Adalah sumur karya, tanpa pesawat terbang tinggi
Nelayan dengan jaringnya hanya dapat ikan mati
Hayal menebar bagai jaring tadi ‘tuk melukis syair ini
Tanpa kanvas tapi terlihat oleh suasana hati
Satu hal yang ingin ku beri,
Mewarnai hukum nan pikun dengan karya seni
Mata berlubang, hanya terbengong
Terus berfantasi, tak tertidur tapi bermimpi
Aturan busuk mimpi buruk, banyak cingcong
Menusuk-nusuk halangiku jadi diri sendiri
Bagiku, rupa itu mudah berubah
Jiwa dan air muka biar saja apa adanya
Kan ku biarkan bulu-bulu ini berontak ke bawah!
Dari pada pentaskan ping pong mulut, dan gigi ompong
Baik begini, walau ‘tak nampak rapih
Pasti ada sembunyi dalam aturan melarang aku berambut gondrong?
Memang aku sadari bahasaku kadang seperti belati
Yang suka memotong kebusukan dibungkus rapih seperti lontong
Yang mampu mencukur bulu domba, dan nampak muka serigala!
Bukankah lebih berarti “terus terang” daripada bergombal-berbohong?
Dari sarang tengik mereka dan tak dibersihkan, lalu bergondrong moncong!
Aah kau! Para berambut rapih dan berdasi
Malukah engkau oleh kejujuran hati dan kemejamu yang bolong-bolong?
Maka kau tutupi dengan jas mahal dan sedan canggih?
Tahulah aku..
Celana bahanmu itu menutupi koreng, bau kakimu kau tutupi vantofel nan kinclong!
Tipu muslihat, engkau campur dengan kalimat hebat
Kita bisa aja menelanjangimu dan engkau hanya bisa teriak “tolong!”
Kepada ajudan-ajudan yang suka membabat!
atau engkau rupanya anak kolong?
Kita ‘tak akan takut istilah dari zaman Belanda itu, walau engkau terus menggonggong!
(Jatinegara, Jakarta. 15 Januari 2014)
Komentar
Tulis komentar baru