Skip to Content

URIP SEPISAN MATI SEPISAN (1)

Foto Hakimi Sarlan Rasyid

Urip sepisan mati sepisan artinya “hidup sekali mati sekali”. Kalimat ini mengandung dua keputusan nekad. Nekad bagus dan nekad jelek. Nekad jeleknya bunuh diri.

Banyak pilihan cara dan lokasi. Di rumah atau di luar rumah. Di tempat ramai atau di tempat sepi. Terjun bebas menukik dari jembatan layang atau terjun dengan leher terikat simpul tali mati. Telentang di rel kereta api atau menabrakkan diri ke mobil yang sedang melaju kencang.

Nekad bagus adalah menerima tantangan. Atau mematuhi tantangan. Tidak peduli tantangan itu mengandung resiko kesakitan yang bisa saja berakhir dengan kematian.

Jenis nekad yang kedua biasanya ada pada orang yang masih punya harapan untuk hari-hari mendatang yang baik. Nekad mematuhi tantangan dengan harapan besar simpul keruwetan yang sedikit lagi memecahkan dada akan terurai.

Rumah terjual untuk menutupi utang. Hasil penjualan rumah masih jauh daripada sisa utang. Mobil, motor, kebun, tanah semua sudah pindah tangan namun masih banyak persoalan.

Isteri pindah pelukan hanya dalam hitungan hari sejak kenal dengan lelaki selingkuhannya. Dan lelaki selingkuhannya adalah lelaki yang dibawanya ke rumah dalam rangka pembicaraan bisnis kecil-kecilan penyambung hidup sehari-hari.

Nerakanya sadis sekali. Ia memergoki isterinya telanjang bulat mengangkangkan dan mengangkat paha ke bahu si lelaki. Ia mendengar jelas erangan gairah isterinya dan dengusan nafas si lelaki menyelesaikan pendakian.

Dan ia hanya bisa diam. Ia kehilangan dirinya. Beban berat yang menimpanya telah mematikan nalurinya. Yang berkelebat dalam ingatannya adalah “aku telah berbuat seperti itu kepada isteri orang”. Tidak menunggu lama untuk menerima balasan.

Di ruang depan kamar kontrakan ia melihat si lelaki dan isterinya brsama keluar, ke kamar mandi bersama. Dan ia menunggu mereka lama sekali keluar dari kamar mandi.

Termenung dalam kehinaan diri sebagai lelaki dan sebagai suami di depan isteri dan selingkuhannya, temannya sendiri, meluluhlantakkan jiwanya yang sudah kerontang, hatinya yang retak pecah menjadi serpihan-serpihan kertas hangus terbakar.

Ia tidak berkutik ketika temannya, yang makan isterinya meletakkan lembaran-lembaran uang di meja. Dan ia hanya bisa melihat saja. Lidahnya kaku, hatinya bisu. Ia membesarkan hatinya sendiri, dalam kehinaannya, menerima uang itu sebagai modal untuk usaha yang akan dirintisnya guna menyambung hidup.

Hari hampir tengan malam ketika ia masuk ke kamar. Sejak lelaki itu pulang isterinya tidak keluar. Tergeletak di kasur busa, di lantai, istrinya berbaring menghadap ke dinding. Sama sekali tidah bereaksi ketika ia berbaring sambil menghela nafas panjang.

Lembaran uang dilempar berhamburan di depan wajah istrinya sambil berbicara perlahan. Ia tak mau membuat keributan yang hanya akan mengundang perhatian tetangga.

“Apa rencanamu dengan uang itu …,” ia menekan keinginannya untuk berbicara tentang apa yang dilihatnya tadi.

“Aku tidak mengubah rencanaku untuk bekerja sama dengan Butet,”

“Sebenarnya aku tidak setuju kau kerja sama dengan Butet.”

“Itu yang paling mudah yang bisa aku lakukan. Jualan matengan aku tidak bisa masak. Jualan kue keliling aku masih punya muka. Jual pakaian onlen tidak serta merta banyak langganan. Orang lain sudah banyak yang lebih dulu. Kalau dagang uang aku pastikan banyak orang yang butuh.”

“Ya, terserahlah. Hati-hati, jangan terlalu percaya. Zaman sekarang orang selalu mencari kesempatan berhutang dan mencari kesempatan untuk bisa tidak membayar utang.”

Sepi.

“Kau tahu, kita hancur-hancuran karena terlalu percaya kepada mulut manis.”

Sepi.

“Lagi pula aku merasa kau lebih berhak atas uang itu.”

Isterinya membalikkan badan. Berbisik menahan marah.

“Maksud Aa apa?”

Ia diam. Diamnya membuat isterinya beringas. Dari berbaring isterinya duduk bersila. Lelaki yang sedang hancur itu sempat melirik dada isterinya, Tidak ada lagi keindahan yang terlihat pada dua bukit di depan matanya. Ia melihat rambut isterinya yang masih lembab.

“Maksud Aa aku dapat uang itu karena aku menjual diriku kepada dia.”

Sepi.

“Aku wanita Aa, aku isterimu. Hari ini aku tidak bisa menahan. Berapa lama Aa meninggalkan aku. Siang malam, bukan seminggu A, bukan sebulan. Hampir dua tahun aku sendiri. Aa dimana.”

Sepi. Lelaki hancur itu membenarkan perkataan isterinya. Wanita kampung yang dinikahinya dua tahun lalu ini hanya menjadi hiasan rumah saja.

Tiga kali terdahulu cerai, Ini yang keempat. Sperti tiga wanita terdahulu, yang keempat ini sama terjebak dalam kekurang mampuannya menjadi suami. Ini rahasia pribadinya yang sangat dijaga agar tidak ada yang tahu selain wanita yang seranjang dengannya,

Ia lebih banyak sibuk di luar. Sibuk menjual tingkah seolah-olah dia gagah. Di kalangan teman bisnisnya sebagai pemborong ia mendapat sebutan Jago Tembak. Betapa tidak. Ia luar biasa, Ia sengaja menampakkan kepada teman-temannya tidur bersama anak-abak baru gede. Padahal semuanya hanyalah sandiwara. Anak-anak baru gede itu bisa disumpal dengan hape,

Kekurangan yang disembuyikannya membangkitkan energi lain. Ia sukses sebagai pemborong. Kesuksesan itu mengalirkan uang. Uang yang seperti hujan mendatangkan barang yang ia butuhkan, Ia tampil kaya.

Ketika lelaki hancur ini menemui aku, dia sudah dalam keadaan tersungkur. Mukanya sudah terbenam ke lumpur. Tangannya sudah terikat. kakinya sudah buntung, mulutnya sudah busuk, giginya sudah ompong.

Dia sudah tersungkur dari kehidupan mewahnya menari bersama setan-setan. Mukanya sudah terbenam ke lumpur, sudah tidak punya rasa malu lagi untuk singgah atau sengaja mendatangi teman sekedar untuk minta sebungkus rokok, atau sebatang rokok.

 

 

 

 

 

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler