Skip to Content

Utara, kotamu.

Foto Diyan Fauziyah

 

Kenangan akan kota itu, semakin jelas terbayang. Perasaanku begitu kuat merindui setiap jengkal letak kota itu. Kotamu. Tempatmu selalu mengajakku mewarnai tawaku untuk bersamamu. Aku merindu setiap lekuk jalan-jalan setapaknya. Setiap gang-gang kecil menuju peraduanmu. Jalan yang kau buat agar aku bisa bersembunyi dengan aman dari mereka-mereka yang tak lepas amatimu.

Kota itu. Kotamu. Aku merindui setiap roda bis yang mengantarku menuju kotamu. Segala yang menuju kotamu. Membuatku berbayang-bayang atas deretan lampu malam yang antarkanku menujunya. Berbayang-bayang atas lelehan keringat penumpang lain dalam bis yang membawaku ke kotamu.

Aku merindu kotamu. Ketika ada banyak hal yang membuatku jengah, selalu saja aku bisa berlari padanya. Pada kotamu. Tempat yang aku temui banyak canda dari pedagang-pedagang pasar yang lelah tunggui pembeli. Tempat yang aku jumpai khusyuknya peziarah-peziarah putih berdzikirkan asma-asma ketuhanan yang tengah naiki angkutan-angkutan beroda ganjil. Melenakanku yang suntuk bermandi nestapa.

Kotamu. Dimana aku bisa melihat sayup-sayup warna ombak di bibir pantai. Bagaimana perahu nelayan terpasung angin yang memanjakan layar-layarnya. Bagaimana bocah-bocah kecil kian ramai berlari di atas lembut pasir-pasirnya.  Buatku tak sanggup lepas pandangi segalanya. Aroma samudera utara . .

Sungguh, aku merinduinya. Kotamu. Beratus jarak yang pernah terbeli dengan karcis murahan, beratus jarak yang pernah terlindas kesesakan, beratus jarak yang pernah terbitkan kenekatanku, beratus jarak itulah aku pernah senandungkan laguku. Pada tiap trotoar-trotoar sempitnya. Pada tiap kuning penerangan jalannya. Pada tiap ketinggian baliho-balihonya. Pada tiap keramaian pusat alun-alunnya. Pada tiap kepikukan warung-warung kopinya. Pada tiap kerasnya speaker masjid memelodikan seruan adzan. Pada tiap dinginnya botol minuman yang kau suguhkan dari kulkas-kulkas kotamu. Pada tiap pelannya laju motormu kala membasuh lekat malam. Pada tiap kemesrahan genggaman kita. Pada tiap tangis yang kutahankan. Kotamu.

Ini, sederhana saja kutuliskan dengan berbagai memoriku. Ketika dimensi telah lunaskan segala gambar tentang kotamu. Ketika suatu saat nanti, ku kan terasing dari kotamu. Dan ku tak lagi mampu jejakkan hadirku dalam keputihan semburat bumi kapurnya. Dan ku tak lagi memainkan langkah kepulanganku pada terminal-terminal yang nun  jauh di ujung tanah berdebu. Dan ku tak lagi mencari-cari harga murah di asongan pinggiran pasar. Dan ku tak lagi lemparkan penglihatku pada orang-orang yang berlalu lalang membawa banyak kisah dari asal-asal kepergian mereka di beranda persembahyangan. Dan ku tak lagi rebah pada keangkuhan kotamu yang menghipnotis tidur-tidur malamku. Kotamu.

Mungkin saja, sopir bis telah malas tungguiku di pelataran terminal. Ku ditinggalkannya tanpa jelas  ingin menoleh sedikitpun. Mungkin saja, kondektur bis telah bosan menanti kertas rupiah dari balik sakuku. Ku dibiarkannya turun di jalanan tanpa sampai menuju kotamu. Tanpa kertas yang mencoretkan nama kotamu. Mungkin saja, panasnya lajur tol telah enggan mensepikan badan-badan jalan dari macetnya bis-bis lain yang menunggu kealpaanku. Mungkin saja, kotamu, telah kian menambah radiusnya dari kejamahan bagi kenanganku. Mungkin saja, tak lagi diharapkan. Bahkan. Bahkan oleh kotamu.

Ku takut ‘kan terhapus. Sedikit genggaman rindu mampu ku abadikan. Karena kotamu, adalah kota kecilku. Dimana telah kunyamankan seluruh semilir angin yang mainkan rambut ikalku, dulu. Karena ku pernah titipkan hikayat tempat tinggalku. Kampung halamanku, disini. Walau hanya imajinasi.

05112013

Midnight, Malang.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler