri lagi,"

                " Baiklah romo, uang itu sebenarnya saya gunakan untuk bayar hutang bapak yang sudah di mana-mana,"

                Aku pulang diantar Romo Broto dengan mobilnya. Dan sampai di depan rumah, bapak sudah menungguku. Bapak pasti akan marah melihat aku pulang bersama romo Broto.

                " Dodot, apa kamu membuat ulah lagi???" tanya bapak melotot.

                " Sudah pak, anak bapak tidak apa-apa. Dia anak yang baik." jawab Romo Broto.

                " Tapi romo, anak saya sudah melakukan hal yang memalukan dan merugikan umat paroki kita." keluh bapak tak tenang, " dan saya juga belum melunasi hutang piutang saya yang sudah kelewat batas."

                " Sudah pak, semua sudah beres, ganti rugi dan hutang bapak yang di mana-mana itu sudah selesai. Tidak ada masalah lagi."

                " Hah? Bagaimana mungkin? Siapa yang melunasi semua itu??" bapak terheran-heran.

                " Siapa lagi kalau bukan Dodot?"

                Dan benar, kak bulan mendengar keluhku. Aku bahagia di usia lima tahunku bisa membuat bapak menjadi lega dan tidak marah-marah lagi kepadaku.

 

***

                " Siapa lagi kalau bukan Dodot," bisikku dalam hati. Bus yang mengantarkan aku ke kota Magelang telah sampai di terminal Magelang. Kota masa kecilku yang aku tinggalkan ternyata lebih nyaman daripada di tempat lain.

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler