Skip to Content

URIP SEPISAN MATI SEPISAN (2)

Foto Hakimi Sarlan Rasyid

Tangannya sudah terikat, tidak seorangpun yang mau memberinya pekerjaan padahal dia sudah mengemis, pekerjaan apa saja.

Kakinya sudah buntung tidak bisa melangkah lagi. Tak ada tempat lain dalam ingatannya selain bulak-balik di jalur yang ada dalam ingatannya. Mulutnya sudah busuk. Tidak ada yang mau berlama-lama berbicara dengan dia.

Bukan mulutnya bernanah tapi aura wajahnya yang tanpak hitam legam membuat orang lebih nyaman memberi uang lalu mengharapkan dia pergi. Giginya, terutama gigi taringnya sudah tanggal. Sudah tidak bisa lagi menyuruh orang lain. Tidak seperti dulu lagi ia bisa menyuruh puluhan anak buahnay untuk mengerjakan ini itu.

Aku menerima kedatangannya dengan hati menyimpan banyak pertanyaan. Aku tidak mengenalnya meski sama-sama tinggal di wilayah kecamatan.

Setelah mencurahkan isi hatinya dengan banyak bercerita, dan sebagian sebenarnya tidak usah diceritakannya, aku menyuruhnya pulang dengan kalimat yang jelas. Aku tidak berbasa-basi. Dan setelah itu aku tidak berbicara lagi.

“Sekarang pulanglah. Orang yang bisa membantumu hanyalah dirimu sendiri. Pulanglah.”

Matanya yang mati menjadi lebih mati. Beberapa detik dia menatap mataku untuk kemudian menunduk. Detik tatapannya padat dengan rasa putus asa. Ia tampak seperti dahan kering di tepi tebing. Dahan itu patah melayang ke jurang yang dalam. Jurang yang tak bisa diduga kedalamannya.

Dari waktu yang aku habiskan dengan dia ketika dia datang ke rumahku aku jadi tahu. Tahu hampir lengkap. Aku bisa bilang ceritanya benar semua. Dia tidak berbohong. Hatiku tidak mengeluarkan sinyal menolak.

Dia menikah pada usia 24 tahun. Wanita pertama yang dinikahinya beda umur 2 tahun, Mereka bercerai setelah menikah selama 2 tahun. Pada tahun perceraiannya, jadi pada usia 26 tahun dia menikahi wanita yang beda umur 4 tahun, Mereka bercerai setelah menikah selama 2 tahun. Pada tahun yang sama dia menikahi wanita yang beda usia 6 tahun. Bercerai lagi. Menduda 3 tahun dia menikahi Diyah, gadis kampung yang tidak punya posisi tawar di hadapannya suaminya yang saat menikah masih terbilang orang kaya

Diyah hanya tinggal menuruni masa suram suaminya. Turunnya seperti anak-anak berselancar di tebing licin. Sisa-sisa yang ada lepas begitu saja seperti pentil mangga yang kehujanan malam. Sore hari masih menggantung di tangkai paginya sudah tergeletak di tanah karena tangkai buahnya buruk kena hujan malam.

Aku merasa senang bisa membantainya menjadi lebih remuk lagi. Kalau ketika datang hatinya msaih berupa serpihan maka serpihan itu aku injak-injak menjadi remuk. Dan aku akan membuatnya lebih remuk lagi jika dia datang lagi.

Ada satu tanda atau ciri yang aku pada dirinya, Ciri itu adalah ciri kejujuran. Kalau saja ciri itu tidak ada aku tidak akan melayaninya bicara berjam-jam hanya untuk mendengar kisah konyol kegoblokannya.

Jujur. Itu yang aku suka pada semua orang. Jika ketika seseorang bicara lalu hatiku tidak mengeluarkan sinyal menolak maka aku akan bantu semampuku. Jika sedikit saja tampak atau terdengar ketidakjujuran aku tidak akan melayaninya lagi.

Menjelang maghrib, harinya sama dengan kedatangan pertama, ia datang. Matanya terlihat tenggelam. Kelopak matanya terlihat hitam. Bajunya masih sama. Ia tampak gemetar ketika akan duduk. Aku tinggalkan dia setelah aku menyodorkan segelas teh hangat manis dan segelas air putih.

“Silakan berbuka jika sudah adzan,” aku berkata kepadanya. Sekilat matanya memandangku kemudian menunduk lagi.

Ada yang berbisik dalam hatiku. Lelaki hancur ini sudah 3 hari tiga malam tidak makan tidak minum.  Lelaki ini sudah terlalu sakit.

Sepulang dari mesjid bubur ayam yang aku beli dari Mang Sobri aku tuangkan ke mangkuk dan kubuhi sendok. Aku bawa ke ruang depan. Aku suruh dia makan bubur. Dua gelas yang telah kosong aku bawa ke dapur. Salahsatunya aku isi lagi dengan air putih. Gelas teh hangat aku ganti dengan kopi.

Aku berhadapan dengan dia sekarang. Aku tidak bicara dan dia diam. Adzan isya aku ke mesjid lagi. Tidak jauh. Kemudian pulang dan kembali duduk berhadapan. Aku tidak bicara dan dia masih diam.

Setelah "sa’at”nya tiba aku buka suara. Aku berharap dia tidak memotong pembicaraanku.

“Kamu salah memilih orang. Aku bukan orang kaya yang dengan kekayaanku bisa mengembalikan apa-apa yang pernah menjadi milikmu. Jangankan harta benda berlimpah. Kursi yang ada di gubuk ini hanya ada dua. Satu untukmu dan satu untukku. Gula kopi tadi adalah terakhir yang ada, Jika tidak ada yang memberi besok pagi aku tidak minum kopi. Kamu salah pilih, aku bukan orang kaya.”

Dia masih diam. Aku menyuruhnya ke belakang. Dia ke belakang kemudiam masuk lagi. Rokok yang aku sodorkan diterimanya. Gemetar tangannya tampak ketika menyalakan korek api.

“Kamu salah pilih karena aku bukan  kiyai bukan ulama bukan ustadz bukan tukang ceramah. Aku hanya tusuk sate di tempat sampah. Apa yang sebenarnya yang kau inginkan.”

Untuk pertama kalinya pada malam pertemuan kedua itu dia bicara.

“Ada dua Pak,” katanya. “Pertama saya ingin melunasi hutang dan kedua saya ingin orang-orang yang berutang kepada saya cepat bayarnya.”

“Hanya itu? Coba pikir lagi sebelum kamu aku suruh pergi.”

Dia diam kemudian mengulangi jawabannya.

“Aku pernah bilang kemarin. Yang bisa menolong kamu hanya dirimu sendiri. Bagus sekali kamu sudah latihan tiga hari ini.?

“Sekarang kamu boleh pulang. Tidurlah di rumah. Jangan marah. Besok aku ke rumahmu. Kita bersama-sama pergi ke rumah dan tanahmu yang sudah terjual. Kau harus tunjukkan kepadaku tempat dimana kau mengubur jimat-jimat yang kau dapat dari mereka.”

Dia bangkit dari duduk. Siap pulang tapi sempat berucap “Bapak tahu di mana saya tinggal sekarang?”

Aku tidak menjawab. Aku suruh dia duduk lagi. Dan begitu dia duduk akupun membantainya.

“Diukur dari dosa, apa yang kau lakukan, oleh tanganmu, oleh mulutmu, sungguh dosa besar”.

Niat untuk membuat dia menjadi bukan hanya sekedar pecahan kaca tadinya tidak akan aku bongkar. Tetapi pertanyaannya kepadaku tentang dimana ia tinggal, bukan membuat aku merasa dianggap rendah. Sama sekali tidak. Pertanyaan ini adalah tanda dia masih ragu memilih aku sebagai orang yang bisa menolongnya. Sedikit saja ada keraguan maka tidak akan berhasil. Akan gagal total.

“Apa kau anggap tidak tahu bahwa kau sudah  pindah dari kamar kontrakan? Apa kau anggap tidak tahu bahwa pindah dari sana adalah keinginan istrimu? Apakah kau anggap tidak tahu bahwa uang untuk mengontrak rumah itu kau terima dari lelaki yang meniduri istrimu? Apakah kau anggap aku idak tahu bahwa uang itu diberikannya kepada kamu ketika untuk kesekian kalinya kamu memergoki mereka sedang telanjang mengadu nafas dan menahan nafas karena malu kepada tetangga. Istrimu ingin segera pindah dari situ karena malu kepada tetangga. Bukan takut.”

Dia diam. Dan aku larang dia bicara ketika tampak akan mengatakan sesuatu.

“Jangan salahkan isteri dan mereka yang telah kau cerai. Yang ada adalah ketidakjujuranmu terhadap diri sendiri. Kau tidak mampu sebagai lelaki membuat mereka lupa diri. Apa kau anggap aku tidak tahu bibir dan lidahmu yang hanya dipakai untuk menjilat? Atau jarimu yang kau pakai menusuk untuk membakar mereka. Kau bisa puas setelah celanamu basah. Kau enak sendiri. Tapi mereka tidak. Api yang kau tiupkan ke dalam hasrat mereka.”

“Kau jujur terhadap orang lain tapi tidak jujur terhadap diri sendiri. Kau bermain di ranjang dengan anak-anak. Kau raba mereka kau remas mereka kau jilat kau kecup hanya untuk kesenanganmu mendengar erangan atau desahan mereka sehingga celanamu basah.”

“Kalau saja malam itu kau hanya bermain dengan isterimu, yang ketiga, tidak sekaligus dengan mertua perempuanmu yang janda itu barangkali jalan hidupmu tidak akan separah ini. Aku tahu semuanya. Sekedau tempat tinggalmu sekarang apa susahnya buatku. Rumah kecil dua kamar dengan kamar mandi yang krannya tidak mengalir, aku tahu. Aku tahu. Aku tadi bilang kau pulanglah, jangan emosi. Kenapa? Karena isterimu di rumah sedang menikmati kegagahan lelaki yang bisa memberinya kepuasan dan de u i te ……… duit.”

Rupanya aku memang harus membantainya habis-habisam Sa,pai menjadi bubuk.

“Setan-setan yang kau tonton dalam film tidak kau sadari menggiring kamu berdua telanjang bulat, pindah dari kamar pribadimu ke kamar mertuamu yang janda itu. Bekas mertuamu dan isterimu dua-duanya sudah meninggal dunia ‘kan?

“Ya …Pak,”

Sepi.

“Sekarang pulanglah. Hitung langkah mulai dari pintu ini. Jangan menoleh kiri kanan belakang sebelum 144 langkah.”

 Aku mendahului berdirim mengantarnya ke pintu.

Aku menahan nafas sampai langkahnya yang ketujuh.

Malam merangkak.

Ada 3 tempat yang akan kami datangi. Pertama, rumah pertamanya yang sekarang dihuni oleh keluarga polisi. Awalnya pemilik curiga. Banyak pertanyaannya. Aku membri penjelasan serinci mungkin. Pemilik rumah mengerti dan selanjutnya kami menggali di empat sudut halaman

Barang-barang itu masih ada. Ini barang kosong. Hanya tipu-tipu saja. Kain putih dilipat kecil dan dijahit aku sobekkan dan isinya tidak ada apa-apa. Di semua sudut sama.

Dalam perjalanan menuju tempat kedua ceritaku tidak bisa dibantah olehnya. Bahwa barang-barang yang dianggap jimat itu dia peroleh dari Bapak A, di kampung B, kecamatan C. Rumahnya dekat madrasah. Bahwa dia mengeluarkan mahar jutaan rupiah. Bapak A si pemilik barang mempunyai cacat pada tangannya. Jari kelingking tangan kanannya buntung.

 

(bersambung)

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler