Skip to Content

Tentang Kau Yang Tidak Peduli

Foto Salma Mukadar Sastra

Apa yang kau pikirkan. Hey! lihatlah aku, “kataku dengan penuh perih” lalu kau membelok mata hingga dekap dengan bola mataku yang basah. Kau tak sekedar memberi luka, tetapi merengut seluruh bahagiaku. Menjadi perih yang sempurnah. Andai saja kita adalah sepasang yang tidak mengenal, mungkin tak akan ada luka yang bertaburan dihatiku serta hujan di mataku.

Tangan yang kugenggam bukan lagi instrumen untuk senyum. Bukan lagi tempat menepi pipiku bertepi.

Kau sama sekali tidak peduli, terdiam tanpa berkata sedikit pun. Sedang aku teriris sembilu yang begitu mencampakan jiwaku. Apa mungkin kau tak lagi mencintaiku? atau aku yang terlalu mengharapkanmu lebih. Kau masih juga terdiam sambil menatap mataku yang sudah berderai air mata.

Apakah cinta memang seperti ini? apakah mencintai haruskah sesakit ini? aaahk aku tak mampu menjabarkan segala perih karena cinta. yang aku tau ketika cinta diberi setia, maka mereka akan bahagia. Namun yang ku rasa berbanding terbalik serupa yang kulihat pada sinetron-sinetron romantis.

Kita memiliki porsi rasa yang berbeda, kau dengan sedikit cinta, namun aku dengan besarnya cinta yang begitu menyiksa tubuhku, hingga tak mampu ku pegang ketenangan.

Di ujung harapan, aku begitu ingin meninggalkan segalanya dengan perih, melupakanmu tanpa memikirkan segala yang menyiksa. Namun segalanya sia-sia. Kau begitu memenjaraiku di dalam hidupmu yang egois. Menjadikanku manusia yang begitu memelihara air yang tak henti mengalir hingga ke tanah-tanah tandus. Hujanku tak jua membuatmu memelas tubuhku untuk bahagia.

Bukankah pernah ku katakana bahwa sejauh kepergianku, kau adalah alasan kepulangan. Aku tidak bermaksut membuatmu jengkel dengan segala peran yang ada pada diriku, pun segala kemarahan yang hadir. untuk apa aku harus memaksamu untuk berkata, sedang kau memiliki mulut untuk berkata tanpa aku menuruh. Apapun itu, mungkin kita tak harus saling menyapa, bila perlu tak saling memiliki hubungan erat. Agar kau tak terbebani denganku dan aku tak lagi memelihara berbagai macam genangan air yang mengalir sedikit-demi sedikit.

Aku pernah ingat, dulu. Kau tak seperti ini. Atau mungkin kau hanya berpura-pura baik. kau mulai melukis gambaran yang tak mampu aku lihat dengan sempurnah. Pun tulisan-tulisan yang pernah indah, tak lagi ku baca dengan jelas, walau kulebarkan mataku.

 Aku sungguh berada pada situasi yang tak pasti. Jiwa dan ragaku selalu saja bertengkar dengan setiap keputusan yang akan aku ambil.

 

Tiba-tiba saja kau pergi tanpa sepata kata pun. Aku hanya mampu melihat tanpa membuka mulut untuk berkata. aku menangis tak bersuara, ku peluk dada yang sesak. Yang ada hanyalah hujan kecil, lalu menjadi genangan yang kedalamanya tak mampu di lihat dengan mata telanjang. 

Jika ini adalah penyiksaan, maka aku harus bergegas untuk menghindar.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler