Skip to Content

Umar Bakri Cuma Guru Honor

Foto umar mansyur

KANTUK masih bergelayut di kepala, melanjutkan megah mimpi yang sementara berkisah tentang keheroikan sang tanpa tanda jasa. Lakonnya, aku seorang guru muda mendadak populer dengan video lipsyinc di youtube. Seketika terkenal, diarak keliling sekabupaten menggunakan mobil berpelat merah milik kepala dinas pendidikan pemuda dan olahraga. Menerima banyak tawaran show, menginap di hotel-hotel berbintang, dan dikejar-kejar banyak gadis-gadis. Pun kisah percintaanku menjadi sorotan para infotainment. Tak lupa aku mengajak kedua orang tuaku berangkat ke tanah suci dengan paket ONH plus.

Sekejap buyar oleh teriakan dari balik kamar, berceracau dengan bunyi alarm handphone yang sudah ditunda beberapa kali.

“Bangun, Nak, tililit..tililit.., cepat salat sana, tililit..tililit..!” ibuku memberi perintah.

“Iya, Bu, tililit..tililit.., saya sudah bangun, tililit..tililit..” sahutku setengah terjaga.

Seperti biasa, bangun kesiangan lagi. Kupacu sepeda motorku -yang masih dicicil- menapaki jalan-jalan yang meliuk-liuk mengikuti tepian bukit dengan cuaca yang masih gigil. Jalan yang kutempuh ke sekolah tempatku mengajar terlampau berbahaya lagi menyedihkan. Membutuhkan waktu sekitar enam puluh menit untuk bisa sampai ke sana. Medannya menanjak, membelah bukit demi bukit. Berserakan bebatuan cadas akibat longsor karena hujan sedari malam.

“Selamat pagi, Pak!” seragam suara, siswa serentak memberi sapa seperti siap pentas paduan suara.

“Pagi, anak-anak,” jawabku bijak lalu mengarahkan ketua kelas menyiapkan teman-temannya.

“Seluruhnya, duduk siaaap grak.”

Di sekolah itu tak ada sinyal telekomunikasi. Jadi teramat sulit untuk berinteraksi dengan para relasi, ataukah cuma sekadar berburu informasi tentang kabar hari ini. Hanya orang tua dengan kondisi keluarga tidak mampu saja yang menyekolahkan anak mereka di sana. Tak ada pilihan lain. Sekolah itu merupakan subsidi dari pemerintah yang bekerjasama dengan salah satu lembaga asing yang bergerak di bidang pendidikan.

“Tadi jam pertama kalian belajar apa?”

“Tidak ada, Pak!” sahut lantang ketua kelas.

“Guru-guru PNS itu mana?” tanyaku sedikit kesal.

Ketua kelas diam membatu. Sesekali bingung memalingkan pandangan ke teman-temannya, gamang.

“Tidak datangi, Pak. Sudah beberapa minggumi tidak masuk,” jawab seorang siswi di pojok belakang malu-malu menimpali.

***

“Engkau sarjana muda resah mencari kerja mengandalkan ijazahmu

Empat tahun lamanya bergelut dengan buku tuk jaminan masa depan”

Seperti itulah sepenggal lagu Iwan Fals membekas pedih di hati sanubariku. Tak kunjung menjadi seorang pegawai negeri, selepas wisuda sarjana pendidikan yang aku raih dengan penuh bangga beberapa waktu silam. Mungkin aku juga seperti beberapa orang lainnya. Masuk ke perguruan tinggi tanpa tahu dulu nanti mau jadi apa setelah tamat kuliah. Akibatnya, selepas wisuda kelabakan mencari kerja.

Pernah terbesit dalam pikiranku memasukkan berkas lamaran ke beberapa bank. Namun seketika ciut tersadar bahwa diriku tidak masuk dalam syarat ‘berpenampilan menarik’. Kemampuan berbahasa asingku amburadul. Pun pengetahuan mengelola microsof office juga demikian. Jadilah ijazah cuma formalitas semata. Menjadi guru di yayasan swasta pun agak sulit buatku. Banyak tes-tesnya di sana. Alasan yang sering mereka katakan, “maaf Anda kurang komunikatif dalam mengajar”.

Sekarang pun, menjadi seorang guru pegawai negeri terbilang susah. Mesti punya budget yang cukup untuk memuluskan jalan, mesti punya familly di pemerintahan daerah dan di dinas-dinas terkait, mesti mau mengurut dada tanda pasrah tak mampu berbuat apa-apa. Apalagi dengan kemampuan sekelas diriku. Intelegensi tak memadai ditambah keadaan keluarga yang cuma petani.

Suatu ketika aku ditawari seorang calo untuk menjadi seorang guru pegawai negeri pada saat pendaftaran CPNS daerah. Tawaran tarifnya pun bermacam-macam. Disesuaikan dengan SK penempatan sekolah nantinya. Apakah sekolahnya masuk kategori terjangkau ataukah kategori sekolah terpencil. Pilihan yang terakhir tadi biasanya ditempatkan di pegunungan daerah-daerah terpencil dan tertinggal. Ditempuh dengan beberapa hari perjalanan, menyebrangi sungai-sungai, dan tidak ada jaringan telekomunikasi.

Aku menimbang-nimbang tawaran itu. Orang tuaku telah bersepakat, berencana menggadaikan sawah beberapa petak warisan keluarga kepada orang lain. Kau tahu? Banyak orang tua sekampungku sangat menginginkan anak-anak mereka menjadi seorang pegawai negeri. Mereka sudah sangat bangga jika anak mereka telah mendapatkan status seperti itu. Meskipun harus menempuh jalan-jalan yang dilarang keras oleh KPK. Mereka hanya ingin anak-anak mereka sukses menjadi seorang guru dengan tunjungan sertifikasi yang menggiurkan, serta bahagia di hari tua dengan tunjangan pensiun yang menjanjikan.

Aku bingung mesti bagaimana. Di satu sisi, kalau sudah jadi guru PNS, aku ingin membahagiakan kedua orang tuaku dengan mendaftarkannya di bank perwakilan departemen agama sebagai daftar tunggu calon jemaah haji. Dengan jalan mengambil kredit dari bank dengan jaminan SK pengangkatanku nanti. Di sisi lain, aku juga tidak tega menggadaikan tanah persawahan ayahku. Kalau pun jadi digadaikan, itu pun baru separuh saja. Belum cukup untuk jadi tebusan jika tawaran menjadi guru itu aku terima. Sementara tidak ada istilah depe dalam hal joki pegawai negeri tersebut. Istilahnya, ada uang ada barang.

***

Kalau kalian pencinta Iwan Fals, tentu tahulah sosok Umar Bakri. Kebetulan namanya sama denganku. Aku hanya seorang guru honor, bukanlah guru yang sudah mempunyai nomor induk kepegawaian. Gajiku seadanya saja. Kadang dibayar setiap tiga bulan, atau cuma sekali dalam setiap satu semester.

Aku hanya mampu menjadi seorang guru honor di sebuah sekolah yang masuk kategori terpencil itu. Tak ada kepala sekolah di perkotaan yang mau menerimaku mengajar di tempatnya. Pun sudah beberapa kali aku mengikuti tes-tes penerimaan CPNS namun tak kunjung diterima juga. Tak tega aku menerima tawaran calo PNS itu, kasihan kedua orang tuaku.

Oleh pemerintah, telah banyak janji tentang kesejahteraan kami para guru honor. Kadang kami hanya dijadikan alat bagi mereka yang butuh kekuasaan. Ketika menjabat, lupalah mereka dengan janjinya. Berganti pimpinan berganti kebijakan. Nasib kami terombang-ambing, sesuka mereka memainkannya. Persetan dengan kalimat penggugah itu –pahlawan tanpa tanda jasa. Adakah yang seperti itu? Kisahnya mungkin hanya ada di tempat-tempat nun jauh di sana. Sebuah tempat yang masih steril dari pengaruh materi dan kekuasaan. (*)

Makassar, Maret 2012

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler