Di tanah ini
Ku baca berjuta impian
dari empat ribu pasang mata yang tertuju pada kata-kata rindu akan kejayaan.
Di tanah ini
Ku dengar deru tawa
seorang pemenang. Sebab pada merpati kutitipkan pangkal lidah jutaan rakyat di negeri ini
Di tanah ini
Berjejal di antara sepi semangat yang menyala-nyala
Membara. Hampir membakar seragam almamater yang baru saja dikenakan.
Ya, ini adalah perihal kita dituntut untuk fasih dalam berbicara,
khusuk melafalkan tentang keadilan! Kebenaran! Tanpa tempo dan durasi.
Di tanah ini
Kembali matahari merengkuh jiwa-jiwa yang haus.
Lapar. “Berikan serdadu-serdadu yang akan membasahi tasbih dan dzikir kami”.
Pada sujud yang mungkin keliru. “Beri kami navigasi menuju puncak”.
Terkadang, harapan itu meranggas, karena kami buta dan menunduk.
Di tanah ini
Merah menyala bak oase di padang usang nan gersang
Menenggelamkan mental. Mendebarkan jiwa.
Fokus. Tetapi esoknya kulihat fatamorgana tersebut menebarkan aromanya
yang berlepasan dalam ruang parodi.
Di tanah ini
Aku dihadapkan pada kecemasan, kebingungan, bahkan ironi
yang meneteskan asam pada pekuburan tandus.
Hampir saja ku tak bisa membaca.
Bersuara. Karena
tertancap pada kalbu segumpal dusta yang begitu tajam
Merobek kemanusiaan di era hak asasi manusia.
Tetapi, di tanah ini
Ku semai kembali makna diri
Ku saksikan wajah-wajah baru
Ku jemput semangat tanpa sulut emosi
Ku coba bersuara tanpa ragu
Ku coba beraksi tanpa berpikir; “Apa untungnya?”.
Ini demi kemanusiaan!
Bahkan ketika ku tak mengerti apa itu kemanusiaan.
Bahkan ketika kemanusiaan itu sendiri hanyalah omongan manis anggota dewan di depan kamera wartawan.
Bahkan ketika kemanusiaan itu seperti sisa nasi di mulut para koruptor.
Bahkan aku muak dengan kemanusiaan!
Tetapi, di bumi Ganesha ini,
Aku bangga
Akulah Penggerak!
Akulah Inisiator!
Akulah Mahasiswa!
Bandung, 20 Agustus 2016
Komentar
Tulis komentar baru