Skip to Content

Terminal

Foto Abduh S

Hari itu matahari sangat terik. Terlihat beberapa pemuda berjalan menyusuri jalan di pelabuhan Poto Tano. Mereka baru saja turun dari kapal penyeberangan Verry dari Lombok. Disaksikan oleh bibir pantai yang bercumbu dengan ombak. Rumput-rumput ilalang bergoyang dan burung-burung liar beterbangan.

Diantara lima pemuda itu salah satunya dituntun jalannya. Dia adalah seorang tunanetra. Berkulit sawo matang dan bertubuh gemuk, kekar.

“Hey, kawan-kawan ini demi masa depan kita, masa depan kampung kita, kalian harus bersabar dengan semua ini.” Kata Juna si tunanetra itu.

“Tentu Paman.” Sambut Har sambil menelan ludahnya yang pahit karena kehausan.

“Bagaimana dengan kamu Mal?” Sambung Juna menolehkan wajahnya meskipun tidak bisa melihat apa-apa .

“Tentu semua kita lapar Paman. Bagaiman kalau kita beristirahat sejenak mencari tempat bernaung dulu.” Jawab Kamal.

“Itu, di rumah itu saja Paman.” Har menimpali.

“Baik. Ayo kita ke sana.”

Lalu berjalanlah mereka ke arah rumah panggung yang berada di pinggir pantai itu. Terlihat beberapa orang di bawah panggung sedang memperbaiki jala.

“Assalamualaikum...” Suara Juna dengan lemah lembut.

“Waalaikumussalam,” Jawab salah seorang yang berdiri berkacak pinggang dengan nada suara yang sedikit kasar, “Ngamen ni? Dari mana?” Sambungnya lagi.

“Lombok Pak.”

“Wah, orang Lombok sukanya ngamen. Apa nggak ada pekerjaan di sana?”

Kamal dan Har saling melirik. Ada perasaan malu yang menghinggapi mereka. Sedangkan Iben dan Aban berdiri di luar pagar sambil memperhatikan percakapan itu.

“Ada sih Pak. Tetapi sebenarnya tujuan kami memngamen ini bukan mencari uang untuk dibagi-bagi. Tapi untuk membangun grup musik yang sedang kami bangun.” Jawab Juna sedikit tegang.

“Ya. Fakta bisa saja dibalik-balik. Kalian nyanyi aja di tempat lain. kalian tau di sini kami sedang bekerja mencari makan. Sama seperti kalian.”

“Kalau bagitu kami pamit dulu Pak.”

“Mm...” Suara pemilik rumah itu dengan sorot mata yang liar.

Kelima pemuda itu cepat-cepat meningalkan tempat itu. Seorang yang bertubuh legam itu membuat mereka jadi tidak tahan. Saking buru-burunya salah satu dari mereka kakinya tersangkut oleh akar nangka. Kemudain yang lainnya berusaha menyembunyikan tawa.

“Bagaimana sekarang Paman. Adakah harapan kita di tempat-tempat yang lain. kayaknya di sekitar sini penduduknya sedikit egois. Kita tidak akan dapat apa-apa di sini.”

“Kita optimis saja. Ini masih tahap ujian. Nanti kita lihat.”

Matahari semakin meninggi. Debu-debu betengan ditiup angin. Sesekali mobil yang lalu lalang memekakkan telinga dan memutus pembicaraan. Mobil-mobil itu penuh dengan angkutan barang dan penumpang. Sehingga terkadang ada yang mengeluarkan asap hitam dan berbau.

“perutku mual, ” Kata ibeng.

“Mah kali.” Sahut Aban.

“Ya, pasti gejala mag. Kamu terlambat makan.”

“kita masih belum punya uang untuk beli nasi.” Kata Juna, masih kuat jalan kan?”

“Ya, saya berusaha.”

Senja pun tiba. Mentari mulai menyingsing di ufuk barat. Rona merah menghiasi langit. Pemuda itu tidak peduli dengan peerubahan alam. Mereka terus berjalan bagai jarum jam. Mereka belum merasakan sesuap nasi ataupun seteguk air. Pandangan mereka merabun. Letih itu tertelan bersama lapar dan dahaga yang menghujam di dalam lambung.

“Tolong ganti bawa gitar ini sekali Ban!”

“Kamu saja, biar aku yang menuntun Paman Juna.” Sahut Har.

“Sekarang aku yang menuntun paman Juna dan kamu yang membawa gitar.”

“Tidak mau...”

“Memang kamu saja yang mau dituruti....”

“Ah, kamu itu jangan sok jadi pahlawan di sini.”

Siapa yang sok jadi pahlawan. Jaga mulut kamu.”

“Memangnya kamu berani?”

“Lho, lho...kok jadi berantem begini, kalian kan lapar. Biar aku saja yang bawa gitanya.” Kata Juna.

“Jangan Paman. Biar dia saja. Lagi pula apa sih susahnya bawa gitar.” Sahut Har

“Sudahlah, biar aku yang bawa.” Pinta Kamal dari belakang.

“Jangan Mal. Barang bawaan kamu sudah cukup berat. Biar keparat itu yang bawa.” Kata Har.

“Apa kamu bilang? Tolong ulangi sekali lagi. Biar kugampar kepalamu yang botak itu.

“Gampar saja kalau berani. Ayo!”

“e,e,e,e....jangan. Jangn dilanjutkan oke.”Kamal merentangkan tangannya.

“Sudah kubilang jangan berkelahi. Iben kan lagi sakit. Coba kalau tidak pasti yang bawa gitarnya.” Sahut Juna.

“Saya tidak menyuruh Ibeng. Har kan belum pernah sama sekali dari kemarin. Lagi pula dia kan yang memainkan gitarnya. Coba kalau saya.” Sahut Naba.

“kamu kan nggak bisa main gitar.”

“Justru itu saya suruh dia yang bawa Paman.” Kata Naba membela diri.

“Sudah-sudah. Gitu aja kok jadi panas. Sekarang kamu ngalah aja Har. Bawa gitarmu.”

“Biarkan saja Paman. Biar aku yang membawanya sampai pulang!” Sahut Naba.

“Hahahahaha....” Kamal tertawa terbahak-bahak hingga terlihat gigi taringnya.

Mereka pun terhenti di sebuah terminal. Di situ butuh perjuangan keras untuk menyambung hidup. Semalam suntuk mereka menghibur orang-orang yang datang dan pergi. Alih-alih yang namanya uang kertas. Sekeping recehan pun belum ada yang terpental masuk ke dalam saku baju mereka. Karena tak kuasa menahan kantuk, maka di bawah tangga terminallah pilihan yang tepat.  Mata pun terlelap. Sementara tubuh dialasi koran bekas. Anjing mengonggong di atas kepala namun tak sedikit pun membuat mereka terperanjat bangun.

 

Komentar

Foto Arumlim

hanya numpang lewat

Hidup bukan satu hari
Atau satu malam yang berganti
Kalaupun terik terasa sengatan matahari
Tak harus itu di sesali

Menanti bukan harus berkelahi
Tidur saat bintang menari
Indahnya hanya ada kala mimpi
Terusik kala sunyi telah berganti

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler