Skip to Content

Tali Yang Terputus (Cerpen)

Foto Steven Sitohang

Anak kecil itu sedang mencoba menerbangkan layangnya, setelah sang surya menampakkan diri pada lukisan alam pagi, dimana setiap ayam jantan sedang sibuk menyambut penampakkan sinar wajahnya, dan setiap kegiatan dalam sandiwara masing-masing telah datang waktu dimulainya.

Anak itu sudah menyiapkan kegiatannya hari ini hingga menjelang sore nanti, dia kumpulkan sisah jajannya untuk membeli satu layangan dan segulung benang. Tidak seperti biasa bersama teman-temannya. Di taman luas bertanah merah ini adalah tempat favoritnya untuk menikmati permainan layang. Lapangan ini hampir selalu ditumpahkan cahaya matahari ketika dia bermain, baik saat bersama-sama maupun sendiri, jarang sekali dia pergi sendiri.

Anak-anak sangat suka dengan gigitan-gigitan matahari yang sedikit perih, dan banyak dari mereka tidak merasakan itu. Mereka fokus pada satu kepuasan hati saat berhasil menerbangkannya, dan melihatnya bersama banyak layang-layang lain yang merangkak di batas dinding cakrawala.

Saat itulah kita untuk pertama kali melihatnya, bergumul dengan kerja keras dan segala emosi ketika layangnya tak juga berhasil diterbangkan. Sekali waktu dia beristirahat di bawah pohon besar yang banyak memberikannya oksigen, belayan angin lembut, juga perasaan bahwa dia sedang dipeluk erat dengan badannya yang ia sandarkannya. Mencoba menengok beberapa hari belakangan dalam satu minggu yang panjang akan satu perasaan yang bercampur aduk dengan satu insting yang sama sekali tidak nyaman, terutama saat ia mencoba tidur pada malam hari berharap mendapatkan mimpi indah dari-Nya, dan istirahat yang cukup untuk hari esok, tapi, kedua mata mungil itu segan untuk tertutup akibat jeritan dari ibunya dan teriakan serak dari mulut ayahnya di luar kamarnya, ia tidak jelas mendengar tiap percakapan itu, tapi karena dengan sendiri rasa dan insting bekerja dan mengganggunya.

Ketika bayangan itu terhempas ke ranah entah akibat debu-debu melayang dibawa oleh angin, dilepas, dan jatuh menggenai satu matanya, ia usap dengan tangan dan jari-jari kecil itu dan lekas kembali berdiri dan mencoba lagi untuk menggapai kepuasan hatinya di taman yang juga ada banyak orang bermain, atau sekedar bersantai-santai pada minggu siang yang indah ini.

Aku ada di antara mereka, sedang duduk di kursi kayu, sedang menikmati segelas es kelapa. Anak kecil itu terus mencoba dan mencoba, dengan usahanya sendiri, dia melihat anak kecil yang lain, umurnya sekitar usianya anak yang masih bersekolah kelas 5 SD, sedang melakukan apa yang sedang ia lakukan, menerbangkan layang-layang, tapi anak kecil yang lain itu ditemani dan dibantu oleh ayahnya. Ia tersenyum, dan merasakan satu hal akan itu yang masih menempel dalam sanubari yang belum banyak terisi.

Hari ini aku tidak begitu menyukai cuaca dan suasananya, terutama matahari yang menyengat ini, maka aku lebih suka meneduh di bawah tenda yang ke empat sisinya diikat di antara pohon-pohon, dan satu gerobak milik penjual es kelapa dan menikmati jualannya.

Anak kecil itu terpeleset, seketika bersama jatuhnya gelasku, pecah, berkeping-keping kecil, entah kemana-mana, dan hal serupa juga dirasakan anak itu saat kedua bola matanya hendak menutup hari, kemudian mendengar pecahan piring dan gelas, yang diteruskan oleh jeritan dan teriakan. Satu ketakutan dan kecemasan yang sulit digambarkan walau abstrak yang dirasakan oleh anak itu, mengenai satu ikatan indah yang bertahun-tahun dirawat dan disirami kasih sayang oleh kedua orang tuanya, dan tumbuh satu bunga yang mempesona keduanya, bersama segala rasa, pikiran, dan pribadi dari bunga itu sendiri. Ya, bunga itu adalah Anton, anak kecil yang sedang mencoba menerbangkan layang perasaannya.

Aku suka mengamati hari minggu ini, Anton sedang bermain dan masih mencoba dan kembali gagal, kembali ia beristirahat sejenak di pelukkan sahabatnya yang besar, pohon itu. Lekas satu bayangan hinggap di benaknya menjadi satu pemandangan hitam-putih. Saat itu ia masih kelas 3 SD, sekitar 2 tahun lalu, di mana untuk pertama kali ayahnya mengajak Anton untuk bermain layang-layang, juga di lapangan ini, dan persis di tempat di mana Anton sekarang mencobanya sendiri. Berdua mereka mencoba menerbangkannya, dan pada saat layang itu berhasil terbang, ayahnya berkata,

            “Apa kamu merasakan yang ayah rasakan, ton?”, katanya.

            “Iya yah, apa namanya itu?”, kata Anton.

        “Satu perasaan mewah akan keberhasilan, bukan sekedar kesuksesan, yang sedang Anton dan ayah rasakan sekarang ini adalah kepuasan, kepuasan hati, berilah hatimu kepuasan ton, dengan apa pun yang kamu sukai, cari lah hobimu, dengan cara menerbangkan mimpi seperti layang kita ini”, kata ayahnya.

Dari pertama kali bersama ayahnya, hingga kini Anton menyukai bermain layang, dan ketika perasaan hatinya puas, itu adalah tanda bahwa layangnya sudah berhasil terbang dengan tenang. Anton tidak suka mengadu mimpinya dengan mimpi orang lain, ia tidak suka mengorbankan layangnya dengan mengalahkan layang-layang milik orang lain. Dan ketika perasaan puasnya sudah ia gapai untuk beberapa menit, artinya waktu untuk menurunkan kembali layangnya, itu lah arti keberhasilan yang diajarkan ayahnya kepadanya. Aku pun terus mengenggam makna akan arti itu, karena saat itu pun aku untuk pertama kalinya juga mengamati Anton bermain layang dan itu harus.

Kami berdua bagai dua bayangan yang dipantulkan lampu di pinggir jalan dari satu tiang, Anton menyukai layang-layang dan aku suka mengamatinya, satu perasaan sama dari apa yang dilakukan berbeda. Jika Anton melihat satu layang terputus dan tidak lagi dikendalikan, itu adalah hal yang sama, ketika aku melihat anak manusia yang dipenuhi dengan tidak adanya harapan, akan banyak anak kecil lainnya yang mengejar layang itu dan mencurinya, karena layang itu lah harapan. Satu harapanku telah terkubur di bawah tanah bersama bangkainya, harapan yang dilahirkan oleh harapan, ketika berjalannya waktu, kedua harapan tadi saling mengharapkan, dan harapan itu telah tidak dapat dilihat namun dapat dirasakan. Apalah yang didapat Anton jika layang itu tidak dapat dilihat lagi?, aku tak akan membiarkannya.

Anton telah meminum setengah gelas es kelapanya, dan kembali dengan perlahan dan dengan perasaan yang lebih tenang mencoba untuk memuaskan perasaannya. Angin berhembus dengan nikmatnya di bawah tenda ini, dan aku berharap Anton berhasil untuk menerbangkan harapannya sebentar lagi.

            “Pak, aku pesan satu gelas lagi ya”

Sesaat kemudian dengan penuh keramahan dan senyum yang indah dari penjual es kelapa. Karena itu lah mengapa aku senang sekali menghabiskan waktu di sini, di lapangan milik Anton ini.

            “Silahkan, nak, es kelapanya”, kata senyuman itu.

            “Berapa harga tiga gelas ini, pak?”

            “Hitung dua sajalah”, kata keramahannya.

Ketika aku kembali menengok Anton, harapanku terpuaskan bersama satu sedotan air kelapa yang baru dan segar terjun melalui tenggorokanku. Untuk pertama kalinya aku melihat kepuasan Anton itu seperti dahulu, walau tidak bersama ayah. Dia telah menggapai kepuasan itu, juga untuk pertama kalinya, dengan sendiri.

Tiga puluh menit Anton menikmati segala perasaan yang terpuaskan oleh harapan yang telah ia terbangkan, harapan itu melayang dengan tenang, dan Anton nampak tidak biasanya, dia melamun, namun tetap dengan kepuasan di dalamnya. Mungkin karena beberapa jam sebelum Anton dan aku pergi ke taman ini, ke lapangan ini, ibunya yang sering menjerit di malam hari belakangan, yang juga sering memberikannya ketakutan malam akan kecemasan pecahnya gelas dan piring, orang yang Anton sangat cintai, seorang ibu yang membawanya ke dunia ini, cintanya, pelindungnya, harapannya, tidak dapat lagi terbang bersama cintanya yang lain, pelindungnya yang lain, harapannya yang lain, ayah kami, lalu Anton tersadar dari lamunannya, bukan karena debu yang mengganggu mata mungilnya, tetapi karena tali layangnya telah terputus.

            “Sudah, ton, jangan kamu kejar, biarlah orang yang mendapatkannya menjadi kepuasannya sendiri”, kata ku.

            “tapi..”

            “ ‘tapi’ tidak akan mengembalikan kepuasanmu dan tidak mungkin menjadi seperti baru, karena aku sudah merasakan sebelumnya, walau bukan karena peristiwa yang sama”

            “.....”

            “Sebaiknya kita pulang kerumahku saja hari ini, hari sudah sore, besok pagi aku akan mengantarkan kamu pergi ke sekolah”

“Baik, kak, kakak adalah harapanku yang baru, walau tali kita sedikit terputus”.

 

 

Kayu Agung, Palembang, 10 Juni 2014.

Komentar

Foto chella

kata2nya menunjukkan seorang

kata2nya menunjukkan seorang sastrawan tentunya...walau ada sedikit sekali kesalahan di kata belayan , "belaian" atau memang ternyata kata tersebut sudah dirancang sedemikian rupa :) .....yaaa... dari kisah ini, "kakak" dan "Anton" harus bisa berusaha untuk move on dan tetap berdoa agar kekuatan Tuhan memampukan kalian untuk menerima kasih sayang-Nya...sehingga apa yang boleh terpisah bisa disatukan lagi oleh Dia dan apa yang sudah pergi, direlakan....walau kenyataannya sulit, namun masa lalu tetap lah masa lalu, hiduplah untuk hari ini dan hari yang akan datang, hidupilah hidupmu dengan bahagia, mereka yang menjadi harapanmu selama ini tetap menjadikan kalian juga harapannya, harapan yang dapat membanggakannya, mereka tetap mendoakan kalian....tetap tabah dan jangan pernah putus asa...kalian pasti dapat bersinar terang.... pesan ini diperuntukkan bagi "AKU" dan "ANTON" dan kalian pembaca semua yang juga ternyata mengalami hal serupa....Great story....and Great author...

Foto Steven Sitohang

Terima kasih. . .

Terma kasih banyak chella atas kunjungannya ke gubuk yang masih aku bangun ini, dan juga tentu saja apresiasinya yang sangat detail yang mencoba untuk masuk ke dalamnya
..
Salam Sastra!

Foto Boma Damar

Gubukkmu tambah hari semakin

Gubukkmu tambah hari semakin indah saja saudaraku, karena dihiasi oleh karya-karya yang indah.

Terus berkarya ;)

Salam Sastra!

Foto Steven Sitohang

Terima Kasih dari karya ini untuk Boma Damar. . .

Terima kasih bang Boma sekali lagi, atas kunjungannya dan apresiasinya tentu..
Memperumpamakan layang-layang sebagai harapan adalah hal yang indah menurutku dalam sastra, apa lagi jika kita coba melihatnya jauh di lembar belakang hidup ini..
Aku pun suka membaca karya-karya bang Boma, pada saatnya nanti pasti ada kalimatku yang akan menempel di komputer bang Boma.. :)

Mari berkarya bersama-sama..

Salam Sastra..

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler