Skip to Content

Waktu Yang Berlalu, Membuat Segalanya Terlambat

Foto Hadiy El Jaffariy

Angin yang berhembus membumbungkan gersang dalam musim kemarau yang panjang. Sekat-sekat yang terbangun karena rimbunnya dedaunan di pucuk-pucuk pinus menghambat rambatan cahaya menerangi jejak-jejak setapak di bawahnya. Hujan memang sudah cukup lama tak menghamiri belahan bumi ini. Dampaknya, serakan dudaun linden yang gugur berkeriap setiap kali kaki kaki melangkah di atasnya.


Sejenak ku coba mengatupkan mata, dan membisukan telinga. Hembus angin kemarau mencipta riak-riak gelombang kecil air di telaga. Aku berharap melupakan banyak hal dalam hidupku. Aku berharap terbang, bersama guguran linden yang diterpa hembusan angin kering. Ya, seperti linden kering itu, terbang hanya akan mebuatku terjatuh, menjejak ketanah. Hanya mengulur waktu untuk tidak di tindih oleh kaki-kaki yang bermain di atasnya. Lantas ia membusuk, terurai, dan hilang begitu saja.

Bukankah wajar, seseorang ingin memulai masa depannya? Melupakan masa lalu yang masih saja membekas, enggan menginggalkan angan dan kenangan. Tak masalah bila masa lalu itu mebuat kita makin kuat dan belajar dari nya. Namun tidak sedikit orang yang sepertiku. Terkungkung pada kenangan kisah yang mencekam. Enggan belajar, alih-alih menyemai luka dan memeliharanya tumbuh dan berkembang. Masa lalu bagiku adalah torehan paku pada sebuah papan. Sang paku penyebab luka itu mungkin bisa lenyap, namun papan kayu nya akan tetap menganga dan membekas.


Tidak, aku enggan untuk mengingatnya kembali dan berlarut-larut dalam luka. Aku tidak menikmatinya, namun entah mengapa aku enggan menghindar untuk sekedar melupakannya. Maka kali ini aku buka mataku, menghindari angan yang menerbangkanku pada bayangan kenangan yang enggan diterbangkan waktu.


Lantas, mengapa aku masih di sini? Menikmati hembusan angin, di atas gundukan tanah yang ditumbuhi rerumputan, mendengar desau angin yang menerpa air di pinggir telaga. Bahkan buku terbaru yang ku beli, ku bawa dan kubuka hanya sekedar untuk alibi. Aku, jelas-jelas datang ke tempat ini bukan untuk membaca. Namun menyemai lukaku. Padahal aku berharap mengenyahkan sakitku. Anomaly yang paradox. Berputar dalam lingkaran yang terus berhubung. Tak tahu kapan ia akan berakhir dan menemui ujungnya.


Cekikikan beberapa pengunjung tempat ini sedikit mengalihkan anganku. Ku lihat gadis itu, tertawa riang disela-sela lelariannya mengelilingi bangku pasangan muda yang tengah asyik memadu kasih. Gadis itu, memakai gaun beludru cokelat tua, yang bergerak-gerak ujungnya saat ia berlarian. Rambut hitam legamnya dikepang dua, sama seperti biasanya. Ku terka, usianya tidak lebih dari enam tahun. Dan pasangan muda yang dikelilingi lelariannya, adalah orang tuanya.


Pemantik luka ku, salah satunya adalah pemandangan ini. Sudah enam bulan lamanya aku menyadari rutinitas mereka setiap akhir pekan di taman indah ini. Dan begitu aku menyadari rutinitas keluarga kecil itu, aku pun memulai rutinitas yang sama, mencuri-curi pandang pada kebersamaan mereka. Tepat seperti sore ini.


Gadis kecil itu, ku terka lahir tidak jauh berbeda dengan gadis ku. Bila gadis ku masih bertahan, mungkin mereka akan seumuran. Namun inilah lukaku, aku tak hadir dalam momen kelahirannya. Juga tak hadir kala kepergiannya untuk selamanya, tak menyempatkan diri saat pemakamannya. Entahlah, orang mereka bilang, aku adalah pria yang terlalu lurus untuk meninggalkan tugas di negeri orang. Bahkan ketika gadisku mulai merasakan kesakitannya, aku hanya dapat menyaksikannya dari layar monitor dari gambar kamera yang dikirimkan istriku.


Dan dua tahun lalu, ketika itu terjadi, semua kepingan istana yang coba ku bangun selama ini ternyata hancur. Istana itu ternyata adalah bangunan pasir yang rapuh. Pondasinya serapuh hatiku yang tak bisa menerima kenyataan. Maka saat aku hanya memandang sunyi makam gadisku itu, yang dapat kulakukan hanya menyalahkan diri sendiri.


Aku memang bodoh. Terlalu bodoh untuk sekedar mengajukan cuti saat gadisku mulai mengerang sakit. Namun menjadi teramat bodoh ketika penyesalah lah yang tersisa untukku. Bahkan begitu bodohnya, aku enggan kembali membangun istana yang telah susah payah kuusahakan untuk berdiri enam tahun lalu.  Hingga siang tadi, aku paham begitu bodohnya aku, hingga kudapati sebuah undangan pernikahan klasik yang di sana, tertera dengan huruf yang berbingkai cantik menuliskan nama istriku. Bukan, tapi nama mantan istriku. Istri yang dulu sekuat tenaga menyembuhkan lukaku. Yang dengan kesungguhannya membujukku untuk bangkit dan berdiri.


Namun, tak akan pernah bisa terbang, burung yang hanya memiliki satu sayap. Atau dua sayap, namun hanya satu yang berusaha untuk mengepak dan terbang.


Inilah aku, menyianyiakan dua wanita terindah dalam kehidupanku.

 

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler