Skip to Content

surat rakyat pada ayahnya

Foto Diyan Fauziyah

Bumi Merdeka, 2013

 

Kutuliskan ini, Ayah, di tengah kemelut duniaku. karna ku sudah tak mampu berbasa-basi dengan adat istiadat masyarakat umumnya, ku langsungkan saja.

Ayah, ku tak pernah kirimkan permintaan apapun di kehidupan sebelumku, terlahir sebagai orang biasa saja, ataupun sebagai orang yang berada hingga luar biasa. Ayah, bagaimanakah, sampai sejauh ini, aku selalu menerimanya sebagai orang biasa, yang biasa saja. Tapi Ayah, mengapa mereka perlakukanku layaknya aku adalah sampah berbalut sutra saja? hanya karna aku bukan orang luar biasa nan hebat, pula memiliki segala kuasa. mereka bahkan tak berani sentuh siapa-siapa yang miliki status begitu mulia di mata mereka. Malah berani berwenang atas perilaku kawanan sudra seperti kita. Injak  sana sini, senggol sana sini, sikut sana sini.

moral apakah itu, Ayah?

 

Ayah, aku dibesarkan dengan segala kisah indah, di waktu kanakku, atas asuhanmu. Namun Ayah, sepahit inikah lembar demi lembar kedewasaanku? Mereka, Ayah, berlomba tumpahkan berbagai dusta, kian waktu kian merambah. Telempar sana sini sebagai benda. Tanpa rasa nurani.

akhlak apakah itu, Ayah?

 

Ayah, sedari ku terlahir dari ibu, tanpa mengerti apapun dan sanggup melakukan apapun, segala cinta juga kasih tlah kau persembahkan  tiada henti, bahkan tanpa ku minta, tanpa ku mohon, tiada pelak slalu kumiliki. Walaulah tiada engkau berkata dan kau ucap segala cinta dan kasihmu. Tetapi, Ayah, tidak aku memahami, kini ketika usiaku perlahan berkurang, entah bagaimana mereka rajin-rajin sekali berujar cinta nan tulus pada rakyat bungsumu ini. Tak patutkah aku percayai mereka, Ayah? Mungkin aku naif. Jadilah ku percayai saja, Ayah, berupa apapun dan lakon ujaran mereka. Sembari ku percayai, mereka pasangkan berbagai jerat, yang kini Ayah, perosokkan rakyatmu, juga anakmu ini ke jurang terkelam yang tiada mampu ku baikkan. Mereka terlampau bangga memparadokskan rasa beserta nista bagiku.

manusiakah yang seperti itu, Ayah?

kini Ayah, janji-janji indah telah berat ku pasungkan dalam tubuhku. Apakah nampak menyedihkan jika aku terus menanti janji yang entah kapan akan tertepati itu, Ayah? Mereka mengerti jika aku telah buruk rupa, telah coreng moreng, telah sebegini koyak dan tak berbentuknya, dan juga, ku hargai mereka sebagai sesuatu yang masih manusia, meski, Ayah, meskipun, lagi-lagi, segala ketakutanku terus mengekor di balikku. Tawa-tawa mereka, topeng-topeng cantik mereka, racun-racun mereka, membuat rakyatmu tak mampu berdiri dengan langkah sendiri. sebegini tak berdayanya. Aku, rakyatmu, sudah pasrah pada kenistaanku.

seperti itukah yang bernama pemimpin kehidupan, Ayah?

Sebagai salam terakhir, ku hanya sampaikan ini pada suatu dunia yang tak sanggup engkau jamah. Karna ku tak harapkan kau mengerti sesulit apa rakyatmu beroleh besar di perantauan. Karna ku tak ingin kau tak lah kuasa mendengarnya langsung dari bibirku. Bisa saja, air matamu makin buatku merasa gagal menjadi anak dalam rakyatmu.

Andaikan kau tau surat ini, Ayah . . .
Andaikan . . .

 

Tanah Jawa, MidNovember, 2013

 


* penulis berusaha mengungkapkan dalam bahasa lain seperti apa dinamika perasaan masa mudanya.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler