Skip to Content

Tujuh Manusia Harimau (4) Misteri Tirai Setanggi Motinggo Busye

Foto Soei Rusli

Misteri Tirai Setanggi
Motinggo Busye
Lebah-lebah itu berbunyi mengerikan ibarat skuadron tempur pesawat udara.
Lama -kelamaan keadaan itu semakin mengerikan. Dan gua tempat lebah-lebah
yang jutaan jumlahnya itu amat gelap. Tetapi aneh sekali. Ada satu
lingkaran asap yang tidak dapat diterobos oleh lebah itu. Lingkaran itu
bagai sebuah dinding asap, sampai ke langit-langit gua itu. Dan di balik
asap itu agak samar tampak benda kemerahan bergerak-gerak. Ternyata itu
sebuah obor yang disulut pada tonggak pohon karet. Maka api obor itu
sepertinya abadi. Melelehkan getah.
Akan jelas kemudian, ada sosok yang sedang duduk bersila di sana . Dia lama
kelamaan jelas seorang wanita, yang rambutnya panjang. Dan memang dia
wanita dengan wajah cantik tapi seram. Dia, tak lain tak bukan, adalah Pita
Loka. Dia rupanya sedang bersemedi. Satu perputaran suara sepatah kata
dengan teratur dan amat halus bagai nada tunggal di antara suara lebah yang
berdengung.
Mendadak suara tunggal itu yang terdiri dari lima huruf menjadi secepat
kilat. Dan tampak Pita Loka yang semula duduk bersila bagai patung itu
memulai satu gerakan. Telapak tangannya yang semula bagai lengket di ujung
dengkulnya tambah tergenggam. Lalu tinju itu serentak
Terangkat sebatas dada. Dan tinju itu bagai secepat kilat menghantam dada
Pita Loka seperti dia sedang menyiksa diri.
Lalu dengan gerak bunga, Pita Loka serentak berdiri tegap. Tinju terkepal
itu memukul dadanya sendiri sekali lagi dan dia berteriak: “Huah!”
Dan sosok yang berada di luar gua saat itu seketika menjadi kaget. Dia
bersembunyi di pinggir pintu gua. Sosok itu mendadak mendengar suara Pita
Loka yang meneriakinya: “Aku tahu di luar ada musuh!”
Sosok itu semakin ngeri. lalu menghindar. Rambutya yang sudah seperti
berlumut dan mirip ijuk itu dia sibakkan. Wajahnya mengerikan. Dan tidak
dinyana bahwa sosok mengerikan ini adalah wanita.
“Aku tahu kau mencariku untuk menuntut balas”, ujar Pita Loka, yang
seketika sudah berdiri di pintu gua. Beberapa ekor lebah hanya berada di
belakang Pita Loka ibarat dinding yang menutupi pintu gua.
“Kau percuma melawanku”, ujar Pita Loka dengan mata melirik ke kiri.
Rupanya lirikan itu tepat sekali. Sebab sosok wanita berambut ijuk
mengerikan tadi memang sedang bersembunyi di sebelah kiri.
Pita Loka berteriak dahsyat: “Hai keluar kau konyol!” Tepat seketika itu
juga. wanita seram itu mengayunkan tongkat rotan yang panjangnya tujuh
hasta itu. Tongkat itu hampir saja menghantam muka Pita Loka. Jika dia
tidak segera menangkis dengan telapak tangan kirinya. Tongkat itu bagai
menghantam karet, membal berbalik. Karena wanita seram yang memegang
tongkat itu memegang gagangnya begitu kuat, ketika tongkat itu berbalik
membal, seketika dia ikut terpelanting bersama tongkat yang dipegangnya.
Ia terjatuh sekitar duapuluh meter dari tempat Pita Loka masih berdiri
tegap.
“Kau jangan bangkit berdiri lagi! Percuma kau melawanku !” teriak Pita
Loka.
Wanita misterius yang seram itu tampaknya gentar juga mendengar ancaman
Pita Loka tadi. Lalu dia mendapat akal licik untuk megelabui Pita Loka:
“Aku datang ke Gua lebah ini atas perintah Gumara”.
“Gumara? Kau berdusta”, kata Pita Loka.
“Aku membawa suratnya”, kata wanita seram itu.
Karena Pita Loka masih tercengang, wanita misterius tadi melanjutkan tipu
muslihatnya. “Ini aku simpan dalam bajuku. Karena aku tak kuat bangkit,
harap kau ke sini dan mengambilnya dari bajuku”.
Pita Loka tergoda juga untuk mengetahui isi surat Gumara ttu. Cintanya pada
Gumara tidak pernah luntur semenjak dia patah hati dan menghindar dari
kehidupan dunia biasa.
Dia sudah benar-benar terpisah dari dunia kehidupan normal di Kumayan.
Mendengar nama Gumara, bulu roma Pita Loka merinding. Dia turun dari tangga
gua itu yang terbuat rapi dari susunan batu- batu kali.
Melihat Pita Loka turun itu, wanita buruk muka itu pun semakin berpura-pura
merintih. Dia pernah mendengar kelemahan utama Pita Loka sekalipun namanya
sudah kesohor dengan ilmu sakti yang tinggi.
Rumput ilalang dikuakkan oleh kaki Pita Loka ketika dia melangkah dengan
hati-hati menuju wanita buruk muka itu.
“Buanglah senjatamu itu. kawan”, ujar Pita Loka.
“Senjata itu tidak berarti apa-apa bagimu. Jika kau jujur kawan, tentulah
aku akan memberikan setetes saja ilmuku yang melebihi kesaktian tongkatmu
itu”.
Mendengar dirinya dijuluki “kawan” oleh Pita Loka, wanita berwajah buruk
itu semakin mempertinggi semangat liciknya. Dalam hatinya dia berkata; “Aku
tidak sudi menerima hadiah ilmu dari kau. Aku justru akan merampok ilmumu!”
Namun dia mempermainkan senyumnya dengan maksud manis kendati dia tetap
saja jadi buruk.
Seharusnya Pita Loka melihat mulut yang mengunyah-ngunyah itu. Tapi godaan
dalam jiwanya yang bergelora untuk melihat surat Gumara itulah yang membuat
dirinya lengah. Dia terus menghampiri dan mau saja dikibuli oleh wanita
buruk muka itu, yang berkata ramah manis: “Tolong ambilkan surat itu di
balik kutang bajuku”.
Pita Loka berjongkok karena wanita buruk itu belum berdiri jua. Ketika Pita
Loka menyatakan “maaf” sebelum tangannya masuk ke balik baju, wanita yang
mengunyah itu melihat ubun-ubun kepala Pita Loka. Daun kelor yang sudah
lumat itu menemplok tepat pada ubun-ubun Pita Loka. Pita Loka seketika itu
juga roboh. Dia terguling di atas rerumputan. Wanita buruk muka itu dengan
tegap berdiri dengan tumpuan tongkatnya.
“Kau hina tongkat saktiku ini kau cobakan rasanya!” bentak wanita buruk
muka itu seraya mengayunkan tongkat dan memukul punggung Pita Loka. Pukulan
itu begitu kuat sehingga membuat Pita Loka dari telungkup lantas
terlentang. Dia benar-benar dalam keadaan tak sadarkan diri.
Dan wanita buruk muka itu kini meninju pintu gua. Dia mendadak kecut
menghadapi lebah-lebah yang sepertinya menghadangnya. Ya. lebah-lebah itu
ibarat dinding dengan suara hidup yang mengerikan. Mendadak akal liciknya
mulai menguasai otaknya. Dengan tongkat tetap di tangan, dia berbalik
kembali mendapati tubuh Pita Loka yang tergeletak. Dia menggerayangi tubuh
Pita Loka. Ah, wajahnya kelihatan berkobar bagai api nyala sewaktu
menemukan biji-biji tasbih yang melilit bagai ikat pinggang. Tentu bijibiji ini memiliki mukjizat, pikirnya.
Langsung saja dia lucuti. Dan dia kenakan pada pinggangnya. Dugaan liciknya
tadi memang terbukti. Ketika ia kembali ke pintu gua. Dia melihat lebahlebah itu sebagian menyingkir.
Hal ini memudahkan baginya melangkah tanpa kuatir kena sengat, dia berjalan
dengan langkah bangga menuju dinding asap yang mirip tirai sutera itu.
Di sini indera hidungnya merasakan bau stanggi. Dia agak kuatir menerobos
tapi karena dalam dadanya bergelora keinginan serakah untuk merampok ilmu
kesaktian Pita Loka, dia langsung menyerbu menerobos dinding asap itu.
Kontan seketika itu juga dia menjerit melolong keras, karena dari dalam
tanah menyerbu ular-ular belang hitam kuning.
“Tolong . ..” teriaknya.
Sementara itu, beberapa ekor lebah seperti binatang jinak sedang mengantup
antup ubun-ubun Pita Loka. Pita Loka mulai sadarkan diri karena nyeri
terkena antupan tawon-tawon itu.
“Terimakasih binatang-binatangku yang baik” ujar Pita Loka segera bangun.
punggungnya dirasanya nyeri ketika berdiri. Tapi dia cepat menempelkan
jempol jarinya pada langit-langit mulutnya. Dengan meggosokkan ujung jempol
itu ke tempat nyeri, segera otot yang tadi kena gebug itu pulih susunannya.
Pita Loka sadar, bahwa wanita si buruk muka tadi sudah memasuki gua. Dia
melangkah cepat menuju pintu gua. Dan ketika dia menerobos memasuki tabir
asap setanggi itu, Pita Loka terseyum mendapatkan wanita buruk muka tadi.
Ular belang piaraan Pita Loka yang menggigit wanita buruk muka itu, sudah
memulihkan keburukan lukanya itu dengan bisa penyembuhan. Tapi memang untuk
sementara wanita yang berubah jadi cantik itu harus pingsan sementara
putaran setengah matahari.
“Harwati . . . “. Pita Loka bergumam.”ilmu apa yang kau sudah pelajari
hingga kau begini busuk hati?”
Namun, Harwati yang diajaknya bicara itu tiada mendengar. Antupan bisa ular
masih dalam proses pengobatan sampai kelak Harwati akan mantap menjadi
manusia biasa, seperti apa adanya. Ilmu hitamnya yang buruk itu, seburuk
wajahnya yarag mengerikan itu. akan musnah setelah putaran setengah
matahari nanti.
Dan saking ngebetnya untuk mendapatkan surat Gumara seluruh tubuh Harwati
digeledahnya. Pita Loka terpaksa tutup hidung, sebab tubuh yang bagus itu
bau. Memang inilah ciri ilmu hitam, yang pantangannya adalah mandi. Pita
Loka tersenyum sinis: “O, betapa malang nasibmu Wati!”
Dan enam jam setelah lewat masa pingsannya, wajah yang semula melepuh
karena mengidap ilmu hitam itu berangsur berubah menjadi licin. Mata
Harwarti melek. Dia seperti keheranan dan berseru: “Pita Loka!”
Dan Harwati tampak keheran-heranan melihat keadaan sekitar. Dia melihat
obor yang menyala lestari. Dia melihat tabir asap yang muncul dan permukaan
bumi dalam gua itu.
“Begitu lama kau mengasingkan diri di sini?” tanya Harwati.
“Dan kau? Berapa lama kau tidak mandi?” tanya Pita Loka.
Pita Loka lalu tersenyum sejenak dan berkata: “Coba resapi bau tubuhmu itu
dengan hidungmu!”
“Ah bau sekali” kata Harwati kemalu-maluan setelah mencium bau tubuhnya.
“Dengan siapa kau belajar, Wati?” tanya Pita Loka.
“Seorang guru tua. Ki Rotan, apakah kau pernah mendengar namanya?”
“Aku tahu siapa dia. Ketika aku menjelang sampai ke Gua Lebah ini, aku
melewati hutan rotan. Seorang udik mengajak aku belajar pada Ki Rotan
dengan syarat tidak menikah seumur hidup. Tapi akhirnya aku melarikan diri
hingga sampailah aku di sini. Apa kabar Gumara sekarang? Dia tidak jadi
menikah dengan kau, barangkali?”
Harwarti hanya meggelengkan kepala.
“Dia saudara seayah denganku”. katanya, yang membuat Pita Loka terkejut
yang tak dapat disembunyikan lagi.
“Kalau begitu aku berminat untuk meninggalkan gua terasing ini”. kata Pita
Loka.
“Ingin kembali ke Kumayan?” tanya Harwati.
“Ya”, sahut Pita Loka.
“Kalau begitu berikan ilmu kesaktianmu untukku!” ujar Harwati bersemangat.
Pita Loka terdiam. Lalu menggelengkan kepala dan berkata: “Tidak bisa
seluruhnya. Hanya setetes yang bisa kuberikan padamu. Dan sia-sia jika kau
menganggap kesaktian ilmuku dari biji tasbih yang seribu biji ini. Tidak,
Bukan di sini kekuatan ilmuku!”
“Ajari aku!” kata Harwati.
“Jiwamu harus bersih dari segala nafsu apa pun, baru kau mendapatkannya.
Dan itu sulit bagimu. Harwati! “ kata Pita Loka dengan ucapan mantap.
“Kenapa?”
“Karena aku melihat dalam dirimu ada sikap tak jujur, iri hati, serakah.
Tapi yang akan lebih menyulitkan kau adalah sifatmu yang suka berkhianat”.
Itu diucapkan oleh Pita Loka dengan polos. Tanpa minta maaf lebih dulu.
Ditatapnya mata Harwati. Dan Harwati yang memiliki sifat “rai gedeg” itu
tidak memperlihatkan perasaan tersinggung.
“Lalu untuk apa sebenarnya kau datang ke Gua Lebah ini, Wati?”
Dengan nada selingkuh Harwati menjawab :”Aku belajar padamu!”
“Betul?”
“Betul”.
“Dan siapakah gerengan yang menyuruh kau belajar padaku?”
“Tidak ada. Hanya atas kemauanku sendiri”. ujar Harwati.
Dan dia sudah berdusta. Tampaknya permainan dustanya itu begitu hebat,
sehingga tak diketahui Pita Loka.
“Lalu, apabila kau sudah mendapatkan ilmuku, apa yang hendak kau lakukan?”
“Terserah pada Guru. Kau Guruku. Seorang murid harus patuh pada perintah
sang Guru”, kata Harwati.
“Bagus. Jadi kau ke sini secara mutlak ingin mendapatkan ilmu Sakti dariku.
Tanpa ada yang meyuruh”, kata Pita Loka.
“Ya, tanpa ada yang menyuruh”,
“Pada Ki Rotan ilmumu sudah tamat?”
“Aku justru melarikan diri. Aku diberi makan cacing-cacing. Aku tak
diperkenankan tidur sepicing mata pun!”
“Kasihan”, kata Pita Loka.
“Dan bagaimana persyaratan mendapatkan ilmumu?” tanya Harwati.
“Tidak bisa tidur itu termasuk mutlak. Hal itu ada dalam tuntutan ilmuku.
Tapi berapa lama kau sudah menjadi murid Ki Rotan?” tanya Pita Loka.
“Baru pada tahap pertama. Hanya seratus hari. Hal ini kulakan setelah aku
patah hati. Karena ternyata Gumara adalah saudara seayah dariku, lain lbu”.
“Oh, senang aku kali ini mendengar kejujuranmu. Tapi tahukah kau berapa
lama kau harus belajar sampai dapat setetes ilmuku?”
“Setetes? “ Harwati kaget.
“Nah itu satu bukti kau serakah. Setetes ilmuku yang kau dapatkan itu harus
kau tempuh dalam waktu 1000 hari, lebih dari 2 tahun setengah!”
Harwati tersenyum licik dan berkata: “Kalau belajar dengan kau, buatku 1000
hari tak mengapa. Aku akan menjadi murid yang tekun, Pita Loka!”
Diantara belitan pohon-pohon rotan yang rapat, Ki Rotan pada waktu matahari
terbenam mendadak sontak berkelit seperti menangkis serangan. Dia seperti
merasa mendapat serangan halus dari arah kulon. Dia berkelibat lagi
memasang kuda-kuda seakan musuh sudah dalam jarak lima depa saja.
Lima orang muridnya ikut berkelibat.
“Ada apa Ki Guru?” tanya Pongga.
“Ada yang berkhianat!”
“Utusan tuan Guru?”
“Ya. Puteri Ki Karat bangsat itu! Dia kuutus untuk mencuri ilmu Ki Pita
Loka. taunya berkhianat”.
“Ini matahari sudah terbenam dua kali. Dia belum juga kembali!” dan Ki
Rotan berubah menjadi macan tutul beringas.
“Perlu saya menyusul?”“ tanya Pongga.
“Tidak perlu! Kalau perlu saya yang menyusul. Dua kali matahari terbenam
Harwati belum kembali, itu berarti ada dua kemungkinan: Pertama, dia
berkhianat menuntut ilmunya Ki Pita Loka. Kedua, kemungkinan dia salah
siasat lalu mati dibunuh”
Dugaan Ki Rotan meleset. Harwati tidak berkhianat. Dan Harwati tidak
dibunuh. Dia dengan tekun sehari suntuk sejak matahari terbit sampai
terbenam. mengangkat batu kali menuju gua, itu adalah latihan pertama yang
harus dilakukanya selama 40 hari matahari terbit dan terbenam.
Memang latihan itu amat berat. Tapi menurut Pita Loka, ketika dia mendapat
ilham dari ilmunya yang sekarang dia miliki ini hal yang dia perbuat sama
seperti Harwati.
Harwati sendiri belum melihat setinggi apa mutu ilmu Pita Loka. Tapi setiap
pagi dia melihat betapa terlatihnya Pita Loka melompat dari pohon ke pohon
yang jaraknya sekitar 20 hasta, tanpa berpegangan tangan. Dan bila matahari
tegak lurus di langit, Pita Loka turun dan latihan lompat melompat itu
dengan membawa berbagai macam buah-buahan. Dengan makanan buah itulah makan
siangnya. Di sekitar wilayah kekuasaamya ini tidak pernah mereka makan
nasi.
Pengalaman Harwati di perguruan Ki Rotan masih makan buah-buahan umbi yang
direbus. Kadang kalau Pongga berhasil merampok, perbekalan beras cukup
untuk dua minggu di perguruan. Biar pun jatah beras atau makan nasi atau
ubi rebus tidaklah banyak, tapi di tempat Pita Loka ini rasanya suasana
perbekalan makanan haruslah seadanya. Dan mengangkut batu-batu kali yang
besar itu menguras tenaga dan membuat perut gampang lapar.
“Apa kau tak kuat?” tanya Pita Loka di hari ketiga.
“Kuat”, ujar Harwati.
“Jika kau tak kuat, kau boleh kembali ke padepokan Ki Rotan”.
“Tidak. Aku akan betah di sini”.
Dan tanpa diduga rupanya hanya tujuh hari Harwati yang diberi jatah makan
buah-buahan di siang hari. Pada malam menuju hari kedelapan, Harwati
mendengar kata-kata gurunya; “Mulai hari kedelapan sampai hari ke
limabelas, kau tidak dapat jatah makan buah-buahan siang. Tapi bukan kau
saja. Aku ikut tak makan siang”.
Sungguh letih pada hari-hari harus berpuasa menunggu sembari mesti
mengangkat batu kali. Tetapi setelah dialami, memang dia mampu juga. Dan
tidurnya sehabis berbuka ketika matahari terbenam, amatlah nyenyak.
Dan ketika memasuki hari selikuran, Pita Loka berkata:
“Ini hari ke-21 kau belajar. Tugasmu sekarang ini, sampai hari ke-40 adalah
memulangkan kembali seluruh batu yang kau angkut ke Gua.”
Harwati melotot kaget: “Memulangkannya kembali? Jadi apa gunanya diangkut?”
“Semua latihan ada gunanya”, sahut Pita Loka.
“Ki Pita, apa ini bukan olok-olok?”
“Kau tak boleh membantah. Sekali lagi kau membantah kau akan aku usir
kembali ke padepokan Ki Rotan”, kata sang Guru mengancam.
Dengan perasaan jengkel, takut dan kuatir, Harwati mengikuti mata pelajaran
yang baginya belum jelas itu.
Dua hari menjelang hari ke-40, Harwati tergelincir ketika membawa batu kali
ke kali lembah di bawah sana itu. Pita Loka bagai terbang dari pohon ke
pohon dengan lompatan-lompatan yang agak mirip lompatan orang hutan. Dan
dia mendapati Harwati di bawah dalam keadaan tidak pingsan. Pita Loka
tersenyum dan menepik bahu Harwati: “Berdirilah dengan tegap. Kau baru
mengalami jatuh satu kali. Ketika aku belajar lewat ilham, aku mengalami 7
kali jatuh. Kau bakal menjadi murid istimewa, Wati”.
Pujian itulah yang mendorong semangat Harwati mengangkut batu dari gua ke
lantai lembah. Dan sampai hari ke-40 itu selama dua hari dia mengalami
jatuh tergelincir sebanyak 6 kali.
“Baru aku tahu”, ujar sang Guru, “Tiap mata pelajaran akan mengalami 7
kecelakaan”......
Tengah malam ketika Harwati tidur pulas, Pita Loka masih memandangi bintang
gemintang di langit yang biru kelembayungan. Sekitar setengah jam lagi,
Pita Loka mesti melakukan upacara penting kenaikan tingkat ilmu. Yaitu awal
dari pengisian ilmu pada muridnya. Kembang tujuh rupa sudah disiapkan dalam
segentong air. Nanti tepat ketika bulan itu menyudut 45 derajat berarti
tengah malam tepat, Harwati akan dimandikan dengan guyuran air kembang itu.
Tapi waktu setengah jam itu masih cukup lama, pikirnya. Dia meresapi
tatapannya ke bintang Kejora yang sinarnya gemerlap itu. Mendadak dia
mendengar suara gemersik di sekitar sebelah kanan pintu gua. Pita Loka
melirik ke sana . Memang ada sosok yang sedang menyusup di sela empat
batang pohon langsat.
Pita Loka membalikkan tubuhnya membelakangi sosok yang mendekati itu. Sosok
itu semakin merasa aman. Makin jelas jika dilihat seksama, dia mengenakan
destar merah darah. Ya. Pita Loka pun sudah tahu bahwa manusia yang mau
menggempurnya adalah Ki Rotan.
Dia tenang-tenang saja menghadapi kemungkinan itu. Tetapi, lima huruf yang
terjalin dalam satu perkataan itu sudah mulai mengisi seluruh urat
darahnya. Lidahnya bergerak, dan gerak lidah yang mengucapkan satu
perkataan abadi itu semakin bergetar cepat, dan seluruh urat darah Pita
Loka seakan sudah terisi dengan sekian juta kata-kata yang digerakkan
lidahnya.
Ki Rotan sudah berdiri tegap dari gerak semula yang merunduk. Tongkat di
tangannya sudah siap untuk dihantamkannya ke kepala Pita Loka. Kalau
diteliti, jarak tegaknya Ki Rotan dengan Pita Loka adalah syarat yang cukup
untuk menghantam kepala Pita Loka sampai hancur.
Yang gelisah justru lebah-lebah itu. Lebah-lebah itu sepertinya tak sabar
untuk keluar dari pintu gua. Tapi melihat ketenangan majikan yang
memeliharanya, lebah-lebah yang gelisah itu akhirnya seperti berbisik-bisik
saja. Mendengar suara lebah itu berbisik. Ki Rotan jadi ragu.
Bahkan dia makin tegang. Keringat dingin mulai mengalir sementara
peganganya pada gagang tongkat semakin kuat.
Mendadak Ki Rotan bagai mengamuk berteriak nyaring sembari menghantamkan
tongkatnya tepat di tengah batok kepala Pita Loka. Dari permukaan kepala
itu tampak bagai kilat disertai bunyi pecahan kaca. Tongkat itu sendiri
setelah menghantam sasaran karena dipegang amat kuat gagangnya oleh Ki
Rotan membuat Ki Rotan membal ke udara.
Namun ia jatuh kembali ke bumi dengan pegangan tongkat yang kukuh dan
telapak kaki tegak perkasa. Ki Pita Loka, yang masih berdiri tenang, dengan
kedua tangan berlipat di dada, lalu membalik 90 derajat, ketika mana satu
hantaman tongkat menghantam leher kirinya. Tapi kembali tongkat itu membal
bersama Ki Rotan yang juga terlempar ke kiri.
Pita Loka maju selangkah. Ketika Ki Rotan mengayunkan tangkatnya lagi mau
menghantam leher kanan Pita Loka, ketika inilah Ki Pita Loka menyambut
hantaman itu dengan tangan kirinya, kemudian tongkat yang sudah terpegang
itu dia pusingkan melingkar di atas kepalanya. Ki Rotan seperti
dipermainkan ibarat sirkus dengan keraguan tak berani melepaskan pegangan
tongkatnya. Setelah sekian putaran mempermainkan Ki Rotan begitu tepat pada
waktu pegangan Ki Pita Loka dia lepas hingga Ki Rotan dan tongkatnya
menyerbu masuk pintu gua yang terdiri dari rubungan lebah-lebah. Lebahlebah yang terkena tabrakan itu seketika itu juga jadi marah dan begitu Ki
Rotan ambruk di sekitar pendapa gua, langsung saja dia dikerubuti lebahlebah yang ribuan jumlahnya.
Aneh sekali. Keadaan yang menghebohkan itu tidak membuat Harwati terbangun.
Ketika Ki Rotan sudah diantup habis-habisan oleh pasukan lebah itu, tanpa
bisa bergerak lagi, waktu itulah Ki Pita Loka memasuki pintu padepokanya
itu dengan langkah tenang. Dia bangunkan Harwati.
Tapi dia tak memberitahu apa yang terjadi agar konsentrasi Harwati jangan
meleset Harwati dituntunnya menuju gentong besar yang terbuat dan tanah
liat selama selikur hari dulu, di kala ia menuntut ilmu pertamakali sebelum
Harwati diguyurnya, Ki Pita Loka mengajarkan satu perkataan yang terdiri
dari lima hurup. Dan perkataan itu diulang-ulangi dengan lidah sampai
meresap.
Dari lambat semakin cepat. Dan begitu Harwati selesai diguyur…dia kemudian
pingsan.
Ketika itulah Harwati digotong oleh Pita Loka dan ditaruh di atas susunan
batu batu, yang selama ini menjadi tempat tidurnya. Dan dalam tempo
seperempat jam, Harwati kembali sadarkan diri. Begitu dia sadarkan diri dia
kaget seketika karena dia sudah dalam keadaan berpakaian.
Padahal tadi rasanya dia masih mandi diguyur. Harwati duduk. Dia tiba-tiba
terdongak kaget melihat sosok yang membengkak, Ki Rotan, dalam keadaan
mengerikan.
Sungguh luar biasa! Harwati tercengang karena Ki Pita Loka, Gurunya, justru
sedang melakukan pengobatan atas diri Ki Rotan. Pengobatan itu pun amat
sederhana. Hanya ibu jari sang Guru digosokkan pada langit-langit mulutnya,
lalu jempol itu diusapi pada kening Ki Rotan, dan bengkak di seluruh tubuh
Ki Rotan jadi kempis.
Ki Rotan sadarkan diri secara amat mencengangkan. Dia melihat Harwati dan
berkata; “Kau murid yang tak pernah berhenti durhaka, Wati”
“Sebaiknya anda pergi, Ki Rotan. Semua yang anda alami, merupakan bukti,
bahwa saya ini bukan lawan anda” kata Ki Pita Loka.
Harwati diam sembari memikirkan sesuatu. Sesuatu yang tak mungkin terbaca
oleh perasaan Ki Pita Loka.
Ki Rotan berdiri. Ketika ia mencari tongkatnya, Ki Pita Loka memberi
tongkat itu kepadanya. Seraya berkata: “Ilmu yang anda punyai hanya
sepanjang tongkat yang anda pegang”.
“Tapi ilmu Tuan Guru pun sebanyak asap stanggi yang mengepul itu. Bila asap
itu habis. Habislah ilmu anda, Ki Pita Loka”, kata Ki Rotan.
“Sudah jangan banyak bicara lagi. Anda sudah saya usir secara baik-baik, Ki
Rotan. Jangan masuki wilayah ini lagi, kecuali jika anda mau tidak
selamat”, kata Ki Pita Loka.
Namun dengan getol Ki Rotan menjawab: “Tahukah anda selain saya sekarang
ini banyak lagi orang yang ingin mendapatkan Pedang Raja Turki dan Kitab
Makom Mahmuda yang anda sembunyikan? Untuk itulah saya ke sini!”
Ki Pita Loka terdongak kaget. Dia memang pernah menyaksikan dua benda yang
disebut Ki Rotan itu. Tapi bukan dalam keadaan nyata atau konkret. Tapi
hanya dalam enam kali mimpi!
“Anda kaget dengan ucapanku, bukan? Pernah kutemui seorang pengembara tua,
namanya Ki Ibrahim Arkam. Dia mengira akulah yang memiliki dua benda sakti
itu. Dari dia aku mengetahui. Dan kini anda terkejut! Hah, jangan kuatir,
Guru besar . . . saya akan kembali!”
Menjelang dia melangkah berlalu, dia menoleh pada Harwati dan berkata
dengan sopan: “Belajarlah dengan baik padanya. Lalu ambil ilmunya!”
Harwati jadi gugup. Dia kuatir dianggap Ki Pita Loka pada suatu saat akan
berkhianat. Begitu pun setelah Ki Rotan berlalu, dia tanpa diminta berkata:
““Tuan Guru, aku tidak akan mengkhianati anda!”.
“Oh, buatku sama saja. Kau belajar padaku, setia atau berkhianat itu sama
saja”, kata Ki Pita Loka. Lalu Ki Pita Loka bertanya pada Harwati:
“Pernahkah kau dengar tentang Pedang Raja Turki itu?”
“Tidak, Ki Guru!”
“Pernah kau dengar tentang Kitab Makom Mahmuda?”
“Juga tidak, Ki Guru!”
“Lalu untuk apa kau datang ke sini?”
“Hanya ingin belajar”.
“Setelah selesai?”
“Saya siap menjad pengawal anda”. kata Harwati.
“Sekiranya Guru Gumara mendadak datang ke mari, apa tindakanmu?”
Harwati cepat menjawab: “Saya anjurkan pada saudara tiriku itu agar menjadi
pendamping anda!”
“Dusta!” Ki Pita Loka menuding marah. “Kau kira aku tidak tahu isi hatimu?
Kau mencintai Guru Gumara, betul kan ?! “
Terkena tanya yang amat mengerikan ituu, Harwati sigap menjawab: “Tidak!
Kami lahir dari satu ayah. Mana mungkin dua anak Ki Karat saling mencintai?
Apalagi menuju ke jenjang suami isteri? Cuma anda, Ki Guru yang mulia, yang
masuk akal untuk menjadi pendamping Guru Gumara!”
“Ucapanmu menghibur”, kata Ki Pita Loka.
“Itu logis. itu masuk akal!” kata Harwati. “Beda denganku. Aku satu
titiisan darah dengan dia”
“Oh, begitu”, mata Ki Pita Loka lalu menjadi berbinar menahan marah, dan
dia menuding lagi: “Kau mendustai aku ketika pertama kali kau datang
mengecoh diriku, mengatakan membawa surat Guru Gumara. Atas dasar apa kau
kecoh diriku dengan surat dustamu?”
“Supaya saya diterima Tuan Guru dengan baik”, kata Harwati.
Ki Pita Loka merasa ada bunyi berdenging dari arah tirai stanggi itu,
pertanda tak baik. Dia langsung sadar bahwa iblis sedang menggodanya. Lalu
dia berkata: “Mari kita habisi cerita Gumara. Kau tidak akan mendapatkannya
seperti alasan yang kau katakan, dan aku pun tidak akan mendapatkannya
karena alasan pribadiku pula”
“Alasan apa. Tuan Guru, jika boleh saya tau?” tanya Harwati.
“Syarat terberat, bahwa aku tidak boleh tergoda pada lelaki mana pun. Jadi
ini berarti: termasuk Guru Gumara. Mari kau kutambah dengan tingkat ilmu
lebih tinggi!” kata Ki Guru Pita Loka.
Ki Rotan, sementara itu melangkah sempoyongan tanpa tahu arah lagi. ia
beteriak-teriak di tengah hutan belantara. dan kehilangan arah mencari
Bukit Rotan, padahal ia harus kembali ke padepokan.
Sekonyong, sehabis suaranya menjadi serak karena beteriak, dia tercengang
sudah tiga minggu perjalanan ternyata tersesat ke Bukit Tunggal! Ki Rotan
gugup dan ketakutan. Sebab sudah menjadi ajang dongeng selama ini, siapa
pun yang masuk ke wilayah Ki Tunggal maka jika tanpa izin, pasti akan
mengalami hukuman.
Ki Tunggal adalah Guru dari Semua Guru, sungguh pantangan menemui beliau
tanpa ada petunjuk sebelumnya.
Pondok padepokan Ki Tunggal seluruhnya terbuat dari daun nipah. Itu sudah
tampak dari jauh oleh Ki Rotan. Tapi beradanya Ki Rotan di kawasan Bukit
Tunggal sudah pula diketahui oleh Ki Tunggal. Kendati beliau ketika itu
berada dalam kamar petapaannya. Dia melihat seorang lelaki sempoyongan di
bawah pohonan cendana. Menuju Pondoknya. Dia melihat bukan dengan mata!
Tapi dengan hati. Dan dengan ilmu gelombang dia lingkari tamu tak diundang
itu, agar masuk ke dalam orbitnya. Dan memang, Ki Rotan berjalan
sempoyongan seperti ditarik oleh magnet. Kekuatan daya tarik, yang membuat
dia seakan-akan menyerah oleh tarikan itu.
“Hai, Ki Rotan, sibakkan daun pintu itu. Dan masuklah”, terdengar suara Ki
Tunggal dari dalam. Hal ini membuat Ki Rotan ngeri, tapi dia senang juga
karena mendengar keramahan suara Guru Besar tadi. Dia sibakkan pintu daun
nipah itu. Dengan amat santun dia masuk. Tapi tak ada orang. Dia lalu ngeri
dan bagai orang mabuk dia ingin muntah-muntah. Lalu dia menggelepar-gelepar
di lantai tanah liat itu, namun tetap memegang tongkatnya. Satu-satunya
yang masih sadar dia lakukan!
Begitu Ki Tunggal muncul dari bilik pertapaannya, maka Ki Rotan pun
berhenti menggelepar. Tubuh yang lemah itu lalu merangkak, dan dia ciumi
kaki Guru Besar itu seraya berkata: “Ampuni aku, Raja dari semua Guru! Aku
kesini tersesat!”
“Aku tahu. Aku juga tahu, kau baru keluar dari tawanan Ki Pita Loka. Harap
kau tidak menghampiri dia lagi, kecuali jika aku sudah mati. Masa
istirahatku sudah dekat. Jadi aku akan lebih terbuka kepada siapa pun yang
datang. Dan aku tahu. kau datang tanpa kau sengaja!”
“Betul, Guru Besar”, Ki Rotan bersemangat, mencium kaki sang Guru lagi.
“Sekarang, berhentilah menciumi kakiku. Kakiku hanya suci selama 100 tahun
saja. Jika kaki ini melanggar debu. Itu berarti masa tugasku berakhir.
Bukit Tunggal ini akan menjadi bernama Bukit Tinggal, karena dia
kutinggalkan. Lalu, kau ke sini karena menginginkan sesuatu?”
“Ya, Ki Guru mulia!”
“Sebutkan apa yang kau inginkan?”
“Sebuah Kitab”.
“Oh, anda akan gila seperti muridku Ibrahim Arkam menginginkannya. Kitab
itu sudah ditemukan oleh seseorang, untuk seseorang. Dia tidak akan jatuh
kepada siapa pun kecuali pada seseorang!”
“Jadi bukan tuan pemiliknya!” ujar Ki Rotan memberanikan diri.
“Bukan aku. Aku hanya memiliki pasangannya!”, kata Ki Tunggal.
“Berikan pasangan Kitab itu padaku, Ki Guru! Aku akan memeliharanya!”
“Pedang Raja Turki yang kau maksud?”, Ki Tunggal tersenyum dan tersenyum
itu sudah semacam tertawa lebar bagi Guru seagung dia. Dan sembari
tersenyum pula Ki Tunggal berkata: “Kau terlalu kotor untuk memegang
gagangnya, apalagi memilikinya. Kini sebaiknya kau pulang, sebelum bencana
menimpamu!”
“Aku kehilangan jalan pulang maka aku tersesat ke sini”, kata Ki Rotan.
“Aku seperti kehilangan kesadaran karena terusir dari Gua Lebah”.
“Bau stanggi itu yang membuatmu mabuk. Selagi asap stanggi di gua itu masih
berada dalam paru-parumu, kau masih dalam keadaan setengah sadar. Tapi apa
boleh buat, kau harus cepat enyah dan sini!”, mendadak suara Ki Tunggal
menggelegar bagai petir, sehingga Ki Rotan keluar ketakutan, lari terbirit
tanpa pamit.
Ia kembali seperti orang gila, berteriak di hutan belantara maupun di
lembah yang menimbulkan bunyi gema yang menakutkannya sendiri. Tapi Ki
Rotan yang sempoyongan itu menghentikan langkahnya ketika ia merasa
terkepung oleh sembilan orang memegang tongkat.
“Siapa kalian?” tanyanya ketakutan.
“Kami pengawal Tuan Guru!”
Baru ia sadari, bahwa dia telah tiba di Bukit Rotan di kawasan padepokannya
sendiri. Ketawanya menggelegar terbahak-bahak, dan semua muridnya heran.
Seluruh pengalamannya di Bukit Tunggal malah ia lupa, tapi pengalamannya di
Gua Lebah dia masih ingat.
Jarang-jarang sekali Ki Tunggal kelihatan gelisah seperti sekarang ini.
Seperginya Ki Rotan dia menganggap kedatangannya itu mengandung sial atau
suatu pertanda buruk. Padepokannya hanya didatangi orang-orang yang benarbenar suci. Ini berarti, kekuatannya sebagai Harimau Tunggal sudah benarbenar diujung tugas kehidupannya.
Dan malam ini ia bermimpi aneh seorang wanita muncul dan menyatakan dirinya
sebagai isterinya! Ah, ini pasti pertanda buruk. Dia selama ini menepati
janji tidak akan beristeri dan tidak membuat keturunan. Ia terjaga, dan dia
penuh ketakutan karena dia melihat air maninya sudah tertumpah.
Lalu, malam itu Ki Tunggal sengaja tirakatan. Dia sejak siang tak makan,
juga dia berniat tak tidur. Tapi dia toh ketiduran juga pada dinihari. Dia
bermimpi lagi. Seorang wanita muda lagi muncul, tapi bukannya wanita yang
pertama tadi.
“Tuan serahkan Pedang Turki kepadaku. Mengingat masa jabatan tuan sudah
menjelang akhir”, kata wanita muda yang tak dikenalnya itu.
“Siapa kau? Aku tak mengundangmu ke sini”
“Aku anak orang sakti, dan murid orang sakti. Bila pedang itu tidak tuan
serahkan padaku tuan akan mati dalam keadaan mengerikan, tidak diterima
oleh bumi, tidak diterima oleh air, tidak diterima oleh udara!” Dalam
inimpi yang amat mengerikan itu, Ki Tunggal menyerahkan Pedang Turki itu,
satu benda yang merupakan kembaran Kitab Makom Mahmuda yang berisi petunjuk
kehidupan.
Pagi hari Ki Tunggal bangun dengan bermuram durja. Aku adalah harimau
pertama dari dunia persilatan yang tujuh. Lalu dia menuju kolam ikan,
sebelah sungai yang sudah 100 tahun dia aliri airnya menjadi empang ikan.
Dia bukan saja terkejut melihat ikan-ikan itu menjauh. Tapi setelah
permukaan empang itu tidak beriak lagi, Ki Tunggal melihat wajahnya bagai
behadapan dengan kaca di permukaan kolam itu! Aduh, apa gerangan Yang
membuat wajahku berubah jadi muda? Diperhatikannya lagi wajahnya di
permukaan kolam itu. Dia melihat dirinya begitu muda perkasa. Namun ketika
dirabanya raut mukanya, dia rasakan lipatan keriput ketuaan.
“Tuan, tolong aku”“ terdengar suara berteriak.
Ternyata ada gadis hanyut. Ki Tunggal biasanya mempertanyakan diri lebih
dahulu apakah itu manusia atau jin. Apakah itu seruan baik atau buruk. Tapi
kali ini Guru Besar itu begitu lincah meninggalkan empang ikannya berlari
melompati batu-batu sungai itu, dan memungut gadis yang hanyut itu.
Gadis itu cantik dan menerbitkan birahi. Buah dadanya yang tertutup kain
basah itu memperlihatkan putiknya yang menggiurkan. Ki Tunggal heran,
ketika gadis ttu memuji: “Tuan muda dan ganteng tetapi lebih dari
segalanya, Tuan baik hati. Di mana rumah tuan?”
“Di atas bukit itu”.
“Siapa nama Tuan?”
“Dadu Tunggal”.... Ujar Guru Besar itu, yang untuk pertamakali menyebut
nama ketika mudanya.
“Siapa kau?” tanya Dadu Tunggal.
“Namaku Senik. Tadi malam aku bermimpi hanyut, dipungut oleh seorang Guru
Perkasa, yang ternyata anda! Tapi tuan jangan terkejut, saya dihanyutkan
air, sebetulnya dihanyutkan oleh Nasib!”
“Nasib?”
“Ya. Sayalah ladang tempat tuan menyebarkan benih keturunan!”
Mendadak Ki Tunggal sadar pada janji semula, pada gurunya, Ki Turki yang
memantangkan dia memberi keturunan kepada wanita. Maka dia membentak Senik
dengan suara menggelegar: “Penggoda kau! Laknat kau! Aku tidak
diperkenankan memberi turunan!”
“Tuan boleh memakiku! Aku bukan wanita penggoda! Aku dibawa nasib. Dan tuan
jangan coba-coba melawan hukum alam, sedangkan hewan dan tumbuhan pun
mengalami perkawinan!”
Ki Tunggal terperangah. Dia duduk di batu. Senik tergiur melihat
kegantengan pria yang duduk di batu itu. Ganteng dan perkasa, dengan otototot yang kenyal bagai gulungan akar pohon.
“Jangan kau hampiri padepokanku. Hanya orang suci yang berhak
menghampirinya. Kau sudah kutolong, jangan kau celakakan saya lagi!” ujar
Ki Tunggal. Tapi gadis itu menangis tersedu-sedu, bersimpuh di ujung kaki
sang Guru Besar, dan hal ini merusakkan perasaan murni Guru Besar itu.
Ia kuatir, kejadian ini menjadi ujud mimpi. Dan ia kuatir, kejadian ini
bila dituruti akan berekor dengan munculnya satu wanita lagi yang meminta
warisan Pedang Raja Turki, seperti dalam mimpi.
Dan kejadian yang sedang berlaku di Bukit Tunggal ini justru sedang
dituturkan oleh Ki Pita Loka kepada muridnya. Harwati.
Sebenarnya Ki Pita Loka barusan saja menceritakan mimpinya semalam kepada
Harwati. Dengan sarapan sari buah-buahan hutan dan umbi pohon kuwat, dari
mulut Ki Pita Loka meluncur perkataan: “Wanita yang mendapatikan warisan
Pedang Turki itu tak jelas parasnya olehku. Tapi mungkin akulah wanita
itu”.
“Kenapa kita berdua tak pergi ke saja, Ki Guru?”usul Harwati.
“Pencaharian barang sakti hanya boleh akibat dari gerak ghaib yang tidak
kita ketahui, ketika aku melarikan diri dari desa Kumayan, orang pertama
yang memberitahukan padaku tentang benda kembar sakti itu, adalah Ki
Ibrahim Arkam. Dia selalu sembunyi dalam sebuah guha yang pintunya amat
tinggi. Ketika itu aku tak mampu memanjat tempat persembunyiannya kendati
beliau mempersilahkan masuk. Hanya Guru Gumara yang mungkin dapat merayap
seperti cicak untuk masuk ke pintu guha Ki Ibrahim Arkam. Beliau
menyatakan, dua benda yang merupakan kembaran itu dicobanya mencari, tapi
toh di tak mendapatkannya.”
Harwati mendengarkannya dengan tekun. Lalu dia merasa, dialah yang disebut
Ki Pita Loka sebagai gadis yang akan mewarisi pedang sakti itu. Perasaan
Harwati itu seketika itu juga terbaca oleh Ki Pita Loka, yang mendadak
bertanya : “Kau berkhayal bahwa kamulah yang nanti memiliki Pedang Guru
Turki itu? “
“Oh. mana mungkin”, kata Harwati berdusta. Tapi godaan kisah mimpi sang
Guru itu menjadi pikiran Harawati sehingga dia tidur mengigau, lalu
berjalan sempoyongan dan berteriak histeris keluar dari Guha Lebah di
tengah malam. Ki Pita Loka mengikuti langkah muridnya, karena ingin
mengetahui apa penyebab Harwati mengigau ini. Dan ketika Harwati terpeleset
hampir masuk jurang, dengan cekatan Ki Pita Loka melompat menyambar tangan
Harwati, menyentaknya, dan menyadarkan sang murid : “Apa yang sedang kau
jalani, Wati?”
Harwati lupa pada semua yang sudah terjadi tadi. Sektika itu juga. Mendadak
dia mengaum bagai harimau, tapi dia tidak menjelma jadi harimau. Biarpun
begitu, bagi Ki Pita Loka, hal ini dianggapnya satu pertanda. Karena itu,
pada siangnya sewaktu dia mengajarkan ilmu meniti air kepada Harwati, Pita
Loka tak sengaja melontarkan ucapan : “Ketika aku mendengar kau mengaum
sebagai auman macan, aku kuatir aku sekarang ini sedang memelihara seekor
harimau kecil. Celaka bagi pemelihara harimau, adalah, jika harimau itu
sudah besar, dia akan mencakar gurunya, pemeliharanya”
Harwati tersinggung sekali dan berkata : “Kenapa Ki Guru yang memiliki
sepuluh kesaktian kuatir pada saya? Kenapa Ki Guru selalu menganggap saya
akan berkhianat?”
“Karena aku selalu menandai dalam hatimu ada satu hal yang selalu kau
rahasiakan” kata Ki Pita Loka.
“Ajaib sekali! Saya sudah bersumpah menjadi pengawal setia, murid setia,
kenapa muncul keraguan mendadak?” tanya Harwati.
“Itu bukan keraguan, muridku tercinta! Itu firasat. Firasat tidak dapat
ditelusuri akal. Sebab dia mengandung keghaiban! Dan tiap orang yang
ilmunya tajam. Harus percaya kepada yang Ghaib!” kata Ki Pita Loka.
“Sekarang mari lanjutkan pelajaran”, ujar Ki Pita Loka.
Harwati dengan tekun mengatur pernafasan, Ki Pita Loka memberi petunjuk
cara meniti air.
“Air selalu pergi ke hilir. Maka jika kau meniti diatas air, ikuti arah
arus air, bukan sebaliknya, dan kau harus merasa dirimu ringan. Dan dalam
dirimu sepuluh rongga harus kau tutup secara imajiner. Maka gelembung yang
tinggal di tubuhmu, yakni udara ibarat udara dalam bola. Kenapa bola tidak
bisa tenggelam? Karena gelembung udara yang ada di dalamnya tak keluar, dan
diri bola itu jadi ringan. Ayolah kau coba dan jangan lupa berdzikir!”
Harwati mempraktekkan ajaran gurunya. Mulanya dia sempat melewati setengah
sungai, lalu tenggelam. Tapi setelah empat puluh satu hari melatih diri,
terutama membuat kedap gelembung udara di tubuhnya dengan menutup seluruh
rongga dalam diri, ia berhasil. Ia coba lagi meniti air sungai itu. Dan
berhasil lagi. Dan berhasil lagi dan berhasil lagi.
Dia lalu memeluk gurunya. Dan bertekad tidak akan mengkhianati. Itu
perasaan amat suci yang pernah singgah dihatinya. Kesetiaan sempurna. Tapi
kadang dia ingat lagi mimpi Ki Guru Pita Loka yang sudah di dengarnya
Pewaris Pedang Turki itu adalah wanita yang tak jelas. Jadi ini berarti,
bukan Ki Pita Loka mungkin saja aku, fikirnya. Fikiran ini yang selalu
bertarung dalam dirinya bagai warna putih dan hitam. Ia berupaya supaya
hatinya jernih dalam asuhan Sang Guru, tapi godaan suka mengotori batinnya,
dan keinginan untuk lari, atau berkhianat suka muncul hilang dan muncul dan
hilang lagi.
Setelah mandi air kelapa muda sebagai acara ritual selesainya satu tahap
itu, Harwati disodorkan sebuah kelapa hijau oleh Ki Guru Pita Loka.
“Kini aku izinkan kau memasuki lingkaran asap stanggi itu”, ujar Ki Pita
Loka. “Lalu peganglah kelapa hijau itu, sekuat pegangan, dan tiupkan secara
abstrak pada permukaan kulitnya pernafasanmu. Bila warnanya berubah kuning,
kau memang calon pemilik kesaktian, lalu makan daging kelapa hijau yang
sudah berubah jadi kelapa puan. Jika tidak, terpaksa aku yang akan
melakukanya, namun kau wajib meminum air kelapa puan itu, sekaligus
menikmati dagingnya!”
Harwati bersemangat Air kelapa mandian masih berbintik pada rambutnya. Dia
memasuki lingkaran asap stanggi yang muncul dari permukaan lantai guha itu
dengan rasa gembira. Lalu dia duduk bersila. Dia pegang erat kelapa hijau
itu.
Dia rasakan satu kekuatan ghaib bergetar dalam urat tubuhnya, membuat dia
makin erat memegang kelapa hijau itu. Dilihatnya kelapa hijau itu berubah
kulitnya menguning.
Dan dia menoleh pada Sang Guru. Ki Pita Loka mengangguk tanda dia berhasil.
Lalu Ki Pita Loka berkata: “Kupaslah…buat lobang dengan kekuatan gigi
bajing yang suka membolongi kelapa”.
“Dengan kekuatan kuku?” tanya Harwati.
“Kau memang manusia berakal, murid yang tolol kurang memahami maksud sang
Guru”.
“Lihat, Ki Guru, kukuku mirip gigi bajing!”, ujar Harwati yang dengan
cekatan mencakar permukaan kelapa puan itu. Dan ketika mencapai batok
kelapa, dicoblosnya batok itu dengan telunjuknya. Air yang mengental bagai
susu muncrat. Lalu dia minum.
“Ilmumu telah mencapai derajat hebat, muridku...Tapi itu baru salah satu
dari jari kelingking gurumu yang berjari sepuluh ini. Kau kini berhak
menerima gelar Ki Harwati. Tapi jangan berkhianat, jika kau mengkhianati
Guru, dua-dua kita akan mengalami bencana besar di kemudian hari!”
Airmata Harwati bercucuran karena keharuan. Dia sampai terlupa menikmati
daging kelapa puan, ketika mendadak dia merasakan dirinya disusupi kekuatan
hebat yang membuat dia menatap Ki Pita Loka bukan lagi guru, melainkan
orang berilmu sakti yang sejajar dan setaraf.
“Kulihat kau ada maksud jahat padaku”. ujar Ki Pita Loka mendadak. Hal
inilah yang membuat Ki Harwati tidak menunggu waktu. Padahal dia sedang
duduk bersila berhadapan dengan Sang Guru, kontan mendadak dia buka lipatan
kakinya yang seketika menampar muka Ki Pita Loka. Pita Loka masih berseru,
“Hai, jangan kau serang Gurumu! Aku Gurumu!”
Seketika lebah-lebah menyengatmya. Ki Harwati cepat memasukkan jempol
jarinya ke dalam langit-langit mulutnya.
Dengan lendir rongga mulut itu yang dia oleskan ke dahi, sengatan lebah
tadi lenyap dari nyerinya semula dan dia kembali kalap melompat menerjang
sang Guru.
“Aku bukan sekelingkingmu? Aku lebih kuat! Akulah wanita yang tak jelas
dalam mimpi kau itu, Pita Loka!” bentak Ki Harwati. Ki Pita Loka undur ke
belakang, dan ia tetap melakukan gerak mundur seraya menangkis tendangan
sang murid sampai keluar dari pintu Guha Lebah itu.
Ki Harwati menyerang dengan semua jenis ilmu silat yang diajarkan Ki Pita
Loka padanya. Karena itu, setiap jurusan serangan mampu dielakkan oleh
bekas Guru itu. Ketika Pita Loka mendadak kalap, siap untuk menghabisi
nyawa muridnya akibat dongkol, Ki Harwati mengingatkan: “Jangan coba bunuh
aku, karena pantangan ini ada pada Guru. Dan tidak pada murid!”
Tekad Harwati sudah penuh untuk menghabisi nyawa Guru Pita Loka. Tapi tiap
jurus kilat yang dilakukan, pukulan sisi telapak tangan ke leher sang Guru,
selalu saja membuat dia memukul angin. Sebab Ki Pita Loka lantas menunduk.
Mendadak, dalam keadaan merasa aman karena murid khianat ini cuma memainkan
ilmu yang diajarinnya, terdengar seketika Harwati mengeluarkan suara auman
harimau.
Gerak-gerik langkahnya berubah dan itu tidak pernah diajarkan. Ki Pita Loka
sadar, tiap murid pasti ada keistimewaan yang khusus yang tak dihadiahkan
guru. Dalam memilih kemungkinan selalu mengelak, kini Ki Pita Loka
bertindak aktif, menyerang. Tapi serangannya ini berhasil ditangkis oleh Ki
Harwati bahkan lengan Ki Pita Loka robek oleh guratan cakaran Harwati.
Kini keduanya berkelahi dari dahan ke dahan. Dan pada dua dahan yang
berhadapan dua-duanya saling mengeluarkan pukulan gaya golok agar mengenai
kepala masing-masing. Tanpa diduga, Ki Harwati merubah pukulan tangan
dengan tebasan kaki, hingga Ki Pita Loka jatuh ke bawah, namun selamat oleh
dahan-dahan yang diraihnya silih berganti. Dia kejar Harwati yang lari dari
dahan ke dahan, lalu melayang ke tebing seberang.
Dengan ilmu menuruni lembah terjal serta cara melompat dari dahan ke dahan
yang ia dapatkan dari Ki Pita Loka, Harwati berhasil kabur menuju arah
utara yaitu Bukit Tunggal.
Ki Pita Loka berkacak pinggang di atas dahan pohon seraya tersenyum. Dan
dia berkata dengan dirinya sendiri: “Lari atau tidak larinya kamu, bagiku
sama saja. Dalam sejarah, seorang guru akhirnya ditinggalkan oleh muridnya.
Sebagai gurumu, aku tidak akan mengutukmu. Hanya guru yang bodoh yang mau
mengutuk muridnya, sebab dengan mengutuk muridnya itu berarti dia mengutuk
dirinya sendiri!”
Dalam sekelebatan dia sudah seperti burung lincah yang amat indah
berlompatan dari dahan ke dahan pohon-pohon raksasa sekitar Guha Lebah itu.
Tapi Pita Loka tidak menyadari bahwa dia sedang diteropong dalam jarak satu
kilometer, nun dari puncak Bukit Sejoli yang berada di selatan sana ! Yang
sedang meneropong Pita Loka itu adalah seorang pemburu. Dia tidak sengaja
melalui teropongnya menyaksikan seorang yang jelas-jelas manusia, lagi pula
wanita, yang berlompatan bagai burung cicakrowo. Padahal sebelumnya dia
barusan kecewa, karena burung cicakrowo yang ia bidik dan siap tembak itu,
terbang sudah.
Lompatan-lompatan lincah itu jelas bukan burung yang terbang hinggap dan
terbang lagi, dari dahan ke dahan pohonan raksasa. Ia tidak ragu lagi bahwa
itu manusia. Dan manusia istimewa. Juga jelas, pada akhirnya manusia wanita
yang dianggapnya hebat itu memasuki sebuah mulut guha.
Lalu pria pemburu itu menaruh teropongnya ke dalam tas. Dia berbenah dan
kemudian menyandang senapan pemburunya. Lalu digelarkannya sebuah peta dan
diperkirakannya bukit mana yang akan ditujunya itu. Terbaca olehnya tempat
guha wanita dahsyat tadi masuk. Terbaca keterangan : Bukit Lebah. Lalu
dilingkarinya dengan spidol merah. Dan kemudian dibuatnya ancang-ancang
perjalanannya menuju ke sana .
Tetapi, setelah dia turuni Bukit Sejoli menuju mobil Landrovernya, dia
kembangkan lagi peta. Dia kecewa sekali. Sebab Bukit Lebah itu ternyata
dilingkari sungai. Tak mungkin tertembus dengan kendaraan. Tapi dia coba
juga untuk menstarter. Dan mobil itu pun mulai mencari celah-celah padangpadang rumput yang masih perawan. Sekeliling itu, tak ada desa. Jadi,
pikirnya kini, tentulah wanita tadi hidup secara primitip, sendiri atau
bersama, di Bukit Lebah itu.
Menjelang senja, pria itu sudah melingkari setengah Bukit Lebah itu, lewat
tepi-tepi sungai yang terjal. Dia malah hampir tertimpa musibah kecebur
sungai di bawah sana itu apabila mobil Landrovernya tidak kejeblos kecelah
batu-batuan di tepi tebing sungai yang tingginya sekitar 15 meter itu. Tapi
dia puas. Biarpun hari telah menjelang senja, ternyata dia kini pada posisi
berhadapan langsung dengan mulut guha tempat wanita burung tadi tampak
masuk.
Dia kini turun dari mobil. Teropong dia ambil lagi dari dalam tas. Dan
matahari yang setengah jam lagi akan terbenam itu masih sempat menyorotkan
sinarnya tepat-tepat ke arah Guha itu.
Dia meneropong dan berharap dapat menyaksikan lagi kegiatan yang terjadi di
sekitar guha itu. Nah, kini dia gembira! Gembira sangat. Dia melihat wanita
tadi keluar dari guha itu! Jelas kini, tentulah dia bukan wanita yang sudah
bersuami. Dia cantik, namun ketika sempat dia berdiri begitu keliatan
sekali wajahnya keras berwibawa. Jelas sekali lewat teropongnya, bahwa
wanita tadi itu berpakaian kain yang tidak dijahit. Bahkan sepertinya bekas
kain seprei dengan motif burung merak seperti seprei-seprei wool Persia
yang indah. Malah sepertinya mirip kimono, yang satu-satunya ikatannya
tampaknya hanyalah seutas tali plastik saja.
Hari sudah mulai agak gelap, sesaat lagi matahari tenggelam, pria pemburu
itu sedang memikirkan bagaimana caranya berkomunikasi dengan wanita itu,
atau, gadis itu! Gadis itu tampaknya sedang berdiam diri, tegak menghadap
ke arah matahari tenggelam dengan tangan terlipat mirip orang Islam sedang
tegak sembahyang. Ketika matahari terbenam, wanita tadi masuk ke guha.
Ketika itulah pria itu punya akal. Yaitu akan menyenter wanita itu dari
arah barat sini. Bukankah hari akan gelap sejenak lagi? Maka dia pun buruburu membuka tas dan mengambil senter. Rencananya, kalau gadis tadi keluar
lagi, maka akan dihidup-matikannya senter itu. Tapi agak lama juga. Oh,
betapa senang hatinya ketika satu sosok muncul. Tapi kini bukan berpakaian
seprei Persia lagi. Jelas ia mengenakan mukena, yaitu pakaian selubung
wanita Islam apabila melakukan sembahyang. Dan memang betul. Tepat di
hadapan mulut guha itu si gadis bermukena itu menggelarkan tikar sajadah.
Arahnya agak dimencengkan sedikit dari ketepatan matahari terbenam. Lalu
tampak gadis bermukena itu berdiri berkonsentrasi, dan mengangkat kedua
tangannya.
Ya, ia rupanya sedang melaksanakan sembahyang maghrib. Akibatnya, agar
tidak mengganggu orang melaksanakan ibadah, si pria mengurungkan memainkan
senter.
Lalu, ketika wanita itu agaknya selesai melaksanakan sembahyangnya, pria
pemburu ini sudah siap untuk memainkan senternya. Pemandangan depan pintu
guha itu sudah agak gelap. Tapi petunjuk satu-satunya adalah warna putih
itu. Pertanda wanita itu masih ada di situ.
Memang, Pita Loka sudah selesai sholat menghrib. Namun dia masih bersila
itu karena membacakan beberapa do”a yang amat panjang. Tapi menjelang dia
habis berdoa panjang itu, dia melihat cahaya kelap-kelip di bukit sebelah
barat seberang sungai sana .
Apa itu?
Musuhkah?
Namun otak IPA yang dia miliki segera meyaksikan dirinya bahwa itu lampu
senter sebagai isyarat komunikasi. Ah, tentu di situ ada manusia. Pasti
bukan musuh. Dan pasti bukan orang dari padepokan atau perguruan ilmu
tradisional!
Setelah jelas baginya hal itu, Ki Pita Loka cepat menggulung tikar
sembahyang dan berlari masuk guha lagi, pria yang mempermainkan lampu
senter itu pun kecewa.
Tapi Pita Loka masuk ke dalam guha untuk bersalin pakaian. Ya. dia masih
mmiliki celana blue jean maupun jacket sewaktu dia minggat dari desa
Kumayan.
Dengan ketangkasan luar biasa, Pita Loka keluar dari guha Lebah itu dan hal
ini tiada diketahui oleh pria pemburu yang sudah kalut kecewa itu. Sebelum
dia meloncat ke sebuah dahan Ki Pita Loka membetulkan sepatu karet
bergelantungan dan terbang sudah tak jelas lagi. Yang kedengaran adalah
suara bias angin sewaktu dia mengayun tubuh untuk terbang ke dahan lain.
Atau suara dahan patah lalu tubuh Pita Loka menabrak dahan lain tetapi
dengan cekaten dia sudah memegang dahan lainnya.
Selama seperempat jam dia sudah menempuh sekitar satu jarak yang agak jauh
karena lompatannya adalah zig-zag. Kini dia sudah bergelantungan di sebuah
pohon yang tegak kokoh tepat di tepi tebing sungai. Dari atas pohon ini
kedengaran deru sungai yang mengalir sekitar 20 meter di bawah tempat Ki
Pita gelantungan. Jarak antara tebing kawasan Bukit Lebah dengan tebing di
Bukit Baturiuh sana itu adalah sekitar 17 meter.
Satu-satunya pohon yang tepat untuk diloncati di seberang sana itu adalah
pohon yang agak tinggian. Jarak antara pohon itu dengan mobil Landrover itu
hanyalah sekitar 10 meter. Jadi tak boleh terdengar suara sedikitpun
apabila Pita Loka terbang dan menangkap dahan pohon tinggi itu.
Dia tak ingin diketehui. Dia hanya ingin mengetahui, siapa dan ingin apa
orang yang tadi menyenternya.
Malam yang mulai tiba dan gelap tidak menjadi soal. Dia sudah tahu ke dahan
yang mana nanti dia akan hinggap setelah terbang melayang melompati dua
tebing ini.
Tiba-tiba saja Pita Loka agak kesal karena rupanya orang yang menyenternya
itu menyalakan lampu neon baterai . Jadi kini teranglah sekitar mobil
landrover itu.
Rupanya orang itu sedang menggelarkan tikar plastik di rumputan sekitar
batu-batu di pinggir tebing itu. Dan ketika Pita melihat rantang, tahulah
dia bahwa pria itu saat untuk makan malam. Tampaknya dia memang seorang
diri. Dan selalu siap menembak. Sebab ketika dia duduk bersila begitu,
senapannya disandarkannya ke dada. Barulah dia mulai makan.
Hal inilah yang bikin Ki Pita Loka jadi ngiler, selama ini dia hanya makan
buah- buahan saja. Dia rindu makan nasi setelah lebih 1000 hari tak
menikmatinya. Dan itulah yang mendorongnya mempersiapkan diri untuk
melompati tebing curam dengan sungai di bawah itu!
Kalau begitu aku harus menggunakan tenaga dalam kedap-suara!
Ya. Ki Pita Loka berkonsentrasi sejenak. Nafasnya dia tarik dalam-dalam dan
nafas ini tak boleh dihembuskan lagi sampai saatnya hinggap pasti di pohon
sana itu. Dan ini memang cara lompatan kedap-suara yang tidak akan
terdengar satu telinga pun.
Begitu selesai dia tarik nafas dalam pada ketuntasan tenaga, dengan tenaga
dalam itu pulalah Pita Loka melompat ke atas, lalu memegang satu dahan
untuk acuan tenaga lompatan sejarak 17 meter ke sana. Ah, indah sekali
tubuh yang melayang dan kemudian hinggap di dahan yang dituju, tanpa suara.
Juga tak secemil suara pun kedengaran ketika satu tangannya hinggap di
dahan pohon seberang itu, begitupun ketika kedua kakinya menjepit tubuh
pohon tinggi itu. Dan dari ketinggian ini melihat pria yang lahap makan
malam itu, Ki Pita Loka tambah jadi ngiler.
Kini dengan nafas ditarik untuk kedap suara, dia turun bagaikan seekor
cicak...
Ki Pita Loka merayap dengan cepat takut kalau orang itu sudah keburu
menghabisi makanannya. Dia merayap ke arah barat Tempat yang ditujunya
adalah himpunan pohon savana yang cuma setinggi paha. Dia menyelinap terus
sampai pada posisi langsung menghadap orang yang asyik makan itu.
Setelah sampai pada posisi itu, Pita Loka yang sudah jongkok dan menghela
nafas itu, langsung batuk dengan konsentrasi pandangan pada pria yang asyik
makan itu.
Pria pemburu itu kaget dan melihat ke arah suara batuk tadi, begitu dia
meliat gadis bercelana blue jean berdiri di balik pohonan savana itu, pria
itu terpana bagai kena hipnotis. Waktu lelaki itu terpana begitulah, Ki
Pita Loka meniupkan udara dengan puncak kekuatan gelombang.
Lelaki itu bagai patung. Nasi bergelantungan di bibirnya yang ternganga.
Pita Loka merasa itu sudah cukup. Lelaki itu sudah beku bagai patung. Lalu
Pita Loka mendekati pohonan savana itu. Dengan sedikit gaya bercanda, Pita
Loka berkata: “Aku bukan merampok makan malammu. Tapi jika kau makan
sendiri sedangkan aku ada dan lapar, itu berarti kau seorang asosial dan
amoral”.
Dengan bismillah, Pita Loka makan dengan lahap. Memang seluruh isi rantangrantang itu disantap licin habis olehnya! Di ambilnya senapan yang
tersandar pada dada pria itu.
Pita Loka lalu berkata (yang pasti takkan disahuti pria itu): “Pemburu yang
jahat juga anda ini. Anda manusia perusak di muka bumi. Tuhan tak menyukai
itu. Tuhan melarang manusia melakukan kerusakan di muka bumi. Kau tembaki
hewan-hewan sehingga hutan-hutan kesepian”.
Setelah senapan itu diambilnya, Pita Loka mengambil lagi senter. Dan dia
berkata, yang pasti takkan disahuti lawan bicaranya itu: “Kau coba mainmain dengan senter ini itu nakal!”
Dan tiba-tiba Pita Loka benci melihat mobil Landrover itu. Dia ingat pada
masa sekolah, di mana buangan gas mobil melalui knalpotnya adalah mengotori
kebersihan alam. Lalu dia melangkah ke belakang Landrover itu. Dengan
tangan kanannya saja, ia dorong mobil itu. Tak lama kemudian, di bawah sana
itu kedengaran suara dahsyat; byurrr! Mobil itu sudah kecebur dalam sungai.
Pita Loka lalu melempar senapan pemburu tadi ke arah tempat mobil tadi
menghambur masuk sungai. Tapi senter? “Ini perlu bagiku!” katanya. Dan
tanpa menoleh sedikitpun pada pria yang duduk kaku bagai patung itu. Ki
Pita Loka menerobos pohonan savana dan memanjat pohon tadi lalu dengan
konsentrasi lincah gembira Pita Loka sudah terbang ke tebing seberang sana,
lincah bergelantungan dan berlompatan sampai akhirnya dia melaksanakan
lompatan terakhir tepat di mulut guha.
Sejenak Pita Loka menoleh kesetumpak cahaya lampu neon baterai di sana ,
dengan silhoutte tubuh yang masih duduk kaku. Barulah kemudian, Pita Loka
meniupkan satu konsentrasi angin dari mulutnya dalam radius gelombang
tinggi. Angin menerjang punggung lelaki itu. Dia terbanting ke samping dan
sadarkan diri.
Pertama yang dirasanya hilang adalah senapan pemburu.
Kedua: senter!
Lho, yang juga tak dilihatnya lagi adalah mobil Landrovernya itu Bah…bah…
bah! Peta! Peta di mobil! Dalam tas di mobil!
Barulah yang terakhir dia melihat rantangnya sudah licin. Dan ketika dia
kalap serta penasaran, dari arah timur ada dilihatnya cahaya berkedap-kedip
ke arahnya.
Kurang ajar..... pria itu menggerutu.
Kemudian cahaya kelap-kelip senter itu pun lennyaplah. Sunyi perasaan pria
pemburu ini. Selama ini dia tak pernah takut ke luar masuk hutan belantara.
Tapi kini dia takut karena tidak memiliki senjata, ya, senapan pemburunya!
Namun, betapapun marah dan dongkolnya. Namun dia seorang manusia praktis.
Dia tak banyak pikir kemudian tidur saja di tikar itu setelah melemparkan
rantangnya yang kosong ke kanan dan ke kiri. Dia tidur pulas disinari lampu
neon baterai itu. Pada jam 3 dinihari kekuatan baterei lampu neon itu
habis. Lalu gelaplah! Hal ini rupanya secara naluriah telah membuat pria
itu terbangun. Dia ingat, kalau mau terang harus ganti baterai! Mulanya
pikirnya memang begitu. Tapi ketika ia sadar karena mobilnya pun tak ada
sedangkan butiran-butiran persediaan baterai ada di mobil, dengan gerak dia
tendang lampu dalam itu seraya memaki: “Kamu tak ada gunanya bersamaku
tanpa baterei!”
Makian itu jelas kedengaran ke telinga Ki Pita Loka yang masih duduk
bersila untuk mencari tahu, sudah sampai di manakah pelarian Harwati.
Setelah batinnya menerima ilham bahwa Ki Harwati menuju padepokan Ki Rotan,
Pita Loka tersenyum dan berkata: “Kau takkan bisa menjadi guru dari
Gurumu!”
Dingin di luar guha yang menggigit, menggugah Pita Loka untuk masuk. Ribuan
Lebah mengiringinya dari belakang ketika Pita menuju pembaringan.
Satu sosok tubuh pria sedang merayap pada dinding bukit terjal. Lagi-lagi
kemeja putihnya koyak terkena sayatan batu-batu tajam. Namun pria itu terus
merayap ke atas dan ke atas. Kadangkala dia mengasoh sejenak. Sinar
matahari begitu menyengat pagi itu. Tetapi dari akar-akar yang sempat dia
pegang, dia gembira. Sebab dia mengenal akar itu akar pohon rotan.
Dan kegembiraan meluap ketika dia tiba di puncak dinding bukit terjal itu.
Ya, sekeliling bukit itu penuh dengan rotan-rotan yang merimba dan amat
rapat. Di sela-sela rotan-rotan yang bergelantungan itulah pria itu
melangkah hati-hati. Dan dia mulai melihat asap. Kini ia yakin, tentu itu
desa padepokan Ki Rotan yang terkenal angker: Dan dalam keraguan itulah
sang pria terkena sergapan Kelompok Penyergap yang terdiri dari sepuluh
orang. Semuanya adalah anak buah Ki Rotan.
Pria yang tertawan itu sebetulnya bisa saja melepaskan diri dan sekali
sikat mampu membuat rontok 10 orang yang menawannya. Dan ketika itu pula ia
langsung dilemparkan ramai-ramai oleh Kelompok Penyergap itu ke sebuah
lubang. Dalam lubang itu sudah menanti ujung-ujung bambu runcing. Dan semua
penawan itu tercengang!
“Aneh! Dia tak menjerit!” ujar Keruen dengan gugup. Sebagai kepala Kelompok
Penyiksa sudah wajar dia menjadi gugup. Dia langsung melihat kepinggiran
lubang.
“Dia berdiri tegak” ujar Keruen lagi.
Ini membuat Lanto ingin tahu. Dia kepinggir lubang, dan disaksikannya
lelaki berkemeja putih yang sudah penuh koyak-koyak itu berdiri tegak.
Kedua sepatu Phumanya berada pada ujung tombak- tombak rotan itu.
Dan ketika Keruen dan Lanto meilhat lagi, dia berdua berteriak: “Dia
berubah jadi kakek”
“Ada Tuo di lobang siksa!” teriak ke delapan orang lainnya sembari lari
lintang pukang.
Ki Rotan keluar dari padepokannya yang atapnya seluruhnya terbuat dari
jerami. Mendengar laporan Keruen yang ketakutan. Ki Rotan membetulkan
destar merah pada kepalanya. Bukannya dia membenarkan anak buahnya. Tetapi
dengan satu lecutan lingkaran ke sepuluh anak buahnya roboh sekali pecut
putar.
“Bikin malu aku, mana si Tuo itu?” tanyanya geram.
Mata Ki Rotan menjadi liar meneliti sekeliling. Sebab dia pun musti
berhati-hati karena mungkin saja laporan anak buahnya benar. Sebab gelar si
Tuo adalah gelar kehormatan dari orang yang memiliki ilmu tinggi. Karena
itu dia siap untuk melayani lawan yang mungkin punya ilmu harimau.
Tapi yang dia lihat justru seorang lelaki bercelana jean dan berkemeja
putih yang koyak-koyak. Berjalan terhuyung ke arahnya. Ki Rotan merasa
mesti waspada agar tidak terjebak.
Bisa saja seorang musuh berlagak lemas terhuyung seperti minta dikasihani,
sebagai jebakan.
Ki Rotan melihat lelaki itu menuju ke arahnya dengan wajah yang loyo dan
gerak yang letoy. Dia siap dengan tongkat ampuhnya. Tongkat Rotan itu
miring 45 derajat dari pegangan tangannya. Ketika lelaki berkemeja putih
loyo itu sudah sejarak tujuh hasta. Ki Rotan dengan satu teriak di sertai
lompatan menghayunkan tongkat saktinya itu menyabet bagian kiri tubuh
lelaki itu. Lelaki itu terseruduk ke samping lalu jungkir balik. Tapi aneh!
Dia tak mengaduh atau menjerit kesakitan. Dia malah bangkit berdiri lagi
sehingga dalam sekelebatan Ki Rotan menghayunkan tongkat saktinya dari
kebalikan pukulan pertama tadi. Lelaki loyo itu menunduk ke samping dan
jatuh jumpalitan.
Juga tak menjerit kesakitan!
“Bangun kau!” beniak Ki Rotan.
Letaki itu bagaikan patuh. Dia bangun. Dan Ki Rotan memegang gagang tongkat
dengan kedua tangan, lalu menghayunkan ke arah jidat lelaki itu. Pukulan
tegak lurus yang dahsyat membentur jidat musuhnya itu sampai menimbulkan
cahaya arus listrik seperti palu melesat menghantam paku beton.
“Kau tentu manusia tangguh”, gerutu Ki Rotan sembari mundur.
Tapi dia cuma mundur tiga langkah saja. Dia siap untuk menerjang ke depan.
Benarlah Ki Rotan membabi buta menghantamkan cakaran srigalanya yang sempat
mengoyak tubuh lawannya. Satu loncatan sigap ke kiri dalam dua langkah
sudah membuat dia piawai mengambil tongkat yang dalam sedetik dihayunkan
untuk menebas dua tulang kering lawannya. Bunyi berdengking kedengaran,
lawannya ambruk. Ketika itu disabetnya tongkat rotan itu berkali-kali. Tiap
pukulan dahsyat itu disertai teriakan keras. Dan ini membut Harwati
terbangun.
Dia cepat merasa dapat ilham untuk segera keluar dan disaksikannya Ki Rotan
sedang asyik menyiksa seseorang yang bergulingan telungkup telentang.
Harwarti cepat berseru:
“Hentikan Guru!”
Mulanya Ki Rotan tak ambil peduli. Terus saja dia melecuti lawannya yang
terus bergulung-gulung telungkup telentang.
Barulah dia berhenti melecut setelah dia merasakan adanya bau stanggi yang
membuat Ki Rotan gemetaran seketika. Bau stanggi ini membuat Ki Rotan
merasa berkurang tenaga. Harwati melangkah. Langkah itu semakin mendekati
tubuh yang tertelungkup itu.
Tapak kaki Harwati sudah berada sejengkal pada tubuh telungkup itu.
Dikuakkamya dengan ujung jari kakinya tubuh itu sehingga pria tersiksa itu
telentang. Begitu Harwati melihat wajah pria itu dia menjerit dengan
lantang. Ki Rotan terkesima. Lalu dia dengan cemas menghampiri Harwati yang
kelihatan histeris setelah menjerit itu, sebab dia menggigit jarinya dan
menangis mendadak.
“Siapa dia?” tanya Ki Rotan kebingungan.
“Dia kakakku! Dia Gumara!” kata Harwati.
Ki Rotan tercengang. Dia pernah dengar nama itu, yang dianggapnya sederajat
dengan Ki Karat. Rasa hormatnya timbul.
“Bangun Tuan Guru Gumara”, ujar Ki Rotan, “Sebab aku tak layak menolong kau
berdiri disebabkan hinanya ilmuku”.
Orang berkemeja putih koyak-koyak yang disebut “Gumara” itu berdiri. Dia
tetap tampak loyo. Tak selintas pun sorot matanya melirik Ki Rotan, sebab
sorot mata yang berbinar itu sedang menatap Harwati.
10 Kelompok Penyiksa yang pingsan kena hukuman Guru Rotan sudah sadarkan
diri. Tapi mereka terpana melihat tawanan mereka tadi sedang bercakap-cakap
ramah dengan Gurunya dan Ki Harwati.
“Saya ke sini hanya ingin menjemput Harwati. Adik tiri lain ibu”, kata
Gumara.
“Saya kuatir dia menolak”, kata Ki Rotan.
“Memang aku tak sedia kembali ke Kumayan”, ujar Harwati.
“ Lalu kenapa kau ada di sini?” “
“Aku akan memadukan ilmu Pita Loka dengan ilmu Sang Guru. Selain itu, aku
tidak tertarik dengan kehidupan manusia moderen lagi”, kata Harwati dengan
tegas.
“Kalau begilu beritahu aku jalan menuju tempat Ki Pita Loka”, ujar Gumara.
“O, kakak masih mencintainya ya?” tanya Harwati menyeringai.
“Soalnya bukan itu”, sahut Gumara
“Hmm. Jangan berdusta Aku tidak rela apabila kakak menemui dia, apalagi
jika menjadi suami dia! Bukankah aku sudah bersumpah: demi isi perutku dan
seluruh yang ada di badanku, aku akan selalu menghalangi perkawinan
kalian!”
Mata Harwati mulai berbinar mengerikan. Pembuluh darah Ki Harwati itu
mencari jalan keluar dan menciptakan aroma bau stanggi. Dan Gumara
mengangguk-angguk mengerti.
“Kau satu perguruan dengan Pita Loka kalau begitu”, ujar Gumara.
“Aku memang berguru pada dia. Tapi pada saat aku harus lulus ujian, aku
mendapatkan wangsit tersendiri. Ilham yang hebat, bahwa ilmu Pita Loka
digabung dengan ilmu Ki Rotan adalah ilmu yang khas punyaku!”
“Dan saya nanti akan menjadi murid Ki Harwati”, tambah Ki Rotan.
“Dan secara bersama, kalian berdua akan menumpas Ki Pita Loka”, ujar Gumara
ingin kepastian.
“Benar”, kata Harwati tegas.
“Dan Tuan Gumara yang saya hormati, saya minta meninggalkan padepokan saya.
Sembari saya mohon maaf anda karena saya salah siksa tadi”, kata Ki Rotan
dengan sikap hormat yang palsu.
“Baik”, kata Gumara, “Tapi aku sangat kecewa, Harwati. Betapapun, kamu
sudah dtitipkan Ayah kita agar aku jaga. Pada akhirnya kita semua ini
manusia moderen dalam arti manusia abad tehnologi, tak ada gunanya kembali
ke zaman pra sejarah”.
“Apa? Ulangi ejekanmu terhadap sikap kami! Manusia moderenlah yang
melakukan perusakan dan kejahilan. Kini aku bebaskan sumpahku. Pergilah
kakak mencari Pita Loka ke Bukit Lebah sana . Jika kakak berhasil membujuk
dia untuk kembali ke Kumayan, iris-iris jantungku ini!” dan Harwati
menebah-nebah dadanya dengan angkuh.
Gumara geleng-geleng kepala dan berkata: “Ilmu purba ada yang baik. Dan ada
yang sesat. Siapapun yang keluar dari Kumayan adalah orang sesat. Tapi
seluruh desa Kumayan tetap mengharap kau kembali, Wati!”. Gumara kemudian
tak bicara sepatah pun. Tidak juga ucapan selamat tinggal.
Sementara itu, di kawasan Guha Lebah telah terjadi satu pertarungan batin
dalam diri seorang yang cantik bertaraf “Guru”.Tiga hari lamanya dia
membiarkan lelaki asing itu mundar-mandir seperti orang tolol. Dan
ketololan itu perlu bagi seseorang yang memang berniat untuk mencari
derajat ilmu. Juga kelaparan itu penting, sebab makanan dalam pencernaan
perut manusia sering merubah caranya berfikir. Dengan mengamati tingkah
laku pria tak dikenal itu dengan teropong selama tiga hari, munculah dalam
hati nurani sang Guru Pita Loka, Ki Pita Loka telah kehilangan Harwati yang
telah menipunya dengan khianat. Kini diperlukanya seorang anak buah!
Bukankah lelaki tak dikenal itu bisa dijadikan anak buah, sekaligus
pengawal?
Suatu parasaan aneh laimya menyelinap ke hati Ki Pita Loka: Pria tak
dikenal itu, selain tegap, juga gagah! Mirip Gumara!
Dan melihat pria itu sudah mulai memakan urat kayu, di hari keempat Pita
Loka merasa “kasihan”. Dari balik tebing dia berseru: “Hooi!” Pria yang
hampir teler itu, karena makan urat kayu yang salah, lantas mendongak!
“Hoooi!” didengarnya lagi.
Dia lantas cepat menyahuti: “Hoooi!”
“Siapa anda?” teriak Ki Pita Loka.
“Aku?!”!”
“Ya, kamu!”
“Saya Dasa Laksana! Siapa anda?” seru lelaki itu di sebalik tebing sebelah.
Mendadak Ki Pita Loka bimbang. Dia berdiam diri sembunyi di balik pohon.
Dia mempertanyakan dirinya: “Apakah ini bukan godaan Iblis?!”
“Tidak”, sahut dirinya pula, lalu dia memperlihatkan diri dan berkata:
“Tunggu di sana ! Aku akan menolongmu!”
Lelaki yang sudah putus asa kehilangan arah, harapan dan makanan itu,
mendadak berbesar hati. Dia menyaksikan gadis berpakaian hitam itu
jumpalitan di angkasa, dari dahan pohon ke dahan pohon laimya. Lalu ibarat
burung cicakrowo yang terbang melayang, gadis tak dikenalnya itu tampak
hinggap di sebuah pohon. Dalam jarak lima meter itu Dasa Laksana benarbenar takjub menyaksikan kecepatan gerak setiba di tanah.
Jarak tegak gadis itu kini sudah tiga meter saja lagi! Dasa Laksana
mengamati gadis itu dengan gentar. Memang penampilan Ki Pita Loka mendadak
begitu berwibawa. Sebab dia sudah mempesenjatai dirinya dengan ketebalan
mental. Jantungnya bergerak serentak dengan gerak lidahnya yang selalu
menyebut sepatah kata mukjizat yang ampuh mengusir lblis.
Ki Pita Loka kini dengan kekuatan daya ilmu gelombangnya, telah membuat
Dasa Laksana sebagai tawananya. Tak ada kata. Lelaki itu bagai terkena
hipnotis. Dia menuruti saja langkah Ki Pita Loka di belakang. Tanpa takut
menuruni tebing curam. Juga tanpa mengeluh lelah. Lalu dia ikuti terus
merayapi dinding curam. Juga dia bagaikan anjing yang patuh pada tuannya
ketika tiba di depan pintu Guha Lebah.
Ki Pita Loka ingin segera mengisi kekuatan batin orang yang akan
dijadikanya pengawalnya. Begitu lelaki itu berdiri tegak di depan pintu
guha, dia tendang pantatnya sehingga bagaikan bola dia terhambur memasuki
pintu guha, menerobos kawalan lebah-lebah yang bertugas sebagai daun pintu.
Sekitar lebih seratus lebah-lebah yang marah terkena sentuhan tubuh yang
dijadikan “bola tendangan” tadi, menggigitnya dengan buas. Ki Pita Loka
tersenyum berkacak pinggang. Setelah bisa lebah itu menyengat pria itu, Ki
Pita Loka mencolokan jempol jarinya pada langit-langit mulut, dan jarinya
dia tekankan pada kening lelaki itu. Dasa Laksana siuman!
Dan, sejak hari itu, Dasa Laksana diajar mulai menjalani ketololan yang
sama seperti Harwati dulu. Dia mengangkut batu dari sungai, ke guha, dan
kemudian menaruh batu itu kembali ke sungai. Kemudian dia mengajari proses
berikutnya. Dia harus memanjat pohon tinggi. Lalu turun. Lalu memanjat
lagi. Dan pada suatu pagi, ketika Dasa Laksana sudah tiba di pucuk sebuah
pohon, setinggi 21 meter itu, lalu dahan-dahan pohon itu ditebang sedahan
demi sedahan oleh Ki Pita Loka. Dari bawah Ki Pita Loka momberi perintah:
“Ayoh, turun kamu, Dasa !”
Kelihatan kecut sekali Dasa Laksana ketika terpaksa mengikuti perintah sang
Guru dengan patuhnya, turun meluncur ke bawah. Setiba di bawah dia amat
kaget karena terkena tendangan lagi. Setelah jungkir balik, Ki Pita Loka
mengejarnya dengan cambuk dan golok. Dasa Laksana ketakutan. Lalu
membebaskan ancaman itu dengan cepat memanjat pohon. Dan Ki Pita Loka
mengejarnya keatas. Dan dalam keadaan terdesak, Dasa Laksana dari pucuk
terpaksa melompati dahan satu. Tapi karena ancaman cambuk, Dasa terpaksa
meloncat ke dahan lain ….
Sang murid yang patuh itu kagum pada dirinya sendiri yang sudah mampu
melompat dari dahan ke dahan. Tambah kagum lagi dia karena seakan dia
pernah melompat ke dahan satunya sepertinya terbang. Namun karena dilatih
begitu selama tujuh hari. Dasa Laksana pada saat akhir latihan sorenya,
mengeluh,”Saya tak sanggup latihan besok. Saya lelah”.
“Hari ini terakhir, Dasa! Coba kamu melompati lagi pohon hutan ini, sampai
kamu menemukan satu pohon kelapa. Petik sebuah kelapa muda yang kulitnya
masih hijau, serahkan itu kepadaku!”
Dasa Laksana gembira melaksanakan perintah Sang Guru. Dia berlompatan dari
dahan ke dahan menerobos hutan lebat di kawasan Guha Lebah yang bentuknya
mirip payung itu. Setelah dia menemukan salah sebuah pohon kelapa, dia
memanjat dan memetiknya, lalu meluncur ke bawah.
Dan dia tiba-tiba merasa tersesat Dia tak tahu jalan kembali. Untunglah
ingatannya cukup kuat. Syarafnya memang bukan saja syaraf pemburu, tapi
juga syaraf baja. Dia ingat, bentuk Guha Lebah itu mirip payung terkembang.
Dia perhatikannya setiap bukit ketika dia melihat bukit berbentuk payung
itu, biarpun sudah senja, dia berlompatan juga dari pohon ke pohon.
Rupanya upaya mencari pohon kelapa itu amat sulit. Buktinya, letak itu amat
jauh jaraknya. Cuma saja karena dia lakukan dengan kegembiraan dan besar
hati rasanya dekat saja! Ternyata baru dekat tengah malam bisa tercapai
olehnya Bukit Guha Lebah itu ...
Dia mempersembahkannya kelapa muda itu. Ki Pita Loka membawa Dasa Laksana
memasuki guha bau stanggi mulai menyergap hidung lelaki gagah yang patuh
itu. Sebab saat ini Ki Pita Loka berada pada dinding pembatas. Yaitu asap
setanggi yang berupa lingkaran mirip kain nilon.
Beliau bersila dalam lingkaran asap itu. Dasa Laksana memperhatikannya
dengan ta”zim. Tampak sang Guru sedang memegang kulit kelapa itu. Lama
kelamaan kelapa itu tampak menguning. Setelah itu Ki Pita Loka keluar dari
lingkaran asap stanggi itu.
“Kelapa ini sudah menjadi kelapa puan dalam proses penyingkatan waktu. Kamu
harus meminum airnya. Dan memakan isiya, demi kepatuhanmu pada saya”, kata
Ki Pita Loka.
“Dengan cara bagaimana saya mendapatkannya?”, tanya Dasa.
“Bolongi”, ujar Pita Loka.
Dasa Laksana kebingungan. Tapi dia sempat juga dengan tolol bertanya “Beri
aku petunjuk, Tuan Guru!”
“Hah, tolol. Bukankah kamu punya kuku?” tanya Ki Pita Loka.
Manis sekali cara Dasa Laksana tersenyum malu itu. Ki Pita Loka sadar.
Iblis sedang menggoda bathinnya. Dia usir sang iblis dengan memompa
jantungnya dengan nada tunggal menyebut kata-kata Agung yang Suci.
Diperhatikannya Dasa Laksana mengorek, melubangi kelapa puan itu dengan
buku jarinya. Jari telunjuk dan jari tengah! Dasa mulai luka. Ki Pita Loka
membentaknya: “Terus, tolol!”
Dasa Laksana ketakutan. Luka itu sampai tak dirasanya pedih lagi sampai
mencapai batok kelapa..
“Bolongi dengan telunjukmu batok itu”, perintah SangGuru.
Dasa Laksana memaksakan diri menggenjot telunjuknya menetak batok kelapa
itu. Saking terlalu keras, air kelapa muncrat dan telunjuknya tak bisa
keluar lagi. Pita Loka tak sabaran, memegang kelapa dan menyentak telunjuk
yang terbenam itu.
“Minum! Minumlah dengan membaca nama Tuhanmu yang Pengasih Penyayang,
Dasa!” perintah Ki Pita toka.
Sang murid yang patuh mengikuti perintah Guru itu, meneguk terus sehingga
jakunnya tampak turun naik. Cahaya obor kayu karet dalam guha itu
menciptakan gerak goyangnya. Sehingga batin Ki Pita Loka tergoyang beberapa
detik ketika menyaksikan jakun Dasa Laksana yang bergerak-gerak itu.
“Bencana ...”. Ki Pita Loka menggerutu, terdengar oleh Dasa Laksana yang
selesai minum.
“Bencana apa, Ki Guru?” tanya Dasa Laksana.
“Jangan tanya! Kedatanganmu ini mungkin akan dibuntuti mala petaka di
kemudian hari. Aku tiba-tiba membenci kamu!” kata Ki Pita Loka, yang ketika
dilihatnya Dasa Laksana bengong, lalu membentak: “Ayoh belah kelapa puan
itu dengan jarimu, dan makan dagingnya sampai habis!” Bentakan itu memang
menggetarkan. Tak terlintas sedikitpun roman kecantikan wajah sang Guru di
mata si murid.
“Selesai? Nah, mulai malam ini kamu tidur di sebelah batu tempat aku selalu
sembahyang di luar sana itu. Hadapkan matamu ke langit. Dan tunggulah
datangnya ilham!”
Sang Murid mematuhi dengan kontan. Dia sigap keluar guha. Dirasanya dalam
dirinya sudah tak ada lagi keraguan maupun rasa takut. Langsung dia
celentang di permukaan batu yang rata itu.
Langit penuh dengan bintang gemintang. Dasa Laksana menatapinya dengan tak
sengaja. Tapi heran, dia kini merasa dirinya seperti biasa saja. Dia heran
mengapa dia dapat mengenal kembali kelompok Bintang Tujuh itu. Juga dia
melihat. bintang Mars itu, juga dia mengenal bintang venus yang amat terang
itu!
Lalu Dasa Laksana mulai memikirkan kembali sejak awalnya dia tersesat
dengan Landrovernya. Perasaan dirinya menjadi seorang pemburu bangkit lagi.
Dan tiba-tiba dia bertanya: “Perlunya apa aku patuh terus pada Sang Gur?
Aku bukan manusia purba yang senang jadi orang hutan melulu! Bukankah aku
melompat dari dahan ke dahan tak lebih dari seekor kera?”
Rupanya, tanpa dia ketahui. Sang Guru sudah tegak dengan tangan terlipat,
memperhatikan sang murid ... dirinya sendiri!
Begitu melihat kecantikan Ki Pita Loka, hatinya tergiur. Birahinya merontaronta. Dan tiba-tiba ada melintas keinginannya untuk memperkosa gadis
ini ...
Sementara itu, di Bukit Runtuh dalam keadaan celentang kelihatan berpakaian
putih berlipat tangan di dada, menatapi bintang Bima Sakti, seorang pria
yang tak dapat tidur. Namun dia tidak gelisah. Dia seakan-akan sedang
mempertanyakan diri: “Untuk maksud apa aku berada di sini? Beberapa hari
siang dan malam ilham tak pernah kuterima! Aku bisa gila! Aku sebaiknya ke
Kumayan daripada penuh keraguan menemui Pita Loka!”
“Memang pantas Harwati mengutuk saya.. Saya ini gila cinta, mabuk cinta”
gerutunya lagi. Namun dia tidak berbicara, bibirnya terkatup, sedang
matanya tetap menatap bintang Bima Sakti yang tersusun di langit itu.
“Bukankah kembali ke Kumayan itu lebih baik? Percuma saja membujuk Pita
Loka, karena akhimya dia toh tetap akan bertahan sebagai Guru ilmu Sakti di
Guha Lebah sana itu !”
Sekonyong dia bagai melompat. Duduk! Dipandangnya alam dini hari sekeliling
Bukit Rotan nun sudah jauh di sana . Bukit Lebah. yang mirip payung upacara
itu, padahal sudah dekat.
Mendadak tekadnya menjadi goyah, dan hatinya bergelora ingin ke Bukit
Lebah. Dan menjelang subuh, ketika dia merayap di balik sungai, dia
mendengar teriakan-teriakan. Sepertinya dua manusia yang sedang berlatih
silat!
Lelaki berbaju putih itu menjadi ragu untuk menyeberangi tebing sungai yang
dalam itu. Keraguan ini mendadak saja muncul. Dia merasa tertipu oleh satu
ilham yang didapatnya ketika dia akan meninggalkan desa Kumayan. Dia
semalam sebelumnya bermimpi, bahwa Pita Loka cuma seorang diri. JanganJangan dia bukan sendirian. Tapi bedua! Dan jangan-jangan, Pita Loka justru
sedang berlatih dengan suaminya!
Tiba-tiba lelaki berkemeja koyak itu teringat dalam alam sadarnya, masa
silam di SGA. Dia pernah membaca drama Hamlet karya Shakespeare. Tokoh
Hamlet adalah tokoh pangeran Ragu. Dan seorang yang ragu selalu akan
berhati dua.
Menjelang matahari terbit, tampak olehnya memang dua orang sedang berlatih.
Hebat sekali persilatan mereka! Terutama, agak jelas yang satu lagi!
Pastilah Pita Loka. Rupanya persilatan inilah yang dikenal sampai jadi
semacam dongeng di Kumayan. Mengagumkan.
Makin jelas sinar matahari tampil, semakin jelas pula Pita Loka dalam
intipannya di balik dedaunan. Kerinduannya pada muridnya kini bergumul
dengan kecemburuan.
Kecemburuan inilah yang membuat dadanya sesak…Dia cepat merayapi dinding
tebing tanpa menyentuh lagi permukaan sungai. Demikian cepatnya gerak
merayap itu mirip seekor cicak layaknya! Dan seketika dia muncul di tebing
Bukit Lebah, menyaksikan Pita Loka seketika itu bersama pria, dia berteriak
tanpa sadar, sekeras gemuruh dari kawasan langit: “Pita Loka! Aku Gumara!”
Ki Pita Loka bangkit berdiri tegap. Matanya menatap tajam pada Gumara.
Tangannya dilipat ke dada menambah wibawa.
“Untuk apa Bapak ke sini?” tanya Pita Loka.
Gumara terdiam. Matanya melirik pada pria yang tak dikenalnya itu. Pria itu
berpakaian safari pemburu, begitu modern, begitu gagah. Dan tanpa diduga
Pita Loka tersenyum melihat dua lelaki yang kelihatan berkobar cemburu.
Kedua-duanya tak bisa merahasiakan.
“Kesempatan bagimu, Dasa, belajar pada seorang Guru yang hebat Gumara
seorang Guru, Dasa!”
Dasa Laksana tanpa ragu lagi berkata bagai kilat: “Mari aku coba Guru!” dan
satu tendangan melingkar membuat Gumara terpelanting ke dahan pohon. Ikat
pinggangnya menyangkut. Dan tampaknya lucu sekali dia tergantung di dahan
pohon itu. Dasa Laksana ketawa lebar mencemoohnya.
Kejengkelan membuahkan rasa marah. Kemarahan membuat Gumara jadi kalap. Dia
cuma berkelit sedikit sehingga dalam sekelebatan tubuhnya jatuh ke tanah
yang seketika itu juga dia menguakkan lompatan tujuh kali untuk kemudian
melakukan satu tendangan buas. Tendangan itu tepat membuat telapak kakinya
menggedor dada Dasa Laksana.
Melihat darah mancur dari mulutnya, Dasa Laksana bukannya takut tapi dia
pun kalap. Ki Pita Loka cuma menonton mirip wasit. Dia hanya bergerak
sedikit untuk memungut segumpal darah Dasa lalu melemparkan darah itu ke
udara. Dasa bertambah kuat kembali, sehingga ketika satu tendangan lingkar
Gumara mau menyabet tubuhnya, dia sergap perut Gumara dengan kedua tanganya
dan dia sendiri ikut dalam lingkaran tubuh Gumara yang berputar bagai
gasing sebab tendangannya kosong. Keduanya jatuh bergulingan. Dan ketika
Gumara sudah berada di tepi tebing, melihat hal itu membuat Pita Loka
berteriak:
“Gumara... !”
Dasa Laksana yang menoleh pada suara yang dia dengar. Kesempatan itu
membuat Gumara memanfaatkan tendangan tumit kakinya yang menggedor leher
Dasa Laksana yang berteriak nyeri. Namun, jika dia tak berteriak ... dia
pasti sudah mati. Teriaknya mengendorkan urat pernafasan lehernya, sahingga
dalam keadaan wajahnya berlumuran darah dia langsung melakukan lompatan
dari dahan ke dahan sembari kakinya silih berganti menghajar dada maupun
punggung Gumara. Gumara tersungkur. Dasa Laksana melompat dari dahan dan
dua kakinya sengaja diinjakkannya ke pinggang Gumara supaya tulangnya
remuk.
Gumara tiba-tiba ingin mengeluarkan ilmu harimaunya. Namun keraguan untuk
menyembunyikan ilmunya dari kesaksian Pita Loka itulah yang membuat dia
ditampar oleh telapak kaki kiri kanan Dasa Laksana yang bergelayutan lincah
di dahan pohon.
Tampaknya Gumara tak berdaya hanya karena dia ragu untuk mengeluarkan
ilmunya. Kesabarannya untuk tidak mengeluarkan ilmunya yang aseli memang
luar biasa! Ki Pita Loka tahu akan hal ini. Dia menaruh hormat pada Gumara
yang sedang kenyang disiksa Dasa Laksana. Karena sikap sabar begini hanya
dimiliki Guru-Guru Besar. Melihat Dasa Laksana keliwat bernafsu menghajar
Gumara itu. Ki Pita Loka memperingatkan: “Berhentilah berkelahi!
Percuma saja! Kalian berdua toh tidak akan mendapatkan apa yang kalian
rebutkan!”
Serentak Dasa Laksana menghentikan siksaannya menyepak kepala Gumara dan
Gumara membenamkan nafas tunggal ke jantung, lalu mengisi tenaga dalamnya
sebelum dia berdiri tegak.
Siksaan sudah berhamburan dia terima. Namun melihat sosoknya yang berdiri
dengan nafas teratur, menyebabkan semangat liar di hati Dasa. Dia terjang
tubuh yang tegak berdiri itu dengan satu tendangan mencuat yang membuat
Gumara terlempar jauh. Dua pohon langsat roboh akibat tendangan Dasa yang
membuat tubuh Gumara membentur pohon-pohon itu.
Ki Pita Loka menjadi jengkel.... Dia melakukan tiga lompatan lewat dahan
dan pada lompatan keempat sekaligus dua kakinya mengepit lengan Dasa,
nadinya terhenti sesaat yang membuat lelaki gagah itu pun pingsan,,,
Kepingsanan ini memang dikehendaki Pita Loka.
“Bukan perkelahian kalian berdua yang berjam-jam itu yang saya kagumi, Pak
Guru”. ujar Pita Loka. Lalu dia teruskan ucapannya: “Pak Guru mungkin
berkelahi dengan penuh kesadaran. Tapi si Dasa tidak. Saya sudah sembahyang
subuh, sembahyang lohor dan asyar. Kalian tetap saja adu tenaga. Tapi saya
rasa Pak Guru cuma memainkan jurus-Jurus bunga saja. Tujuan anda ke sini
mungkin ingin mengetahui rahasia ilmu stanggi saya”.
“Tidak”, ujar Gumara.
“Ah, saudara tirimu ke sini, belajar dari saya, dan saya memberikannya
dengan tulus. Tapi jika ilmuku sepuluh jari. Dia baru mendapatkan satu
kelingkingku!” Pita Loka dengan sadar memancing kemarahan Gumara.
“Saya ke sini…”, kalimatnya terhenti, karena Dasa Laksana yang mendadak
siuman itu sudah bangkit dan seketika itu juga melompat bagai kesetanan
dengan dua kaki menyergap tengkuk Gumara. Gumara membiarkan kaki itu
mengepit. Tapi gumpalan tinjunya seketika menghajar tulang tumit Dasa
Laksana, sehingga Dasa Laksana menjerit. Dia melangkah terpincang-pincang.
Ki Pita Loka kali ini geram dan malu. Dengan prihatin dia hampiri sang
murid yang pincang itu. Jempol jarinya dia usap pada langit-langit
mulutnya, kemudian jempol itu membarut tumit Dasa Laksana. Tumit yang
hancur itu mendadak utuh kembali, dan Dasa Laksana mendengar suara Sang
Guru: “Usir dia dari kawasan ini!”
Maghrib terlewatkan sehingga Ki Pita Loka tak sempat melaksanakan ibadat
sembahyangnya. Ini karena dia berkonsentrasi melakukan perlindungan atas
muridnya. Dia berdiri tegak meniupkan gelombang pernafasannya ke arah tubuh
muridnya agar kekuatannya masuk ke tubuh Dasa Laksana.
Gumara mengetahui bahwa Ki Pila Loka telah “mengisi” muridnya dengan
gelombang tingkat tinggi. Ketika ia terlempar dalam jarak sepuluh meter
menggelinding ke bagian bukit yang rendah, ia tetap pada keputusan tidak
mengeluarkan ilmu intinya. Namun otak matematika dan fisika bekerja
seketika. Satu kekuatan bergelombang tinggi. Bisa memisakahkannya. Hal itu
harus dilawan dengan kekuatan gelombang terendah. Ia segera mengosongkan
tubuhnya, seperti seorang yang keluar dari gaya berat bumi. Ia melayani
pukulan-pukulan Dasa Laksana yang dahsyat bukan dengan gerak maju, tapi
seluruhnya menyediakan diri dengan gerak-balik. Satu tinju menghantam
perutnya. Gumara menekuk perutnya ke belakang sehingga tinju itu hanya
mengenai permukaan kulit perut. Gumara sempat melirik beberapa detik ketika
ia mundur dihantam. Melirik pada Ki Pita Loka yang begitu bersemangat
“mengisi” muridnya dengan tiupan-tiupan gelombang. Daun-daun dari ranting
pohon mengikuti arah angin gelombang ketika Ki Pita Loka meniupkan isiannya
ke setiap langkah Dasa Laksana.
Dalam kelebatan perkelahian yang menuju waktu fajar menyingsing ini, Gumara
sempat terjebak oleh emosi. Dia berniat untuk sekali waktu nanti, kembali
ke Guha Lebah. Untuk mengambil ilmu inti yang penuh misteri ini. Ilmu inti
tirai stanggi. Sebab sekeliling kawasan perkelahian dia rasakan sudah
diliputi bau stanggi, bahkan bau belerang.
Ia yakin, ilmu yang dimiliki Ki Pita Loka berasal dari inti lahar, magma
dalam bumi,yang mungkin ada salurannya ke Guha Lebah. Waktu itu kesempatan
berfikir ada padanya, karena tendangan Dasa Laksana yang menjurus ke
kepalanya ia elakkan. Sehingga kaki Dasa Laksana kejeblos masuk ke dinding
satu bukit kecil curam, hingga ke dengkul. Ki Pita Loka berlompatan dari
dahan ke dahan menuju Dasa Laksana. Lalu mengeluarkan kaki muridnya yang
kejeblos itu. Segera sang Guru mengobati muridnya dengan lendir langit-
langit mulutnya. Gumara sebetulnya ada kesempatan untuk menghantam urat
kematian pada leher belakang Ki Pita Loka saat itu. Tapi tidak! Dia tak mau
main silat secara sekelit. Dia ingin tahu, dengan keasyikan yang belum
pernah ada padanya seperti sekarang Ini: mencoba gelombang terendah, ibarat
satu roket kecil, yang terbang amat rendah hingga berada di bawah radius
radar, Dasa Laksana dengan teriakan nyaring melompat ke udara, terjun ke
bumi dan membal beberapa kali untuk kemudian melakukan sapuan tendangan
yang menabrak Gumara secara spiral. Gumara menekuk diri sehingga semua
gelombang rendah terkumpul dalam dadanya. Hal ini membuat hantaman kaki
kanan Dasa Laksana ibarat menghantam ban mobil. Dia membal terjungkir ke
belakang. Dengan gerak spiral terbalik.
Kepalanya menabrak pohon. Gumara tahu, murid setia Ki Pita Loka sudah
pingsan seketika itu juga. Bayangkan! Benturan itu sempat mematahkan pohon!
Gumara bersikap amat tenang menghadapi Ki Pita Loka! Guru berhadapan dengan
Guru. Matahari yang mulai bersinar, kebetulan menimpa muka Pita Loka,
sehingga jelas bahwa Pita Loka amat marah, dia dengar Pita Loka
membentaknya: “Pergi kau dari sini! Aku tidak membutuhkan kamu!”
Itu bagi Gumara satu penghinaan. Dia bukan ingin pergi, tapi ingin
melanjutkan perkelahian, jika perlu dengan Guru terhormat dan terkenal ini.
“Jika muridmu sudah pingsan, Ki Pita Loka, itu berarti dia harus
diganti..... Tuan tentu maklum, Guru yang kuhormati” kata Gumara.
“Aku? Aku tak layak untuk berhadapan dengan anda”, ujar Ki Pita Loka dengan
nada angkuh. “Sekalipun kau bersama saudara tirimu Ki Harwati, Ki Rotan dan
lain-lain itu, semuanya masih sebesar kelingkingku!”
Dasa Laksana barusan sadar dari pingsannya. Dia berada di sebelah timur.
Dilihatnya Ki Pita Loka berdiri berhadapan dengan Gumara. Sang Guru, berada
di sebelah barat Sehingga sorot matahari seakan-akan mau memperlihatkan
kecantikan sang Guru secara sempurna. Birahi sang murid bangkit, disertai
cemburu besar. Gumara harus dimatikan! Dia telah didorong oleh keinginan
mendapatkan ilmu Gurunya secara sempurna dengan bersatu tubuh sehabis
perkelahian memusnahkan Gumara. Tekad itulah yang membuat Dasa Laksana
sepenuh tenaga muncul di antara berdirinya Pita Loka dan Gumara. Ia
langsung berhadapan dengan Gumara. Dia menjadi jengkel ketika Ki Pita Loka
berkata: “Ayohlah! Bertempur melawan muridku! Dia muridku, bukan suamiku,
bukan pula kekasihku! Ayoh lawan dia!”.
“Kau tak suci lagi”, tuduh Gumara.
“Tak suci? Jika kunodai hatiku dengan godaan iblis, maka tirai stanggi akan
runtuh menjadi sumur. Itu harap anda ketahui, Guru! Dan aku tidak ingin
melepaskan ilmu yang aku dapatkan secara ghaib dalam keadaan hati merasa
karena sikap ragu engkau, Guru”.
Jika demikian fikir Gumara seketika itu, tentulah dia mencintai saya! Dia
lari ke pengasingan ini karera harga diri! Dia musuhi aku karena harga
diri. Lalu, Gumara memutuskan menyerah kalah.
“Gumara bukan bertekuk lutut atau kalah. Gumara juga bukan patah semangat.
Sekiranya saja dia mau menampilkan kemampuan ilmunya yang dia warisi dari
ayahnya sebagai tambahan pelengkap, itu saja sudah cukup untuk melawan
semua Jurus yang sudah ditampilkan Dasa Laksana tadi.
Tidak, fikir Gumara. Aku mesti bersaing secara sehat. Betapapun jengkelnya
aku dengan ucapan Ki Pita Loka, setidaknya aku hormat pada pendiriannya.
Dia masih suci. Lidah Pita Loka dapat dipercaya. Sebab setahu dia tak ada
di dunia ini gadis dengan lidah yang ada bulunya. Lidah demikian mengandung
pertanda kelebihan dari semua lidah berjuta-juta manusia normal.
“Selamat atas kemenangan anda”, kata Gumara pada Dasa Laksana. Dia
mengulurkan tangannya, lalu dia mengaduh-aduh karena dipencet oleh Dasa.
Dan setelah mengerang kesakitan. Dasa lebih bersemangat untuk membuktikan
kejantanannya di depan Pita Loka ... diangkatnya secepat kilat lalu
dibantingnya Guru Gumara.
Terbanting begitu, Gumara menjerit kesakitan.
“Sudah, tuan. Saya sudah mengaku kalah. Setidaknya dalam persaingan cinta
dalam memperebutkan gadis sakti semacam Ki Pita Loka yang terhormat ini.
Semoga kalian berdua dapat menikah secara konkrit dan berbahagia”, dan
ucapannya yang merendah itu membanggakan hati Dasa Laksana, sebaliknya
menyakitkan hati Pita Loka.
Gumara membetulkan bekas-bekas tanah yang menempel di baju dan bagian
tubuhnya karena bantingan terakhir Dasa tadi. Lalu dia melangkah. Tapi Pita
Loka bergegas mengejar dan berseru: “Tunggu Guru Gumara!”
Gumara, tanpa menoleh tapi menghentikan langkah, bertanya memunggung:
“Apalagi yang kau akan katakan, Ki Pita?”
“Anda mau ke mana?”
“Mau ke mana tanya Ki Guru terhormat?”
“Ya”.
“Aku akan ke desaku Kumayan. Kembali ke masyarakat manusia biasa. Aku toh
bukan manusia sakti seperti anda yang mulia dan Ki Dasa Laksana yang
terhormat”.
“Tapi betapapun, maafkan saya”, kata Ki Pita Loka.
“Kecuali andaikata jiwa saya bergetar kembali, tentu langkah sayapun akan
tertuntun mengikuti getaran itu”, ujar Gumara.
“Getaran apa itu?”“ bentak Dasa Laksana.
“Anda pria. Saya pria. Kita sama-sama maklum”.
Gumara melangkah lagi. Dasa bersemangat dan berteriak mengancam: “Nanti
dulu, Bung! Tunggu!”
Langkah Gumara henti seketika. Tapi sebagaimana dia bicara dengan Ki Pita
Loka tadi, kali ini pun memunggungi: “Tuan sudah menang, perlu apa lagi?”
“Kurasa kamu bermaksud kembali lagi untuk membalas dendam”. kata Dasa.
“Ah..” .
“Katakan kalau kau jantan, Gumara?” teriak Dasa.
“Soal mengatakan atau tidak mengatakan itu hak saya. Tiap pribadi punya hak
mutlak untuk berkata ya atau tidak. Dan tuan tidak perlu memaksa saya !”
Gumara cepat melangkah menuruni Bukit Lebah itu.
“Bangsat!” geram Dasa Laksana meninju kepal tinjunya ke telapak tangan.
Akhirnya ditinjunya pohon langsat di sampingnya sehingga hancur dan roboh.
Setelah melihat Gumara jauh dan jauh terus menuruni tebing menjadi bintik
noktah di sana , Ki Pita Loka memejamkan mata. Satu perasaan retak di hati
terasa pedih. Ketika matanya yang terpejam tadi dia buka, lalu dia menoleh
ke samping, dia melihat Dasa Laksana duduk di batu besar dengan kepal tinju
menupang dagu.
Kedua insan itu saling bertatapan mata.
“Kurasa setelah Guru Gumara pergi, anda pun pergi”, kata Pita Loka. Dasa
Laksana terdongak kaget. Dari duduk dia berdiri. Dan berdiri dia melangkah
menghampiri Pita Loka. Dari melangkah dia berhenti. Dan dari berhenti itu
dia lantas berkata: “Ki Pita, guruku. Apa maksud anda supaya saya pergi?
Bukankah itu berarti saya harus meninggalkanmu?”
“Ya. Dia dan kau harus meninggalkan saya”, kata Ki Pita Loka.
“Tapi bagaimana saya harus pergi? Kota terdekat adalah 100 KM dari sini.
Sedangkan mobilku dan semua perlengkapanku sudah kau buang, Guru!”
“Sebaiknya anda pergi, Dasa!”
“Pita Loka!” Dasa berseru lantang saking kesal.
“Ikuti ucapan Guru Gumara tadi. Kembalilah kamu ke masyarakat manusia biasa
seperti kamu sebelum kenal saya”, ujar Pita Loka berwibawa. Hal ini membuat
Dasa Laksana menyeringai sedih dan berkata seperti menguras seluruh isi
kalbunya: “Saya sudah terikat dengan masyarakat kau, sekalipun masyarakat
itu terdiri dari dua orang di sini: kau dan saya”.
Sementara itu, Gumara bagai terlunta-lunta sudah melewati dua buah bukit.
Dia lemaskan seluruh otot ketika melangkah. Dia seakan-akan kosong dari
segala kekosongan. Dibilang dia bertenaga, sepertinya dia bukan melangkah
melainkan mengapung. Dibilang tak bertenaga, dia mampu memanjati berbagai
dinding-dinding curam di antara bukit dan bukit. Juga, jika dibilang dia
seenaknya tak ambil perduli atau jatuh atau terpeleset pun tidak. Bahkan
begitu hati-hatinya Gumara ketika terpeleset di jurang lain sempat
menangkap satu akar dari pohon yang tumbuh di tepi jurang, lantas, begitu
sadar dia menarik nafas dan berkata: “Ya Allah. syukur alhamdulillah umurku
masih Kau perpanjang”.
Masih dinaikinya satu bukit lagi menjelang pulang menuju desa Kumayan,
yaitu Bukit Tunggal.
Ketika pergi dari desa Kumayan hendak menjemput Harwati atau Pita Loka. dia
memang sengaja menghindar dari jalur Bukit Tunggal .Tapi entah bagaimana
dia menjadi tercengang saja sewaktu sadar bahwa dia sudah berada di kawasan
kekuasaan Ki Tunggal.
Berdasarkan mimpinya yang sama bentuk sebanyak tujuh kali mimpi pada tiap
malam Jum”at berturut-turut, dia sudah dilarang oleh Ki Tunggal untuk
menjumpai beliau. Jika berhadapan muka, akan terjadi bencana.
Maka orangtua sakti itu pun merasa perasaannya tak enak di kala maghrib
tiba sehingga dia berkata pada isterinya yang berusia 16 tahun itu: “Nik,
apa kau tidak merasa malam ini kelihatannya seperti akan terjadi sesuatu?”
Senik Makuto yang cantik talu tersenyum;;; “Ada barangkali seseorang yang
mau menguji Tuan?”
“Ha?, tebakanmu jitu! Itulah yang kurasakan!”
“Kalau begitu pertanyakan!” ujar sang isteri.
“Bawa ke sini dupa itu, Nik”, ujar sang Guru yang berusia 100 tahun itu.
Bau asap dupa melingkupi tempat bertapa Guru Tunggal itu. Wajahnya diasapi.
Asap itu seakan-akan masuk cepat ke paru-parunya, lalu paru-parunya seakan
dipenuhi oleh asap, yang kemudian memasuki seluruh pembuluh darah. Beliau
yang tadi keriput secara perlahan seperti tampak muda selama lebih dari dua
jam perkembangan pengaturan nafas yang amat cepat dan mengerikan. Tapi
Senik Makuto bukan ngeri, melainkan senang. Pertamakali dia jumpa dengan
Sang Guru sampai tergila-gila bukannya menemukan orang tua loyo keriput.
Dengan mata jelalatan penuh birahi. Senik Makuto memperhatikan wajah
suaminya yang penuh ketegangan namun makin lama semakin muda.
“Kini usiaku sudah semakin mendekati usia orang itu”, ujar Sang Guru.
“Siapa orang itu yang tuan maksud?”
“Ki Gumara. Manusia perkasa. Dia datang terlalu cepat. Belum semestinya dia
hadir di sini!”
“Apa yang tuan rasakan?” tanya Senik terheran.
“Aku sedang membencinya”, geram Ki Tunggal dan matanya mulai merah.
“Kenapa Tuan membencinya?”
“Dia akan berguru kepadaku. Dia mencoba melawan ketetapan Yang Maha Kuasa.
Dia datang ke sini kelewat cepat, sebelum keharusannya. Apa boleh buat.
Semua soal selalu dengan dua kemungkinan. Ya atau tidak. Bila ya ini
berarti aku harus mati. Sedangkan aku belum waktunya mati”.
Senik Makuto yang polos itu segera memeluk suaminya:”Kak, jangan berkata
begitu! Senik sudah dikutuk dan diusir orang tua dan orang sedesaku! Kakak
jangan mati!”
Ki Tunggal bahagia dan menoleh pada isterinya yang beda usianya 86 tahun
dengan dia. Dia tersenyum dan berkata:
“Kalau begitu, Ki Gumara yang wajib aku matikan! Jika aku yang mati. Ilmu
tunggalku akan berpindah secara alami kepadanya. Tapi jika dia yang mati
dan aku yang hidup, maka ilmunya memperganda ilmu yang aku punya. Tapi
kenapa dia datang? Untuk apa dia datang?
Pintu daun nipah itu berkibas-kibas, mulanya lambat. Lalu lebih cepat.
Kepala Ki Tunggal terdongak. Senik Makuto yang melihat perubahan wajah
suaminya juga menoleh ke pintu dengan rasa kecut.
“Aku tahu kamu yang datang Ki Gumara!” teriak Ki Tunggal.
“Betul Tuan Guru yang mulia. Bolehkan saya masuk?”
“Boleh, hanya apabila daun Pintu itu berhenti berkipas!”
Pintu daun nipah yang semula bergoyang kipas itu mendadak berhenti
berkibas. Satu sosok berdiri dengan sepenuh keagungan membuat Senik Makuto
harus melepaskan nafas; “hahhhh”, yang didengar oleh Ki Tunggal, suaminya
Ki Tunggal menoleh dan menyindir: “Kau terpesona dengan lelaki muda itu?”
Senik Makuto termalu-malu sipu.
“Inilah justru yang aku kuatirkan, Gumara. Kau datang begitu cepat.
sedangkan bulan maduku bersama isteriku tercinta ini barusan berlangsung 37
hari. Kenapa kau tidak datang di hari ke-41?”
Gumara menghentikan langkahnya, lalu berkata:
“Setahu saya, Tuan Guru lebih faham kenapa saya melangkah ke sini. Bukankah
ilmu tuan yang agung itu pernah menyebar ke seluruh penjuru, hingga ayahku
mendengar berita itu!”
Berita apa itu?”
“Ayahku berkata, bagi tuan ada empat patokan: Langkah. rejeki. jodoh dan
maut, hanya Allah yang menentukan”, ujar Gumara hormat.
“Hmmm. Apa belul si Ki Karat itu ayahmu?” tanya Ki Tunggal.
“Saya ke sini atas nama kedamaian, bukan atas nama prahara. Kenapa tuan
tuduh saya manusia tak punya Ayah. Hanya ada dua manusia setahu saya yang
tak punya ayah, yaitu Adam dan Nabi Isa, bukan begitu?”
“Yang kumaksud kau anak haram jadah”, kata Ki Tunggal seraya menoleh pada
isterinya yang cantik dan bertanya: “Kau dengar ucapanku, Nik?”
“Apa betul orang segagah ini anak jadah?” tanya Senik Makuto.
“Betapapun tinggi ilmunya, dia manusia yang hina”, kata Ki Tunggal yang
membuat Gumara yang semula sopan lantas merentakkan kakinya sampai
mengagetkan Senik yang lantas menjerit.
“Jangan menjerit”, kata Ki Tunggal memperingatkan isterinya, “Aku memang
memancing kemarahannya, agar dia cepat mati karena melawan Guru Besar!” Ki
Tunggal seketika itu juga merasa yakin usianya sama persis dengan lawannya,
Gumara. Begitu cekatan dia ketika menerkam Gumara dengan auman mirip suara
harimau.
Tetapi Gumara menangkisnya lawannya dengan auman pula. Ini membuat Ki
Tunggal kaget. Dalam hatinya dia berkata: wah, anak ini sudah seilmu
denganku”.
Ki Tunggal menghambur dengan auman lagi, tapi Gumara tegak kokoh dan
mencakar mukanya dengan gerak diam tegak lurus. Setelah dia cakar dia
pegang sebelah kaki lawannya dan dia banting. Tubuh Ki Tunggal melintir
bagai gasing lepas tali! Gumara menggeram. Ki Tunggal menyeringai dan
bangun lagi yang kali ini cepat menyergap lengan Gumara dan dibantingnya
dalam sedetik itu juga.
Debu lantai menguap ke udara. Tapi seketika itu pula ketika satu sodokan
mencakar mau mengenai muka Gumara, Gumara pun menyergap pergelangan tangan
Guru Besar itu dan membantingnya sedetik itu pula. Debu menguap lagi. Tapi
Senik terpaku penuh pesona. Dia mengagumi suaminya maupun Gumara.

Gumara lalu meringankan tubuhnya agar apabila dia kena serangan apapun,
resiko remuk tidak dialami. Ketika dia melihat Ki Tunggal menjungkir dengan
satu telapak tangan ke lantai, ia sudah terka bahwa satu kaki Guru itu akan
menerjang dadanya. Jika ini dibiarkan tendangan itu akan merupakan hantaman
telapak kaki yang bisa muntah darah. Untuk itulah analisa sedetik Gumara
membuat dia mengosongkan udara di perutnya seraya mengangkat tubuh satu
hasta. Tendangan telapak kaki yang miring itu tepat mengenai perut Gumara.
Yah, dengan ringan perut Gumara menahannya, sementara saking kencangnya
tendangan Guru Tunggal itu ... tubuh Gumara terlempar, menghantam dinding
nipah yang tebalnya sejengkal Dinding itu jebol, dan Gumara terlempar
keluar. Dia melakukan salto, berjumpalitan di atas rumputan di depan
padepokan Ki Tunggal.
Tapi seketika salto itu berekhir dengan kedua kakinya berdiri tegap
menghadap, muncullah Ki Tunggal keluar dari pintu. Dengan telapak tangan
keduanya ia hadapkan kedepan serta tenaga dalam yang diolah dari pusar
lewat puncak kepala lalu terhembus lewat mulutnya, terhembuslah gelombang
udara panas dan mulut itu dengan kecepatan bintang pindah.
Ki Tunggal menahan panasnya wajahnya terkena radiasi yang ia tahu datang
dari mulut Gumara.
Tokoh tertua yang pernah dikagumi oleh enam manusia harimau dari Kumayan
ini terus bertahan menahan panas. Begitu panasnya radiasi gelombang yang
dihembuskan mulut Gumara, hingga tampaklah asap pada kumis dan Janggut Ki
Tunggal. Kumis dan janggutnya hangus kini ...
Tapi beliau tetap tegak dengan pertahanan tenaga dalam. Juga tenaga ini
bersumber pada sari nafas yang diolah dari puser-puser. Begitu padatnya
perang terhalus ini, sampai ubun-ubun Gumara menciptakan ucapan asap, dan
ubun-ubun Ki Tunggal pun mengepulkan asap.
Ketika pertempuran dalam diam beginilah Senik Makuto mulai ngeri Kalau tadi
dia terkagum-kagum oleh pertempuran gaya persilatan yang berupa gerak
anggauta tubuh, kini wanita muda usia itu bukan lagi terkagum.
Senik ngeri!
Senik ingin berteriak tapi lidahnya kelu saking tegang. Pada puncak
ketegangan tempur gaya hening begini, maka hujan gerimis pun turun. Baik Ki
Tunggal, maupun Gumara sama menahan nyeri. Kepala mereka ibarat kekenceng
besi dijerangan yang tiba-tiba diguyur air. Ssssssssssss….. Suara itu sama
muncul dari kepala Gumara dan Ki Tunggal, desis kehangusan mengerikan...
Kekerasan hati adalah modal bagi seorang juara, itulah yang diperlihatkan
oleh gerak diam Gumara maupun Ki Tunggal! Hujan gerimis berubah menjadi
hujan deras, diselang seling oleh petir menyambar.
Satu petir yang amat dahsyat yang menciptakan garis lurus kilatan listrik
bergemuruh. Garis listrik itu memanjang jelas dari utara ke selatan,
menciptakan bekas yang jelas. Garis petir itu seakan-akan dibagi dua yaitu
jarak tiga meter ke Gumara dan tiga meter ke Ki Tunggal. Garis petir itu
telah membedah hutan belantara melampaui dua bukit ke selatan. Pada bukit
yang ketiga, Bukit Rotan. ujung garis petir itu menghantam satu-satunya
pohon kelapa. Di sini menggelegarlah puncak suara dahsyat!
Harwati melompat dan sekelebatan sudah berdiri depan rumah jeraminya.
Matanya melotot melihat pucuk pohon nyiur yang terbakar, begitupun batang
pohon nyiur itu kelihatan seperti gagang obor.
Biar hujan lebat, api yang membakar pohon kelapa itu tidak padam. Api itu
bagaikan api yang bertenaga nuklir dengan sulutan minyak bensol gas berdaya
bakar tinggi.
“Ada peristiwa besar, Guru!” teriaknya pada Ki Rotan yang juga muncul dari
rumah jeraminya.
“Apa pendapatmu!” teriak Ki Rotan.
Harwati berlari di tengah hujan dan petir itu menuju pondok jerami gurunya.
Dalam basah kuyup itu dia berkata;
“Aku mengikuti kejadian ini sejak awal. Sekarang ini malam Selasa, Hujan
akan tak berhenti selama tiga bulan mendatang. Kulihat bola api bagai
bergulingan dari langit, jatuhnya tepat kira-kira di Bukit Tunggal di
utara. Lalu bola api itu membentur kawasan Ki Guru Tunggal, menciptakan
garis lurus ke wilayah kita ini setelah membakar dua bukit perantara; “Ah,
aku yakin sedang terjadi pertempuran silat besar antara dua raksasa di
sana !”
“Siapa kira-kira yang melakoni perang dahsyat ini?” tanya Ki Rotan.
“Ayahku pernah menceritakan bahwa suatu kali bola api akan turun dari
langit, jatuh di ubun-ubun Bukit Tunggal. itu lambang perebutan ilmu dan
yang akan bertanding di sana adalah turunan Ki Karat. Ya, turunan ayahku!
Kurasa Ki Gumara sekembali dari sini lewat ke Bukit Tunggal itu, padahal
itu pantangan. Di sana dia akan dicegat Ki Tunggal yang iri hati, lalu
bertempurlah kakak tiriku dengan beliau. Tapi... bukankah ayahku berkata
bahwa turunannya yang akan menang? Aku ini kan turunan Ki Karat?”
Mendengar kisah Harwati itu, Ki Rotan berkata bersemangat pada muridnya:
“Ayoh, Ki Wati, segera langkahi dua bukit itu supaya kau sampai ke Bukit
Tunggal. Kau ganggu pertempuran dua orang itu! Kau jadi orang yang ketiga!
Tipu keduanya, dan habisi keduanyal Bukankah kau yang akan jadi pemenang?
Bukankah kau yang dimaksud ayahmu sebagai pewaris ilmu tertinggi itu?”.
Ucapan sang Guru yang biarpun kini ilmunya lebih rendah daripadanya.
membuat Ki Harwati bergelimang gelora bakaran semangat. Dia tak menuggu
waktu setelah berkata: “Ki Guru benar!”
“Kau telah membuktikan bisa mengambil sekeping ilmu stanggi Ki Pita Loka.
Kini ambillah ilmu Ki Tunggal atau Gumara atau gabungan dari keduanya bila
kau bisa membinasakan dua-duanya!”
“Baik Ki Guru!”
“Bawa tongkatmu!” kata Ki Rotan.
Ki Harwati hanya tersenyum dalam hati, sebab senjata rotan itu sudah tak
ada perlunya lagi.
Dia berkelibatan dengan lincah melompati dahan demi dahan. Sampai subuh
tiba dia masih berlompatan dari dahan ke dahan dalam rimba-rimba ke arah
utara.
Setelah dua setengah kali bola matahari bergelincir, pada siang bolong yang
gemercik hujan gerimis, sampailah dia di tengah Bukit Tunggal. Matanya
menyelidik. Dia tak melihat, bahwa di bawah satu pohon kemumu Ki Tunggal
sedang duduk bersila seraya menghembuskan radiasi bertenaga neutron ke arah
Gumara yang juga duduk bersila, dengan hembusan tenaga radiasi yang
berkekuatan seimbang. Tampak sinar hijau berganti merah silih berhembus
dari dua mulut jawara itu ... tapi Ki Harwati tak melihatnya, sehingga
ketika dia melintasi gadis itu ... dia merasa terbakar dan berteriak seraya
melompat, melolong kesakitan bagai anjing betina kena sulut.
Waktu dia melompat mundur dan mundur sangatlah jelas oleh matanya dua
perkelahian secara hening sedang terjadi. Nasehat gurunya dia laksanakan.
Dia mendekati tempat Gumara duduk bersila di bawah pohon kemuning dan
berseru lantang:
“Aku membantu anda, kakakku Ki Gumara!”
Teriakan ini membuat Ki Tunggal terkejut dan melompat menyiapkan kuda-kuda
mempertahankan diri. Dengan sekelebatan bagai angin puting beliung, Ki
Harwati sudah menyerbu menabrak membenturkan telapak kakinya, tepat
mengenai dada Ki Tunggal. Seketika itu juga Ki Tunggal muntah darah ...!
Menyaksikan Ki Tunggal roboh, Ki Harwati jadi kesetanan. Dengan mata
bernyala dia menoleh pada Gumara. Gumara merasa senang karena adik tirinya,
satu titisan darah, bisa merubuhkan Ki Tunggal.
Dengan basah kuyup dan juga dikuyupi keharuan jiwa, dia berdiri melangkah
menuju Ki Harwati. Tetapi tanpa dia duga Harwati melompat dengan terjangan
yang lebih dahsyat dari terjangan pertama. Untunglah sebelum telapak kaki
adik tiri yang akan menggedor dadanya itu sampai, Ki Gumara menghembuskanya
dengan napas inti, sehingga Harwati berteriak melolong!
Telapak kaki sang adik tiri itu bolong seketika!
Dia terus melolong.
Rupanya sementara peristiwa ini terjadi. Ki Tunggal sudah bangkit kembali
setelah dia sadap dengan hirupan seluruh darahnya yang sudah tumpah dari
mulutnya tadi.
Dengan gerak puting beliung dia sekaligus menyabet tubuh Harwati hingga
terlempar masuk ke rumah nipah dan menjebol dinding yang lebarnya sejengkal
itu. Sekaligus pula sabetan itu menabrak tubuh Gumara yang langsung
terpeleset dan meluncur bagai meluncurnya bola bowling.
Tubuh itu menabrak tiga pohon kelapa yang tumbang sampai akar-akamya
mencuat, dan terakhir menabrak lagi satu pohon kecapi yang amat tinggi.
Pohon ini juga tumbang.
Bunyi pohon besar itu bergemuruh ke tebing di bawah. Dan Gumara meluncur
jatuh memasuki tebing yang tingginya 80 meter itu. Untunglah tubuhnya
nyangsang di sebuah pohon miring yang tumbuh di tengah tebing itu. Rupanya
ikat pinggang Lee yang dia pakai itulah yang menyelamatkanya dari
kehancuran.
Sungguh hebat ilmu Ki Tunggal, fikir Gumara. Pujian itu memang sungguhsungguh. Hal ini sesuai dengan apa yang pernah dikatakan oleh Ki Karat,
ayahnya, maupun Ibunya. Tapi di balik pujian itu, sembari terengah-engah
menuruni tebing lewat batu-batuan raksasa itu. Gumarapun sebenarnya tidak
begitu silau pada kehebatan Ki Tunggal. Ilmunya baru dirasakan istimewa
justru dalam memanfaatkan perkelahian segitiga. Yaitu setelah munculnya Ki
Harwati secara mendadak. Jika Harwati tidak muncul mungkin keadaan akan
sangat lain. Tetapi, baru ia ingat nasehat gurunya, bahwa perkataan “jika”
bukan milik seorang ksatria.
Gumara masih terengah-engah. Tentu saja perkelahian dengan Ki Tunggal itu
bukan sembarang perkelahian. Itulah perkelahian dua malam tiga hari yang
mungkin belum pernah dialami oleh seorang Jawara manapun. Tetapi dirasakan
hebat karena masing-masing tidak menghadirkan harimau karena kuatir saling
mengetahui kelebihan dan kekuranganya.
Dalam lelah itu, Gumara duduk di batu. Rupanya musim penghujan sudah mulai.
Jauh di sana, tampak Bukit Kumayan seperti mengepulkan kabut. Jelaslah itu
pembalikan sinar matahari atas hujan yang sudah menderas di sana. Tapi di
tempat Gumara duduk ini, dia tidak basah. Padahal gerimis ada di
sekelilnginya!!!!! Gumara berdiri tegak dengan kaget? Dia heran! Hanya di
seputarnya saja tiada gerimis?
Ini tentu ngalamat! Ini tentu suatu pertanda, pikinya.
Jarak tujuh langkah dalam radius titik sentral dia berdiri itu, benar-benar
seluruhnya kering!. Biasanya dia mendapatkan suatu ngalamat lewat mimpi.
Kali ini tidak seperti biasanya. Mengapa?
Lalu munculah seorang tua yang pakaianya lusuh. Tongkatnya yang bercabang
dua pertanda bahwa orangtua tak dikenal ini adalah orang yang bukan manusia
biasa. Pasti ada isi. Kesan Gumara orangtua berjanggut putih dengan jubah
lusuh itu menampilkan watak pribadi berwibawa. Beliau memanggil tuan guru
kepada Gumara.
“Maaf Pak Tua. Saya bukan tuan guru. Saya memang guru, tapi guru SMP yang
melihat keindahan alam di sini karena sekolah sedang libur kwartal”, kata
Gumara dengan berendah hati.
Namun orangtua itu tersenyum bijaksana. Gumara memperkenalkan diri lebih
dulu, kemudian bertanya:
“Pak tua namanya siapa. Pak?”
“Nama saya Ibrahim Arkam. Saya telah lima puluh tahun ingin mempertinggi
ilmuku. Tapi seluruh penjuru yang kucari, tidak bersua”.
“Apa yang Bapak cari. Pak Ibrahim?” tanya Gumara sopan.
“Kitab.”
“Kitab apa. Pak Ibrahim?”
“Sebuah kitab sakti. Kitab Makom Mahmuda”, ujar Ibrahim tua.
“Saya tak pernah mendengar nama Kitab itu!” kata Gumara.
“Tapi andalah calon yang menemukanya”. Kata Ibrahim Arkam, Gumara
tercengang.
“Apa isi Kitab itu?” tanya Gumara.
“Rahasia Kehidupan. Anda akan mengetahuinya jika sudah membacanya.
Kehidupan ini penuh banyak rahasia. Tapi jika kita sudah menemukan satu
kuncinya. kita mendapatkan derajat tinggi!”
Ibrahim Arkam lalu mengulas ucapannya lagi: “Kau lihat, bukti bahwa kau
terlahir sebagai anak sakti adalah ini. Di sekitarmu ini. Lihat,
selingkaran tempat kau berdiri ini tidak terkena hujan. Bajumu kering.
Sedengkan bajuku basah kuyup. Ini berariti aku sudah cukup puas bertemu
seseorang yang kelak akan mewarisi Kitab sakti Makom Mahmudah itu”.
“Kenapa harus saya?” tanya Gumara, “Bukankah Bapak mengembara selama ini
untuk mencari Kitab itu?”
“Memang begitulah jalan Nasib. Bukankah yang itu yang aku inginkan? Tuhan
sendiri pernah berujar: “Apa yang kau sukai belum tentu engkau dapatkan.
Dan apa yang engkau dapatkan belum tentu kau sukai. Tapi apa yang engkau
sukai belum tentu baik bagimu”, maka aku cukup puas mengembara hingga titik
akhir ini! Bila misalnya Kitab Sakti itu, yang aku sukai itu, aku dapatkan,
belum tentu itu BAIK UNTUKKU. Tapi kau? Aku tahu kau tidak mencari-cari
dengan ngoyo untuk mendapatkannya. Namun akhirnya kau yang akan
mendapatkannya”, kata si tua Ibrabim Arkam pun kelihatan matanya berkacakaca.
“Tapi kenapa Bapak begitu yakin bahwa sayalah orangnya yang terpilih
mendapatkan Kitab Sakti itu?”
“Guruku banyak. Salah seorang di antaranya adalah Ki Tunggal yang menjadi
penguasa Bukit Tunggal di sana . Setidaknya calon pemilik Kitab Sakti itu
biarpun cuma sekali saja, akan pernah bertemu dengan dia”.
Sungguh kagum Gumara dengan ramalan yang memang ada bukti itu.
“Ki Tunggal yang telah memberi tahu kepadaku, bahwa calon pemilik Kitab
Sakti itu harus memiliki tiga unsur kekuatan: Kekuatan benda padat,
kekuatan benda cair dan kekuatan gelombang, apa itu udara, cahaya ataupun
gas yang bermutu tinggi. Bersyukurlah kau. Mari singgah ke pondokku”. Ujar
Ki Ibrahim Arkam dengan ramah dan hormat.
Dia ramah dan hormat karena dia telah lima puluh tahun ingin mendapatkan
Sang Kitab. Tapi tenyata dia jumpa muka dengan calon pemilik syah kitab
tersebut, sesuai dengan ramalan bekas gurunya.
Pondok yang dimaksud lelaki tua yang berwibawa ini, tenyata satu lobang di
sebuah tebing. Tak ada tangga untuk sampai ke lobang itu. Gumara keheranan
karena dengan acuan tiga langkah dan dua telapak tangan si tua bertelekan
pada permukaan tanah mendadak dia sudah jumpalitan bagai orang bersalto.
Seketika itu juga beliau sudah sampai dekat pintu lubang dinding tebing
itu.
Dari atas sana . Ki Ibrahim Arkam berseru pada Gumara yang masih ada di
bawah:
“Hoi pendekar muda, naiklah ke sini”.
“Bagaimana caranya, Pak Tua?” tanya Gumara.
“Ah, kau jangan bercanda, anak muda”, kata Ibrahim Arkam.
Gumara lalu merayap saja di dinding tebing itu seperti seekor cicak. Setiba
dia di atas, Ibrahim Arkam menepuk-nepuk bahunya: “Tambah yakin aku bahwa
kau yang akan menjadi pewaris Kitab Makom Mahmuda itu, setelah satu abad
terlepas dari tangan Syekh Turki”.
“Ah, jangan besar-besarkan hatiku. Pak”. kata Gumara.
“Aku tak berdusta anak muda. Cuma tiga orang yang berasal dari Kumayan yang
memiliki ilmu cicak. Pertama Syekh Turki. Kedua Ki Karat, ayahmu. Dan kini
engkau yang ketiga”, ujar Ibrahim Arkam dengan sopan. Lalu dibawanya Gumara
memasuki rumah “di dalam tebing” itu. Segalanya amat di luar dugaan. Rumah
dalam tebing itu mirip guha. Kesamaannya dengan Guha Lebah tidak ada sama
sekali. Kebersihan dalam “rumah kiayi tua” ini amat luar biasa, Beliau
berkata setelah Gumara memuji kebersihan, katanya: “Sesuai dengan hadis
Nabi, kebersihan itu sebahagian dari Iman”.
Ada dua obor yang terbuat dari kayu belahan pohon karet. Begitu Gumara
menoleh, dia melihat ada semacam kuburan. Dua kuburan malah. Namun sebelum
Gumara bertanya. Ibrahim Arkam menjelaskan; “Itu kuburan istriku, yang
wafat 50 tahun yang lalu. Menjelang pengembaraanku mencari Kitab. Dan
satunya lagi, kuburan anak lelakiku, yang terbunuh oleh ilmu setan Ki
Rotan. Dua-duanya akulah yang memasukkannya ke liang kubur. Tapi jika aku
mati, kuharap seorang calon Pendekar Besar yang memasukkan diriku ke liang
kubur!”
“Siapa calon Pendekar Besar itu, Pak?” tanya Gumara.
Orangtua itu melirik tepat ke muka Gumara seraya berkata:: “Anda!”
“Siapa tahu saya yang duluan mati, Pak”, kata Gumara.
“Tidak. Ketetapan itu sudah tiba. Guruku yang terakhir. Ki Sabda, pernah
menyatakan padaku begini: Mungkin kau yang akan mendapatkan Kitab Makomam
Mahmuda itu. Mungkin juga tidak. Tanda-tandanya tidak adalah, jika kau
temukan seseorang pengembara yang bahkan hujan pun takut membasahi dia,
seorang yang rendah hati, setelah bersua dengan orang itu, ikhlaslah, lalu
bersiaplah untuk mati”.
Mata Ki Ibrahim Arkam tampak berlinang. Gumara tak habis heran, dan
sebetulnya sudah yakin. Tapi bagaimana mungkin seseorang meramalkan
kematianya” Bukankah mati itu rahasia Tuhan?
Tapi kesempatan ini ingin digunakan oleh Gumara. Dulu ia pernah membaca
buku semasa masih Sekolah Guru Atas (SGA). Ia lupa nama pengarangnya.Tapi
ia tidak lupa pesan pengarang itu yang berfatwa: “Berguru kepada orang yang
hidup itu baik, tetapi berguru kepada ORANG YANG AKAN MATI itu lebih baik!”
Jika benar Ibrahim Arkam akan mati, ia siap untuk berguru kepadanya.
Pertama setelah dia dijamu minuman tebu yang sudah diperas, ia ingin
bertanya, di manakah Ki Ibrahim Arkam medapatkan tebu. Lalu, kedua ketika
tengah hari dia disuguhkan makan siang dengan hidangan singkong rebus. Dia
bertanya dalam hati, dari manakah Ki Ibrahim dapat singkong rebus. Setelah
makan siang itu, dia mengikuti bersembahyang lohor. Tapi ya Allah, betapa
orangtua ini lamanya berdiri membaca ayat-ayat Kitab Suci Al-Quran. Juga
betapa lama dia rukuk dan sujud. Apakah yang dibaca guru tua ini ketika
berdiri, rukuk dan sujud?”
Ketika Gumara melihat tumpukan singkong-singkong yang sebesar paha tak
tahan lagi Gumara bertanya: “Dimanakah tuan guru membeli singkong ini?”
“Di tanam sendiri”.
“Tebu-tebu itu?”.
“Juga hasil kebun tebuku”
“O, mana kebun anda?”
“Di sini. Di sini”, ujar pak tua itu menunjuk tempat mereka duduk. Gumara
tercengang. Tapi sebelum dia bertanya lagi, orangtua itu mengajak Gumara
menuju satu lorong. Tiap tiga meter ada obor kayu karet. Lalu tampaklah
sebuah kebun. Bayangkan! Kebun di bawah tanah. Rupanya ada terowongan
raksasa peninggalan Bala Tentara Jepang yang sudah diperlengkapi dengan
gardu-gardu listrik. Dan kebun di bawah tanah ini benar-benar subur.
Tenyata tebing itu tembus menghadap ke timur. Setidaknya sampai jam 10 pagi
kebun di bawah ini sudah menikmati cahaya matahari secara total. Tinggi
terowongan ini adalah 10 meter. Jadi pohonan seperti pohon singkong dan
pohon tebu tidak akan sampai menjangkau langit-langit terowongan Jepang
ini. Gumara sampai geleng-geleng kepala. Kalau sekiranya orang melihat dari
arah timur, orang takkan percaya di sini ada kebun di bawah tanah.
Paling yang tampak hanya kehijauan biasa saja...
Keheranan Gumara rupanya tidak akan berhenti di situ saja. Ki Ibrahim Arkam
menyeret lengan Gumara ke sudut tenggara. Ternyata di situ ada semacam
pintu beroda. Ketika pintu beroda itu didorong Pak Tua itu, terbukalah satu
ruangan. Alangkah terkejutnya Gumara! Bukan main! Satu ruangan yang indah
dengan dekorasi rumah-rumah bangsawan Japang. Wallpaper yang menghiasi
ruangan itu merupakan dekoratif khas Jepang. Tempat tidurnya pun tingginya
cuma sejengkal. Di timur, di barat ruangan yang mirip kamar hotel ini, ada
kaca setebal satu sentimeter.
Kaca ini benar-benar berfungsi sebagai jendela yang akan menyerap sinar dan
ultra violet matahari. Tak bisa dibayangkan jika malam, kebetulan Bulan
Purnama!
Ada pula wastafel dan kran-kran air ledeng. Juga ada kamar mandi. Maka
yakinlah Gumara mengapa Ki Ibrahim Arkam ini terawat bersih. Di kamar mandi
ada persediaan biji-biji buah klereg, yang bisa berfungsi sebegai sabun.
“Bisa mandi di kamar mandi ini, Pak?” tanya Gumara.
“Lho bisa saja. Kalau puteran itu (maksudnya kraan) diputar, maka akan
keluar air. Setelah aku selidiki, air ini datangnya dari pipa yang menembus
dua bukit. Air ini datangnya dari air terjun Ratu Stanggi!”
“Ratu Stanggi!” seru Gumara tercengang, karena baru mendengar nama itu.
“Kamu baru mengenal nama itu?” tanya Ki Ibrahim Arkam.
“Baru kali ini. Ayahku pun tidak pernah menceritakan, Pak”.
“Supaya kau kelak menyaksikannya sendiri, lalu merasa heran. Ratu itu
sebetulnya Ratu Jin yang sepertinya bertugas sebagai saringan bagi orangorang yang akan menjalani keutamaan hidup”, kata Ki Ibrahim Arkam. Gumara
kini lebih tertarik untuk memutar kraan. Memang muncratlah air dari atas.
Saking girangnya Gumara tak membuka baju kemeja putihnya maupun celananya,
bahkan dia berbasah-basah kegirangan menikmati air bersih!
Ki Ibrahim menyembunyikan perasaan gelinya.
Ada handuk yang bersih berjajar, sekitar 12 buah. Kiranya melihat handuk
ini berukiran motif Dai Nippon, tentulah ini persediaan Perwira Jepang yang
melarikan diri ke sini.
Lalu Gumara pun diberikan satu stel pakaian Tentara Jepang. Dengan
demikian, ketika dia mengenakannya, dan melihat dirinya sendiri di kaca.
hanya rambut gondrongnyalah yang kurang cocok dalam pakaian militer ini.
“Masih ada satu soal lagi”, kata Ki Ibrahim.
“Apa, itu Guru?”
“Di sudut itu aku bersembahyang tahajud apabila malam mulai mendekati
dinihari”.
Gumara terpana. Hanya lewat Ki Putih Kelabu dia pernah mendengar anjuran
bersembahyang tahajud. Kini dari Ki Ibrahim yang tua dan bersih ini.
“Kalau begitu boleh saya amalkan sembahyang tahajud di sini?” tanya Gumara
pada ki tua.
“Ah, kau jadi tamuku. Kau akan kulengkapi dengan pelbagai kebutuhan selama
menjadi tamuku. Asal saja kau bersedia menguburkanku di samping kuburan
isteriku. Dan jangan sekali-kali engkau kuburkan aku di samping orang-orang
itu!”
Ki Ibrahim menyingkapkan satu tirai berupa gorden panjang. itu bukan ruang
biasa. Dan itu hanya semacam terowongan kasar saja. Tapi ketika memegang
obor mengajak Gumara memasukinya, Gumara heran sekali. Ternyata ruangan ini
semacam kuburan. Ada dua belas pedang samurai ditancapkan di tiap-tiap
kepala kuburan-kuburan itu.
“Siapa mereka Ki Ibrahim!” tanya Gumara.
“Mereka Perwira Jepang yang bersembunyi di sini. Aku sedang tergila-gila
mencari Kitab Sakti itu, sampai kesasar memanjat dinding tebing yang
menghadap ketimur itu ... kebun singkong itu ... lalu kutemui seorang
Tentara Jepang siap dengan pedang samurai. Kami berhadapan. Aku sedang
dalam tingkat ujian kekebalan ilmuku. Kulawan serdadu yang bersenjata
pedang samurai itu. Cukup lihay dia ... Tapi ketika muncul seorang lagi dan
seorang lagi sampai semuanya 12 orang, aku tak mungkin mundur lagi. Kurebut
senjata mereka, dan kutebas leher mereka satu demi satu. Pada hari itu juga
aku harus menggali 12 kuburan sampai lepas dinihari berikutnya. Lalu aku
kubur mereka, dan kutemukan pintu dorong kamar rahasia itu!”
Dan si tua bersih itu kemudian berkata: “Akhir cerita, mereka semua mati
seperti setan. Mati yang mengerikan, nak Gumara”.
Gumara tambah betah. Tetapi dalam kepalanya tak sebagaimana biasa berisi
pertanyaan dan keheranan. Dan malam itu dia menginap di kamar yang indah
itu.
Ketika ia terbangun di tengah malam, ia tiba-tiba merasa ngeri. Dilihatnya
Ki Ibrahim tidak berada di sebelahnya. Oh, ternyata beliau sedang
bersembahyang tahajud. Gumara lalu bangun dan menuju kamar mandi. Dia
berwudhu. Dan ikut melaksanakan sembahyang tahajud tanpa setahu Ki Ibrahim,
sebab dia mendirikannya di sudut lain.
Gumara mulai lelah. Jika diikuti amalan sembahyang tahajud Ki Ibrahim maka
dia akan teler. Dia cuma sanggup satu jam saja. Tak bisa dibayangkan,
betapa konsentrasi kiayi tua itu amat hebatnya. Gumara sudah melihat fajar
menyingsing dari kebun timur, kembali ia ke ruangan indah mendapati Ki
Ibrahim masih bersembahyang. Dan setelah itu, Ki Tua ini memanggil Gumara.
“Mari ikut bersama saya bersembahyang f ajar” katanya.
Lalu ikutlah Gumara selaku makmum yang diimami oleh Ki Ibrahim, melakukan
sembahyang fajar. Ternyata sembahyang dua-dua rakaat itu belumlah dihabisi
sang imam ketika beliau berkata: “Waktu subuh tiba. Ikutlah bersama
mendirikan sholat subuh!”
Begitulah, selaku tamu yang dihormati. Gumara mengikutinya. Tak lama
setelah itu. Gumara mendengar kata-kata si tua: “Nak, ingin sekali aku
melihat permainan silatmu”.
“Dengan senjata?” tanya Gumara.
“Tidak usah. Kau toh kuketahui orang hebat. Aku hanya ingin melihat jurusjurus permainanmu. Hanya sebagai hiburan bagiku yang sudah dekat ajal”,
kata si tua.
Gumara lalu mengambil tempat. Dia bersila dengan hadap duduk yang menghadap
langsung Ki Ibrahim, dalam jarak lima meter. Lalu dengan kedua telapak
tangan yang dirapatkan dan melipat ke dada, Gumara menghatur sembah. Dia
membuka “permainannya” dengan tarikan sembah ke kening, lalu telapak
tangannya terkembang ke samping, dan dalam sekelebatan dia buka kedua kaki
dan berdiri merentak dengan satu “tantangan”. Tantangan itu diterima oleh
Ki Ibrahim dengan satu serbuan tendangan ke arah jidat Gumara, tetapi
Gumara mengelak sehingga kaki Ki Ibrahim dipanggul di bahu Gumara, lalu
Gumara banting orang tua itu sampai dia jumpalitan saperli salto ke sudut
pintu kamar mandi.
“Sudah, cukup segitu”, ujar si tua dengan nafas ngos-ngosan.
“Aku baru mulai”, kata Gumara.
“Aku sudah selesai”, ujar si tua, “Yah memang engkaulah pewaris Kitab Sakti
itu ... karena perkelahian singkat tadi kau lakukan tanpa main-main”. Lalu
si tua itu mengajak Gumara ke kebun.
Rupanya disuruh ikut menggali ubi dan menebang tebu. Itulah sarapan pagi
mereka berdua. Minuman air tebu. Dan makan singkong rebus.
“Bolehkah saya malam nanti diperkenankan tidur sendirian?”
“Di mana?”
“Di kebun. Malam ini saya merasa tak ingin tidur ditemani anda”, Ujar
Gumara.
Ki Ibrahim Arkam tersenyum meyakinkan, lalu berkata; “Begitulah ujar Guru
saya yang kini saya temui buktinya. Katanya: “Hai putra Arkam, jika kau
temui seorang lelaki yang suka berterus terang, jika perlu melukai perasaan
orang lain demi keinginannya yang sudah matang, dialah calon Pendekar
Besar” ... dan nyatanya kau jadi tamuku, tapi kau minta syarat tidurmu tak
ditemani dan yang kau pilih adalah kebunku. Kupersilahkan kau menyatakan
apa saja, melakukan apa saja. Kau di sini bukan lagi tamu buatku!”
Hal itu menyenangkan hati Gumara. Siang itu juga dia melakukan latihan yang
ia sendiri tak mengetahui kenapa harus demikian. Tak ada bisikan, tak ada
pembimbing, kecuali ingin melakukan “permainan” saja. Dan hal ini tanpa dia
duga diperhatikan oleh Ki Ibrahim. Latihan itu cuma melompat dan melompat
ke segala penjuru, di antara pohon singkong dan pohonan tebu, tanpa
kesenggol sedikitpun dengan daun maupun batangnya. Ternyata selama dua jam
dia harus menguras keringatnya yang berleleran sampai ketika tiba-tiba ia
kaget satu benda seperti dilemparkan oleh seseorang kepadanya. Dan ternyata
benda itu sebuah keris trisulo, yang saat melayang langsung dia tangkap,
dan kembali melompat ke permukaan tanah dan tidak menyenggol daun tebu atau
singkong.
“Hadiah dariku untukmu”, ujar Ki Ibrahim Arkam di balik rumpun tebu yang di
pinggir. Gumara tercengang, dan amat bahagia setelah mendengar pujian: “Aku
senang permainanmu, nak Gumara. Sekiranya rumpun tebu dan singkong ini
adalah susunan benang kusut kayak sarang laba-laba, maka satu benangpun
tidak akan tersentuh ketika kau melompat ke segala penjuru!”
“Pujian tuan dapat membuat saya kesasar”, kata Gumara.
“Tapi tiap orang menuntut ilmu, pasti akan mengalami kesasar. Besar atau
kecil. Ingatlah itu”, ujar Ki Ibrahim. Sampai sehabis selesainya sembahyang
iesya di belakang imam Ibrahim Arkam, Gumara pun akhirnya menghatur sembah;
“Kuharap maaf tuan, karena malam ini aku sudah katakan ingin tidur
sendirian di kebun tuan”.
“Kupersilakan dengan senang hati”, ujar Ki Ibrahim.
Latihan permainan yang tak direncanakan tadi siang rupanya membuat Gumara
tidur lelap di antara pohon singkong yang berdaun rimbun itu. Tak ada
penerangan, tapi juga tak ada nyamuk. Gumara dalam keadaan ngorok lalu
terjaga dengan tiba-tiba. Karena ia mendengar seperti bunyi benda
gemerincing.
Bulu romanya merinding, tidak sebagaimana biasa. Perasaan takut yang amat
sangat- yang bukan menjadi ciri kebiasaannya - kini membuat dia seperti
seorang penakut yang bulu romannya meremang, merinding tegak! Gumara
mendengar lagi suara gemerincing itu.
Mendadak secara mengerikan, kedengaranlah suara dari dua belas penjuru
secara menggemuruh: “Banzaiii Tenno Heika! Banzaaaaai!”
Dalam gelap itu Gumara mendengar suara gemerincing pedang, kadang
kilatannya karena masih ada sejumut cahaya langit dari timur kebun itu.
Kilatan pedang itu membabi buta, dan Gumara sudah melihat dua belas
lawannya pada posisi mata angin, Mereka tegap dan berpakaian perwira
Tentara Jepang. Tapi semuanya tidak berkepala. Tampaknya duabelas manusia
tak berkepala itu penakut. Tak ada kesan mereka akan menyerbu.
“Setan”“, gerutu Gumara sambil merebahkan diri lagi. Tetapi teriakan Banzai
mendadak terdengar lagi disertai gemerincing pedang. Gumara berdiam diri
saja.
Teriakan itu semakin hebat dan gemerincing pedang semakin mendekat. Dan
Gumara hanya berpeluk lutut saja, tanpa mengacuhkan musuh-musuhnya, Gumara
sudah diberi patokan, bahwa dia tidak diperkenankan melawan setan. Namun
teriak dan gemerincing pedang semakin lama membuat Gumara semakin marah,
sehingga dia melompat dari tidurnya seraya berteriak: “Kamu bangsattt!!!”“
Teriak Gumara sempat membuat terdongak Ki Ibrahim yang baru selesai dari
sembahyang tahajudnya.
Sementara itu Gumara dengan kemarahan yang amat sangat melakukan
pertempuran habis-habisan merebut pedang samurai seluruhnya. Dan dengan dua
belas pedang yang silih berganti dia mainkan itu dia membabat musuhnya yang
tunggang langgang.
Dan ketika mereka sudah menghilang, Gumara heran mengapa dia menggenggam
enam pedang samurai di tangan kanan, dan enam di tangan kiri. Keajaiban
memang sering dia alami.
Ketika dia permisi lewat di ruangan tahajud Ki Ibrahim dia ingin
membuktikan apakah tadi perkelahian konkrit ataukah mimpi. Dia buka tirai
keruangan kuburan itu.
Samar-samar ditelitinya. Tak ada satupun pedang tertancap di sana sebagai
nisan perwira-perwira Jepang itu. Lalu Gumara mendengar ucapan Ki Ibrahim:
“Tancapkan saja 12 pedang itu kembali, di tempat semula”. Selesai Gumara
menancapkan setiap pedang pada tiap kuburan itu, begitu dia masuk keruangan
tahajud, didengarnya Ki Ibrahim Arkam berkata: “itulah kerjaan setan
perwira Jepang yang sudah mati itu. Mereka mengira kamu tamu biasa.”
KEMUDIAN Ki Ibrahim Arkam menjelaskan bahwa dia sering terbangun apabila
muncul gangguan dari tamu-tamu tak diundang itu. Keramahan, kemurahan hati
menceritakan pengalamannya, membuat Gumara betah hidup berdampingan dengan
orang tua itu.
Pada hari ketujuh, Ki Arkam bertanya: “Tadi malam, apakah anda bermimpi?”
“Ada”, sahut Gumara.
“Jangan lupa mencari takwil mimpi anda itu. Dan jangan katakan kecuali jika
aku minta”, kata Ki Arkam.
Gumara merinding sesaat. Sekiranya dia ceritakan mimpi itu, atas permintaan
Ki Ibrahim Arkam, maka pastilah orangtua itu akan terkejut.
Dan ketika Gumara memasuki tiga minggu sebagai tamu Ki Arkam pada suatu
pagi seraya menikmati sarapan singkong rebus dan air tebu, bertanyalah dia
pada Gumara;
“Ada mimpi semalam?”
“Ada ”, sahut Gumara.
“Karena tadi malam pun aku bermimpi tentang anda, coba kita bertukar kisah
mengenai mimpi masing-masing”, kata orangtua itu.
“Mimpi saya tentang diri anda”, kata Gumara.
“Justru karena itu, mimpi saya pun tentang diri anda”, kata Ki Ibrahim
Arkam seraya senyum.
“Selama di sini, saya dua kali bermimpi”, kata Gumara
“Mimpi manakah yang tuan guru kehendaki?”
“Mimpi yang pertama akupun sudah diberitahu, tapi mimpi yang kedua justru
yang saya tak tahu”, kata Ki Ibrahim Arkam.
“Saya didatangi oleh orangtua bersorban, lalu dia mengatakan supaya saya
berhati-hati terhadap Pedang Raja Turki”.
“Oh, itu. Pedang Raja Turki itu terakhir dimiliki oleh Ki Tunggal. Ini
takwilnya adalah, anda suatu saat akan terancam oleh Ki Tunggal, muridnya,
atau Pedang Raja Turki itu. Lalu apa lagi, nak Gumara?”
“Saya akan melihat tengkorak aneh”, kata Gumara.
“Itu takwilnya adalah, anda harus hati-hati. Ingatlah kiasan ini; Tengkorak
itu mandi tiap hari dengan air yang sama dengan air mandi kita”, Ki Ibrahim
bertanya lagi;
“Lalu, apa mimpi anda itu lagi?”
“Saya diberitahu, bahwa saya akan menemukan lawan seorang yang gemar
menggunakan senjata. Dan orang itu kini dalam keadaan dirantai”, Gumara
menerangkan, lalu bertanya: “Siapakah dia?”
Ki Ibrahim Arkam dengan tekun memejamkan mata. Dia mencoba mengingat-ingat
urutan takwil mimpi yang pernah dituturkan oleh gurunya dulu. Setelah
sempurna terkumpul ingatannya: “Lima puluh tahun yang lalu sebelum aku
ingin mengembara mencari Kitab Sakti itu, aku pernah diberitahu guruku.
Bahwa, calon Pendekar Besar itu akan berhadapan dengan calon-calon yang
hebat pula. Antara lain lelaki berantai besi. yang akan memiliki sepuluh
ilmu. Lelaki itu bukan dengan sengaja untuk ngelmu. Tapi keadaan terpaksa
dia terlibat menjadi seorang pendekar dunia persilatan di sepuluh kawasan.
Lalu, apa lagi lanjutan mimpi anda?”
“Oh ya, saya terlupa menceritakan awal mimpi. Mimpi itu sebetulnya berawal
dari kejadian yang memalukan. Saya menjadi tukang perkosa gadis. Lalu saya
merampok harta orang kaya. Lalu saya bertemu dengan seorang wanita cantik
yang akan menjadi isteri saya. Barulah kemudian rentetannya tengkorak yang
saya kisahkan Pada tuan itu. Kemudian, saya lanjutkan cerita tadi. Saya
kemudian betemu dengan seorang pendekar pincang!”
“Pendekar pincang?” tanya Ki Ibrahim tercengang, lalu menepuk tangan dengan
girang: “Itu murid Ki Tunggal, nak!”
“Dan maaf saja ... dialah yang disebutkan orangtua dalam mimpi itu, yang
akan membuka rahasia tirai Stanggi”, ujar Gumara.
Ki Ibrahim juga terheran-heran setelah mendengar keterangan itu. Padahal
dulu gurunya bilang, bahwa seorang lelaki calon Pendekar Besar itulah yang
akan mengetahui kunci rahasia tirai stanggi. Pikiran murung ini terjadi
pada hari ke-22 dan seterusnya.
Pada hari ke-39, si tua itu lebih murung. Dia mengeluh sesak nafas. Dan
tiba-tiba saja dia bertanya: “Wahai calon Guru Utama. Katakan padaku
mimpimu yang pertama!”.
“Tidak cemaskah tuan jika mendengarnya?” tanya Gumara.
“Katakan saja”, ujar pak tua itu dengan wajah murung disertai nafas yang
sesak.
Gumara berkata: “Tiba-tiba saja aku seperti mendapatkan ilham, bahwa yang
satu ini tidak boleh kukatakan pada tuan. Maha Pemilik Rahasia adalah
Tuhan”. Dan airmata
Ki Ibrahim Arkam menggelinding seketika. Butiran airmata berikut
menggelinding lagi. Lalu dia berkata; “Tentara Jepang itu meninggalkan
pacul, linggis dan sekop di gudang satu lagi, dekat kuburan mereka. Kalau
terjadi sesuatu atas diriku, gunakanlah barang-barang itu”.
“Ke mana anda akan pergi?”“
“Bersembahyang, itulah kegemaranku”.
Dan. si tua itupun meninggalkan Gumara, sampai sore Gumara tidak
melihatnya, begitupun ketika malam tiba. Aneh sekali! Di mana beliau
bersembahyang? Di ruangan kamar Perwira Jepang itu tak ada. Dipanggilpanggil, tak menyahut. Kemudian Gumara pergi ke kebun. Juga tak ada.
Paginya Gumara mencari lagi si tua itu ke Kuburan Perwira Yang 12 itu. Kali
ini dia tertarik pada bunyi pintu yang bergerit. Dia lalu merinding. Pintu
bergerit itu agak jauh ke barat daya. Gumara lalu memberanikan diri. Memang
ada pintu. Ketika pintu itu dibuka, tampaklah lampu obor kayu karet yang
akhirnya menerangi ruangan itu. Itu sebuah gudang, yang penuh dengan macammacam benda, termasuk pipa listrik dan pipa ledeng. Bahkan ada ban mobil.
“Ki Ibrahim ... “, ujar Gumara.
Ternyata dia melihat setumpuk kain putih. Bila Gumara mendekat, tampaklah
orangtua itu menggeletak di atas tikar sembahyangnya, memegang biji tasbih.
tapi sudah tak bernyawa lagi. Dekat tikar sembahyang itu ada sekop besar
dan sekop kecil, pacul dan linggis. Itulah isyarat dia minta bantuan Gumara
untuk menguburkannya. Setelah orangtua itu dia kuburkan sesuai amanatnya.
Yaitu disamping kuburan isterinya. Gumara berfikir apa perlunya lagi di
sini?
Tanpa ada si tua yang hidup, tak enak di sini.
Lalu Gumara pun berlalu. Langkahnya jadi ringan secara aneh. Dia seperti
bocah kesenangan setelah meninggalkan padepokan sunyi almarhum Ki Ibrahim
Arkam.
Gumara gembira, sehabis dia terbangun dari mimpi itu. Tekadnya hendak
kembali ke Kumayan, dia batalkan. Dia memutar pandangan untuk. mencari
letak Bukit Lebah itu. Tak sulit. Bentuknya mirip sekali dengan payung
terkembang. Di selatan sana itu. Dia harus kembali menemui Pita Loka,
sesuai dengan mimpinya itu!
Sebelum dia melangkah, dipetiknya buah kesemek. Dibersihkannya buah yang
mirip buah apel itu. Dan setelah dia memakan dua buah, hanya seperempat
jalan turunnya matahari, mendadak ada yang meronta dalam diri kasarnya! Ya,
keinginan sexual untuk mengawini Pita Loka. Keinginan birahi yang berkobar
bagai amukan api yang menyesakkan dada. Dan hal ini membuat Gumara yang
tenang itu berubah lincah. Langkahnya cepat. Gumara seakan-akan kembali
surut menjadi remaja yang digoda libido.
Entahlah bagaimana, rupanya dia tersesat ke sebuah ladang timun. Di luar
kebiasaan terdidiknya, kali ini dia tanpa permisi mengambil satu timun dan
dilahapnya timun itu dengan lahap. Suara sap-sap-sap menghabisi timun itu
membuat dia tak sadar sudah memakan bagian yang pahit. Karena dia melihat
satu pinggul wanita yang sedang memetik timun, gairah sexualnya menyala
hebat. Apa lagi wanita itu mengenakan kain merah. Terkena sorot matahari
pinggul itu bagaikan secara amat halus terbelah dua. Gumara tak menunggu
waktu lagi. Dia menuju wanita yang rupanya masih menungging itu. Begitu
Gumara menyuruk-nyuruk kuatir tertangkap basah, setiba dekat kaki wanita
itu, dia tarik kain merah itu.
Wanita itu terpekik minta tolong.
Gumara ketakutan. Dan lebih malu lagi karena wanita yang menunggingkan
pinggulnya itu ternyata wanita yang sudah agak lanjut usia. Mendadak
seorang kakek mencabut parangnya, Gumara makin ketakutan. Lebih ketakutan
lagi ketika kakek itu sudah mendekatinya dengan kalap.
Gumara begitu ngeri tanpa berkutik sedikitpun ketika parang tajam itu
diayunkan padanya seraya si kakek berteriak; “Mati kamu!”
Parang itu menancap ke bahu Gumara.
Tapi kakek itu bengong. Mulutnya menganga. Dia heran tak ada darah menetes
di bahu itu, padahal parang tajamnya sudah masuk sedalam tiga jari. Gumara
lalu menghatur sembah: “Maaf kakek. Terutama Nenek, saya minta maaf”.
Ia berlalu dengan tersipu malu, ia tidak lagi lincah. Ia mulai menyadari
tujuannya semula. Bukan ke ladang ini lantas akan memperkosa seorang wanita
yang ternyata lanjut usia, bukan! Ia harus menuju Bukit Lebah itu! Ke
selatan itu! Bukan ke Barat itu!
Kini langkahnya tidak cepat tidak pula lambat. Ketika menuju ke arah
selatan itulah ia seperti mendapat pengetahuan baru. Bahwa setiap ilmu
apapun godaan utama adalah soal sexual. Gumara lalu memukul sumber yang
membuat ia tergoda, dan dia menjerit sendiri kesakitan. Kemudian dia
melanjutkan langkah lagi.
Dan langkahnya lebih pasti. Di sela-sela batu raksasa itu sudah didengarnya
suara air terjun. Ini berarti hanya beberapa mil lagi akan mencapai sungai
bundar yang dikenal melingkari Bukit Lebah itu. Dengan santai dia turuni
tebing terjal itu. Tapi ... bah! Tenyata ada perempuan mandi telanjang
bulat pada air terjun itu. Mulanya dia bergairah untuk cepat mendekati dan
melampiaskan nafsunya yang kini berkobar di dada. Tapi bukankah wanita
mandi itu adalah Pita Loka?
Gumara malu pada diri sendiri. Tapi yang lebih membuatnya malu adalah
perasaan berdosanya. Bahwa libido sexual memang selalu menggoda ilmu yang
akan diperolehnya itu.
Gumara kembali bersembunyi sampai wanita telanjang itu berpakaian. Setelah
diperkirakannya selesai, ia melanjutkan menuju tebing itu. Ternyata wanita
itupun sedang menapaki jenjang-jenjang batu setapak, naik ke tebing. Bukan
rambut ikal itulah yang pertama menggoda Gumara. Juga bukan buah dadanya
yang sejenak tampak, sebelum wanita itu menutupinya dengan kedua telapak
tangan dan membetulkan kain yang menyelimuti dirinya. Tapi kalung itu, yang
bertatahkan permata. Andaikata kalung itu aku rampok, sekarang ini, tentu
benda itu akan menggiurkan Pita Loka. Sehingga dia bersedia menceritakan
misteri tirai stanggi.
“Maaf, nona. Saya orang utas yang tersesat jalan. Isteriku sedang berdiam
karena sedang mengidam. Yang dia idamkan yaitu sebuah kalung penuh permata.
Bolehkah saya pinjam kalung nona?”.
Wanita itu menjadi tidak ramah dan menjerit minta tolong.
“Rampoooook”, teriaknya keras.
Bintik keringat dingin ketakutan bukan membuat Gumara lari ke bawah, tapi
lari ke atas mengikuti wanita itu. Wanita itu tambah takut dan berteriak
lantang lagi: “Toloooong, ada rampok!”
Seorang petani yang menyandang pacul, kontan menghantamkan mata paculnya ke
kepala Gumara.
Gumara terdongak kaget setelah melihat gagang pacul di depan hidungnya.
Tapi lebih tercengang lagi sang petani, yang melihat mata paculnya masuk ke
tengah kepala “sang perampok” tapi tak tampak luka. Juga ketika pacul itu
ditarik dengan cabutan yang menguras tenaga. Bekas luka pun tak ada,
apalagi darah.
Petani itu berkata pada wanita tadi; “Dia perampok berilmu kebal. Mari kita
pulang saja. Ilmu dipakai untuk merampok adalah ilmu sial!”
Gumara tercengang. Dia meraba kepalanya. Memang tak ada bekas apapun, juga
tak terasa rasa nyeri. Dia sadar, bahwa dia harus menemui Pita Loka. Bukan
membujuknya dengan kalung permata yang akan dirampoknya dengan cara tipuan
tadi. Dia menuruni tebing itu untuk menyeberangi sungai. Tapi mendengar
derasnya bunyi air terjun itu. Gumara berhenti sejenak.
Seperti ada yang mendorongnya untuk melihat bukit kenapa perasaan ini ingin
menyaksikan air terjun. Padahal di kawasan ini sudah sering dia melihat air
terjun. Tentu air terjun ini menyimpan sesuatu rahasia.
Tapi ah ... masa bodo
Ia sudah tergoda dua kali, Pertama kali tergoda iman karena sex, dan yang
kedua tergoda iman karena harta. Namun karena ia berusaha untuk mencari
Kebenaran Mutlak, konsentrasinya melangkah di batu sungai kurang awas.
Dia terpeleset. Dan jatuh!
Lalu kedengaran suara orang mentertawakannya.
Cekikikan lagi! Dan itu pasti suara wanita. Gumara yakin, mungkin saja yang
tertawa itu Pita Loka. Gumara menoleh ke arah bunyi orang yang
mentertawakannya.
Ternyata ia menoleh ke air terjun. Hal ini membuat dia penasaran. Dia
melangkahi batu-batuan sungai menuju ke air terjun tadi. Diperhatikan, apa
benar di balik air terjun jtu ada wanita. Setelah dia perhatikan, dia coba
lagi berseru;”Hoi! Siapa anda!”
Terdengar wanita tertawa, tapi terdengar pula dia berlari setelah
melemparkan sebuah batu. Batu itu mengenai kepala Gumara, tapi dia segera
menangkap batu itu sebelum batu itu kecemplung masuk sungai. Aneh sekali.
Batu itu ternyata batu yang menebarkan bau stanggi. Hal ini membuat Gumara
berfikir dua kali Dan ketika fikirannya yang ketiga muncul, ia memutuskan
harus ke balik air terjun itu.
Pakaian putihnya yang sudah koyak-koyak itu, sudah basah kuyup ketika
dilintasinya air terjun itu. Ternyata di balik air terjun itu, setelah
melangkah sekitar 21 langkah, ada semacam pintu guha. Gumara seperti bocah
yang ingin tahu. Dan sebagaimana layaknya bocah, dia merasa ngeri tibatiba. Heran sekali, karena bulu kuduknya dan seluruh bulu romanya
merinding? Dia seakan-akan melihat dalam kegelapan tanah menjorok ke dalam
tebing air terjun ini sesuatu yang mengerikan. Ada dua mata yang tampak
begitu besar di sana itu. Lalu ada yang bergoyang-goyang. Hihh, ngeri
sekali! Itu lidah yang menjulur! Untuk surut, kakinya gemetar. Lalu dia
rasakan pula bau stanggi sekitar tempat yang berbentuk guha itu. Batu yang
sekepal di tangannya ia baui lagi. Ternyata batu ini lebih keras lagi aroma
stangginya!
“Jangan lepaskan!” terdengar suara.
“Apa yang jangan dilepaskan?”
“Batu itu!” terdengar lagi suara.
Suara itu menggema. Dan jelas suara wanita.
“Siapa yang bersuara itu?” tanya Gumara tambah gemetaran.
Aku, Ratu Guha Stanggi” terdengar sahutan yang juga menggema. Jelas sekali
suara itu suara wanita. Dan bukannya wanita tua!
“Kenapa anda melemparku dengan batu stanggi ini, ha?” suara Gumara
menggema.
“Karena aku tahu, anda mencari saya”, kata Ratu Stanggi itu.
“Mencari kau?”
“Yah, karena anda ingin mengetahui misteri tirai stanggi! Misteri itu kini
telah anda dapatkan! Dalam guha inilah letak misteri itu! Dan tirai yang
ingin anda singkapkan itu, sudah anda lewati!”
“Tirai apa itu?” tanya Gumara.
“Tirai perlambang! Air terjun itu lambang dari maksud tirai. Bukannya ke
Guha lebah itu anda harus pergi. Karena menemui Pita Loka, dan mencari
misteri stanggi ke sana , hanya membuang waktu. Misteri itu ada di sini!
Dan sekarang anda sudah memasuki misteri itu!”
Dalam sekelebatan Gumara menyaksikan sosok yang tak jelas sedang melakukan
bentuk persilatan yang luar biasa. Hanya kecepetan garis petir yang mampu
menandingi bentuk gerak dan jurus persilatan itu. Bila sosok tak jelas itu
menubruk dinding guha, terdengar benturan mirip petir yang menimbulkan
percikan api! Gumara kagum sebagai penonton.
“Yang anda ingin cari dibalik misteri itu adalah ilmu yang Tinggi. Tapi
bukankah anda lihat ilmuku ini adalah ilmu yang tertinggi?”
“Ya”, ujar Gumara, “Rupanya kepada andalah, Ratu Stanggi, saya harus
belajar. Rupanya kepada anda saya musti berguru”.
Gumara mendengar lagi suara wanita itu: “Anda harus maju lagi sekitar tujuh
langkah”.
Mendengar itu Gumara jadi ngeri. Di sini saja dia berdiri sudah ngeri. Dan
seperti bocah yang menginginkan sesuatu, tapi kecut, maka dia melangkah
selangkah saja, lalu berhenti.
“Bulu romaku tegaaaak!” teriaknya.
Gemetar dia, namun sempat mendengar wanita itu mentertawakannya. Dia
mendengar suara lagi: “Maju lagi selangkah”.
“Aku takut”, ujar Gumara.
Namun dicobanya maju lagi. Pemandangan semakin gelap. Keringat dinginnya
mulai dirasakannya. Bau stanggi itu semakin memadatkan indera hidungnya.
Dan dia seakan-akan menyerah; “Aku takuttt”.
“Jangan takut. Aku gurumu! Bukankah kau ingin mendapatkan ilmu melalui
Kitab yang kau baca lewat mimpi, bahwa kau harus menyingkap misteri tirai
stanggj?
Semua orang ingin mempertinggi ilmunya. Tapi ilmu yang akan aku beri padamu
adalah satu kedudukan ilmu yang Tertinggi, mengerti?!!!, wanita itu
membentak. Dan karena gema suaranya bergemuruh, bentakan itu semakin
menakutkan. Dan Gumara gemetar menjawab ketakutan: “Saya mengerti Ibu
Betara Guru”.
“Jangan takutttt!” teriak wanita itu juga membentak dan bergema menakutkan.
“Saya mencoba berani”.
Dan wanita itu membentak lagi: “Ayoh melangkah lagi, tolol!”
Dan Gumara melangkah lagi dengan sangat rendah hati, bagai budak pada
majikannya. Karena tiba-tiba merasakan bau bangkai, dia berhenti.
“Kenapa berhenti?!!!” bentak wanita itu.
Namun, hanya suara saja yang kedengaran. Sosok wajah apalagi tubuhnya tak
tampak. Gumara tambah takut. Dia merasakan bau bangkai.
“Selangkah lagi. ayoh maju!!!” terdengar bentakan wanita itu lagi.
Suasana semakin gelap. Gelap sekali. Bau sekali. Dan menakutkan sekali! Dan
dengan terpaksa dan terseot.Gumara melangkah selangkah lagi.
“Bagus”, kedengaran pujian Ratu Stanggi.
“Aku memohon, pelajaran yang tuan Ibu Betara Guru akan berikan
dipersingkat. Saya takut, takut sekali”.
“Hah, mana ada ilmu yang gampang diperdapat! Semua ilmu ada jenjangnya.
ngerti????” bentakan iagi.
Dengan nada hampir menangis Gumara berkata: “Saya mengerti, Guru”. Lalu dia
merasa dirinya semakin lemah dan berkata: “Saya lapar, Betara Guru!”
“Kelaparan adalah bagian dari ilmu yang akan kuberikan”.
“Tapi saya sekarang ini ... lapar sekali!”
“Diam, bangsat!” bentak suara wanita itu.
Gumara merasa dirinya tak kuasa apa-apa lagi. Bau bangkai itu semakin
menusuk hidung. Rasa lemah dan takut semakin membuatnya tak mampu berfikir.
Dan dengan merengek dia bersuara melolong: “Tolong katakan padaku kelak
saya akan menjadi apa. Betara Guru yang mulia!”
“Kau akan manjadi sembahan seluruh jawara, dari Bukit Kumayan hingga ke
Bukit Lebah. Bahkan Pita Loka akan menghatur sembah padamu!”
Airmata Gumara meleleh. Dalam gelap airmata itu bagaikan mutiara yang
antara tampak dan tiada berada di kerang terkelupas dalam lautan biru. Dan
menjelmalah sosok tubuh yang luar biasa cantiknya. Dipergelangan tangannya
teruntai gelang bertatah ratna mutu manikam.
Tubuhnya seakan dilapisi sutra tipis sehingga menciptakan bentuk wanita
yang menerbitkan birahi namun begitu kaya.
Dan sungguh membuat Gumara tolol ternganga melihat wanita itu duduk di
tahta emas, kursi yang takkan pernah dilihatnya, hanya kecuali dalam
cerita-cerita lukisan.
“Tuan memang pantas jadi ratu!” kata Gumara terpesona.
“Dan engkau akan menjadi Rajaku!”
“Aduh, saya orang lemah dan tolol. Saya muridmu! Mana mungkin?”
“Ratu Stanggi sudah harus menjadi jodoh Raja Gumara. Kini ikuti perintahku!
Pejamkan matamu!”
“Baik Ratuku tercinta”.
“Jongkoklah. Meraba di permukaan guha ini. Bila kau rasakan ada benda bulat
seperti kelapa yang sudah dikupas sedikit, peganglah itu!”
Gumara bagai orang dongok, berjongkok. Tangannya meraba. Hidungnya merasa
bau amis. Tapi rasa ingin cepatnya mendapatkan ilmu tertinggi dengan
kedudukan Sembahan Semua Juara, dia akhirnya berteriak setelah meraba
kelapa dimaksud Guru itu.
“Ini kelapa sudah kupegang!”
“Batu stanggi di tangan kiri, kelapa di tangan kanan! Ayoh cepat keluar dan
ikuti arus sungai dengan menghanyutkan dirimu!”
Gembira Gumara menuruti perintah. Dia memegang kelapa dan batu stanggi
tadi, meninggalkan Guha tadi, melewati air terjun dan berhanyut-hanyut ke
arah Barat
Timbul tenggelam dia dalam gelombang sungai, terhanyut mengikuti arus
sungai seperti orang gila tak sadarkan diri.
Kadang dibiarkan kepalanya terbentur pada batu sungai yang menghadang arus.
Biarpun terasa sedikit, dia tak menjerit. Yang penting kelapa di tangan
kanan, batu stanggi di tangan kiri ... tak lepas dari pegangan!
Tak terfikir lagi lapar dan haus. Juga dia tak menyadari hari telah malam.
Dan di langit ada bulan. Bulan yang sedang purnama. Waktu itulah Gumara
mendengar seruan dari atas batu tebing; “Pak Gumara ...!”
Dia mendahulukan kakinya. Sepatu Phuma yang melekat di kakinya dia sodok ke
batu bawah air. Tubuhnya tertahan dan dia menyandarkan punggung bertahan ke
batu curam.
“Pak Gumara!” terdengar lagi suara dari atas tebing. Gumara mencoba melihat
ke atas, tapi terhalang oleh rumpun bambu. Lalu dia merasakan bau amat
busuk. Dicarinya sumbernya. Ternyata di tangan kirinya itu. Dia buka tangan
kirinya…ternyata itu bukan batu. Tapi gigi manusia yang menggigit batu.
Gigi bangkai manusia!
Gumara membanting sehingga muncrat air sungai membuat waiahnya bersimbah
air. Ini membantu penglihatannya. Dia lalu merasakan bau lagi! Ternyata bau
di tangan kanan. Ternyata itu bukan kelapa tetapi kepala manusia, yang
tampaknya baru mati.
Begitu Gumara mau membantingnya, dia mendengar suara dari balik batu. Suara
itu suara wanita. Yang berseru: “Jangan buang dia! Berikan dia padaku dan
lemparkanlah!”
Gumara melemparkan kepala manusia yang mengerikan itu. Tampak ada tangan
menyambut kepala itu. Dan sekonyong tegaklah di atas batu itu satu sosok
tanpa kepala. Kepala yang dilempar Gumara tadi dia jinjing. Dan sosok itu,
yang menjinjing kepala itu, adalah wanita dalam pakaian compang camping.
Melihat wanita tanpa kepala yang menjinjing kepala mengerikan itu. Gumara
kontan berteriak bagai bocah ketakutan: “Tolong akuuu!!!”
Dia berteriak lagi: “Tolong akuuuu!”
Seorang wanita masih dalam pakaian mukena putih menuruni tebing dengan amat
mudah. Lalu dia mengulurkan tangan untuk menolong Gumara.
“Siapa kau?” tanya Gumara ragu.
“Murid tuan Guru. Saya Pita Loka” ujar wanita berpakaian mukena itu.
“Bukan sebuah godaan?”
“Bukan godaan. Bukan setan. Bukan jin atau pun peri! Aku Pita Loka, puteri
Ki Putih Kelabu” ujar Pita Loka pasti, “Mungkin anda ragu melihat diriku
masih berpakaian mukena ini. Aku sedang menyelesaikan do”a sehabis shalat
Iesya. Kulihat anda di bawah itu, diantara sinar bulan purnama, bagai
hanyut! Ayoh, pegang tangan saya, Pak Guru, saya tolong angkat ke atas!”
Begitu Gumara memegang telapak tangannya, Pita Loka merenggut tubuh itu dan
melemparkannya. Tubuh Gumara terangkat setinggi tujuh meter di atas sana
tetapi kemudian disambut oleh Pita Loka dengan gaya yang mirip orang
menyambut barang yang ringan.
Kemudian setelah disambut dia lepaskan Gumara dalam posisi berdiri. Dan
Gumara berdiri dengan tercengang. Lalu Pita Loka melangkah duluan menuju
satu tumpukan batu yang rata. Dipermukaan susunan batu yang rata itu ada
tikar sejadah. Tikar itu diambil Pita Loka semudah pula menyambar satu kayu
karet yang ujungnya menyala api.
“Apa yang tadi anda lakukan maka hanyut, Pak Guru?”tanya Pita Loka.
“Saya hanyut dalam godaan setan”.
“Setan? Aneh sekali” ujar Pita Loka.
Dengan memegang obor Pita Loka menggiring Gumara ke mulut Guha Lebah itu.
Gumara berhenti melangkah. Pita Loka berdiri di hadapan pintu itu. Tampak
lebah-lebah yang ribuan jumlahnya itu berdengung ramai. Lalu semuanya
minggir ke tepi seakan memberi jalan penuh penghormatan. Gumara mengikuti
langkah Pita Loka memasuki gerbang guha itu. Dalam Guha tampak cahaya
terang, Ternyata dua obor menyala, yaitu api yang bergoyang di ujung kayu
karet.
Dengan menunjuk ke sebuah batu berbentuk kursi. Pita Loka berkata: “Silakan
duduk”.
“Menakjubkan! ““ ujar Gumara,
“Dulu Bapak belum sempat masuk. Keburu bertempur dengan Dasa Laksana. Ah,
kalau saya ingat itu, saya kasihan pada Bapak”, ujar Pita Loka.
Sejak mendengar nama Dasa Laksana kembali, perasaan cemburunya menjalari
urat darahnya. Namun dia diam. Dan rasanya ingin bertanya.
“Mana Dasa Laksana?” tanya Gumara.
“Ada di dalam”, sahut Pita Loka.
“Ada di dalam? Apa di guha ini pun ada kamar?”
Pita Loka tarsenyum. Dia menyadari nada tanya Gumara cemburu. Tapi dia
tetap menjawab: “Di guha ini ada kamar”.
“Oh”, nada singkat Gumara itu menandakan putus asanya.
“Ini saya hadiahkan sebuah hidangan makan malam yang pasti belum anda
coba,. ujar Pita Loka seraya menyerahkan satu buah-buahan yang baru
dikupas.
“Buah apa ini?” tanya Gumara heran.
“Nikmati dulu”. kata Pita Loka.
Tapi sebelum dia makan buah yang agak aneh itu, Gumara bertanya: “Boleh
saya bertatap muka dengan Dasa Laksana?”
“Boleh saja. Tapi makan buah hadiahku dulu”, kata Pita Loka.
“Tidak. Saya ingin berjumpa dia”, kata Gumara.
“Kenapa Pak Guru mendesak begitu?”
Gumara menahan rasa malu, lalu berkata geram: “Mungkin aku sudah tertipu
oleh si tua Ibrahim Arkam”
“O, Ibrahim Arkam? Dia bukan penipu!” kata Pita Loka.
“Jika demikian kau mengenal dia?”
“Tentu”.
Lalu Pita Loka berkata lagi: “Ayoh makan buah hadiah terhormat dariku!"
“Jangan-jangan buah ini ada racunnya! “, ujar Gumara.
Pita Loka. yang juga memegang satu buah yang sama, penasaran tertuduh
begitu. dan dia berkata: “Ini buah yang sama. Jika buah ini mengandung
racun, aku akan mati duluan dari anda!”
Pita Loka memakan buah itu. Gumara jadi ngiler. Dan dia menggigitnya
sedikit. Rasanya mirip jambu bol. Tapi jelas bukan jambu bol.
“Buah apa ini?” tanya Gumara.
“Buah mancina. Mungkin di Cina, sekitar pegunungan, buah ini pun ada. Jika
buah ini sudah tertalu matang, rasanya mirip yoghurt, yaitu induk susu
kegemaran orang Yugoslavia .”
“Pernahkah kau menghadiahkan buah mancina ini pada Dasa Laksana?” tanya
Gumara memancing. Pancingan itu membuat bekas muridnya yang cerdas itu
tersenyum.
Ujar Pita segera. “Hanya tamu terhormat. seperti Ibrahim Arkam yang pernah
kuberi. Dasa Laksana tidak!”
“Kau tak berbohong, Pita?”
“Mana pernah aku bohong. Karena aku tak pernah bohonglah maka aku kini ada
di sini”, ujar Pita Loka.
“Apa yang menyebabkan kau sampai mengasingkan diri ke sini?” tanya Gumara
bersemangat dan dia semakin bersemangat mengunyah pula karena buah mancina
ini ternyata amat lezat.
“Katakan Pita Loka, apa penyebab kau minggat sampai terdampar ke sini?”
“Karena terbawa Nasib”.
“Ah. Kau seorang yang cerdas, kaya logika dan matematis!”
“Tapi saya pun punya perasaan sebanyak pikiranku, Pak!”
“Apa perasaanmu ketika kau lari?”
“Ingin menaklukan anda”.
“Ha?”
“Ilmu anda tinggi, ilmu Harwati tinggi. Sedangkan ayahku tidak mewariskan
apa-apa bagiku kecuali seluas otak di kepalaku ini, Pak. Jika anda ingin
saya berterus- terang mengapa saya minggat, penyebabnya amat sederhana! “
“Katakan penyebab itu. Sebab justru itulah yang ingin saya ketahui”
“Penyebabnya karena patah hati. Karena cinta tak terbalas”.
Mendengar itu. Gumara yang sedang asyik mengunyah buah mancina terhenti
mengunyah. Dia Terpana menatap Pita Loka.
“Pada siapa kamu patah hati, Pita Loka?” tanya Gumara.
“Ah, tak usah dibicarakan lagi. Semua itu sudah lewat. Kini aku berada di
dunia yang lain”
“Di dunia suami isteri?”
“Tidak”
“Di dunia cinta?”
“Jauh dari itu”
“Jadi dunia macam apa yang kau maksud? Ah, aku ingin bertatap muka dengan
Dasa Laksana. Boleh atau tidak?”
“Boleh saja. Tapi nanti. Kalau buah mancina Bapak sudah habis. Mau satu
lagi?”
“Aku butuh makan nasi. Aku lapar sekali”, kata Gumara.
“Saya sudah lama tak mengenal nasi, Pak. Hanya makan buah rimba. Mau Bapak
satu buah mancina lagi?”
“Saya hanya mau bertatap muka dengan Dasa Laksana. Hanya karena terhalang
oleh rasa respect padamulah maka seluruh perkelahian dengan dia dulu saya
akhiri dengan kekalahan saya”.
“Bapak mengira saya tak mengetahuinya. Bapak sebetulnya bisa meremukkan
dia. Saya tau itu ... “
Untuk pertama kali, kecemburuan Gumara yang berkobar berubah jadi senyuman
murni.
Keduanya berpandangan. Pita Loka sesak dadanya menahankan nafsu birahi yang
mengamuk-ngamuk dalam dada, tapi demikian pula Gumara. Ketika keduanya sama
bangkit pada puncak ketegangan oleh gairah, satu cahaya kilatan disertai
geledek membahana dengan dahsyat!
Satu batu amat besar jatuh dari arah atas guha sampai satu obor yang tadi
menyala padam seketika. Tinggal satu obor lagi yang menyala, membuat
suasana semakin mencekam.
“Ampuni saya. Tuhanku!” berseru Pita Loka, menyadari lintasan dosa, yang
hampir terjalin sekalipun sudah bergumul berkecamuk dalam pikirannya.
Gumara tak mengucapkan penyesalan, kecuali diam tertunduk, menyatakan rasa
bersalah hanya dalam kalbu. Rupanya. Kilatan sinar petir berbentuk aliran
listrik yang dahsyat itu muncul dari utara ke selatan. Hal ini dilihat oleh
Harwati maupun Ki Rotan. Harwati yang telapak kakinya berlubang sebesar
lidah manusia melangkah terseok-seok namun lincah ia menuju ke gubuk jerami
Ki Rotan. Ki Rotan melihat Ki Harwati melangkah pincang menuju dirinya.
“Apa yang kira-kira sedang terjadi?” tanya Ki Rotan.
“Bagai bola api itu jatuh di Bukit Selatan itu. Cahaya terang tampak
olehku, jelas jatuh di Bukit Berpayung atau Bukit Lebah!”
“Kalau begitu ada musibah di sana?” kata Ki Rotan bersemangat Ki Harwati
berkonsentrasi sejenak. Tongkatnya dia colok ke kaki kanannya yang
berlubang itu. Dia berkonsentrasi sejenak.
“Kukira begitu”, ujarnya setelah selesai berkonsentrasi.
“Apa yang kita lakukan?”
“Suatu malapetaka besar sedang terjadi di Guha Lebah”.
“Dari mana kau tahu, Ki Wati?”
“Dari ucapan Ki Pita Loka sendiri. Bukankah dia mempercayaiku, sewaktu aku
berguru padanya?”
“Lantas?”
“Dia mengatakan, suatu ketika ilmuku akan berakhir apabila ada bola api
membentur Bukit Lebah ini. Semua lebah akan jatuh di lantai guha bagai
anai-anai yang mati bergelimpangan. Waktu itu, kata Ki Pita Loka, seluruh
ilmu yang aku miliki akan habis”.
“Dia harus kita ambil sebelum jatuh ke tangan orang lain”, kata Ki Rotan.
“Tak semudah itu”, ujar Ki Harwati
“Jadi bagaimana caranya kita merebut ilmu Ki Pita Loka?”
Ki Wati menjawab: “Kecuali jika kita pergi ke Bukit Tunggal. Kita bergabung
dengan Guru Tua itu.”
“Kalau begitu mari kita ke Guru Tua”. kata Ki Rotan bersemangat.
“Tak mungkin saya membawa anda, Tuan Guru. Kedudukan anda, sekalipun bekas
guru saya, anda ini adalah murid saya”. kata Ki Harwati.
Ki Rotan kecewa. Lalu dia berkata: “Jika demikian keadaannya, maka baiklah
anda pergi sendiri. Tapi jangan lupakan saya. Saya murid anda, seluruh ilmu
yang baru anda dapatkan, berikan padaku”.
“Saya tak pernah akan lupakan jasa Ki Guru” , kata Ki Harwati. Lalu dengan
terlebih dulu mencolokkan ujung tongkatnya ke lubang kaki, dia Iantas
berkonsentrasi. Petir menyambar lagi, Ki Harwati mendongak ke langit. Dia
ikuti cahaya petir itu. Di tengah-tengah pajalanan bertempur dua buah garis
petir. Lalu terciptalah bola api yang amat terang. Bola api itu bagai
menggelinding menuju selatan dan tampak jelas menghantam Bukit Lebah yang
bentuknya seperti payung itu. Tak jelas apa yang terjadi selanjutnya karena
angin puting beliung menghantam dan memelintir kawasan Ki Rotan. Ki Harwati
tak tunggu lagi. Dalam basah kuyup deras hujan dia dalam sekelebatan sudah
hinggap di antara dahan pohon satu ke pohon lain.
Perjalanan dua setengah malam itu seakan-akan percuma. Guru Tua, Ki
Tunggal, yang dia harapkan dapat memberikan inspirasi dalam keadaan
terkapar. Agaknya dia sekarat.
“Tuan akan menemui ajal?” tanya Ki Wati.
“Benar. Aku sudah mendapatkan pertanda ngalamat, ketika dua hari yang lalu,
pada tengah malam kulihat bola api beterbangan dari Bukit Tunggal ini, di
antar oleh sang petir. Ya, di BuKit Lebah akan terjadi perang kebatinan
yang dahsyat untuk memperebutkan Kitab itu ... “
“Kitab? Kitab apa. Tuan Guru?”
“Itulah yang namanya Kitab Ketujuh. Kitab yang hanya ayahmu dan Ki Putih
Kelabu serta turunannya yang mengetahui namanya”
“Apa nama Kitab itu, Guru?”
“Namanya Kitab Makom Mahmuda”
“Saya pernah mendengarnya! Tapi cuma dalam mimpi! Coba anda berikan sisa
ilmu anda padaku, Tuan Guru. Biarpun sedikit, yaitu bahan yang saya tidak
punyai”.
“Semua berpangkal pada Tujuh Harimau”, kata Guru Tua sekarat itu.
Tapi sementara itu Ki Rotan menempuh jalan sendiri. Dia tak sabar menanti
kembalinya gurunya, Ki Harwati. Dia justru ingin mendahului Ki Wati menuju
ke Bukit Lebah karena terlanjur mengetahui sebagian rahasia yang telah dia
dengar dua setengah malam yang lalu.
Di padepokannya, Ki Tunggal meneteskan air mata setelah berbaring. Katanya
dengan sedih: “Tahukah kau, mengapa diriku jadi sial? Itu karena aku
meremajakan diriku! Dan mengawini anak perawan. si Senik itu!”
“Di mana beliau ... Ratu Senik. Ki Guru?”
“Setelah kamu berangkat dengan kuisi sedikit ilmu itu, dia cemburu padamu.
Maka aku tampil sebagai sosok tua keriput. Aku dimaki-makinya sebagai
lelaki tua tak tahu diri. Aku tak mengutuknya! Itulah salahku! Seorang guru
tak boleh mencintai apapun kecuali ilmu. Dia minggat. Tapi aku tahu dengan
siapa Ratu Senik akan mendapat teman. Dia akan menjadi lawan seluruh tujuh
manusia harimau di kemudian hari. Tapi ilmu yang akan kuberikan padamu
hanya satu kisah. Yaitu, setelah kematianku, akan lahir satu manusia
harimau. Dialah harimau ke delapan degan kelebihan ilmu dari yang lain yang
sudah mati atau yang masih hidup. Karena tujuh harimau terdahulu tidak
mendapatkan Kitab Tujuh itu, mungkin hanya dia satu-satunya!”
“Lalu?”
“Untuk mendapatkan Kitab itu, akan terjadi perang hebat. Mungkin ada yang
mati. Aku kuatir, jika kau kesana, kau terlibat dalam perang perebutan
Kitab Sakti itu”.
“Akibat lain?” tanya Ki Wati.
“Ada yang gila”.
“Tapi katakan pada saya, siapa pemilik Kitab tersebut? “
Ki Tua berdiam sedih. Dia tidak diperkenankan menyatakan siapa, kendati ia
tahu. sesuai dengan sumpahnya, apabila dia katakan maka dia akan mati dalam
keadaan mengerikan. Bukan mati sebagai manusia. Tapi mati dalam bentuk:
bangkai harimau.
“Kurasa, aku sudah dekat”, kata Ki Tunggal.
“Nanti dulu, Ki Guru!”
“Nyawa tak bisa di tunda”. Ujar si Tua itu yang menggelepar sesaat lalu
mengaum bagai macan dan kemudian, dalam keadaan tangan terlipat, beliau
masih membaca-baca sesuatu, bergelepar sejenak. Dan nafasnya pun terhenti.
Karena kesal dan sedih. Ki Wati menangis menggero-gero sampai pingsan
beberapa saat. Dia seakan-akan orang yang mendapatkan satu kesempatan manis
namun terlepas.
Dan keberangkatannya yang mestinya segera itu harus tertunda. Betapapun,
gurunya yang terakhir adalah Ki Tunggal!. Seorang guru harus dihormati. Dan
seorang guru yang disaksikan mati, harus dikuburkan secara layak. Dalam
hujan lebat itu juga, Ki Wati mengambil cangkul...
Dia memilih tempat yang paling mudah dikenal, yaitu di bawah satu pohon
yang berbunga harum. Berdaun harum. Berbatang harum. Yakni pohon cendana.
Pacul menghantam tanah yang becek itu.
Ketinggian ilmunya menyebabkan ringkasnya pekerjaan menggali lubang kubur
itu. Tetapi tiba-tiba bulu romanya merinding, entah mengapa. Hujan henti
seketika, berganti gerimis kecil. Dan pemandangan di sekitarnya bukan
seperti di kawasan Bukit Tunggul lagi, melainkan di satu pertanahan kuburan
yang begitu banyak disekeliling. Satu-satunya yang tak berubah adalah pohon
cendana itu.
Latu Ki Wati yang semestinya tak punya rasa takut itu, mendadak takut
karena melihat samar-samar satu sosok berjubah makin dekat dan makin dekat.
Lidah Ki Wati akan berteriak, namun kelu. Suara pun tersekat di
kerongkongan.
Orang berjubah itu tinggi besar. Makin dekat makin tinggi.
Dan ... wajahnya tampak rata.
Bulu roma Ki Wati makin merinding, karena tiba-tiba orang itu berkata:
“Pinjam cangkulmu. Orang sakti seperti beliau, kuburannya harus dalam. Ada
nanti yang jahat menggali kuburan ini, mengambil satu dua helai rambut
beliau “.
“Siapa anda?” tanya Ki Wati mulai berani.
“Aku bekas muridnya. Karena durhaka pada Guru, pada beliau, aku bertanding.
Senjatanya yang ampuh, yaitu Pedang Raja Turki, telah membabat wajahku
hingga rata. Aku bukan manusia lagi, bukan setan ataupun jin!”
Orang misterius itu mencangkul. Begitu cekatan, bertambah lagi dalam lubang
itu tujuh hasta. Ketika cangkul diserahkannya kembali, Ki Wati terjengkang
ke belakang karena melihat wajah itu mirip harimau luka yang mengaum
dahsyat. Entah bagaimana sosok harimau itu berlalu dari situ.
Ki Wati teringat Pedang Raja Turki itu. Namun dia harus menguburkan Sang
Guru terlebih dahulu. Ringkas sekali waktu penguburan oleh sang murid.
Baru setelah itu, Ki Harwati menggeledah rumah. Dia menemukan pedang yang
istimewa, adanya dalam salah satu tiang bambu. Dengan pedang itu, dia
merasa tongkatnya tak ada arti lagi. Pedang itulah yang disandangnya pergi.
Dan, di Guha Lebah memanglah sedang terjadi satu malapetaka dahsyat. Ki
Pita Loka dengan wajah sedih menyaksikan lebah-lebah piaraannya yang setia
selama ini begitu panik. Mereka tak bisa keluar karena sebuah batu raksasa
jatuh tepat di depan pintu guha. Lebah-lebah itu mencari jalan keluar
dengan kalap. Mereka menerjang atap guha, tapi lantas jatuh berguguran.
Dalam sinar satu obor kayu karet itu, tampaklah lebah-lebah itu jatuh
seratus demi seratus ekor. Mereka berguguran.
Gumara sendiri duduk terpaku pada kursi batu seperti orang tolol. Apa yang
dicarinya, sesuai dengan peutunjuk Ki Ibrahim Arkam berdasarkan takwil
mimpi, sepertinya cuma berita bohong. Kitab Makom Mahmuda justru tidak ada.
Bahkan Pita Loka sudah bersumpah, bahwa dia tidak memiliki Kitab sakti itu.
Yang terjadi justru sebaliknya!
Tirai stanggi yang konon merupakan dinding lingkaran asap yang selama ini
jadi kisah kesaktian Pita Loka dari mulut para guru-guru besar, malahan
tidak mengeluarkan bau stanggi lagi. Memang asap itu ada. Dan Gumara
menyaksikannya. Asap itu mengepul dari dasar lantai guha. Namun tidak
mengeluarkan bau stanggi. Asap itu malahan menyesakkan nafas. Sebab bau
yang dipancarkannya berupa bau belerang.
“Bagaimana jalan keluar kita?” tanya Gumara.
“Kita sedang terkurung. Sejak meteor jatuh dari angkasa luar menutupi pintu
guha, kita seakan-akan siap untuk mati terkurung”, kata Ki Pita Loka.
Gumara yang dirinya kelihatan berubah menjadi tolol, lalu bertanya;
“Bagaimana nasib Dasa Laksana?”
“Persetan dengan dia”, kata Pita Loka.
“Persetan? Kalau begitu kau membenci dia!”
“Ya!”
“Kukira kalian berdua sudah melangsungkan ikatan”.
“Dia biang keladi bencana ini. Seorang manusia kota yang moderen, telah
mencemarkan kebersihan ilmu kebatinan”.
“Lalu, yang kau maksud kamarnya?” tanya Gumara.
“ Lihat sendiri saja”, kata Pita Loka.
“Boleh aku bertatap muka dengan dia?”
“Silahkan”, kata Pita Loka.
Gumara bertanya lagi: “Tunjuki padaku tempat di mana dia berada. Tampaknya
kamu sangat merahasiakan”.
“Itu. Di Sana. Sekarang tak ada kamus rahasia lagi”, kata Ki Pita Loka.
Gumara menuju ke tempat telunjuk Ki Pita Loka tertuju. Ada satu lorong
sempit Makin Gumara masuk, makin terasa bau amis. Seperti bau bangkai ular!
Tak ada penerangan ke sana. Jadi Gumara mesti meraba-raba dinding lorong
itu.
Lalu Gumera merasakan jalan ke sana licin. Berkali-kali hampir tergelincir
dia, Sementara itu bau amis semakin mendahsyat. Gumara ingin tahu sumber
bau itu. Dia tergelincir lagi sebab sepatu karetnya harus menginjak benda
licin. Gumara lantas berhenti melangkah. Dia berjongkok. Dan dirabanya
penyebab ia terpeleset sebab licinnya.
Begitu dirabanya lantai guha yang licin itu, dia merasakan semacam sisik
ular.
Untunglah dia tak menjerit. Cuma bulu romanya meremang. dia melanjutkan
perjalanan. Tampak ada sedikit cahaya obor. Ini membuat Gumara ingin tahu.
Semakin terang cahaya itu, semakin besar rasa ingin tahu Gumara, mengapa
ada semacam ular di lantai guha yang bikin dia terpeleset lagi!
Ular!
Benar-benar bangkai ribuan ular di lantai itu! Ular-ular yang jumlahnya
begitu banyak, rupanya baru saja mati. Ular itu mati keracunan asap
belerang yang memang memenuhi lorong yang sedang dilewati Gumara.
Terdengar suara: “Siapa itu”“
Suara itu dari lorong yang ke kiri. Gumara menoleh ke suara itu. Barulah
tampak olehnya, Dasa Laksana, dalam keadaan dirantai. Tubuhnya tinggal
tulang di balut kulit. Bibirnya kering. Matanya menonjol keluar. Dan
rupanya dia barusan saja makan bangkai ular.
“Aku Gumara yang pernah anda kalahkan”, kata Gumara.” Mengapa anda dirantai
begini?”
“Aku dalam belajar dengan Ki Pita Loka. Lalu mendadak nafsu birahiku timbul
dalam suatu upacara kenaikan tingkat ilmu yang kupelajari darinya. Aku
mencoba memperkosanya. Tapi gagal. Lalu aku dibantingnya sampai pingsan.
Dan kudapati diriku di sini, diawasi oleh ratusan dan ribuan ular berbisa,
dalam keadaan dirantai”“
“Tahukah anda apa yang sedang terjadi?” tanya Gumara.
“Aku tahu” ujar Dasa Laksana, “Aku kehilangan daya. Bencana ini tiba akibat
kutukan. Kutukan dari langit. Ketika meteor itu dua kali membentur Bukit
Lebah ini, kukira aku akan mati. Tapi tolonglah aku kini!”
Gumara kehilangan akal. Lalu dia dengar ucapan Dasa Laksana: “Tahukah anda,
saya mencoba memperkosa Ki Pita Loka berdasarkan mimpi?”
“Kau juga termasuk percaya takwil mimpi?” tanya Gumara.
““Yah, sudah terlanjur terlibat dalam dunia asing ini ...begitulah! Aku
bermimpi ketemu orangtua yang bernama Ki Rotan. Mimpi itu selanjutnya
menyatakan. agar aku menyetubuhi Ki Pita Loka agar mendapatkan tuah. Ilmu
Ki Pita Loka akan sendirinya kupunyai bila berhasil menyetubuhinya.
Nyatanya ... itu semua godaan”.
Lalu mendadak, amat mengejutkan, terdengar suara gemuruh! Gumara maupun
Dasa Laksana sama menjerit. Satu kesan bahwa ada cahaya di lorong kanan itu
sudah jelas.
Ya, cahaya dari arah selatan. Dari lorong mati. Lalu muncul bayang-bayang
setelah setengah jam Gumara dan Dasa Laksana terpana bisu. Kebisuan itu
terpecahkan oleh bunyi langkah orang mendekat Dari bayangan yang timbul
bergerak di dinding lorong kanan itu, tampak bahwa manusia yang bergerak
masuk itu memegang tongkat.
“Itu orang yang kulihat dalam mimpi!” seru Dasa Laksana tak tahan, meronta.
“Ki Rotan”, bisik Gumara.
Gumara segera berkonsantrasi karena merasa dalam bahaya.
Aneh? Biasanya jika dia berdzikir,,,, dia merasa ada getaran gelombang
masuk ke dalam dirinya! Kali ini tidak ada getaran.
Ia seperti bocah yang ketakutan sewaktu Ki Rotan mendekat wajah Ki Rotan
jadi buas. Gumara dan Dasa Laksana sama mengkeret takut. Ki Rotan
mengayunkan tongkat. Lalu disabetnya tubuh Gumara.
Gumara menjerit lantang.
Lalu Ki Rotan berkata. “Kini giliran akulah yang akan memiliki Kitab Sakti
itu! Mana Ki Pita Loka!”
Gumara tak menjawab. Satu sabetan tongkat itu telah membuat dia tersungkur
mencium bangkai ular dalam keadaan pingsan. Dasa Laksana Tak berkutik. Dia
hanya menyerahkan diri atas kekuasaan apapun yang akan melangkahinya. Tapi
sikap penyerahan ini pulalah yang membuat Dasa Laksana merasa dirinya diisi
oleh satu kekuatan. Tubuh yang loyo berbalut kulit tipis itu seakan-akan
merasa dirinya kuat. Dia lihat tangannya yang dirantai dengan rantai besi
itu. Dia coba merenggut rantai itu dengan membuka kedua tangan! Bunyi
gemerincing rantai besi putus, membuat Dasa Laksana heran sendiri. Dan Ki
Rotan yang sudah menuju ke dalam, menoleh. Dia kaget sekali karena melihat
tokoh lemah yang tadi dibentaknya, berdiri tegap.
Senjatanya rantai besi yang terjurai di tangan kiri. Dia tampak begitu
mengerikan, sehingga Ki Rotan bukan bersikap mau menyerang, melainkan
bertahan. Dia memutar-mutar rantai besi itu di atas kepalanya, sebagai
acuan akan menjerat Ki Rotan.
Ki Rotan mencoba menangkis dengan tongkatnya ketika rantai itu hampir
menjerat lehernya. Tongkat itu patah, tapi membuat bentuknya mirip tombak
runcing.
Ki Rotan menyerang dengan suara teriakan dahsyat. Suara teriak ini yang
menyadarkan Ki Pita Loka dari lamunan sedihnya menatapi tirai asap stanggi
di depannya yang berubah bau menjadi bau belerang.
“Hai, hentikan perkelahian itu!” ujarPita Loka melihat terjadi pergumulam
seru di lorong itu. Suara lantang Ki Pita Loka, membuat Gumara yang baru
siuman dari pingsannya segera berdiri. Dia berbeda dari Gumara yang biasa.
Dia jadi beringas karena munculnya satu kekuatan dahsyat. Dia melompat
menerkam dua orang yang sedang beradu kuat itu.
Satu cakaran mengoyak muka Ki Rotan. Dan satu cakaran lagi mengoyak muka
Dasa Laksana. Dua-duanya menjerit hebat kesakitan. Tapi dua-duanya pun
mundur ke dalam, bahkan Ki Rotan ketika mundur membentur tubuh Pita Loka
yang berdiri tercengang.
Perkelahian seru terjadi. Kini Ki Rotan sudah kerjasama dengan Dasa Laksana
karena naluri mendadak. Dua-duanya mengeroyok Gumara. Satu belitan rantai
yang dipecut Dasa Laksana membelit leher Gumara. Tapi dia mengaum sehingga
belitan itu lepas. Kaki kiri Gumara menendang tegak lurus menghantam Ki
Rotan yang meloncat mau menerjangnya. Dia tendangkan ke kanan mengenai
leher Dasa Laksana sehingga orang ini terjungkal.
Pita Loka tampaknya bengong. Tiap dia membangkitkan perkataan khas dari
ilmu saktinya, sedikitpun tak ada kekuatan lagi. Gumara tampak menerkam dua
lawannya dengan cakaran ketat lalu melempar tubuh dua lawan itu ke arah
pintu guha. Teriak teriak serentak dari tiga mulut kedengaran mengalahkan
suara benturan tubuh dua lawan Gumara itu.Batu langit itu kehilangan daya
tahan, lalu bergulingan menciptakan suara amat gemuruh. Ketika batu besar
itu mencebur ke dalam sungai, terdengar satu kali lagi bunyi gemuruh.
Pita Loka menuju pintu untuk menyaksikan lanjutan perkelahian itu.
Pita Loka tercengang karena Gumara yang melompat membabi buta itu ternyata
berbentuk harimau mengerikan. Dengan buas Ki Rotan kena cakar sehingga satu
biji matanya terkelupas. Dalam keaadan buta sebelah itu Ki Rotan melarikan
diri. Tinggal Dasa Laksana yang wajahnya penuh gores cakaran itu masih
menggunakan berbagai cara. Satu pohon dia cabut, dan dia ayunkan menghantam
seekor harimau ganas yang akan menerkamnya. Ia tak mengetahui pohon apa
itu. Tapi jelas, ketika ayunan pukulan itu tepat mengenai kepala, Gumara
berteriak dan dirinya terjungkal, berubah bentuk dari bentuk harimau jadi
manusia biasa.
Dasa Laksana kalap.
Tapi dia Justru tak tahu lagi apa yang mesti diperbuat. Mendadak sontak dia
melolong keras. Suaranya membahana membentur tujuh buah bukit juga di
dengar oleh Ki Harwarti yang barusan sadar dari pingsannya jatuh di jurang.
Ki Harwati sedang akan menuju Guha Lebah. Tapi dia berpapasan dengan Ki
Rotan yang satu matanya sudah copot.
Mulanya Ki Harwati siap mau menebas Ki Rotan sebab curiga. Pedanq Raja
Turki sudah disiapkannya akan menebas leher muridnya yang khianat itu. Tapi
ucapan Ki Rotan menyadarkan dirinya.
“Bahaya anda ke Guha Lebah. Semua menjelma serentak berubah!”, ujar Ki
Rlotan, Ki Harwati malahan menjadi bersemangat. Dia mendapat kekuatan batin
justru setelah mendengar ucapan Ki Rotan. Dia melompat ke sebuah dahan,
lalu mendapatkan tenaga untuk terbang dan bergelayutan kian kemari dari
pohon ke pohon. Lalu, ketika ia menclok di sebuah dahan, dilihatnya di
bawah ada seorang pria melolong. Pakaiannya dalam safari pemburu. Orang itu
mungkin pemburu gila. Tapi ditangan kirinya ada rantai yang selalu dia
ayun-ayunkan. Ah, tentu dia mau mencari lawan, fikir Ki Wati. Ki Wati
meloncat ke bawah disertai teriakan. Dan seketika itu juga Dasa Laksana
melolong sembari mengayun-ayunkan rantainya. Jebakan jerat rantai itu tiap
sejenak tertabrakan dengan mata pedang yang menimbulkan bunyi gemerincing.
Pita Loka, yang kelihatannya seperti kurang ingatan, masih berdiri di pintu
Guha Lebah yang tak ada lebahnya lagi. Tiba-tiba saja dia melihat
serombongan manusia. Mereka tampak lelah dari perjalanan yang jauh. Dan
begitu melihat wanita berikat kepala, kepala rombongan itu berseru: “Itu
dia Ki Pita Loka!” Pita Loka!”
Setelah mendekati Pita Loka, yang tertua berkata: “Saya Tongga Agun, kepala
desa yang baru”
“Desa apa?”
“Desa Kumayan”. Desa itu kini tertimpa musibah. Seluruh penduduk sakit,
termasuk ayah anda Ki Putih Kelabu. Hanya anda yang dapat menyembuhkannya!”
Pita Loka pada mulanya tak ingat lagi nama desa Kumayan.Tetapi setelah
mendengar nama Ki Putih Kelabu. Hilang ingatannya berubah. Ya, kini dia
sadar.
“Musibah apa tuan Tongga?” Tanya Pita Loka.
“Lebah-lebah menyerbu sewaktu batu langit meluncur menimpa jalanan depan
rumah anda. Batu itu menciptakan lubang. Dari lubang itu mendadak saja
keluar asap. Dan dari asap itu mendadak saja keluar lebah-lebah yang ribuan
jumlahnya. Tiap penduduk terkena sengatan lebah itu. Dan seluruh desa
Kumayan kini menderita sakit. Saya disuruh ke sini, karena kata ayah anda,
anda memiliki ilmu penakluk lebah berdasarkan primbon harimau”.
Semangat membela kampung halaman itu bergelora dalam jiwa Pita Loka, yang
sebengrnya sudah hampir rontok seluruhnya. Tapi begitu dia melangkah
sebentar, satu teriakan dahsyat muncul dari pohon kecapi. Ki Harwati secara
tiba-tiba sudah mengayun-ayunkan pedang Raja Turki yang sudah berlumuran
darah. Ki Pita Loka mundur, mundur. memberi aba-aba kepada utusan desa
Kumayan agar melarikan diri.
“Berikan Kitab Sakti itu padaku sekarang. Sebelum darahmu mengalir seperti
darah kekasihmu. Dasa Laksana!” bentak Ki Harwati.
“Dia tak memiliki Kitab Sakti itu, adikku!” Terdengar suara dari balik
semak. yang ternyata Gumara.
Ucapan Gumara ini membuat Ki Harwati kalap. Dia membentak: “Diam kau! Masih
juga kau membela gadis yang kau cintai ini?”
Satu ayunan pedang seketika itu juga akan menebas leher Gumara, andaikata
dia tidak cepat tunduk. Gumara dalam sekejap berubah menjadi seekor harimau
beringas.
Dia terkam dengan cakarnya wajah Harwati, tetapi bukan wajah itu yang
terpegang melainkan pedang itu. Anehnya, dalam sekejap Gumara berubah
kembali dari bentuk harimaunya menjadi Gumara biasa. Pedang itu sepertinya
bergerak dalam genggamannya, lalu ketika dia mencoba menebas Harwati,
pedang itu melingkar lepas berupa benda melayang ke udara... dan jatuh
tepat di atas Bukit Lebah. Satu suara nyaring bagai petir disertai kilatan
bagai arus lirik terdengar. Gumara bersama Harwati menyerbu serentak masuk
ke Guha itu. Pita Loka hanya tercengang dan bekata: “Ayoh tuan-tuan, kita
cepat lari sekarang menuju Kumayan!”
Sementara itu Gumara dan Harwati sama mengerem langkahnya. Karena tepat
pada tempat asap stanggi berupa lingkaran sebelumnya yang berubah bau
belerang mendadak ambles. Lingkaran itu berbentuk sumur yang dalam. Gumara
tiba-tiba berseru: “Itu pedangmu menancap diatas permukaan air mendidih di
dalam itu “
Ucapannya menimbulkan gema.
Ki Harwati menoleh pada Gumara. Matanya berbinar penuh nafsu. Dan dia
berkata: “Kakak, aku mencintai anda lahir dan batin!”
Gumara berkata: “Kau ingin mendapat kutukan?”
Gumara berteriak: “Lihat! Itulah Kitab yang selama ini kucari!”
Harwati menjenguk ke sumur di bawah itu. Di antara air mendidih itu, dia
memang melihat sebentuk Kitab yang mengambang, bergeletar mengikuti air
mendidih. Hampir saja dia dengan kalap akan menerjuni sumur itu, untung
saja lengannya dipegang oleh Gumara.
Mendapat bantuan begitu, Ki Wati jadi bernafsu. Dia memeluk Gumara dan
berkata: “Mari kita mengasingkan diri sehagai suami isteri. Kau toh dari
Ibu yang lain, kendati kita dari ayah yang sama”
“Kuhormati cintamu padaku, adikku! Tapi kita sama-sama satu darah. Kita
dari titisan air mani Ki Karat. Dan kita terkutuk jika menjadi laki bini!”
“Kalau kita sudah hidup terasing dari dunia ramai, siapa yang akan mengerti
asal usul kita?”.
Ki Harwati dengan kesetanan memeluk Gumara. Tapi Gumara mencoba melawan
nafsu iblis adik tirinya itu, dan tanpa sengaja mendorong tubuh adiknya itu
masuk ke sumur.
Ki Harwati berteriak melolong. Ini membuat Gumara kalap. Ilmunya menjalari
darahnya. Getaran demi getaran dirasanya Lalu dia mengaum dahsyat berubah
bentuk menjadi harimau beringas. Namun telap saja dia berputar-putar
mengelilingi sumur mendidih itu. Hanya berputar-putar. Dan berputar-putar
sampai matahari tenggelam dan terbit lagi dan tenggelam lagi.
Ki Pita Loka memasuki Desa Kumayan dengan langkah perkasa diiringi oleh
sepuluh orang penjemputnya. Dia tidak lagi tolol seperti pertama kali
ditemukan. Seluruh desa bagaikan mati. Di sana sini lebah-lebah
mendengungkan suara. Lebah-lebah itu kini berkumpul seperti sebuah iringiringan skuadron. Ki Pita Loka segera sadar, ilmunya bukan hilang oleh
musibah bukit Lebah. Dia sampai di depan rumahnya, menatapi lubang besar
jatuhnya batu meteor itu. Di hadapan ayahnya yang bengkak-bengkak itu Ki
Pita Loka berkata agung: “Lebah-lebah ini seluruhnya akan aku hukum! “


TAMAT

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler