Skip to Content

TUKANG PIJAT (2)

Foto Hakimi Sarlan Rasyid

Agar leluasa kain yang menutupi betisnya disingkap hampir ke setengah paha. Gemetarku sudah jauh berkurang. Rasa takutku hampir hilang. Namun melihat pemandangan baru ini ruang baru yang kubuat kembali menjadi sempit. Aneh tak aneh terjadi. Ada perasaan menekan di kepalaku yang dibarengi dengan sesuatu terjadi di kandang burung.

Menit demi menit mulai jadi keheningan. Perasaan yang berkecamuk mendorong aku mengubah pijatan dengan usapan-usapan khusus. Ketika usapan dan pijatan itu sampai di wilayah tertentu ada erangan rasa nyaman kudengar.

Suasana baru benar lega setelah hampir setengah jam. Lega sekali karena sudah mulai ada percakapan. Suasana bisu pecah dengan pernyataan lembut berisi pujian.

Aku mendapat pujian pandai memijat. Aku menjawab belajar dari bapakku sendiri. Bapakku ada di perantauan. Disini aku menumpang di rumah saudara. Aku (amit-amit) buta sejak kecil. Kata mak karena sakit. Aku menjawab dengan nada datar tapi gemetar juga.

Beberapa kali Bu Camat minta aku menunda pijatan. Dia mengira aku tidak melihat apa yang dilakukannya. Beberapa kali dia mengubah posisi tubuhnya untuk memandang wajahku. Dan aku tidak bereaksi. Kemudian dia tengkurap lagi.

Perpindahan dari betis dan paha ke bagian pinggul berakibat hampir fatal. Burung di kandang yang tadinya sudah agak tenang bergerak lagi.

Ada bagian yang tidak bisa aku ceritakan tentang apa yang terjadi pada malam itu. Apa yang dapat kulihat dari balik kacamata hitam yang kupakai untuk pura-pura buta dan menjadi tukang pijat. Aku ingin ceritakan kelanjutannya.

Bahwa aku dapat uang tentu saja. Malam itu aku diberi uang upahku memijat. Sumpah, meski tidak diberi uang aku rela. Saat ketika ia bangkit dari tikar mengambil dompet dari meja makan dan membuka dompet itu di depanku. Bukan uang yang jadi pusat perhatianku tapi tarian yang kulihat. Ia berdiri lepas bebas. Hanya kain yang menutupi badannya, atasnya terbuka.

Ketika menerima uang sengaja aku salahkan mengambil. Bukan hanya uang yang kuambil tapi sekalian aku memegang tangannya. Bu Camat tampak kaget lalu memandang wajahku. Aku tegar. Kali yang kedua baru aku ambil uangnya. Itupun masih sempat aku menyentuh jemarinya.

Aku diantar pulang.

Beberapa malam kemudian ketika aku duduk-duduk di teras dengan seorang sesepuh, ada yang datang bersepeda.

Sepulang dari Bangka ke kampung halaman aku berfaul bebas. Maksudku aku tidak membatasi hanya dengan yang seusia denganku tapi dengan mereka yang sudah sepuh atau sesepuh.

Mang Ending adalah salah seorang sesepuh. Usianya agak jauh di atasku tapi belum begitu tua. Nah, ketika aku sedang ngobrol berdua dengan Mang Ending, yang datang bersepeda itu turun menghampiri, bersalaman, dan duduk setelah dihaturi. Mang Ending memperkenalkan aku kepadanya dan Mang Ending berkata kepadaku bahwa orang tersebut adalah upas kecamatan.

Ditanya dari mana dan ada keperluan apa, tamu itu menjawab panjang lebar. Bahwa dia sedang mencari seseorang. Orang itu adalah tukang pijat. Kabarnya tukang pijat itu adalah warga Bakansewi. Dia disuruh oleh Bu Camat. Bu Camat tidak enak badan (teu ngareunah awak). Satu setengah hari mencari tidak ketemu.

Untung terdengar bunyi beduk. Aku buru-buru permisi untuk ke tajug. Aku tinggalkan mereka. Langkah upas menelusuri Si Buta Dari Bakansewi tinggal selangkah lagi. Mundur dari arena obrolan itu adalah yang terbaik menurutku.

Di tajug sudah ada beberapa orang. Aku wudhu. Alamak. Mang Ending datang bersama upas. Ternyata Mang Emding yang akan mengimami shalat. Mang Ending dan upas wudhu. Aku mencuri pandang wajah upas. Dan aku kaget ketika upas juga memandang tajam mataku.

Tadinya selesai shalat aku akan segera keluar dari tajug. Namum niatku terhambat oleh bisikan Mang Ending sebelum mengimami, tunggu katanya, Ada yang akan dibicarakan. Aku tidak bisa mengelak.

Selesai shalat Pak Upas langsung pergi dan sambil memakai sepatu sempat sekilat menatap tajam lagi. Mang Ending memberi isyarat agar aku mengikutinya. Lewat jalan belakang aku mengikutinya. Sama sekali tidak bicara sampai dia menyuruhku duduk setiba di dapur.

Kami berhadapan sila. Dua cangkir kopi sudah siap. Bikinan Bi E. Melihat keseriusan Mang Ending semuanya pergi meninggalkan kami berdua di dapur.

Aku sudah siap menghadapi segala kemungkinan yang ada. Aku sudah memutuskan untuk mengaku saja bahwa akulah tukang pijat itu. Sekaligus aku minta perlindungan dari Mang Ending andai terjadi sesuatu. Ada kesalahan fatal yang aku lakukan. Ketika mencoba dekat dengan tukang pijat asli aku membuka diri tentang baru pulang dari perantauan. Juga kesalahan menyebut nama bapakku. Aku goblok.

Aku tidak berbakat jadi ditektif.

Mang Ending seperti bingung dan aku sama sekali tidak bicara. Aku menunggu saja.

Setelah menarik nafas panjang sambil membuka kopiahnya Mang Ending memulai.

“Mamang bingung harus dari mana memulai obrolan kita,” demikian ia berkata. Kemudian suasana hening. Desir angin luluh oleh suara bebek dari kandang.

Aku menguatkan hati, mencari kalimat untuk menjawabnya. Setelah beberapa pertimbangan akhirnya aku menemukan kaimatnya.

“Saya salah Mang. Apakah Mamang bisa membantu saya keluar dari masalah ini?”

Aku tembak langsung saja. Tentu saja aku berpikir tentang keselamatanku agar masalah ini tidak berbuntut panjang. Dan barangkali saja ketokohannya bisa kulibatkan.

Mang Ending diam. Tajam menatap mataku. Ia menengok kiri kanan kemudian mengambil kipas dapur lalu mengipasi badannya.

“Kesalahan besar saya adalah mengaku baru pukang dari rantau. Di kampung saya rasa hanya saya yang begitu,” aku melanjutkan. “Jadi mudah untuk dilacak oleh Pak Upas.”

Mang Ending mengubah silanya. Ia menyandar ke dinding dan menyelonjorkan kaki.

“Begini,” katanya sambil menyulut rokok.”mamang tanya ya, malam itu apakah Pak Camat ada?”

“Ada Mang, tapi sebelum saya selesai dia sudah masuk ke kamar. Sampai saya pulang dia tidak keluar.” jawabku. “Mmmm … tadi Pak Upas bertanya apa saja Mang?” aku melanjutkan.

“Jangan khawatir tentang upas. Bahkan tentang kejadian malam itu kau tidak usah khawatir.”

“Mmm …. Aman Mang?

“Bisa aman bisa tidak.” 

Kami sama-sama diam. Aku masih bingung. Kemana arah Mang Ending sebenarnya. Lalu sambil kembali bersila dia melajutkan.

“Sebenarnya yang ingin Mamang dengar bukan masalah itu. Mamang ingin mendengar cerita lengkap bagaimana pengalamanmu memijat Bu Camat malam itu … Jangan ada yang kau lewatkan ….

Aku tidak menunggu lama. Setelah menyeruput kopi yang sudah tidak panas lagi aku bercerita.


Kotabaru_Karawang_202004010829

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler