Skip to Content

SILUET MELODI

Foto mahyut z.a. dawari

Kata-kata yang tersusun dalam nada pasrah dan penuh tekanan yang dalam itu, seperti halilintar mengoyak hatiku. Perasaanku lindap oleh rasa tak percaya akan pendengaran sendiri.  Bagaimana mungkin ia sampai hati menjeratku dalam skenario konyol itu?  Kupandang Iben dengan sorot mata memelas.  Tapi, wajah pasrah itu membuatku sadar, Iben sedang menghadirkan suatu kenyataan yang tak terbantahkan.

“Jadi …” jelas  terdengar itu suaraku. Tapi, seakan bukan aku yang mendesiskannya.   

“Melodi buah dari hubungan terlarangku bersama Meta...” aku Iben dengan suara  bergetar. Sedikit kikuk, ia menatapku, menunggu reaksiku.

Sia-sia. Seperti terseret  pada arus  di palung telaga yang dingin dan bening, sekujur tubuhku membeku. Aliran darahku seperti terputus dari nadi. Mendadak, bumi  kurasakan berhenti berputar pada porosnya.  Riak kehidupanku seakan berhenti seketika. Permainan hidup macam apakah yang tengah kujalani saat ini? Nanar, kutatap Iben dengan perasaan kosong.  

“Butuh waktu untuk mengungkap jati diri Melodi!” lanjut Iben  sembari menerawangi langit-langit teras.  

Enam belas tahun, waktu yang tepatkah untuk mengungkap sebuah fakta? Kugigit bibirku.  Ada perasaan sakit, geram dan malu, menggerogoti hati. Salahku sendiri. Mengapa kuterima suguhan Iben waktu itu. Karena rasa kehilangan momongankah? Mungkin saja!

Ternyata, aku telah berkutat sekian lama dalam skenario palsu Iben. Kumainkan peran tanpa skrip itu sepenuh penghayatan. Tapi, tak pelak, jalan pasti berujung. Serapat-rapat menyimpan kebusukan pasti tercium! Tanpa kuminta, Iben membongkar masa lalunya. Tapi naif, pengakuan  itu membuat hidupku sepertinya akan berakhir.   

 “Maafkan aku, Jena,” serak suara Iben.

Aku bereaksi. Meronta ingin lepas dari dari kungkungan masa lalu Iben. Seberapa ingin aku terlepas dari masa lalu itu justru aku semakin merasa tersakiti. Betapa bodohnya aku. Kurutuki diriku dengan makian paling pedas sampai puas. Hingga aku tersadar oleh rembesan hangat di pipi.  Air mataku luruh meminta keadilan.

Sial. Seharusnya aku tidak menangis. Keadilan macam apakah yang dituntut oleh air mataku pada Iben? Karena perasaan teraniayakah air mata itu mengalir tanpa kusadari? Barangkali saja itu lumrah. Air mataku telah berbicara, mengekspresikan suasana hatiku yang mengharu biru.

Kutelan ludah, kubasuh kerongkonganku. Ada perasaan jijik yang membuatku mual. Oh, betapa ingin kumuntahkan isi perutku pada wajah lelaki di depanku ini. Aku sangat muak dan jijik padanya.  Mengemis ia meminta maaf. Hm,  tak akan kuberi maaf itu pada Iben,  lelaki pengecut, yang menggunakan alasan klise untuk memanipulasi kebohongannya.  

Dari sebuah tabloid, pernah kubaca, sembilan puluh persen dari kaum lelaki memanfaatkan alasan ketidakbahagiaan rumah tangga untuk ’mengesahkan’ perselingkuhannya. Aha! Barangkali itu alasan Iben pada Meta untuk berselingkuh. Mengingat semua itu, emosiku menggelegak. Tapi ironis, aku tak memiliki kekuatan untuk mendramatisir emosiku itu. Nyaris tak ada gerakan sekecil apa pun. Hanya diam, dengan tubuh membeku dan napas  tersengal menahan ledakan di dada. 

“Jika ingin memakiku makilah. Aku telah mendustaimu, Jena!” Kudengar Iben menghela napas. Berat. Ada yang menggelantung  pada tarikan napasnya. Entahlah. Barangkali, dustanya yang tak termaafkan yang menggelayuti napas itu. Atau mungkin, itu sebuah taktik untuk menarik simpatiku atas kejujurannya. Agar aku  ibah dan memaafkan masa lalunya. Bukankah cinta itu memaafkan?   

Kurapatkan punggungku pada sandaran kursi. Kutenangkan diriku dari rasa pedih yang melukai. Beberapa saat lalu, kebanggaanku pada Iben tidak ada cacatnya, nyaris sempurna. Tapi sekarang, apa yang tersisa? Tak secuil pun rasa senang tertinggal. Semuanya menguap, dalam sekejap.

Kini, aku dihadapkan pada sebuah kenyataan. Tak pernah terlintas dalam pikiran, bahkan dalam mimpi sekali pun Iben akan tega menjadi penghianat.

“Aku tahu kau kecewa. Tapi …”

“Cukup, Iben!” bentakku dengan muak. “Aku tak ingin mendengar keluhanmu. Jika kau mau pergilah sekarang pada Meta. Bawa Melodi sekalian dan tinggalkan aku sendiri,” pintaku dengan napas terengah-engah oleh luapan emosi.  

Sekejap wajah Iben pias. Tapi, ia berkata juga; “Aku menyesal telah mengatakan yang sebenarnya. Tapi setidaknya, meski terlambat, aku masih mencoba jujur…”

”Pergi!!!” hardikku. Tandas sudah emosiku yang terbendung. Lalu suara kursi digeser, dan tubuh Iben bergerak, meninggalkan aku sendiri di beranda.

Sore merangkak turun. Hening sepeninggal Iben. Kutata emosiku yang berantakan. Ada angin semilir menggoyangkan sekuntum mawar yang ditanam oleh Melodi di dalam  pot porselin. Kuncup yang mekar dan terawat itu tak lagi menarik perhatianku. Sontak aku kehilangan selera. Dengan perasaan teraniaya kutemukan kenyataan, betapa aku merasa telah kehilangan perasaan yang pernah kimiliki terhadap Iben. 

Betapa berat masa-masa yang kulalui bersama Iben. Sejak mengenalnya pertama kali di kampus, Iben telah mencuri hatiku. Di mataku, ia gambaran laki-laki yang kucari. Humoris, dan romantis meski ia tidak begitu tampan. Kami berpacaran selama dua tahun. Tamat sarjana kami menyusun langkah, menghadap keluarga besarku untuk melamarku.

Lalu, datanglah hari itu. Kubawa Iben pada keluargaku. Semula ia kikuk, tapi ia bisa menguasai diri dengan baik.  Ditempatkan  dirinya pada tempat semestinya ia berada di tengah keluargaku. Dua hari kemudian, aku diteror oleh keluarga besarku. Mereka menentang hubungan kami.

Bagi keluarga besarku, menikah dengan laki-laki seperti Iben akan membuatku melarat. Iben belum bekerja. Itu alasan mereka. Apalagi Iben bukan dari suku kami. Keluarga besarku menganggap tabu jika aku harus menikah dengan ”orang seberang”.

”Jika perkawinanmu berakhir kelak,” Ayah memberi alasan, ”Ia akan pergi meninggalkanmu tanpa  kau tahu rimbanya. Kamu akan dicampakkan dan keteteran. Itu yang megkhawatir kami. Oleh sebab itu Awig-awig harus ditegakkan. Pantang  untuk dilanggar!”

”Kau lihat si Tembo,” Kak Sam menimpali, ”dibuang dari keluarga karena melanggar adat. Dikucilkan. Nasibnya miris sekali. Apakah kau mau seperti itu!”

Akan tetapi, aku tidak peduli. Aku memberontak. Jerat asmara yang ditebarkan Iben membawa langkahku pada satu pilihan; kawin lari! 

Aku telah menyoreng arang di muka Ayah. Kalau ibuku masih hidup tak kebayang murkanya. Belum pernah ada dalam keluargaku yang meloncati tradisi seperti aku. Kenekatan kami membawa petaka. Adat kampung kami menabukan kawin lari. Sering karena peristiwa semacam itu membawa petaka kematian. Meski sukar diterima akal sehat namun demikian kenyataannya.

Kutanggalkan semua atribut adat yang melekat pada diriku. Sesuai adat, aku tidak akan mendapat restu orang tua. Aku akan terbuang dari tengah mereka. Akan dicoret dari silsilah keluarga. Tak berhak lagi memakai nama marga di belakang namaku. Sungguh berat pantangan itu. Tapi aku tidak ambil pusing. Barangkali takdir telah membawaku pada pilihan seperti itu. Aku tidak menyesal.

Untuk melegalkan pernikahan itu kami menggunakan wali hakim. Nama marga yang dibanggakan keluarga tak tersemat di penghujung namaku. Aku tak berhak menyandang marga itu lagi. Tak pantas lagi nama  itu bagiku karena aku telah membawa sial bagi mereka. Tidak apa. Semua kutanggalkan demi Iben.  

Di depan penghulu, kami mengucapkan janji sehidup semati. Tidak ada pesta. Sangat sederhana dan apa adanya. Disaksikan oleh keluarga besar Iben, kami resmi menjadi suami istri. Sebuah rumah mungil di kota kecil tempat Iben dilahirkan menjadi maharku. Dalam rumah mungil itu aku akan memulai debutku sebagai seorang istri.

“Kuharap kau bisa menyesuaikan diri dengan situasi baru ini,” ucap Iben pada malam pengantin yang romantis itu. Aku mengangguk.

Iben tersenyum.  Aku  lega. Keluarga besar Iben menerimaku apa adanya. Sekali pun terbuang dari keluargaku tidak ada alasan untuk tidak berbahagia hidup bersama Iben.  Yang pasti, dia laki-laki terbaik yang menjadi pilihanku. Sembari direngkuhnya diriku ke dalam pelukannya, Iben menghamburkan kata-kata puitis untuk mengungkapkan rasa bahagianya. Diciumnya keningku. Lalu, jari-jarinya bergerak liar di seantero tubuhku. Aku menggelinjang, menikmati suasana babak demi babak sebelum permainan itu berakhir di awang-awang yang penuh fantasi.

Beberapa bulan kemudian aku hamil. Iben sumringah. Demi untuk menyambut sang buah hati, tanpa lelah, ia berusaha mencari pekerjaan. Berpuluh lamaran di kirimnya.

“Aku ingin ia lahir setelah aku memperoleh pekerjaan,” harap Iben. Aku terharu. Kupeluk tubuhnya. Hanya itu caraku untuk memberinya spirit.

Sebulan kemudian datang surat panggilan wawancara dari kantor PJTKI yang bonafide di Jakarta. Berbinar-binar mata Iben membaca surat panggilan itu. Sebagai sarjana ilmu komunikasi yang menguasai bahasa Korea, kupikir Iben cocok bekerja di kantor itu. Bukankah sekarang banyak TKI yang direkrut untuk bekerja di Korea?

Semalaman Iben mempersiapkan diri. Ia tidak ingin kehilangan kesempatan yang sudah ada di tangan. Berbekal doa dan tekad, keesokan harinya ia  berangkat naik bis malam.

“Jaga dia baik-baik,” bisiknya. Dielusnya perutku sebelum berangkat. Aku menatapnya. Ah, dia selalu seperti itu. Penuh perhatian. Aku semakin sadar akan pilihanku. Tidak menyesal aku dibuang oleh keluarga. Aku menerima konsekuensi itu dengan pikiran matang.

Tengah malam, pasca keberangkatan Iben, aku dikejutkan oleh dering telepon genggam di sebelah bantalku. Merasa terganggu oleh dering itu, aku terbangun. Hanya sesaat. Sambil mengucek mata kuraih telepon. Kuamati layar monitor, sejenak. Tak ada panggilan masuk. Ah, barangkali aku bermimpi, simpulku. Sedikit tergesa, aku ke kamar mandi karena kebelet buang air kecil. Dari kamar sebelah, Rani, iparku, tertidur pulas. Suara dengkurnya membuatku geli.

Entah karena masih terserang kantuk, di kamar mandi aku sedikit sempoyongan. Tubuhku limbung dan menyentuh bibir bak mandi. Aku terpeleset, jatuh di atas closet. Dalam beberapa tarikan napas, aku merasakan perih yang menyayat perutku. Sambil menahan rasa sakit, kubenahi dudukku di atas closet dan…

Aku terperanjat. Darah segar menetes, hangat mengalir dari selangkang, merembes ke paha, lalu turun mengalir ke betis. Aku menjerit.  Rani terbangun oleh jeritanku. Di depan pintu, setelah daun pintu terkuak, Rani terbelalak mendapati lantai penuh dengan bercak darah. Malam itu juga aku dilarikannya ke rumah sakit oleh mertuaku naik mobilnya.

Kandunganku tak dapat kupertahankan. Aku keguguran. Ada banyak kata penghiburan yang dilontarkan oleh kedua mertuaku. Semua untuk menguatkan mentalku. Aku berpesan satu hal pada mereka, agar Iben jangan diberi tahu dulu.  Aku tidak ingin Iben berbagi pikiran. Wawancara itu  adalah penentu masa depannya.

Lima hari berselang, ia datang dari Jakarta dengan air muka penuh kegembiraan. Iben diterima bekerja, dan ditempatkan di kantor pusat di Jakarta dengan posisi, dan gaji yang sangat memuaskan. Berapi-api ia menceritakan lika-liku wawancaranya. Kuikuti alur gerak bibirnya dengan perasaan berdebar-debar... 

“Iben, aku harap kamu jangan marah!” kataku sambil meremas punggung tangannya. Ia menatap manik mataku penuh tanda tanya. ”Aku keguguran, Ben! Terjatuh di kamar mandi,” imbuhku, jujur. Lalu, gerak bibirnya terhenti seketika.  Iben menatapku dengan gurat tak percaya.

Tanpa bertanya, ia menata perasaan terkejutnya. Cara menguasai diri yang sempurna di mataku. Sembari membelai rambutku ia berujar; “Tuhan tahu yang terbaik buat kita. Ada banyak hal yang harus kita persiapkan untuk  hidup kita sebelum berpikir momongan lagi...”

Kurangkul ia. Aku memang memerlukan lelaki ini. LeIaki yang  mampu menjaga kestabilan emosiku.   Pasca keguguran itu  Iben memberi saran, agar aku membuka usaha dagang saja. Di tanah kosong, depan rumah, akhirnya berdiri bangunan sebuah toko yang berdagang aneka keperluan. Semua modal dipinjam dari mertua. Dan ia sendiri, karena tuntutan kerja, ia harus tinggal di Jakarta mengontrak rumah. 

“Aku percaya, kamu mampu mengendalikan usaha ini.  Kamu pasti berhasil...” kata Iben, suatu malam sebelum keberangkatannya ke Jakarta.

Waktu yang bergulir. Karier Iben semakin cemerlang. Ada banyak bonus yang diterimanya karena  ia mampu memenangkan tender tenaga kerja dari Korea.  Dua tahun modal  yang dipinjamkan mertua mampu kukembalikan. Iben semakin bergairah mendukung usahaku. Rencananya, kelak ia berkeinginan mendirikan super market. Jika modal sudah cukup, ia akan mengajukan surat permohonan berhenti bekerja. Berdua kami ingin fokus pada usaha dagang. 

Aku hamil lagi. Kali ini kehamilanku benar-benar kujaga. Di samping istirahat yang cukup, aku rutin memeriksakan diri ke dokter kandungan. Untuk menjaga segala kemungkinan, menjelang melahirkan, Iben memboyongku ke rumah kontrakannya di Jakarta. Usaha tokoku sementara dikelola oleh mertua dan Rani.

Seminggu kemudian aku melahirkan di rumah sakit. Entah dosa apa yang tengah mengurapiku. Orok berjenis kelamin perempuan itu meninggal tanpa sempat menikmati puting susuku yang ranum. Aku shock. Adakah ini kutukan leluhurku karena melangkahi adat?  Berhari-hari setelah itu kusesali keadaanku.

Lalu pada suatu hari, di rumah kontarakan Iben, seorang perempuan yang kuketahui bernama Meta, datang bersama Iben. Ia memperkenalkan diri sebagai sekretaris Iben. Meta   baru saja melahirkan seorang bayi perempuan. Dari ceritanya, Meta memang tidak pernah menikah dengan pacarnya. Sembilan bulan dilalui Meta dengan begitu banyak persoalan. Ia mengandung, didera rasa bersalah, dan ia menanggung resiko itu seorang diri.  Meta ingin bayi itu dalam asuhan kami. Memelas ia meminta belas kasihanku.

Semuanya mengalir begitu saja. Anak Meta menggantikan posisi anakku yang meninggal. Ketika kembali ke rumah, mertuaku menyambut si jabang bayi penuh suka cita. Atas inisiatif berdua, kami merahasiakan identitas bayi mungil itu kepada mertuaku.  Seperti anak sendiri kususui ia selama dua tahun. Waktu itu Iben dipindahkan kerja ke kantor perwakilan di  Seoul, Korea Selatan selama tiga tahun.

Lalu, kuberi nama gadis kecil itu Melodi. Terlalu banyak yang bisa dikisahkan tentang dirinya. Ribuan hari telah kami lewati bersama. Lima belas tahun kemudian, namanya terpampang di papan nama super market kami. 

Aku telah terlanjur menyayangi Melodi. Tak ada sekat perasaan kasih yang kuberikan. Sekarang, apa yang harus kulakukan pada Melodi jika tahu bahwa sebenarnya ia lahir dari perbuatan terlarang antara ibunya dengan Iben? Kupejamkan mata, merasakan denyutan-denyutan hebat di kepalaku. Membayangkan reaksi Melodi … 

Demikianlah. Senja pilu itu lewat. Tidak ada gunanya bagiku untuk menangisi keputusan yang  pernah kuambil dalam hidupku di masa lalu.  Kusiapkan tas. Kumasukkan pakaian secukupnya. Tidak mungkin ada perubahan sekecil apa pun dengan rencanaku itu. Aku harus pergi esok pagi saat Iben dan Melodi masih terlelap.

“Hukuman apa pun akan kujalani, tapi tolong jangan kau pergi…” Iben mematung di bibir pintu. Wajahnya membiaskan perasaan was-was. Di balik punggung Iben, Melodi berdiri melongo.

“Apa pun yang kau katakan, aku tak peduli. Aku memang salah. Tapi, apakah ada salah yang tak termaafkan?” keluh Iben.

Aku mendengus. Tak ingin menjawab apa pun. Pandangan Iben melemah. Penuh harap, ia melangkah, menyentuh punggungku. Kutepis tangannya. Melodi menyaksikan tingkah kami dengan tatap mata bingung. 

“Bunda bertengkar, ya?”  katanya penasaran.

Aku menggeleng. Pada Melodi kualihkan tatapanku. Mata polos itu memerah. Di kedua pipinya air mata itu menetes.

“Jangan pergi, Bunda!” pintanya dengan suara bergetar. ”Melodi sudah tahu semuanya.”

”Semuanya,” aku terbelalak. Tak percaya pada pendengaranku.

Melodi mengangguk, ”Ayah telah menceritakannya...”

”Jadi...” aku kehilangan kata-kata.

”Melodi ingin jadi anak Ayah dan Bunda selamanya. Jadi, tolong jangan pergi Bunda!” ratap Melodi, masih berlinang air mata.

Aku mematung. Termenung.  Siluet kehadiran Melodi menyentuh sisi kewanitaanku. Ada perasaan tak adil yang tiba-tiba menggangguku. Aku tak boleh menghukum Melodi. Ia anak manis, teramat manis, dan tak pernah menyusahkanku. Melodi tak patut diseret dalam persoalan kami.  Semua itu kesalahan masa lalu Iben bersama Meta, enam belas tahun lalu.

Akan tetapi, sampai detik ini, aku bimbang pada pendirianku; antara pergi dari rumah atau memberi maaf  Iben sangat sulit untuk diputuskan.***

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler