Skip to Content

DUA PUISI ACEP ZAMZAM NOOR

Foto ombi
files/user/6/q1693068946_6415_acep_zamzam.jpg
q1693068946_6415_acep_zamzam.jpg

KETIKA


1

Ketika gempa yang begitu sopan
Menggoyang kampung kami
Kudengar semua nyanyian, semua tarian
Yang tengah digelar di halaman kelurahan
Menjadi senyap. Semua serangga, semua satwa 
Semua rumputan, semua tumbuhan dan pohonan 
Bahkan semua kata yang terucap, kalimat yang meluap 
Amarah yang membumbung seperti asap
Mendadak bisu. Semua mengendap 

2

Di kamar sempit kami yang apak dan dindingnya retak
Yang lampunya lindap karena kekurangan minyak
Di ranjang kami yang engselnya longgar dan bantalnya lusuh
Di mana segala desah dan lenguh, segala keluh dan kesah 
Terasa begitu jauh. Bahkan segala sumpah dan serapah 
Segala ratapan dan jeritan yang ditingkah bunyi kentongan
Terdengar hanya sayup. Kulihat malam menyeret terompahnya 
Dan subuh berlabuh pada pelupuh. Kusaksikan cakrawala yang jauh
Kemah-kemah awan yang bergerak pelan dengan semburat kemerahan 
Yang kemudian menyelimuti punggung lelaki bungkuk dan sakit-sakitan 
Punggung lelaki yang bernama ufuk. Tiba-tiba kami rasakan kembali 
Guncangan kecil itu, hentakan pendek itu serta sodokan lunak itu:
Di mana waktu kehilangan langkahnya, menit ditinggalkan detik-detiknya
Dan jam menggenang seperti comberan. Di mana ingatan berlepasan
Pikiran berloncatan dari sarangnya, perasaan menguap begitu saja 
Di mana harapan dan keputusasaan tak ada bedanya, hidup dan mati 
Begitu tipis jaraknya. Di mana ruang dan waktu terlempar dari porosnya
Langit dan bumi berangkulan seperti sepasang kekasih yang lama
Tidak berjumpa. Di mana sunyi bertahta di atas singgasana 

3

Ketika gelombang pasang yang tak ramah
Menyapu daun-daun kelapa dan atap-atap rumah
Ketika angin puting beliung menerjang sawah dan kebun 
Merobohkan surau dan madrasah, menggusur sekolah dasar
Dan puskesmas yang terlantar. Kulihat ikan-ikan berterbangan 
Ayam-ayam berlarian, sapi dan kambing mati di kandang sendiri 
Hansip-hansip menerobos reruntuhan dengan senter dan patromak
Mencari mayat-mayat. Keesokan harinya tentara dan polisi datang 
Menggali lubang besar untuk mengubur mereka bersama-sama
Sebelum membusuk. Lalu gempa sialan itu mengguncang kami lagi 
Lalu air bah kurang ajar itu menerjang kami lagi. Semuanya lewat
Juga silsilah panjang kami yang tercerabut dari akarnya yang dalam
Semuanya berlalu, juga sejarah yang terpaksa kami biarkan pergi 
Entah ke mana. Dan semuanya harus kami relakan untuk tidak kembali
Semuanya, semuanya. Juga keberadaan atau ketiadaan kami ini

4

Aku tidak mengenal musim dan cuaca, lupa tanggal dan nama hari
Hanya tahu bahwa masih ada siang dan malam, ada gelap dan terang
Susah dan senang. Sudah lama aku tak peduli pada baik atau buruk
Pada salah atau benar, hina atau terhormat. Kerjaku hanya main domino
Bertandang dari tenda ke tenda, dari barak ke barak, dari posko ke posko 
Hingga kutemukan kembali istriku yang kurus di sela tumpukan kardus 
Lalu kami bercinta sambil menunggu giliran masuk kakus, kami bercinta
Sambil mengantri pembagian nasi bungkus, kami bercinta sambil pawai
Merayakan hari kemerdekaan atau sambil berdesakan melihat kampanye
Di kecamatan. Atau sambil menunggu giliran mencoblos di bilik suara
Ah, di tengah semburan lumpur panas kami masih disuruh memilih lurah 
Bupati, gubernur dan presiden. Kami disuruh memilih salah seorang
Dari mereka yang suka membagikan kaos, poster, spanduk atau sembako 
Salah seorang dari mereka yang wajahnya terpampang di mana-mana 
Namun tidak kami kenal dan suara mereka tidak pernah terdengar: 
Biar gampang kami pilih saja yang kumisnya paling tebal 

5

Di bantaran sungai yang landai, di atas tumpukan sampah yang bau 
Gubuk masa depan kami terangkat ke udara, melayang-layang sebentar 
Lalu rubuh dan hanyut. Banjir selalu datang setiap tahun, kebakaran 
Terjadi setiap bulan, sakit perut berkunjung saban minggu, kelaparan 
Dan kemarahan menjadi teman sehari-hari. Sekian lama kami terlunta 
Sekian lama mengembara dari kolong jembatan ke bekas gerbong kereta 
Namun selalu saja punya alasan untuk tertawa atau menertawakan 
Setiap keadaan. Kemarin ada tetangga jatuh dari atap bangunan 
Tersangkut di kawat listrik tegangan tinggi. Kemarinnya lagi ada mayat 
Mengambang di sumur. Tadi malam anak sulung kami ditangkap polisi 
Yang nomer tiga kena flu burung. Lalu dari toko elektronik sayup terdengar
Seorang presiden yang suaranya merdu tengah menyanyi di televisi 
Mungkin tentang pelangi yang menghilang dari mata kami 

2007.



SAJAK SEORANG PENGUNGSI

/Buat Frans Nadjira


Napasku yang mengandung api selalu ingin membakar apapun
Di jantungku gedung-gedung yang tinggi sudah kukaramkan
Sedang sungai-sungai yang kotor kubiarkan menggenangi mataku 
Dengan lahap aku mengucup borok-borok peradaban yang berlalat
Untuk kumuntahkan kembali lewat sajak-sajakku. Sepanjang hari
Tak habis-habisnya aku mereguk keringat dan darah negeri ini 
Menyusuri lekuk tubuhnya yang molek dengan belati terhunus
Kemudian melempari gambar pemimpinnya yang nampang
Di papan iklan. Menyanyikan lagu dangdut di bawah tiang bendera

Suaraku yang memendam racun ingin menyumpahi siapapun
Ranjang-ranjang yang nyaman kusingkirkan dari ingatan
Sedang kekerasan yang terjadi di jalanan telah memaksaku 
Menjadi bajingan. Kembali aku mengembara dalam kesamaran
Dalam kehampaan, kekosongan serta ketiadaan rambu-rambu 
Aku mengetuk losmen, menggedor apartemen dan mendobrak 
Gedung parlemen. Kemudian melolong dalam kesakitan panjang:
Sambil berjoget aku terbangkan sajak-sajakku ke planet terjauh
Karena bumi sudah tak mampu memahami ungkapanku lagi 

2007.


sumber: Catatan Acep Zamzam Noor, www.Facebook.com

Komentar

Foto Jafar Bin Ilyas

Like This dah Kang Ncep,.

Like This dah Kang Ncep,.

Foto Beni Guntarman

Dari mata datangnya....

puisi ini punya mata, dari mata datangnya kata-kata
puisi ini punya telinga, dari telinga datangnya kata-kata
puisi ini punya rasa, dari kedalaman relung ia bersuara
meski engkau seekor kuda liar di padang rumput
atau seekor kucing jinak yang bermanja-manjaan dengan tuannya
puisi ini adalah mata kita sehari-hari, puisi ini adalah penciuman kita sehari-hari, dan dengan kata-kata ia menyengat bagai matahari, dengan kata-kata ia menjadi lebah yang terusik, mengejar dengan sengat ke hati para penguasa!

Beni Guntarman

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler