Skip to Content

Elegi Negeri Seribu Ombak

Foto Y.S. Agus Suseno

 

ELEGI NEGERI SERIBU OMBAK

Kumpulan Sajak Eko Suryadi WS

 

Prolog

Aku, Kau, Kita: Menandai Persinalitas Sajak-Sajak Eko Suryadi WS (Jamal T. Suryanata)

Epilog

Kebuau: Tentang Artikulasi dan Pengalaman Lokal Orang Banjar (Faruk)

 

Hak Cipta @ Penulis

ISBN: 978-979-16848-2-8

Cetakan Pertama: Maret 2010

 

Penyunting: Y.S. Agus Suseno

Desain isi: Agung

Desain cover: Nur Wahida Idris

Gambar cover: Abu Bakar

 

Penerbit

Framepublishing

Gg. India Nomor 3 RT 5 RW 10

Dusun Miri-Sawit, Panggungharjo, Sewon, Bantul, DIY

Telp. 081227004439, 08122729237

E-mail: framepublishing@gmail.com

aidaidris2000@yahoo.com

 

Hak Cipta dilindungi undang-undang

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian

atau seluruh isi buku ini tanpa izin penerbit atau penulis

 

 

 

Prolog: 

 Aku, Kau, Kita:

Menandai Personalitas Sajak-sajak Eko Suryadi WS

Jamal T. Suryanata

 

Manusia demikian bodohnya

Menombaki alam dari waktu ke waktu

Kemudian kembali terperosok

Di lubang yang sama

 

(Eko Suryadi WS, ”Fenomena”)

 

/ 1 /

Lebih-kurang empat tahun setelah menerbitkan kumpulan puisi tunggalnya bertajuk Di Batas Laut (selanjutnya disingkat DBL, 2005), kini Eko Suryadi WS kembali menghimpun dan menerbitkan sepilihan sajak terbarunya dalam sebuah buku dengan judul Elegi Negeri Seribu Ombak (selanjutnya disingkat ENSO, 2010).[1] Secara kuantitatif, dibandingkan dengan DBL yang memuat 86 sajak yang ditulis Eko sepanjang rentang waktu sekitar 20 tahun masa kepenyairannya (1979—2000), sajak-sajak yang terangkum dalam ENSO memang lebih sedikit karena hanya memuat 51 sajak yang ditulisnya selama lebih kurang 10 tahunan (2000—2009).[2] Meskipun kedua buku ini sama-sama menyajikan sajaknya secara kronologis (berdasarkan urutan tahun penulisan), tetapi tidak sebagaimana dalam DBL yang seluruh sajaknya disajikan dalam satu kesatuan (baca: tanpa subjudul tertentu yang memayungi beberapa sajak), sajak-sajak dalam ENSO dibagi menjadi tiga bagian yang masing-masing diberi subjudul ”Elegi Negeri Seribu Ombak” (2000—2005, berisi 16 sajak), ”Tanjung Dewa” (2006—2007, berisi 15 sajak), dan ”Bajau” (2008—2009, berisi 20 sajak). 

Jika kita perhatikan, dari aspek bentuk dan gaya penulisan, sajak-sajak yang terhimpun dalam ENSO ini tampak mengalami perkembangan drastis dibandingkan dengan sajak-sajaknya yang tersaji dalam DBL. Perkembangan (baca: perubahan bentuk dan gaya penulisan) itu terutama tampak pada model tipografi (tampilan bentuk) sajaknya yang secara konsisten dilakukan sang penyair pada semua sajaknya yang terangkum dalam ENSO. Jika dalam DBL semua sajaknya ditulis dengan model tipografi lurus margin kiri (sebagai pola yang tetap), seluruh sajaknya yang terangkum dalam ENSO ditulis dengan model tipografi bebas-terikat, bahkan cenderung agak kacau (semacam gejala ”inkonsistensi dalam konsistensi” atau ”konsistensi yang inkonsisten”). Dikatakan demikian karena sang penyair sebenarnya telah memilih bentuk tertentu, tetapi penulisan larik-larik sajaknya tidak mengacu pada pola yang tetap (termasuk dalam hal penulisan enjambemen dan batas sintaksisnya). Hal yang tidak kita dapati dalam DBL, dalam ENSO akan kita temukan pola-pola tipografi dengan model yang seakan-akan lurus margin kiri (tetapi dengan variasi larik kedua atau ketiga atau keempat atau kelima atau lainnya ditulis menjorok ke dalam, kendati bisa juga terbalik), lurus margin tengah, zig-zag, dan entah apa lagi sebutannya. Untuk lebih jelasnya, sekadar sebagai gambaran bandingan, kita dapat menunjuk gaya penulisan atau model tipografi yang pernah diterapkan dalam sejumlah sajak Sutardji Calzoum Bachri, Hamid Jabbar, Sapardi Djoko Damono, dan beberapa penyair tertentu lainnya.

Dilihat dari segi faset tematisnya, secara umum garapan tema sajak-sajak Eko dalam ENSO sebenarnya tidak jauh beranjak dari tema-tema yang pernah dieksplorasinya dalam buku puisi yang diterbitkan sebelumnya. Sebagaimana dalam DBL, hampir seluruh sajaknya yang ”diabadikan” dalam ENSO secara dominan kembali menyuarakan kegelisahan batin dan sekaligus tanggapan personal (baca: refleksi sosiopsikologis) sang penyair sebagai seseorang yang ”ditakdirkan” memiliki kepekaan tinggi terhadap alam atau lingkungan sekitarnya. Akan tetapi, dalam hampir semua sajak Eko, spiritualitas alam-lingkungan itu tidak disajikan dengan bahasa mendayu-dayu (sebagaimana umumnya sajak-sajak para penyair Pujangga Baru) maupun secara vulgar-frontal (semisal sajak-sajak kritik sosial-politik terhadap penguasa atau kaum kapitalis yang dianggap bertanggung jawab atas rusaknya tatanan ekologis tertentu). Dalam sajak-sajaknya, sang penyair lebih memilih diksi-diksi yang sederhana, wajar, serta terbungkus rapi dalam balutan metafor-metafor segar yang diolah dari alam-lingkungan terdekatnya.

Dalam konteksnya yang luas, istilah ”alam” atau ”lingkungan sekitar” itu sendiri bisa saja dipahami sebagai sesuatu yang berada di luar diri individu, yang dekat maupun yang jauh; sesuatu yang jika dikaitkan dengan bagan skematis (dalam konteks pemahaman situasi sastra secara holistik) yang pernah dikemukakan M.H. Abrams disebut universe (semesta, realitas alam raya). Dalam konteks the total situation of a work of art itu, di samping work (karya sastra), secara timbal-balik tercakup pula komponen pengarang (artist —sebagai penghasil karya sastra), semesta (universe —sebagai representasi realitas alam raya), dan pembaca (audience —selaku penikmat dan sekaligus penanggap karya sastra).[3] Sementara, tanggapan personal yang termanifestasikan melalui media sastra (baca: puisi) itu dapat berwujud kritik sosial, luapan emosi individu, penghayatan religius, lengkap dengan harapan dan mimpi-mimpi keakanannya tentang dunia ideal.

Masih terkait dengan aspek faset tematisnya, ketika kita coba menelisik seluruh lapis sajak Eko dalam ENSO ini sebenarnya tak ada sesuatu yang mengejutkan karena sang penyair memang kembali mendedahkan gelisah batin dan tanggapan kritisnya terhadap kondisi sosial tertentu di sekitarnya: alam yang rusak, lingkungan yang terkotori oleh kerakusan manusia, tatanan sosial yang kian runtuh, atau kebangkrutan moral yang disaksikan dalam lingkungan kekiniannya. Pada tataran lain, kita pun kembali dihadapkan pada lirisme kesunyian jiwa sang pencari Kebenaran Sejati (The Ultimate Truth) melalui sejumlah sajaknya yang bercorak religius atau bahkan bermuatan sufistik. Hanya saja, dalam hal ini kiranya perlu ditekankan bahwa spiritualitas semacam itu tetap tampil dalam bingkai penyajian seorang penyair lirik yang kuat.

 

/ 2 /

Sebuah rumusan sosiologis yang terdengar sudah begitu akrab di telinga kita, bahkan mungkin terasa telah menjadi sebuah klise, mengatakan bahwa sastra tidak jatuh begitu saja dari langit. Setiap karya sastra tidak terlahir dari suatu kekosongan (budaya), tetapi senantiasa dipengaruhi oleh lingkungan (sosial-budaya) penciptaannya. Sajak-sajak yang ditulis oleh seorang penyair pada dasarnya merupakan bentuk refleksi sosial, tanggapan kritis, sekaligus sebagai suara batin atau ekspresi estetis sang penyair atas situasi sosial (mungkin juga: budaya-politik-ekonomi) tertentu yang didengar, disaksikan, dan dirasakannya.[4] Dalam proses kreatif penciptaan sajak-sajaknya, setiap penyair (juga sastrawan-kreatif pada umumnya) tak bisa mengelak dari situasi timbal-balik, kausalitas yang melibatkan empat komponen yang merupakan caturtunggal itu: work (karya sastra), artist (pengarang), universe (semesta), dan audience (pembaca; masyarakat). Demikianlah pula apa yang dapat saya temukan ketika membaca sajak-sajak Eko dalam antologi ENSO ini, di samping menonjolnya kekuatan unsur lokalitas yang terdedahkan melalui diksi-diksinya yang segar dan khas beraroma kota kecil yang dikelilingi laut dan pantai dengan segala ornamennya.

            Ketika coba menggali lebih dalam lagi, secara intuitif pikiran saya serasa digiring (entah oleh suatu dorongan arus-bawah-sadar macam apa) untuk melakukan pemaknaan kontekstual terhadap seluruh sajak Eko dalam antologi ENSO ini dalam satu bingkai sosiopsikologis bernama personalitas. Konsep ini mengandaikan terjadinya beragam wujud relasi dan reaksi sosial maupun psikologis seseorang (individu), sistesis kehidupan emosional dan mental-spiritual, terhadap kefaktaan-kefaktaan tertentu di lingkungan sekitarnya (dalam konteksnya yang luas). Kemudian, bertolak dari diksi-diksi dan matafor-metafor yang relatif dominan digunakan sang penyair, konsep personalias itu sendiri dapat ditandai lagi dengan tiga kata kunci: aku, kau, dan kita. Dalam hubungan dialogis ketiga unsur inilah secara impulsif pemaknaan terhadap sajak-sajak Eko bergerak ke arah pemahaman sosiopsikologis (pada tataran lebih lanjut bisa jadi akan bercorak semiosis-filosofis).

            Jika sebuah kumpulan sajak kita andaikan sebagai sebuah taman dengan aneka ragam bunga di dalamnya dan jenis bunga-bunga itu dapat dipilah-pilah lagi berdasarkan karakteristik tertentu, secara tematis sajak-sajak Eko yang tersaji dalam ENSO memang dapat diklasifikasikan (setidak-tidaknya) menjadi dua kelompok besar. Kelompok pertama, sajak-sajak yang secara dominan bermuatan kritik sosial atau yang secara implisit memperlihatkan kecenderungan tersebut. Sajak-sajak yang termasuk dalam kelompok ini terutama mengungkap, mendedahkan, menggelisahkan, menyesalkan, dan mengkritisi berbagai kondisi dan/atau fenomena sosial (termasuk di dalamnya budaya-politik-ekonomi) yang terjadi di sekelilingnya. Muatan kritik sosial itu bahkan dapat kita kerucutkan lagi dalam satu garis-besar, kritik sosial yang terkait dengan kegelisahan sang penyair terhadap kondisi alam-lingkungannya. Kelompok ini, antara lain, diwakili oleh sajak-sajak bertajuk ”Dendam Pohon”, ”Mengunyah Rasa Sakit, Kuludahkan Darahnya”, ”Hujan Meninggalkan Kota”, ”Elegi Negeri Seribu Ombak”, ”Sungai Luka”, ”Ketika Kita Tak Mampu Membujuk Hujan”, ”Stasiun Waktu Kilometer Lima Puluh Lima”, ”Tanjung Dewa”, ”Kemerdekaan”, ”Saranjana”, ”Sebelum Halimun”, ”Fenomena”, dan ”Di Tanah Retak”.

            Kelompok kedua, sajak-sajak yang secara dominan bermuatan religius atau yang, pada level tertentu, memperlihatkan kecenderungan sufistik. Sajak-sajak yang termasuk dalam kelompok ini terutama menyuarakan kegelisahan religius, kecintaan dan kerinduan seorang hamba terhadap Sang Khalik, tetesan air mata doa, pencerahan spiritual, pun mimpi-mimpi keakanan aku-lirik tentang dunia ideal atau kondisi teleologis yang surgawi. Kelompok kedua ini, antara lain, diwakili oleh sajak-sajak bertajuk ”Ruang Angin”, ”Kukitari Rumahmu”, ”Ziarah Puisi”, ”Air Mata Semesta”, ”Berdiri di Fort Rotterdam”, ”Setelah Air Mata”, ”Setelah Perarakanmu”, ”Sedekat Rindu”, ”Di Kedalaman Waktu”, ”Ramadhan”, ”Idul Fitri”, ”Berjalan di Belakang Keranda Menuju ke Pemakaman”, ”Fajar Air Mata”, ”Cinta Ini Kususun”, dan ”Menunggu Perjamuan”.

            Akan tetapi, saya selalu yakin bahwa di balik berbagai klasifikasi teoretis senantiasa ada sesuatu yang menghuni wilayah abu-abu; sesuatu yang tidak dapat dikelompokkan dalam satu kecenderungan besar atau sebaliknya ia malah termasuk dalam beberapa kecenderungan itu. Kita sebut, misalnya, sajak-sajak bertajuk ”Figura (1)”, ”Figura (2)”, ”Menggenapi Langkahmu”, “Kutimba Badai Pamor Lautmu”, “Ibu”, ”Pertanda Apa”, ”Membaca Tanah Risaumu”, ”Di Langit Kota Ada Menara”, “Hikayat”, ”Jejak”, ”Melayu”, ”Bajau”, dan ”Terbanglah Kuat-kuat ke Langit Lukaku”. Secara teoretis, dengan mengenakan faset tematis tertentu sebagai payungnya, sajak-sajak tersebut sulit untuk dapat dimasukkan ke dalam kelompok pertama (yang bercorak kritik sosial) maupun kelompok kedua (yang berkecenderungan religius). Akan tetapi, dengan penandaan dan/atau melalui proses semiosis tertentu, mereka (baca: sajak-sajak tersebut) sekaligus bisa leluasa memasuki kedua wilayah yang seakan-akan hitam-putih itu. Namun, satu hal yang penting bahwa hampir semua sajak Eko dalam ENSO ini pada esensinya dapat diikat dalam satu bingkai sosiopsikologis, yakni personalitas itulah (sekali lagi, di dalamnya mengandaikan terdapatnya hubungan dialogis antara konstituen aku, kau, dan kita). Untuk lebih jelasnya, mari kita simak kutipan lengkap sajak yang oleh sang penyair dijadikan judul buku puisinya berikut ini.

 

ELEGI NEGERI SERIBU OMBAK

 

Di negeri seribu ombak

               kubangun kota-kota peradaban

Kutaburkan mimpi daun, sungai, cakrawala, hujan

               Lewat kasih sayang bunga

 

Kuhisap udaramu

               kuhirup sungaimu

                               kupijak bumimu

                                               kukayuh lautmu

 

               menjadi semestaku.

 

               Di sini perarakan musim datang dari segala penjuru

membawa mimpi peristiwa

               dari nol kilometer ke kilometer lima puluh tiga

 

kusapa duka lara.

 

               Tangismu melarutkan jembatan kekinian

Air matamu meruntuhkan beton-beton

Menisbikan sejarah yang lahir dari doa-doa leluhur

Kuburnya ditenggelamkan para pengembara

               Kota-kota telah dibakar para perambah

Mimpi musim pun diseret putaran waktu:

               tak pernah kembali

               tak pernah tersisa

 

Adakah semestaku.

 

Mereka  lukai negeri ini

Mereka hirup darahnya

Dengan rasa haus dan mata terpejam

 

Di negeri seribu ombak

Burung-burung pemangsa meninggalkan bangkai

                setelah pesta

 

Terasa sekali bahwa larik-larik sajak di atas sarat dengan muatan kritik sosial yang menyuarakan kegelisahan batin aku-lirik (bukan aku-penyair) manakala menyaksikan kondisi alam maupun tatanan sosial-budaya sekelilingnya yang telah rusak, terkontaminasi, atau bahkan terjarah oleh berbagai kepentingan, di sebuah wilayah yang disebut sang penyair sebagai Negeri Seribu Ombak (sebuah metafor yang tentu saja menyaran pada lokalitas yang paling dekat dengan kehidupan sang penyair sendiri). Dengan gaya satiris yang sangat halus, aku-lirik menyayangkan segala yang telah terjadi di sekitarnya, di ”negeri”-nya: Tangismu melarutkan jembatan kekinian/ Air matamu meruntuhkan beton-beton/ Menisbikan sejarah yang lahir dari doa-doa leluhur/ Kuburnya ditenggelamkan para pengembara/ Kota-kota telah dibakar para perambah/ Mimpi musim pun diseret putaran waktu:/ tak pernah kembali/ tak pernah tersisa. Kemudian, sindiran tajam pun ditujukan kepada ”mereka” yang terlibat: Mereka  lukai negeri ini/ Mereka hirup darahnya/ Dengan rasa haus dan mata terpejam// Di negeri seribu ombak/ Burung-burung pemangsa meninggalkan bangkai/ setelah pesta.

Dalam konteks personalitas, kehadiran pronomina persona pertama dan kedua tunggal (aku-kau) —secara eksplisit maupun implisit— tampak lebih mendominasi wacana dialogis yang seakan berada dalam suasana berdepan-depan, sementara keberadaan pronomina persona ketiga jamak (mereka) dihadirkan sebagai entitas lain (sebagai bukan pihak kami) karena memang secara sadar diposisikan sebagai ”orang lain”, the other man (baca: para pengembara, para perambah, atau dengan depersonifikasi burung-burung pemangsa). Sebagai orang tempatan, aku-lirik memang merasa miris melihat kondisi sekelilingnya yang seakan telah kehilangan sejarahnya itu. Akan tetapi, ia sendiri tampaknya tak bisa berbuat banyak kecuali sekadar mengungkapkan gelisah batinnya dalam wujud monolog yang dialogis atau dalam bentuk dialog-monologis. Dalam sajak di atas, hubungan personalitas aku-kau (yang pada tataran selanjutnya dapat bertransformasi menjadi kita) tersebut direpresentasikan melalui kata-kata tangismu dan matamu (klitika –mu sebagai derivasi kau) —dengan aku yang diimplisitkan.

Sebagaimana pernah diungkapkan Jacques Maritain (seorang filsuf Perancis), pengalaman estetis pada dasarnya merupakan intercommunication between the inner being of things and the inner being of the human self —interaksi antara manusia dan hakikat alam raya.[5] Karya-karya sastra merupakan proyeksi perasaan subjektif manusia ke dalam alam raya dan sebaliknya alam raya bercerita tentang perasaan manusia. Oleh karenanya, jika anggapan itu benar, dalam konteks inilah kiranya kita dapat dengan setepat-tepatnya menandai spirit sajak-sajak Eko (yang bermuatan kritik sosial maupun yang bercorak religius) sebagaimana tergambar dalam ”Elegi Negeri Seribu Ombak” di atas. Karena itu pula, dalam konteksnya yang luas, tak syak lagi bahwa sajak-sajaknya yang secara teoretis diasumsikan sebagai wacana yang menempati wilayah abu-abu pun sebenarnya merupakan representasi dialogis interkomunikasi semacam itu (baca: hubungan antara manusia dan hakikat alam raya). Lihat saja, misalnya, betapa kepedulian sang penyair terhadap bencana tsunami yang terjadi di Aceh (dari lingkungan yang jauh itu) melalui sajaknya ”Pertanda Apa” dan ”Membaca Tanah Risaumu” juga menyiratkan personalitas aku-kau dalam hubungan ke-kita-an yang sungguh intim dan familiar.

Personalitas ke-kita-an (sebagai unifikasi dua konstituen yang bersisian atau saling berhadapan secara dialogis, aku-kau) yang menandai estetika perpuisian Eko sebenarnya menyebar dalam hampir semua sajak yang pernah ditulisnya. Personalitas demikian tidak hanya hadir dalam sajak-sajaknya yang bertema kritik sosial, tetapi juga dalam sajak-sajaknya yang bernilai religius maupun dalam corak lainnya. Beberapa di antaranya bahkan dieksplisitkan dengan langsung menghadirkan pronomina kita itu sendiri, sebagaimana dapat kita temukan dalam sajak-sajak bertajuk ”Mengunyah Rasa Sakit, Kuludahkan Darahnya”, ”Hujan Meninggalkan Kota”, ”Ketika Kita Tak Mampu Membujuk Hujan”, ”Stasiun Waktu Kilometer Lima Puluh Lima”, ”Fenomena”, ”Saranjana”, ”Hikayat”, dan ”Melayu”. Perhatikan beberapa larik dari penggalan sajak ”Mengunyah Rasa Sakit, Kuludahkan Darahnya” di bawah ini.

 

Sepanjang kelokan jalan Tanjung Serdang

               kita melukis wajah dengan beton

Rumah yang dihadapkan pagar

               kita durikan pada bola mata

               Runcingnya menusuk lengan kita

Seperti ada yang terlepas

               Darah membaui hutan pinus

               Angin membaui jalan-jalan


Dalam sajak di atas, demikian juga pada sajak-sajak lainnya yang bertema kritik sosial, konteks personalitas ke-kita-an itu lebih menunjuk pada hubungan sosiokultural aku-lirik dengan orang-orang (lain) di sekitarnya. Kendati secara historis aku dan kau mungkin berasal dari entitas sosiokultural yang berbeda, tetapi dalam konteks personalitas sajak-sajak Eko pada esensinya mereka dipandang sebagai ”sama” dan ”setara” sehingga keduanya dapat luluh atau bertransformasi dalam kekuatan sosiokultural baru (kami atau kita) sebagai penanda kekerabatan yang intim. Hal ini bukan saja merupakan sebuah gambaran konformitas yang baik dari dua kekuatan yang berbeda, melainkan juga menunjukkan sikap moderat dan jalan kompromi yang telah ditempuh aku-lirik saat menghadapi berbagai persoalan sosiokultural di sekitarnya. Unifikasi demikian agaknya dapat kita telusuri kembali dengan membawanya pada pemahaman sosiopsikologis yang paling intim dengan ranah budaya sang penyair (baca: tradisi-budaya Banjar), yakni konsep papadaan.[6] Oleh karena itu, dengan mengenakan konsep papadaan tersebut, siapa pun dan pihak mana pun yang terlibat dan/atau dilibatkan dalam suatu dialog akan merasa terpanggil untuk masuk ke dalam wacana kita (kami, jika sedang berhadapan dengan mereka sebagai representasi entitas di luar komunitasnya). Dengan cara demikian pula, terasa tak ada jarak ketika dalam sajak di atas sang aku-lirik mempertanyakan (tepatnya, mengkritisi) sikap-laku ”kaum kerabat” atau ”anggota komunitas”-nya secara internal: Kenapa kita melukai semesta/ Sementara kita menghirup air susunya/ Kenapa kita menyumbat sungai kehidupan/ Padahal di sana ruh dimandikan (?). Sebab, dalam konteks papadaan, pemahaman terhadap kritik semacam itu tidak lebih dari suatu upaya untuk melakukan introspeksi (melihat ke dalam diri). Kendati, kita pun segera mafhum bahwa pada ujung-ujungnya sang aku-lirik tetap berdiri dalam jarak tertentu sebagai seseorang dengan personalitasnya sendiri, sebagaimana terungkap dalam larik-larik: Mengunyah rasa sakit ini/ Kuludahkan darahnya/ Nyerinya tak terasakan olehmu.

Secara umum, dalam sajak-sajak Eko, pemanfaatan konsep papadaan sebagai mediator untuk meminimalisasi ketegangan atau sebagai upaya untuk mempersempit jarak-batas sosiokultural tampaknya cukup efektif dalam rangka memuluskan penyampaian pesan. Sebab, sekali lagi perlu ditekankan, dalam konsep tersebut siapa pun akan merasa terlibat dan dilibatkan. Jarak-batas personalitas terasa menjadi lebih intim karena kebersamaan yang dibangun dalam konsep papadaan memungkinkan aku-kau maupun kita (kami)-mereka (kalian) tidak dalam hubungan yang konfrontatif, tetapi bersifat konformistis. Demikianlah pula yang dapat saya tangkap dan rasakan dalam sajaknya yang bertajuk ”Saranjana”, lantaran pemanfaatan konsep papadaan-nya yang tepat pula hingga membuat sajak yang sesungguhnya bisa bernada sarkas dan sangat garang ini tinggal tersulap menjadi sebuah satire ”retaknya persaudaraan” yang sangat halus. Perhatikan dalam larik-larik berikut ini, betapa ”sang kakak” masih bisa bersikap arif menerima kesuksesan ”adik”-nya yang justru dibangun dengan tetes keringat, air mata, dan segala pengorbanannya:

 

Sambu, kepurbaan cintamu menjadi pengembaraan

Di padang-padang sunyi kau gembalakan angan

               Memasuki lorong-lorong intipmu

Periuk yang kami tanak berisi air mata kandamu

Ranjang pengantin batu bersimbah darahnya

               Jangan simpan perihmu ke lukanya

               Jangan biarkan keanyiran menyergap

 

Di situ tergambar ada jarak (pembatas duniamu dan para juriat), keterpisahan secara fisik maupun mental, sebagai konsekuensi terburuk putusnya hubungan silaturrahmi atau retaknya persaudaraan. Akan tetapi, sebagai saudara tua (dengan bentuk sapaan kandamu), atas nama ”cinta mereka” sang aku-lirik (yang dalam sajak ini dijamakkan menjadi kami-lirik yang impersonal) bukan saja sedia menerima ”kelatahan” adiknya untuk berpisah, melainkan juga siap membuka diri untuk membangun kembali kebersamaan baru: Sangkarmu penuh tangkapan –bukalah/ Biarkan halimun itu tersibak/ Burung-burung kembali ke sarang pertama/ Fajarmu harus kita bangkit ke ufuknya. Tidakkah semua itu dilakukannya demi sang adik, Sambu, yang kedalaman cinta-nya menjadi periuk itu? Ya, demikianlah personalitas aku-kau atau kami-kalian tersambung dalam konteks ke-kita-an yang intim hingga aku-lirik (kami-lirik) pun berpetuah dengan bijak: Angkatlah lubuk cintamu menemu kuali.[7]

 

/ 3 /

 Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, di luar sajak-sajak bertema kritik sosial setidak-tidaknya ada sepuluh sajak lain yang secara eksplisit berdimensi religius atau bahkan berkecenderungan sufistik. Dalam kaitan ini, hal penting yang perlu dikemukakan kembali bahwa dalam sajak-sajaknya yang bernilai religius pun estetika perpuisian Eko senantiasa dapat ditandai dengan kehadiran personalitas aku-kau-kita, kendati makna hubungan itu lebih menunjuk pada konsep homo-religiousus. Lebih jelasnya, jika personalitas dalam sajak-sajak kritik sosialnya pada galibnya menunjukkan relasi sosiopsikologis antar-sesama-manusia, dalam sajak-sajaknya yang bermuatan religius hubungan personalitas itu lebih mengacu pada kerangka dialogis aku-lirik dengan Khaliknya.

Dalam konteks sastra religius, konstruksi kita merupakan bentuk transformatif dari konstituen aku yang antropomorfis dengan Kau yang teomorfis. Lebih jauh lagi, dalam dimensi sufistiknya, konstruksi kita bahkan mengandaikan terjadinya proses unifikasi antara aku-hamba dengan Kau-Tuhan atau luluhnya kemakhlukan dalam keilahian secara transendental. Dari sejumlah sajak religius yang lahir dari tangan Eko, khususnya dalam ENSO ini, salah satu di antaranya yang dipandang relatif kuat memperlihatkan kecenderungan sufistik adalah sajak bertajuk ”Kukitari Rumahmu”. Kendati memang tidak sampai menyentuh konsep ”Kemanunggalan Ilahiah” (dalam sufisme Jawa dikenal dengan istilah manunggaling kaula lan Gusti), tetapi sajak yang selengkapnya dikutipkan di bawah ini cukup representatif sebagai model sastra sufistik.[8]

 

KUKITARI RUMAHMU

 

Betapa rindunya aku dalam tawaf subuhku

               Engkau berdiri di pintu masuk

               - menyeruku

 

               Di jalan sepimu

Kukumpulkan potongan-potongan sunyi

               Dari gelas cahaya cintamu

               - memburuku

 

Sisa waktu ini menyingkap hari-hari

               Menyelam dalam diriku

Kayuhan ini menyisakan wajahmu

               Kucari dalam himpitan peristiwa

               - kemana perginya

 

Kuseru dalam jalan-jalan mimpi

               Kubingkai sunyi bersama anak-anak rindu

               - yang lahir dari rahim malammu

 

Matahari dan bulan mengitari rumahmu

Air mata kekasih membasuh luka semesta

Kemana kan kusembunyikan debu kemusykilan

Air mata itu mencari diriku

               Aku terkepung dan tak bisa lari

 

Kata-kata telah menjadi kesturi dan zaitun

Kusampaikan dalam bahasa puisi

Aku tak bisa membaca

               Karena bacaan adalah diriku

 

Kukitari rumahmu

 

               Tidak dalam hitungan lagi

 

Dalam bahasa sederhananya, sajak di atas sebenarnya hanya mengungkapkan pengalaman spiritual aku-lirik saat ia melakukan tawaf (berjalan mengitari ka’bah; bagian dari ritual ibadah haji), sebagaimana dapat kita pahami dari larik pembukanya (Betapa rindunya aku dalam tawaf subuhku). Namun, karena oleh sang penyair sajak tersebut tidak langsung diberi judul ”Tawaf” tetapi secara metaforis dibungkus dengan tamsil ”Mengitari Rumahmu” (sebagaimana dapat kita rujuk pada larik-larik Kukitari rumahmu// Tidak dalam hitungan lagi), kesederhanaan tersebut terasa menjadi sesuatu yang sublim. 

Muatan sufistik dalam sajak di atas terasa sangat impresif mulai dari larik pembuka hingga ke larik penutupnya. Kita rasakan betapa sang aku-lirik yang ontologis demikian merindu dalam suatu perjumpaan transendental dengan Khaliknya. Sebagai seorang mahabbah (sebagaimana dapat kita pahami melalui konsep ”Cinta Ilahiah”-nya Rabiah al-Adawiyyah, misalnya), ia benar-benar merindukan kebersamaannya dengan Tuhan secara imanen hingga secara personal seakan tak ada jarak lagi antara aku (makhluk) dengan Kau (Khalik): Engkau berdiri di pintu masuk/ menyeruku//... Di jalan sepimu/ Kukumpulkan potongan-potongan sunyi/ Dari gelas cahaya cintamu/ memburuku. Akan tetapi, kerinduan itu tetaplah sebatas kerinduan seorang manusia yang eksistensial, bukan dalam kondisi fana-nya seorang sufi: Kayuhan ini menyisakan wajahmu/ Kucari dalam himpitan peristiwa/ kemana perginya.

 

/ 4 /

Dari seluruh sajak Eko yang bertema kritik sosial, sejauh yang dapat saya tangkap, pesan moral yang ingin disampaikan sesungguhnya dapat dikerucutkan hanya dalam empat larik sederhana, yakni pada bait penutup sajak ”Fenomena” berikut: Manusia demikian bodohnya/ Menombaki alam dari waktu ke waktu/ Kemudian kembali terperosok/ Di lubang yang sama. Kendati pada simpul besarnya gaya bahasa dalam larik-larik tersebut terasa agak sinis, tetapi di banyak tempat dalam banyak sajaknya yang lain sang penyair selalu menyajikan pesan-pesan moralnya secara dialogis (monologis) melalui pertautan personalitas (aku, kau, kita) yang intim. Keintiman personalitas itulah yang membuat sajak-sajak kritik-sosialnya tidak terasa sebagai pesan yang bernada kelewat tendensius, tetapi lebih berupa satire yang halus.

Sementara, untuk sajak-sajak Eko yang bertema religius, pesan moral itu agaknya tidak cukup hanya direpresentasikan dalam beberapa larik singkat. Namun, bagaimanapun, sejatinya sajak-sajak religius senantiasa akan membawa pesan-pesan cinta dan kerinduan antara aku-makhluk dengan Kau-Khalik hingga diandaikan mencapai suatu kondisi kebersamaan (ilahiah), menyatunya sang hamba dengan Sang Khalik dalam personalitas ke-kita-an yang transenden. Akan tetapi, dalam sajak-sajak Eko, spiritualitas semacam itu masih dalam batas pencarian. Perhatikan, misalnya, larik-larik dalam bait kedua sajak ”Air Mata Semesta” berikut ini.

 

Tidak ada yang perlu dicurigai

               Walau antara kita saling intip

Mengapa rindu yang berurai air mata ini

               Terus mencarimu sepanjang zikir dan sajadahku

Engkau berkeliling memunguti air mata itu

               di sepanjang lorong, trotoar dan puncak kesepian

bersama anak-anak sunyi

 

Hal lain yang juga cukup menonjol dalam sajak-sajak Eko (lebih luas lagi menyentuh estetika kepenyairannya), setidaknya melalui antologi ENSO ini, seakan ia ingin meneguhkan keyakinannya pada kekuatan puisi (dalam sajak-sajaknya, kecuali untuk judul ”Sajak Politik” dan beberapa larik sajak lainnya, pada umumnya Eko tidak menggunakan istilah ”sajak”). Di sini, dalam bentuknya yang eksplisit maupun implisit, puisi dipandang sebagai ”kubangan kerbau imajinasi” (meminjam istilah Ajamuddin Tifani) seorang penyair, baik sebagai media pengucapan artistiknya yang sangat personal maupun sebagai pengungkap pesan-pesan moral kemanusiaan yang universal. Keyakinan semacam itu dapat kita lihat pada sejumlah sajaknya, antara lain ”Air Mati Mata Air Mata”, ”Sungai Luka”, ”Ziarah Puisi”, ”Rumah Puisi”, ”Menggenapi Langkahmu”, ”Rumahmu Cuma Kata-kata”, ”Luka-luka Kubur Kota”, ”Bingkai”, dan ”Jejak”. Untuk melihat sejauh mana perhatian, kecintaan, keyakinan, kerisauan, dan harapan-harapan sang penyair pada puisi, mari kita simak larik-larik ”Rumah Puisi”-nya yang dikutipkan selengkapnya di bawah ini.

 

RUMAH PUISI

 

Rumah puisi adalah hatimu

               yang merangkai kota-kota dunia

 

Membaca dan merekam peristiwa

               lewat jemari waktu

 

Dalam pahatan hari

               tanpa henti         

 

Rumah puisi kita bangun

               dari kecemasan dan mimpi embun

Hati kita adalah jembatannya

               kita biarkan terasing sendiri

 

               Kekosongan kita lukis di selembar kertas

Dengan tipu daya

               warna-warna diputihkan tanpa ujung

Kita melukisnya dengan tombak, panah, keris, pedang

               bayonet, molotov, hingga bom

Kita menguasnya dengan ekspresi

               dan tangan sendiri

Gambarnya beterbangan di udara

               Kita santap setiap sarapan pagi

 

Rumah puisi tak lagi kita tulis dengan kata-kata

               Atau kita bingkai dengan hati

Tetapi sudah mereka tulis dengan peristiwa

               Setiap waktu

 

Rumah puisi bukan lagi rumah kita

 

ia adalah cuaca

 

               sebab musim dan angkara pemiliknya

 

            Dengan diksi yang apik, penyair mendeskripsikan gejolak batin dan tanggapan kritisnya terhadap puisi (baca: kondisi perpuisian di tanah air) yang kini hidup dalam lingkaran paradoks. Ada kontras, juga bayangan anakronisme di dalamnya. Bangunan personalitas pun seakan pecah, terbelah, karena kita-mereka (termasuk di dalamnya aku-kau) secara implisit telah diposisikan (juga dioposisikan?) sebagai dua kekuatan yang berseberangan. ”Puisi” (yang bisa saja ditafsirkan lain) yang dulu merupakan persoalan hati, kini sudah dikuasai oleh anarkisme peristiwa (baca: nafsu duniawi). Perhatikan kembali paradoks dalam dua baitnya ini: Rumah puisi kita bangun/ dari kecemasan dan mimpi embun/ Hati kita adalah jembatannya/ kita biarkan terasing sendiri//... Rumah puisi tak lagi kita tulis dengan kata-kata/ Atau kita bingkai dengan hati/ Tetapi sudah mereka tulis dengan peristiwa/ Setiap waktu/ Rumah puisi bukan lagi rumah kita/ ia adalah cuaca/ sebab musim dan angkara pemiliknya. Betapa tragisnya, bukan?

            Namun, bagaimanapun, jarak personalitas yang terbangun dalam hampir semua sajak Eko sebenarnya masih selalu menyisakan ruang dialog untuk menyikapi segala sesuatu dalam spirit kebersamaan; bahwa konsep papadaan, sekali lagi, senantiasa menjadi esensi personalitas yang dibangunnya; bahwa dengan konsep sosiokultural tempatan itu memungkinkan segalanya bisa mencair untuk mencapai harmoni (unifikasi kata, hati, waktu, dan peristiwa). Bukankah harmoni merupakan inti segala keindahan? Akan tetapi, sebuah pertanyaan aksiologis juga dilontarkan penyair ke hadapan kita (baca: siapa pun yang merasa dirinya penyair), sebagaimana terungkap dalam bait keempat sajak “Bingkai”-nya ini: Seperti ada yang terlepas di jemariku/ luka peradaban menggiring kepada waktu/ Haruskah tangisan anak-anak pecah/ dalam ruang hatimu/ sebelum puisi menjadi batu (?).

            Kecuali hal di atas, masih dalam kaitannya dengan “puisi” sebagai media, di antara banyak sajaknya yang rata-rata relatif panjang itu ternyata Eko juga menulis beberapa sajak alit —istilah “alit” (dari bahasa Jawa yang berarti “kecil”, “pendek”, “singkat”, atau “padat”) dalam hal ini bukan saja merujuk pada perhitungan jumlah lariknya yang minim, melainkan juga pada minimnya jumlah kata dalam setiap lariknya. Sajak-sajaknya yang tergolong alit atau sering disebut “sajak minimalis” (dalam arti “hemat kata”) dimaksud antara lain diwakili oleh sajak-sajak bertajuk “Jejak” (14 larik), “Luka-luka Kubur Kota” (12 larik), “Di Langit Kota Ada Menara” (12 larik), “Sajak Politik” (8 larik), dan “Idul Fitri” (4 larik). Kecuali kelima sajak yang isinya berkisar antara 4—14 larik tersebut, masih ada dua sajak lagi yang boleh dikata merupakan pamungkas untuk ragam sajak alit ini (karena superalitnya), yakni “Kemerdekaan” dan “Ramadhan” (masing-masing hanya berisi 1 larik) —sajak “Kemerdekaan” hanya berisi larik kereta belum tiba di stasiun (sebagai metafor belum terwujudnya konsep “kemerdekaan” yang ideal), sedangkan sajak “Ramadhan” berisi larik aku tersungkur (sebagai metafor totalitas penyerahan diri seorang hamba di hadapan Sang Pencipta).

             Di luar konteks interpretasi atas kandungan maknanya yang sering kontroversial, paling tidak ada tiga kemungkinan yang melatarbelakangi mengapa seorang penyair menulis sajak-sajak alit (khususnya yang superalit).[9] Kemungkinan pertama, ia ingin menunjukkan bahwa untuk mengungkapkan suatu pesan (dengan media puisi, tentunya) sesungguhnya bisa dilakukan dalam wujud bahasa yang sangat padat atau dengan kata-kata yang sehemat mungkin. Dengan demikian, kata (-kata) yang digunakan hanyalah kata (-kata) yang benar-benar selektif dan kehadirannya dipandang sangat fungsional dalam membangun makna atau untuk menyampaikan pesan (secara teoretis, hal ini tentu sesuai dengan ciri khas cipta-puisi yang lebih mengutamakan kepadatan pengucapan, terutama dalam perbandingannya dengan ragam prosa). Agaknya, alasan demikianlah yang kemudian memunculkan genre “sajak minimalis”.

Kemungkinan kedua, pada saat ingin menulis sajak sang penyair sebenarnya merasa sudah kehabisan kata untuk dituliskan. Namun, dengan hanya bermodal satu atau dua kata yang ditemukannya, dalam kondisinya yang tidak mood itu ia tetap nekad memaksakan diri untuk menulis sajak hingga akhirnya melahirkan bentuk sajak-sajak superalit. Karena itu, dari dulu hingga sekarang, jenis sajak-sajak superalit ini selalu tidak banyak ditulis orang. Dalam sebuah antologi puisi tunggal karya seorang penyair yang berisi lebih dari lima puluhan sajak paling-paling hanya akan kita temukan satu-dua sajak superalit.

Lalu, sebagai kemungkinan ketiga, tanpa dilandasi kesadaran dan pandangan estetik tertentu sang penyair tampaknya sekadar ikut-ikutan “latah” dengan menulis sajak-sajak superalit pula. Posisinya tidak lebih dari sebagai epigon para pendahulunya semisal Sitor Situmorang, Sutardji Calzoum Bachri, atau Hamid Jabbar yang pernah menciptakan satu-dua sajak superalitnya.[10] Maka, jika kemungkinan kedua dan ketiga yang menjadi penyebabnya, dapat diduga bahwa sajak-sajak superalit (yang cenderung ditulis dengan paksa atau sekadar mengikuti penyair lain) tersebut akan rendah mutu sastranya atau setidak-tidaknya kurang berbobot literer.

 

/ 5 /

Lepas dari soal penandaan personalitasnya, juga di luar masalah alit-alitan, sekali lagi dapat dikatakan bahwa sajak-sajak yang pernah ditulis Eko pada umumnya selalu diwarnai oleh diksi dan metafor-metafor yang menunjukkan keakraban sang penyair dengan alam-lingkungan terdekatnya. Sebagai seorang penyair yang lahir, besar, dan tinggal di sebuah kota pesisir (Kotabaru), metafor-metafor yang dieksplorasinya juga tidak jauh beranjak dari panorama lokal semacam laut, sungai, danau, ombak, gelombang, awan, badai, langit, pasir, batu karang, ikan, nelayan, perahu, kapal, pelayaran, juga burung, pohon, hutan, dan pegunungan. Namun, menjadi terasa kontradiktif ketika dalam sajak tertentu sang penyair mencoba memberi warna lain dengan menempatkan metafor “asing” semacam stasiun karena ia justru sedang berbicara dalam konteks lokal (lihat, misalnya, sajak bertajuk “Stasiun Waktu Kilometer Lima Puluh Lima”). Hal itu tentunya berbeda kalau ia sedang mengembara (secara fisik maupun imajiner) ke tempat-tempat lain yang jauh (semisal Malioboro, Aceh, atau Fort Rotterdam, Makassar) atau saat sang penyair ingin berbagi pengalaman batinnya dalam konteks kemanusiaan yang universal (semisal kereta dan stasiun dalam sajak “Kemerdekaan” yang telah dikutipkan di atas).

Akan tetapi, perlu dicatat kembali bahwa secara umum sajak-sajak Eko lebih banyak berbicara tentang lokalitas sosiokultural atau alam-lingkungan terdekatnya. Aspek ini merupakan salah satu kekhasan dan sekaligus menjadi kekuatan sajak-sajaknya. Selain itu, keintiman personalias yang dibangunnya merupakan faktor lain yang mendukung signifikansi pengucapan estetik sajak-sajaknya. Akan tetapi pula, biarlah sajak-sajak berbicara dengan bahasanya sendiri, tentang metafor-metafor yang didedahkannya, tentang kedalaman makna yang ditawarkannya, juga tentang takaran bobot literernya. Ya, seperti kata sebuah pepatah Latin, “Verba Volant, Schrifta Manent” (terbang tak tentu, tetapi apa yang tertulis tetap tinggi mutunya selama-lamanya).

 

Pelaihari, 2 Februari 2010

 

 

DAFTAR ISI

Prolog:

Aku, Kau, Kita: Menandai Personalitas Sajak-sajak Eko Suryadi WS

(Jamal T. Suryanata)

Kebuau: Tentang Artikulasi Pengalaman Lokal Orang Banjar (Faruk)

Daftar Isi

 

(1) ELEGI NEGERI SERIBU OMBAK (2000-2005)

Dendam Pohon

Mengunyah Rasa Sakit, Kuludahkan Darahnya

Hujan Meninggalkan Kota

Rumahmu Cuma Kata-kata

Akulah Ikan Mengepung Gelombang

Elegi Negeri Seribu Ombak

Figura (1)

Bercermin

Air Mati Mata Air Mata

Sungai Luka

Ruang Angin

Ketika Kita Tak Mampu Membujuk Hujan

Kukitari Rumahmu

Stasiun Waktu Kilometer Lima Puluh Lima

Pertanda Apa

Ziarah Puisi

 

(2) TANJUNG DEWA (2006-2007)

Tanjung Dewa

Membaca Tanah Risaumu

Kutimba Badai Pamor Lautmu

Rumah Puisi

Ibu

Figura (2)

Air Mata Semesta

Hujan Pertamaku Turun

Menggenapi Langkahmu

Luka-luka Kubur Kota

Bingkai

Berdiri di Fort Rotterdam

Kemerdekaan

Sajak Politik

Setelah Air Mata

 

(3) BAJAU (2008-2009)

Di Malioboro

Setelah Perarakanmu

Saranjana

Di Langit Kota Ada Menara

Hikayat

Jejak

Sedekat Rindu

Di Kedalaman Waktu

Ramadhan

Idul Fitri

Sebelum Halimun

Berjalan di Belakang Keranda Menuju ke Pemakaman

Fenomena

Melayu

Bajau

Di Tanah Retak

Fajar Air Mata

Cinta Ini Kususun

Terbanglah Kuat-kuat ke Langit Lukaku

Menunggu Perjamuan

Epilog:

Kebuau: Tentang Artikulasi dan Pengalaman Lokal Orang Banjar (Faruk)

Tentang Penyair

 

 

(1) Elegi Negeri Seribu Ombak

 

Dendam Pohon

 

Kau lukai tidur daun

Kau tikam mimpi akar

Kau hirup nyanyi embun

Kau bakar cakrawala

 

            Daunku terluka:

akarku berdarah

embunku kesunyian

 

cakrawala membara.

            Arwahku dendam pohon

Mengejar tidurmu

Pisauku mengasah mimpimu

            Kukirim banjir

            Badai

            Kubakar kesumat

 

Amarahku dendam kehidupan

Kotabaru, Maret-April 2000

 

 

Mengunyah Rasa Sakit, Kuludahkan Darahnya

 

Sepanjang kelokan jalan Tanjung Serdang

            kita melukis wajah dengan beton

Rumah yang dihadapkan pagar

            kita durikan pada bola mata

            Runcingnya menusuk lengan kita

Seperti ada yang terlepas

            Darah membaui hutan pinus

            Angin membaui jalan-jalan

 

            Mengunyah rasa sakit ini

kuludahkan ke hutan-hutan terbakar

Pohon ulin dan meranti dirobohkan

sebelum pemantik api dijatuhkan

 

Ada yang dihilangkan sebelum pembakaran

Ada yang diterbitkan sebelum pembalakan

 

Sepanjang kelokan menuju kota

            Hutan-hutan dikuliti

            Luka pohon nyeri

 

Ketika kita melupakan waktu

Rumputan tak pernah melupakan zikirnya

 

            Kenapa kita melukai semesta

Sementara kita menghirup air susunya

            Kenapa kita menyumbat sungai kehidupan

Padahal di sana ruh dimandikan

 

Mengunyah rasa sakit ini

Kuludahkan darahnya

 

            Nyerinya tak terasakan olehmu

 Kotabaru, 2001

 

 

Hujan Meninggalkan Kota

 

Hujan telah meninggalkan kota

            ketika hari bersembunyi

            di pohon-pohon kemarau

Kita sibuk menangkap kilat badai

            di bayang senja yang gugur

 

Kita mengasah keangkuhan di lancip batu

            Ketika hati berjalan tanpa kaki

Berebut bongkah bumi dengan gergaji

            Hutan pun rebah di pelukan sunyi

 

Kota dihuni manusia tanpa hati

            Angin memburukkan rupa

            Batu-batu menjadi hantu

 

            Jejak hujan dihapus ranting kurus

Ketika tahun meninggalkan almanak

Angka-angka kau susun sepanjang pantai

            Dihapus pasang dalam lautmu

 

            Kemana wajahmu menyembunyikan mimpi

Ketika kota merindukan awan

Pelangi gagal melukis gerimis

Karena luka menjadi air mata

 

Hujan pun meninggalkan kota

            Ketika hati kita menjadi batu

Kita membangun kota berhala

Sementara tanggul-tanggul hujan

            kita dirikan tanpa harapan.

  Kotabaru, 2001

 

 

Rumahmu Cuma Kata-Kata

 

            Kutuliskan puisi pada kanvas kota

Karena kata-kata tak mampu direkatkan

            Apa yang kucatat dalam bukumu

Cuma sebaris hitungan dan sewarna darah

            Membasahi taplak meja berandamu

 

Puisi, katamu, cuma rumpun ilalang di taman kota

Tak perlu disapa apalagi dirawat

Ia bisa menjaga dirinya dari virus flu

Serat jiwa yang tertulis – bukan padang sabana

            Cuma kegelisahan

 

            Di punggung matamu ada garis tak beraturan

Mimpi yang kau tegakkan kini kau hapus dengan kaki-kaki sunyi

Lukisanmu hanyalah bayangan malam

            Mengejar orang sekota

            Bagai sosok hantu lorong

Takut disapa

 

Di laut, puisi itu telah berdarah

Nama-nama tak bermakna

            Menjelang musim –

rumahmu yang dibangun dari kata-kata

cuma seonggok pasir

yang ditenggelamkan pasang

 

            : tak berjejak di pantai

 Kotabaru, 2002

 
Akulah Ikan Mengepung Gelombang

 

Akulah ikan mengepung gelombang

            Lautmu pasir-pasir dan batu-batu

Aku datang kepadamu

            bagai angin –

pusaran waktu

 

            Menawan sangkar mimpi

Janganlah kau beringsut

Panah beserta busurnya telah kubidikkan

Sejengkal kau bergerak

Sungai-sungai akan berwarna darah

 

Akulah ikan mengepung gelombang

Datu-datu telah mengutukmu menjadi abu

Jadilah kau jiwa yang gamang

 

            Biarlah luka-luka itu

menelanmu

 

Buanglah abumu –

            di keterasingan waktu

 

di perih lautmu

 Kotabaru, 01062007

 

 

Elegi Negeri Seribu Ombak

 

Di negeri seribu ombak

            kubangun kota-kota peradaban

Kutaburkan mimpi daun, sungai, cakrawala, hujan

            Lewat kasih sayang bunga

 

Kuhisap udaramu

            kuhirup sungaimu

                        kupijak bumimu

                                    kukayuh lautmu

 

            menjadi semestaku.

 

            Di sini perarakan musim datang dari segala penjuru

membawa mimpi peristiwa

            dari nol kilometer ke kilometer lima puluh tiga

kusapa duka lara.

 

            Tangismu melarutkan jembatan kekinian

Air matamu meruntuhkan beton-beton

Menisbikan sejarah yang lahir dari doa-doa leluhur

Kuburnya ditenggelamkan para pengembara

            Kota-kota telah dibakar para perambah

Mimpi musim pun diseret putaran waktu:

            tak pernah kembali

            tak pernah tersisa

 

Adakah semestaku.

 

Mereka  lukai negeri ini

Mereka hirup darahnya

Dengan rasa haus dan mata terpejam

 

Di negeri seribu ombak

Burung-burung pemangsa meninggalkan bangkai

 

            setelah pesta

Kotabaru, Juni 2003

 

 

Figura (1) 

             : m. sulaiman najam

 

Puisi senja yang kau tulis kemarin

Mengendap di batas usia

Ketika para sahabatmu bercakap

Tentang bulan penghujung

 

yang memberi ruang

 

: Palang pintu membukakan rindu

 

Kau pun terdampar dalam titik peta

            Ketika gelora kenangan

            Memunguti waktu dan jejakmu.

 

Kegairahanmu seperti desir angin membangkit ufuk

 

Kau kokangkan senapan

            : sebagai nasib menafsir badai

 

Adalah figura yang kau bingkai

            Sepanjang hari-hari kembara

Mulutmu terus mengunyah batu dan kerikil

Sementara jalan kau hampar dalam kesunyian senja

 

            Siapa pun tak mampu membendung pasang lautnya

Kotabaru, 2003

 

 

Bercermin

 

tak perlu kau ketuk

               akulah pintumu

tak perlu kau sapa

               akulah salammu

tak perlu kau tatap

               akulah wajahmu

tak perlu kau jangkau

               akulah langitmu

tak perlu kau kayuh

               akulah lautmu

tak perlu kau sapu

               akulah awanmu

tak perlu kau gulung

               akulah jalanmu

tak perlu kau pintal

               akulah mimpimu

tak perlu menangis

               akulah air matamu

tak perlu sedu-sedan

               akulah lukamu

bercermin aku

               tak perlu

Kotabaru, 2003

 

 

Air Mati Mata Air Mata

 

tanah air mata

                        mata air tanahku

tanah air mati

                        mati air lautmu

tanah air mata

                        tanah air mati

                                    a-r-w-a-h-k-u

 

lautmu

            arwahku

                        air mati

                                    puisi

air mati

            mata

air mata

 Yogyakarta, 2004

 

 

Sungai Luka

 

tanah air mata ini

         adalah puisi-puisi yang kutulis

tanah yang kehilangan pohon

         sungai yang kehilangan muara

         mimpi yang kehilangan malam

 

tanah air mata ini

         musim yang ditawan

catatan penghujung tahun

         ditulis di buku kemarau

dengan ranting-ranting kering

 

         tanah air mata ini

kita biarkan berdarah

         tanah air mata ini

adalah kita yang menggiring kata-kata

 

         ke sungai luka

 2004

 

 

Ruang Angin

 

Dari waktu

ke waktu

            bersidekap kita

 Siang malam

             puja memuja

 

Ruang angin

             cahaya di atas cahaya

Bersentuhan kita

             awal akhir tanya.

 

Dari ruang,

 waktu

             dan dimensi.

Air mata semesta

menjadi atap

Ketika doa-doa kita terbangkan

            ke langit keabadian.

Kotabaru, 2004

 

 

Ketika Kita Tak Mampu Membujuk Hujan

 

Tanah kemarau ini

Tak mampu membujuk hujan

            Jejak sekalipun enggan menyisakan

 

Pohon-pohon telah dibangunkan dari tidurnya

            Kita bakar mimpinya

Hingga dendamnya mengirim asap

            Mengepung kota-kota

Jejak musim telah dihapus

Ketika kita tanpa sengaja menjarah alam

            Ladang-ladang kita buka

            Hutan-hutan kita babat

            Nyanyiannya menjadi air mata

 

Tonggak-tonggak purba telah menjadi arang

            Telah menjadi siklus

Yang senantiasa kita ulang

            Episode demi episode

 

Langit menyembunyikan embun

Karena awan telah dikalahkan

Cakrawala murung di wajah semesta

 

Hujan menjadi tawanan waktu

 

Air mata telah terperangkap di rumah senja

 

Ketika kita tak mampu membujuk hujan

Banjarmasin, 2005

 

 

Kukitari Rumahmu

 

Betapa rindunya aku dalam tawaf subuhku

            Engkau berdiri di pintu masuk

            - menyeruku

 

            Di jalan sepimu

Kukumpulkan potongan-potongan sunyi

            Dari gelas cahaya cintamu

            - memburuku

 

Sisa waktu ini menyingkap hari-hari

            Menyelam dalam diriku

Kayuhan ini menyisakan wajahmu

            Kucari dalam himpitan peristiwa

            - kemana perginya

 

Kuseru dalam jalan-jalan mimpi

            Kubingkai sunyi bersama anak-anak rindu

            - yang lahir dari rahim malammu

 

Matahari dan bulan mengitari rumahmu

Air mata kekasih membasuh luka semesta

Kemana kan kusembunyikan debu kemusykilan

Air mata itu mencari diriku

            Aku terkepung dan tak bisa lari

 

Kata-kata telah menjadi kesturi dan zaitun

Kusampaikan dalam bahasa puisi

Aku tak bisa membaca

            Karena bacaan adalah diriku

 

Kukitari rumahmu

 

            Tidak dalam hitungan lagi

 Kotabaru, 2005

 

 

Stasiun Waktu Kilometer  Lima Puluh Lima

 

Di stasiun waktu

            kilometer lima puluh lima

 

Hamparan senja di batas laut, pemandangan itu

            Senantiasa kita jumpai dari waktu ke waktu

            - pohon bakau kehilangan akar tanahnya

              satwanya dihalau gergaji

  Kemana perginya udang dan iwak belanak

Sebatung kehilangan ulin dan meranti

            - meganya diusir chainsaw dan para pengembara

Kemana pelanduk dan tupai-tupainya

 

            Kemana perginya mereka

 

Di stasiun waktu

            kilometer lima puluh lima

kita menjual mimpi

Melupakan doa dan kasih sayang para leluhur

Hutan telah kita punahkan

            Rumah-rumah kita gergaji

            Sungai-sungai kita kubur

Dan kota kita tenggelamkan

 

            Akan kemana perginya kita

 

Di Siring Laut pada suatu pagi

Ketika waktu menghantar kota ini pada kilometer lima puluh lima

Kita menyaksikan sebuah pesta

Kita rayakan dengan mata terpejam

Kita menyaksikan sejarah hitam putih

di semangkok bubur ayam yang siap disantap anak-anak kita

            pada setiap sarapan pagi

Inikah pewarisan itu

 

Kita semakin tidak paham dengan diri kita sendiri

Isyarat alam kita simpan di almari

Betapa dungu hati kita menisbikannya

Kesaksian ketidakberdayaan ini

Menunjukkan bahwa kita yang pongah ini ternyata tolol

Kedukaan yang kita ciptakan seperti tanpa salah

Alam telah kita harubirui

Kita lukai pohon

Kita buldozer mimpi tanah

Kita tenggelamkan masa depan

 

            Esok pagi kita harus siap berlarian

 Kotabaru, 2005

 

 

Pertanda Apa

 

Ketika Nuh mengabarkan banjir lewat tsunami

Ketika Lud menceritakan gempa lewat tektonik

            Alam gelisah

            Semesta berduka

Ini pertanda apa

 

            Sebegitu parahkah hati kita menjadi buta

Sebegitu angkuhkah kita menjadi manusia

            Sebegitu pongahkah kita

Alam pun mencatatkan peristiwa

            Kita menjadi piatu seketika

Kita ternyata debu

Kita ternyata kesia-siaan

            Keniscayaan

Siap diterbangkan dan ditenggelamkan

Pertanda apa

 

Ketika dunia menangisi Aceh

            Indonesia, Sri Langka, India, Maladewa

Thailand dan Malaysia

Menangisinya dengan zikir

 

Tsunami membuat keder nyali kita

Tektonik membukakan kematian mata hati kita

Hendaknya tidak selalu menulisnya dengan air mata

            tidak selalu mencatatnya dengan duka cita

Inilah momentum pertobatan

            Meraba hati kita

 

Aceh adalah ujian

Aceh adalah cakrawala

Aceh adalah sebingkai jendela

            Di dalamnya terdapat hati kita

Kematian bukan kesia-siaan

Kematian juga bukan kepunahan

Kematian adalah pelajaran

Membaca dan mencatatnya

            Walaupun ia tetap bernama rahasia

Kita pun merenunginya tanpa prasangka

 

Pertanda apa

            Ketika pergantian tahun menggoreskan luka

Indonesia, 1 Januari 2005

 

 

Ziarah Puisi

             : pusara A. Kusasi

 

Cuma segenggam doa yang kupuisikan

            Kutulis antara sa’i-mu dengan Arafah

Kami pahat namamu di nisan

            Begitu aku demikian dekat mengenalmu

 

Kau dalam gigil waktu, senantiasa menorehkan rindu

Biolamu menghantar ziarahku kepadamu

Ketika orang-orang mulai melupakan

            Seberapa panjang renda-renda japin kau bentangkan

            Seberapa luas cakrawala kau hampar

            Seberapa jauh mimpi kaurindui

            Seberapa sakit kau dizalimi

Tak kutemukan kedukaan

 

            Biola itu terasa kau gesekkan

Nada-nada itu terus menjadi puisi

            Sepanjang waktu menjadi zikir

 

            Ketika kau diberikan dunia, yang kau minta biola

Ketika kau kembali, yang kau miliki cuma biola itu

Aku mengingatmu -- kebekuan akhirmu -- bukan batas

            yang diisyaratkan kepada yang hidup

Tapi itulah perjalanan hakiki

 

            Kotamu senantiasa melahirkan manusia-manusia berhati beku

yang tak pernah mau belajar membaca peristiwa

            Sejarah terus mereka bengkokkan

Kita terus menyaksikan penistaan

Keniscayaan mereka bangun dengan pondasi semu

            atapnya air mata

            Kelak akan menjadi api

 

            Inikah ramalan kesedihan yang kau bisikkan kepadaku

pada suatu waktu ketika hari beranjak sore

Dan tingkap rahasia menatapmu

            Kau bersijingkat meninggalkan panggung dunia

Menuju pentas abadi

            Selamat tinggal, ucapmu

 

            Inilah ziarah puisiku

Berhadap-hadapan kita membaca dunia mereka

            Akankah mereka mengerti

bahwa bumi sewaktu-waktu akan disiram hujan

Api yang membakar kota ini sewaktu-waktu akan membakar mereka juga

Bangunan yang mereka bangun adalah berhala-berhala

            yang akan mengubur mereka

 

            Di gerbangmu kusaksikan matahari dijemput waktu

Wajahmu tegak, kucium wangi zaitun

Takbirku lurus

Cahaya yang dipantulkan waktu miliknya

            menjadi rindu

Dialah keabadian kita

 

salammun qaulan min rabbir rahim

Kotabaru, 2005

 

 

(2) Tanjung Dewa

 

Tanjung Dewa

 

            Laut mengundang mimpi lewat mantra

Para pengembara melepas jangkar

            Angin selatan menembus tanjung

Ombak mengirimkan warta duka kepada nelayan

Ketika purseseine menjelma Segitiga Bermuda

Bola lampunya menyeret kehidupan nelayan

            di keterasingan  

Di jemarinya seperti ada yang terlepas

 

            Di lautku jala-jala diputuskan

ikan-ikan direbut

            Ketika senja meninggalkan mimpi laut

menyandarkannya di bingkai cakrawala

 

Tanjung Dewa tetap misteri

Ketika mereka melupakan sesaji

            Semesta berduka dalam kabut dan badai

 

Di Tanjung Dewa

            Ada yang meraih mimpi

            Ada yang ditinggalkan mimpi

Sesaji tidak lagi berupa kambing dan ayam

Tetapi berubah benda lain

 

Di lautku ketika orang-orang tidak lagi menangkap ikan dengan jala dan rajut

            Tetapi dengan api dan amarah

            Mereka mengayuh dengan tombak dan parang

            Mereka melupakan sejarah nenek moyang

Siapa yang kuat mereka yang menang

 

Di Tanjung Dewa

            ikan-ikan meninggalkan perahu

 

Musim dari manapun tiba

Kotabaru,  2003-2006

 

 

Membaca Tanah Risaumu

             kepada penyair Aceh: AS Delosa

 

Dari tanah risaumu

            Kutangkap sangsai gelak dan mimpi

Meniti bumi Aceh yang baru ditenggelamkan

            Wajahmu rumbih oleh pasang laut semesta

 

Tak kau sebut tsunami sebagai peristiwa

Bibirmu cuma mengucap ini kesalahan kami

            Sebuah duka harus ditonggakkan

            Dan hati kita harus menolehnya

 

Dari tanah risaumu

            Kutangkap rindu berterbangan

Ia berjalan di lorong dan rumah bertulang sunyi

            Menebar cinta meninggalkan air mata

Telah kau patok perbatasan

            Malam pun telah kau purnamakan

Hingga jejak langkah tidak saling intip

            Sepanjang tanah rencong dalam satu warna

 

Tanah risaumu telah membuka jendelanya

            Di hulunya kau kirim pagi

Esoknya kapal-kapal akan singgah di pelabuhan kota

Dendam telah dikuburkan bersama matahari kemarin

 

            Dari kerisauanmu kutangkap senyum

 : mimpimu

TIM, Jakarta, 2006

 

 

Kutimba Badai Pamor Lautmu

             : d.zawawi imron

 

            Hamparkan semestamu

Kubentang dari barat ke timur

            Di tengahnya aku berdiri

Kutangkap kejaran ombak hingga badai

            Kusalamkan jejak musim

pada almanak pulaumu

 

Pelayaran yang kau kirim menggurat cakrawala

Kutorehkan pasang di pesisirmu

            dalam lautan garam

 

Di geladak kita berdiri. Laut hilang

            Penanggalan tak bertemu pantai

Kita tandai arah angin dengan kemudi. Kau orkestranya

            Seperti khotbahmu yang menyihir

Penyair itu melarutkan kata-kata. Menaklukan sungai-sungai

            hingga cakrawala

 

Laut terus menjadi musikku. Dari dawai yang kau petik

            Kubangun tanggul-tanggul peradaban

            Dari tafsir lautmu

 

Pelayaran ombak terus kugiring

Kujaring angin penjuru

Kutimba badai pamor lautmu

            dalam hitungan waktu

 Surabaya, 2006

 

 

Rumah Puisi

 

Rumah puisi adalah hatimu

            yang merangkai kota-kota dunia

 

Membaca dan merekam peristiwa

            lewat jemari waktu

 

Dalam pahatan hari

            tanpa henti

 

Rumah puisi kita bangun

            dari kecemasan dan mimpi embun

Hati kita adalah jembatannya

            kita biarkan terasing sendiri

 

            Kekosongan kita lukis di selembar kertas

Dengan tipu daya

            warna-warna diputihkan tanpa ujung

Kita melukisnya dengan tombak, panah, keris, pedang

            bayonet, molotov, hingga bom

Kita menguasnya dengan ekspresi

            dan tangan sendiri

Gambarnya berterbangan di udara

            Kita santap setiap sarapan pagi

 

Rumah puisi tak lagi kita tulis dengan kata-kata

            Atau kita bingkai dengan hati

Tetapi sudah mereka tulis dengan peristiwa

            Setiap waktu

 

Rumah puisi bukan lagi rumah kita

 

ia adalah cuaca

 

            sebab musim dan angkara pemiliknya

 Kotabaru, 2006

 

 

Ibu

 

Ibu, engkaulah yang mengirim air mata rindu ke langit

            Ketika malam berpendaran dibungkus sunyi

Hening menggesekkan cuaca ke daun-daun

            Kabut menyusup ke tingkap mimpi

 

Ibu, engkaukah yang merajut doa sepanjang usia

            Hingga menyingkap pintu-pintu langit

Menuliskan namaku, nama anak-anakmu

Air matamu tak pernah kering

            Mengaliri sungai kekinian

Menuliskan sajak-sajakku tentang cakrawala dan cinta

            dan menitipkan waktu dalam gerakku

 

            Ibu, engkau ajari aku membaca peristiwa

Jika kusangsikan cintamu

Dunia tak menoleh kepadaku

 

Jendela yang kau buka pagi-pagi, Ibu

            Adalah pintu pelayaran

Ketika sore aku kembali

            Engkau membukanya

Dan jika aku tak kembali, Ibu

            Engkaulah nisan kuburku

 

            Di dalam berdiriku

 Engkaulah

             Ibu

 Kotabaru, 2006

 

 

Figura (2) 

              : m.yusran yunus

 

Kenangan menunggumu di jalan-jalan kotaku

Sepanjang waktu kau akrabi lembar-lembar luka

            Dinding sajakmu memuat lukisan nasib

            Seburam tembaga dalam murung senja

 

Wajahmu geriap dalam air mataku

            Takbirmu mengantarku ke pendakian

Ruang kesahajaanmu

            Pengelana yang kesepian

 

            Hari-hari akan datang

Tak akan mampu kuraih gerimismu

Juga memintal pelangi mataharimu

            Telah kau tulis kesunyian itu pada batas kita

 

Aku harus menafsir ulang kisahmu dari ranting dan daun

 

Kata-kata yang kau susun

 

            adalah malam berjubah embun.

Kotabaru, 2006

 

 

Air Mata Semesta

 

Ketika pagi membuka kelopak wajahnya

            Semesta bertakbir

Sejak malam-malam udara bersijingkat

            membuka tingkap-tingkap langit membawa doa

 

Tidak ada yang perlu dicurigai

            Walau antara kita saling intip

Mengapa rindu yang berurai air mata ini

            Terus mencarimu sepanjang zikir dan sajadahku

Engkau berkeliling memunguti air mata itu

            di sepanjang lorong, trotoar dan puncak kesepian

bersama anak-anak sunyi

 

Takbir itu menjadi lautan airmata

            Tak henti-hentinya membasahi tanah peristiwa

Berhadapan kita dalam kesunyian

            Engkau berdiri di diriku

Aku mencari diriku

Anak-anak sunyi berbaju diriku

            Akulah diriku

 

Aku melupakan airmata yang  kutaburkan ke ladang-ladang

            Tak lagi berhitung

Karena aku adalah utang tak terbayar

Untuk apa aku mengingat-ingat

Karena berhitung adalah bentuk kepongahan

            Ambilah

Kusiapkan tempat bertambat

            Karena aku tak bisa bersandar di pelabuhan lain

 

Biarkan air mata semesta ini menjadi lautan

Karena suatu saat ia akan menjadi awan dan hujan

 

            Berpendaranlah

Kotabaru, 1 syawal 1427 H 

 

Hujan Pertamaku Turun

 

Hujan pertamaku turun. Kakinya lancip menggali tanah Jakarta

            Meja kursi cafe memainkan musik

 

Tardji menyiram sebotol aqua ke langit-langit TIM

            Jenggotnya melukis warna senja

            Udara berjingkrak-jingkrak

 

Leon Agusta menyusun nomor hp-nya

 

Pengunjung cafe menunggu khotbah sebelum bubar

            Setelah pertemuan

            tak ada lagi kenangan

 

Langit malam Jakarta demam

Kami menyusun diskusi terlalu lebar

Tak menemu Indonesia

            apalagi peta kotaku

            yang dihapus iklan atau berita para bintang televisi

disintegrasi bisa saja terjadi

 

Dji, Leon mengguman mengiyakan kegundahanku

 

Hujan pertamaku turun

 

Setelah pertemuan tak disangka-sangka

TIM, Jakarta, 2006 

 

 

Menggenapi Langkahmu

 

Menggenapi langkahmu, penyair sunyi, siul semesta:

            Tamu berjubah malam sudah tiba bertandang

            Seperti ingin mengabarimu tentang kepurbaan

            Yang mesti diselusur dari musim ke musim

Sebelum segalanya lelap ditelan bayang

 

Lalu, kau pun kembali menulis sebait puisi

Jangan sudahi sebelum jemarimu menjuntai  

 

Menggenapi kepakmu, camar biduan, penari senja:

            Laut diam tersibak angin yang datang tiba-tiba

            Tak tahu gelombang harus menepi ke mana

            Diabiarkannya kapal-kapal tenang berlayar

            Mencari pulau tempat teduhnya bermalam  

 

Ya, kalau kedua sayapmu sudah terentang

Jangan sekali-kali kau tengok ke belakang

 

Menggenapi rindumu, musyafir cinta, pencari kearifan:

            Seseorang berdendang menghela dingin malam

            Dipagutinya embun yang menetes di daunan

            Lalu dilantunkannya syair kealfaan dunia raya 

            Agar terbujuk kiranya alam ‘tuk berbagi luka

 

Wahai, jika engkau tak lagi perlu bertanya

Jangan biarkan ada cerita yang tersisa

 Kotabaru,  2007

 

 

Luka-Luka Kubur Kota

 

luka kota

sungai

puisiku

air mata kata-kata

 

luka kota

perih

anyirnya

darah

 

luka-luka

kubur

kota

arwahnya mencarimu

Kotabaru, 2007

 

 

Bingkai

 

Kuturunkan kalender 2007

            : artikulasi waktu berjatuhan

Berjuta-juta galon air mata tumpah

            Menenggelamkan pesisir dunia

Kota-kota dikepungnya

            Menenggelamkan batu-batu kenangan

 

            Cuaca bernyanyi

Semesta dilukis

            : gunung, hutan, sungai, laut, satwa, manusia

menjadi ornamennya

 

Bingkai itu lunglai di tanganku

            dukanya meleleh

 

            Seperti ada yang terlepas di jemariku

luka peradaban menggiring kepada waktu

            Haruskah tangisan anak-anak pecah

dalam ruang hatimu

            sebelum puisi menjadi batu

 

Halaman demi halaman buku harian

            luruh di kaki peradaban

bulan cuma bingkai waktu membusuk

 

Kita mengeja peristiwa dengan terbata-bata

            selalu terlambat membingkainya

            setelah pantai kehilangan pesisir

 

Badai itu pun menyapu hari dan tanggalan

            : tanpa tersisa

Kita pun secara sadar ikut menenggelamkan sejarah dan masa depan

            pada waktu sore di sebuah tiang gantungan

 

Masa lalu kita telah menjadi arwah

            mengejar mimpi

hingga berdarah

 

Anak-anak zaman memunguti batu-batu kenangan

            sepanjang jalan, stasiun kota dan lorong sunyi

Mereka mengunyah peristiwa

            seperti mengunyah permen

 

Akhirnya bingkai masa lalu tenggelam

            dengan kaki mengangkangi cakrawala

Kehidupan telah terkunci

            pintu-pintu tersesatkan dalam mimpi

 

Tapi anak-anak zaman terus mencari anak kunci

            Menagih mimpi hujan yang ditelantarkan

Kemana perginya gerimis, kata mereka

Aku tahu jawabnya:

            engkau melupakan senandung itu pada saat perjamuan

Anak-anak senja terus menunggumu

            Hingga waktu tergelincir

 

Hari-hari mereka seperti gambar senja yang murung

            hingga halaman dua belas kalendermu

hanya memuat air mata peristiwa

            Hutan yang terbakar, banjir dan tanah longsor

pasang laut yang menenggelamkan rumah

harapan dan masa depan mereka

            Dalam perjudian waktu yang singkat

Aku tahu engkau mulai melupakan cermin

 

Halaman tambahan lainnya telah kau robek

            Tak perlu dipungut lagi

Anak-anak zaman telah mencatatnya di buku sejarah

            Segalanya telah menjadi lukisan

membingkai halaman pertama.

 

Memasuki halaman pertama tahun 2008

            aku tetap berdoa:

Tuhan,

            maafkan mereka yang tak serius terhadap-Mu

melupakan janjinya kepada-Mu

 

Biarkan halaman demi halaman

            mencatatnya sendiri.

Kotabaru, akhir 2007

 

 

Berdiri di Fort Rotterdam

 

Berdiri di Fort Rotterdam,

            kusapa kota ini:

 

bangunan kota masa lalu

            kokokan bunyi ayam jantanmu.

 

            Di sini, kesaksian sejarah dicatat dengan darah

Siapa yang bisa membuatmu tunduk

Meski atap penjara ini mengharuskanmu ruku

Tapi hatimu cuma tunduk pada Tuhanmu

Mereka cuma serpihan batu kecil yang mengaku besar

            Karena keyakinanmu lebih besar daripada siapapun

 

            Di tanah badik aku berkongsi:

Dahaga kemerdekaan tidak menjadikan ragaku dalam kerangkeng

Jiwaku terus mengembara

            dari tanah rencong hingga bumi Pattimura

 

            Catat, Fort Rotterdam Makassar

Jiwaku tak pernah kalah

            Pangeran Diponegoro hidup di sini

Makassar, 2007

 

 

Kemerdekaan

 

kereta belum tiba di stasiun

 Kotabaru, 2007

 

 

Sajak Politik

 

politik adalah

            bermain api dalam sekam

 

politik adalah

            menggunting dalam lipatan

 

politik adalah

            lempar batu sembunyi tangan

 

politik adalah

            kemungkinan

Kotabaru, 2007

 

 

Setelah Air Mata

 

Setelah air mata masih adakah air mata

Setelah doa menjadi sungai, masih adakah ngarai

Sepanjang sajadah kuhampar wajahmu, kekasih

Kusembahyangi jasad luka rindu

Mekar darah, mekar bertemu

 

Setelah air mata, setelah itu

Engkau menyelam pemandangan itu

Aku nikmati ketersungkuranku

            Engkau buat talang kata-kata menuju rumahku

 

Bertahun-tahun telah kutugali tanah hatiku

            Beribu kilometer telah mencari ujung sajadah

Semakin dekat semakin berhimpitan

            Udara napasmu menjadi kupu-kupu – indah

hidup –  terbang di taman rumahmu

            Meleburkan cahaya

Menyuburkan hutan-hutan yang terbakar

 

Setelah kutugali

Setelah air mata

Sungai

Ngarai

 

            Aku tak ragu

Kotabaru, 2007

 

 

(3) Bajau

 

 

Di Malioboro

 

            musik malam kita mainkan

Malioboro menjadi bentangan Indonesia

            bergoyang dalam hentakan nada

 

Sejenak kita lupakan puisi

            Sejenak kita singkirkan politik

Ai, kita menjadi terhibur dengan kebingungan sendiri

            Hidup dibangun dari kesementaraan

Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Bali, Papua dan Sumatera

            adalah Indonesia

 

Kita berenam bagian pulau-pulau

            Aneh, tiba-tiba mencintai negeri ini bukan lewat puisi

            Tapi lewat getaran melodi

 

            Malioboro tersenyum, kita terkotak dalam peta sendiri

Di sini kegamangan itu harus direbut

            meski dengan napas tinggal satu

Ternyata tidak ada kesementaraan

            Semua dilakukan untuk bertahan dan menjadi pemenang

 

di Malioboro setelah pertunjukan

            puisi tetap tak tergantikan

ia adalah kesaksian zaman yang melantur

untuk urusan makan pun kita melupakan tidur

 Yogyakarta, 2008

 

 

Setelah Perarakanmu

 

tubuhmu kini berlayar nisan ke lautnya

            salam dari kami pengantar keranda

 

tanahmu masih basah oleh surah yaasin

kenangan masih menyisa di anak tangga

aku tak mampu menyapa diammu seperti biasa

            kita berdiri di dua lorong berbeda

 

cinta yang kau tanam di pekarangan rumah

jangan diingat-ingat lagi

biarkan ia tumbuh menjadi bunga waktu

            berjalanlah – jangan menoleh

 

jalan setapak menuju pulang setelah perarakan

            telah menuntun ke tanah perjanjian

akhir hitungan telah tiba, tidurlah

biarkan ia menggaris jarak batas kita

            berlayarlah bersama perahunya

 Kotabaru, 2008

 

Saranjana

 

            Sambu, kedalaman cintamu menjadi periuk

Kami tanak kemudian mendidih

            Di lubuknya kau simpan hatimu

Sungainya mengaliri lembah perihmu

 

            Di puncak-puncak keniscayaan kau bangun gerbang

Pembatas duniamu dan para juriat

Kesunyian kau genggam – dimensi waktu yang terkapar

Seiring menuju gundukan buah rindu

Di batas sungkai dan pohon kuranji

            Kau sembunyikan jembatannya

 

            Di punggung fajar kau sekat kabutmu

Siulan igaumu menjurai ke perkampungan

            Apa yang tak bisa kau tembus

Kecuali dinding nasib dan hasratmu

 

            Sambu, kepurbaan cintamu menjadi pengembaraan

Di padang-padang sunyi kau gembalakan angan

            Memasuki lorong-lorong intipmu

Periuk yang kami tanak berisi air mata kandamu

Ranjang pengantin batu bersimbah darahnya

            Jangan simpan perihmu ke lukanya

            Jangan biarkan keanyiran menyergap

 

Sangkarmu penuh tangkapan – bukalah

            Biarkan halimun itu tersibak

Burung-burung kembali ke sarang pertama

Fajarmu harus kita bangkit ke ufuknya

 

            Angkatlah lubuk cintamu menemu kuali

 Kotabaru, 2008

 

 

Di Langit Kota Ada Menara

 

Di atas langit kota ada menara

            Sajak-sajak dibacakan

Penyair bersayap terbang menjadi dewa

            Mengangkangi bulan

 

            Mimpi-mimpi mereka hampari

seperti permadani

            Sepanjang jalan

 

Para penyair adalah kunang-kunang cahaya indah

            Ketika malam demam kata-kata

 

Pergantian siang dan malam

            Penyair di antaranya

 

            Di langit kota ada menara

 Kudus, 2008

 

 

Hikayat

 

Di tubir altar hikayat cerita ditulis

            dari nyeri dan kemalangan

Hanya dunia

            dimentahkan dari kepiluan cinta

 

Angin dalam tatapan tandus

            Burung-burung menghilang

Kemana perginya orang-orang

            Pagi patah – batu-batu tak bernama

Di atas sejarah dihampar jejak

Masa lalu seperti menara, cukup dipandangi

Cinta milik kita sebegitu sakit menahan muntahan

Deritanya tak sempat membakar ladang-ladang

            Ya, hikayat tergeletak dalam catatan orang-orang bijak

 

Masa lalu cuma derita yang patah

Tak terpikirkan menyusunnya menjadi bingkai

Kita senantiasa menganggapnya biasa-biasa saja

            Tak teracuhkan, sendirian tanpa cahaya

 

Buruk bayangnya

            Buruk kepandiran kita

 Kotabaru, 2008

 

 

Jejak

 

taman kota

            rumah puisi

                        pasang laut

                                    kata-kata

 

            taman kota

                        rumah sunyi

                                    waktu terikat

                                                penjarakan senja

 

            taman kota

                        rumah sendiri

                                    bertiang tombak

                                                beratap perih

 

            perjalanan musim tak menemu hari

                        jejak mentari menyisakan belati

 Makassar, 2008

 

 

Sedekat Rindu

 

Sedekat rindu aku mendaki bukitmu, sunyi

            Menyimpan hasratku, laut

Lorongmu mengintip tidurku

Aku tak bisa beranjak, suntuk aku berharap

            Tak menemu

 

Bukit yang menyimpan masa lalu

            Kuketuk-ketuk

            Tak ada namamu

Dinding ini putih tak berujung

            Cuma kekosongan

 

            Di bukit yang menyimpan laut

Kukayuh perahumu menujuku

            Tak ada namaku

 

Ombak ini bergulung sunyi

            Menunggu senjaku     

 

Sedekat rindu aku mendaki

Kotabaru, 2008

           

Di Kedalaman Waktu

 

aku terangkut arus menuju sungai-Mu

mengalir di kedalaman waktu

            mabuk

ayo lukai aku

ayo kirim perihku

 

ini jembatan jangan dirobohkan

ini jalan jangan belokkan

ini rindu jangan palingkan

 

jangan tunda mabukku

jangan balut lukaku

jangan rebut perihku

            jangan,

            jangan coba bujuk tidur rinduku

 Kotabaru, 2008

 

 

Ramadhan

 

aku tersungkur

Kotabaru, 2008

 

 

Idul Fitri

 

putih

putih

putih

 

kanak aku

Kotabaru, 2008

 

Sebelum Halimun

 

sebelum halimun menenggelamkan senja:

            pohon-pohon bakau menjemput jiwa

            gairahmu patah

            parasmu pupus –

            mengalir ke busur sunyi

 

pantaimu

            beringsut ke kelam

 

tiang-tiang layar

            patah

 

menunggu kepulangan

halimun bergulung turun

mengantar ruhmu menaiki perahu

            menuju laut

 

sebelum halimun

            sisakan air matamu

 Kotabaru, 2008

 

 

Berjalan di Belakang  Keranda Menuju ke Pemakaman

 

Berjalan di belakang keranda menuju ke pemakaman

            : jalanan lengang

              udara menggugurkan air mata

              cuaca mencekam

 

Ini undangan keempat

Para sahabat

            Sebentar kuhitung

 

Kunaiki anak tangga pemakaman

Kusaksikan kau berkeringat menggali kuburmu

Jangan tabur ketegangan itu

Kain pertamamu putih

Kini kau kembalikan dengan warna yang sama

 

Pidato pemakaman telah selesai diupacarakan

            : kau pun beringsut berbaring

              impas sudah, gumammu

 

Kuucapkan salam

kau melambai

Aku menuruni anak tangga

            tanpa keranda

 Kotabaru, 2008

 

 

Fenomena

 

Kita mulai payah belajar

            membaca

Tanah terakhir pun retak

            Musim kehilangan cinta

Subuh-subuh kita sudah kehilangan fajar

 

Kemarin kita masih percaya

            bahwa nasib sepenggalah kemungkinan

Tapi kemana perginya sungai-sungai

Pohon-pohon meninggalkan hutan

            Besok, hati kita menjadi batu

 

Riam tewas di pangkuan waduk

Pipa berisi udara asap

Galon jatuh menimpa atap rumah

Serpihannya cuma kesia-siaan

            yang direncanakan

 

kesaksian ini kita reguk dengan kesadaran

seonggok rencana kita pasung

            pohon kering tanpa akar

 

Manusia demikian bodohnya

Menombaki alam dari waktu ke waktu

Kemudian kembali terperosok

            di lubang yang sama

 Kotabaru, 2008

 

 

Melayu

 

Benang merah

             - menjurai

               penjuru angin

 

Ekornya sontak

Menyeberang lautan

Mengangkangi daratan

 

- Japin

 

Seperangkat penginangan:

            - darah yang tercecer

              ludah datu-datu

              Ditugali

              jejak hantu.

 

Tersibak

Raganya tujuh

Jiwanya satu

 

- Tari

Bukit yang berbaris:

            - menuju serupa nama

              mayang ditabur

              di ladang sumur.

 

- Siapa pun boleh menuai

 

Empat penjuru

untuk yang diburu

menyaru haru

 

Kita satu

 

- Melayu

 Kotabaru, 2008

 

 

Bajau

 

Atas nama nenek moyang

laut kau tugali dengan sampan

            Nasib membawamu kepada pengembaraan

 

Berlayarlah menuju musim

            mencari jati dirimu

 

Atas nama cinta

kau kayuh samudera mendekatkan semesta

            mata angin pijar olehnya.

 

Kau curi utara kau tanak barat

Kau tenggelamkan selatan kau tiduri timur

Lautmu adalah kelahiran

Daratan mimpi kematian

 

Berlayarlah dengan waktu

Tak kembali kembali

 

Juriatmu pengayuh

            menegakkan cinta dalam ruh

 Kotabaru, 2008

 


Di Tanah  Retak

 

Di tanah retak

Kami hidup dengan ludah

            Kemiskinan menjadi wujud rasa sakit

Diputar sepanjang hari berkali-kali

            Mencambuki diri dengan cemeti

 

            Air mata menjadi jiwa sekarat

Tanah luka kami yang kau gali

Bertahun-tahun menjadi ladang subur masa depan mereka

Sedangkan masa depan kami tanah retak

            Air mata yang menjadi sumur

Dijual menjadi lauk pauk kehidupan

            Sedangkan hidup kami muasal kematian

 

            Di tanah retak

Kami ditalkin burung-burung pemakan bangkai

Kotabaru, 2009

 

 

Fajar Air Mata

 

            Fajar air mata

Kutampung pada talang Idul Fitri

            Meninggalkan sungai ramadan

Berlayar mengarungi bukit dunia

            Menggalah akar – pohon – ranting – daun

hingga putik bunga

            Tak henti-hentinya

 

Kususun mataharimu

            Membungkus rindu

Fajar wangikan sesegukan

            Jangan hentikan kesukaan ini

Biarkan biasnya menjadi langit-langit

            Ladang perburuan cinta kekasih

 

            Kunaiki perahumu

            Kuangkat sauhnya

Berlayar bersama

            Airmata cinta

Kotabaru, 2009

 

 

Cinta Ini Kususun

 

Cinta ini kususun

Udara menuliskannya hati-hati. Jalanan meriap embun

Kusapa namamu dalam ruang beku

Untuk apa kusampaikan salam kekasihmu

            Di pohon perdu dan subuh yang meleleh

 

Jangan eja cintaku. Jangan katakan ya

Biarkan ia berlayar bersama sajak-sajak terakhirku

            yang kutulis di kapal waktu di sungai Nuh

Alpakan pernyataannya. Biarkan serbuk-serbuk darah menaburi

            kolam dan ladang masa lalu kita

Jangan jangkau dengan tanganmu

            Biarkan ia beringsut  meraihnya

 

Cinta ini kususun di serbuk hujan

Hingga kemarau menjemput musim

            Aku ada di antara udara

 Banjarmasin, 2009

 

 

Terbanglah Kuat-Kuat ke Langit Lukaku

 

Kutatap kunang-kunang dalam terbang

            jiwaku mengawang menuju kibasan sayap

Getar cahaya menerobos sakitku

            Terbanglah, tanganku menjangkau kenapaku

Sia-sia raihan ini tak membekas

 

Mengembaralah kunang-kunang ke laut tanpa batas

Semestaku diam

Tak ada yang kukabarkan

            kecuali sangsai yang limbung di udara

Kusapa ruang kosongnya

 

Terbanglah kuat-kuat ke langit lukaku

            kunyahlah anyir darah perihnya

nikmati makan malammu

sedekat gigitan sedekat kerlingan

            simpan di mejamu

 

tanpa kusentuh

            kenyangnya tiba

 2009

 

 

Menunggu Perjamuan

 

Rindu ini milik siapa

ketika pintu tak diketuk waktu. Aku menunggu

            Sunyi menamu dari beranda

 

Adakah ketiadaan ini membuat kita berjabat tangan

Adakah kehilangan sembunyi di rasa

Aku menatapmu. Ketika bayangmu meninggalkan beranda

            aku menunggumu

Jangan silaukan hatiku

Jangan gundahkan cintaku

 

Ini kesia-siaan yang kau susun ceritanya

Siapapun tak mampu mengubahnya

Biarkan ia terus menulis sepanjang jalan dan lorong

Biarkan ia terus menuju ke arahku

            Jangan renggut mauku

            Jangan bekaskan aduh lukaku

 

Di meja ini sebuah perjamuan kurencanakan

Apa yang tersaji bukan igauan

Kaki ini akan berhenti jua

Tak perlu kado apalagi aksesoris

Kuraih – kutuju tanpa memiliki

            Sebab aku menunggu perjamuan

Jakarta, 2009

 

 

 

Epilog:

KEBUAU:

TENTANG ARTIKULASI DAN PENGALAMAN LOKAL ORANG BANJAR

 Faruk

 

Saya yakin orang Banjar sekarang masih mengenal dan mengerti kata “kebuau”. Tapi, saya tidak yakin mereka mengenal atau pernah melihat benda yang menjadi acuan dari kata tersebut. Sewaktu saya kecil, bahkan sampai usia SMA, benda yang berupa buah yang berbentuk bulat dan berwarna kecoklatan itu masih sering ditemukan di sungai-sungai yang ada hampir di seluruh lingkungan hidup orang Banjar. Buah itu mengapung, timbul tenggelam, oleng ke kiri dan ke kanan, di permukaan air. Terus bergerak mengikuti aliran air. Padahal, sekarang ini, sungai semakin sedikit di Banjar. Ada yang semakin menyempit karena sampah, erosi, dan pemukiman, ada juga yang mungkin memang dengan sengaja di hilangkan, ditimbun dengan tanah untuk pembangunan jalan. Sungai yang membentang di sepanjang jalan Teluk Dalam, yang mempertemukan Sungai Barito dan Sungai Martapura, yang mengalir melewati kampung saya, sekarang sudah menyempit hingga menjadi hampir menyerupai selokan belaka. Tak mungkin lagi orang khususnya anak-anak dapat berenang dan bermain di sungai itu.

“Kebuau” adalah metafor untuk ‘ucapan yang dianggap kosong, semacam “omong kosong”. Tapi, tidak hanya “kekosongan” yang direpresentasikan oleh metafor “kebuau” itu, melainkan juga bentuk dan cara penuturannya, semacam mode wacananya, alur atau pola urutan percakapan yang kosong tersebut. Artinya, di dalam metafor kebuau itu terkandung pula aspek makna yang mengimplikasikan dinamika, urutan waktu, seperti gerakan atau dinamika buah kebuau yang mengambang dan mengalir di air. Kenyataan makna yang demikian sekaligus mengimplikasikan bahwa pengalaman dan pemahaman orang Banjar terhadap buah kebuau bukanlah pengalaman dan pemahaman terhadap keadaan ketika buah itu berada di pohonnya atau ketika ia jatuh ke tanah, melainkan ketika buah tersebut berada di air, di aliran sungai.  Setidaknya, begitulah pengalaman dan pemahaman pribadi saya. Saya pribadi, dan saya yakin semua teman saya waktu kecil, atau mungkin sebagian besar orang Banjar, tidak pernah melihat pohon kebuau atau asal-muasal keberadaannya sebelum hanyut dibawa arus sungai.

Sungai bukan sekedar lanskap yang paling dominan dalam kehidupan orang Banjar, melainkan bahkan merupakan habitatnya. Sebagian besar aktivitas keseharian orang Banjar di sungai, bahkan banyak di antara mereka yang tinggal di atas sungai, dengan mendirikan rumah di atas lanting yang terdiri dari beberapa batang kayu gelondongan yang besar. Orang Banjar mungkin dapat disebut sebagai “manusia lanting” yang agak berbeda dari “manusia perahu”. Manusia perahu hidup di perahu dan perahu adalah alat transportasi yang dapat bergerak dengan cepat dan bebas, dengan gerakan yang katakanlah linear. Sebaliknya, “manusia lanting” merupakan manusia yang berkedudukan dengan cara yang bisa dikatakan menetap, diam, statis, seperti yang tinggal di tanah atau daratan. Hanya saja, jika tanah bersifat sepenuhnya statis, lanting bergerak. Walaupun, gerakannya bukan gerakan linear seperti perahu, melainkan gerakan berayun-ayun secara lembut, mengikuti ombak sungai yang kecil, bergerak oleng ke kiri dan ke kanan, naik dan turun.

Maka, mungkin sekali dengan dan pada atau bahkan dalam sungailah orang Banjar mempersepsi kehidupan. Masyarakat Banjar adalah masyarakat yang terus bergerak, tetapi dengan gerakan seperti lanting, bukan seperti kapal. Dinamika kehidupan masyarakat Banjar adalah dinamika kehidupan seperti ombak atau riak atau paling ulak, sebuah gerakan yang tidak membuatnya meninggalkan tempat, tidak membuatnya kehilangan sense of location, rasa untuk menetap secara tetap di suatu tempat. Itulah, mungkin, yang membuat orang Banjar terus mengikuti dan terlibat dalam wacana dan berbagai gaya hidup yang berkembang di luar kediaman mereka, terutama yang terjadi di Pulau Jawa, Jakarta, Surabaya, atau yang lainnya, dengan membawanya ke Banjar, tanpa membuat mereka meninggalkan tempat. Bagaimana tingginya frekuensi orang Banjar berpergian ke Jawa sudah bisa dimaklumi. Tidak mengherankan pula bila banyak orang kaya Banjar yang kawin dengan artis ibu kota dan kemudian membawa artis itu ke kampungnya, Banjar. Kalaupun merantau, perantauan orang Banjar pun unik, yaitu merantau untuk menetap, bukan merantau untuk membangun tempat tinggal yang bersifat sementara, merantau seperti lanting, bukan merantau seperti kapal atau perahu yang hanya berlabuh untuk sementara waktu. Kasus Lihan yang berhasil mengecoh banyak orang Banjar dan membuat mereka kehilangan hampir triliyunan rupiah, mengindikasikan kecenderungan yang demikian pula.

Kumpulan puisi ini, samar-samar, memperlihatkan pula kecenderungan bagaimana orang Banjar mengalami, memahami, dan mengartikulasikan pengalaman kehidupan mereka. Hutan, pohon, dan sungai merupakan kosa kata yang tampak sangat akrab dengan penulisnya, seperti sudah menyatu dengan dirinya, sehingga tampak sangat leluasa ia gunakan untuk merepresentasikan dan memaknai pengalaman kehidupan kesehariannya, misalnya pengalaman yang menyangkut persoalan pembalakan hutan dan juga penambangan batu bara, yang bisa dikatakan merusakkan habitat orang Banjar. Atau, sebaliknya, bagaimana nasib lingkungan alamiah sekitar diumpamakan sebagai kehidupan manusia, darah, daging, dan hati manusia. Kedua kecenderungan di atas mengimplikasikan satu hal yang sebenarnya serupa, yaitu adanya kesatuan mitis antara manusia dengan hutan, pohon, dan sungai itu.

 

Ada yang dihilangkan sebelum pembakaran

Ada yang diterbitkan sebelum pembalakan

 

Sepanjang kelokan menuju kota

                Hutan-hutan dikuliti

                Luka pohon nyeri

 

Ketika kita melupakan waktu

Rumputan tak pernah melupakan zikirnya

 

                Kenapa kita melukai semesta

Sementara kita menghirup air susunya

                Kenapa kita menyumbat sungai kehidupan

Padahal di sana ruh dimandikan

 

Mengunyah rasa sakit ini

Kuludahkan darahnya

 

                Nyerinya tak terasakan olehmu

 

Hujan telah meninggalkan kota

                ketika hari bersembunyi

                di pohon-pohon kemarau

Kita sibuk menangkap kilat badai

                di bayang senja yang gugur

 

Kita mengasah keangkuhan di lancip batu

                Ketika hati berjalan tanpa kaki

Berebut bongkah bumi dengan gergaji

                Hutan pun rebah di pelukan sunyi

 

            Kutuliskan puisi pada kanvas kota

Karena kata-kata tak mampu direkatkan

                Apa yang kucatat dalam bukumu

Cuma sebaris hitungan dan sewarna darah

                Membasahi taplak meja berandamu

 

Puisi, katamu, cuma rumpun ilalang di taman kota

Tak perlu disapa apalagi dirawat

Ia bisa menjaga dirinya dari virus flu

Serat jiwa yang tertulis – bukan padang sabana

            Cuma kegelisahan

08022010

                                                                                                                                                                                                                                                           

 

 

Tentang Penyair

Eko Suryadi WS (biasa dipanggil Dodo) dilahirkan di Kotabaru, Kalimantan Selatan, 12 April 1959. SD dan SMP ditempuhnya di Kotabaru, kemudian melanjutkan pendidikan di STM. Sarjana Administrasi Negara diraihnya di Banjarmasin -- selain sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Terbuka (UT) dan Magister Manajemen dari Unitomo (Surabaya).

Menulis sejak di sekolah lanjutan, memublikasikannya di rubrik sastra dan budaya media cetak lokal maupun nasional sejak 1976. Selain puisi, sesekali menulis cerpen, esai sastra, cerita rakyat, naskah teater (dan menyutradarainya).

Karyanya tersebar di sejumlah antologi puisi bersama penyair Kabupaten Kotabaru dan Kalimantan Selatan. Antologi tunggalnya, Di Batas Laut (2005) dibahas D. Zawawi Imron dalam Aruh Sastra Kalimantan Selatan III di Kotabaru (2006). Puisinya, Air mata Semesta, Juara II Lomba Musikalisasi Puisi Kalimantan Selatan dalam Aruh Sastra Kalimantan Selatan IV di Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara (2007). Bersama Y.S. Agus Suseno, editor antologi cerpen Dongeng Kesetiaan Ratih Ayuningrum (2008). Menyusun Hikayat Sa-ijaan dan Ikan Todak, Cerita Rakyat Kabupaten Kotabaru -- bersama M. Sulaiman Najam dan M. Sukri Munas (2008).

Kegiatan kesenian yang pernah diikuti, antara lain: Forum Penyair Muda 8 Kota se-Kalimantan Selatan di Banjarmasin (1982), Musyawarah Seniman (Musen) Dewan Kesenian Kalimantan Selatan II, III dan IV di Banjarmasin, Aruh Sastra Kalimantan Selatan I di Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (2004), Aruh Sastra Kalimantan Selatan II di Pagatan, Kabupaten Tanah Bumbu (2005), Aruh Sastra Kalimantan Selatan III di Kotabaru, Kabupaten Kotabaru (2006), Aruh sastra Kalimantan Selatan IV di Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara (2007), Kongres Kesenian Indonesia di Yogyakarta (1999), Pergelaran Seni Budaya Kabupaten Kotabaru di TMII, Jakarta (2000); mengantar TIM Tari Kotabaru Juara I Festival Karya Tari Daerah Tingkat Provinsi Kalimantan Selatan dan Festival Tari Kreasi se-Indonesia di TMII, Jakarta (2001), Baca Sajak Serumpun Melayu di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta (2006), Kongres Komunitas Sastra Indonesia (KSI) di Kudus, Jawa Tengah (2008), Temu Sastrawan Melayu di Tanjung Pinang (2008) dan Festival Sastra Kalimantan Selatan di Taman Budaya Kalimantan Selatan, Banjarmasin (2009).

Aktif di berbagai organisasi kesenian: pernah menjadi ketua POSS3K, Sanggar Bamega, Teater Kota, wakil ketua BKKNI Kotabaru, ketua umum Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kotabaru (1995-1998, 1998-2004) dan ketua Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Kotabaru. Kini bergiat di Yayasan Pengembangan dan Pembinaan SDM Paris Barantai -- yang menaungi STIKIP Paris Barantai Kotabaru. Menerima penghargaan seni Bupati Kotabaru sebagai Pembina Seni (1999) dan Tokoh Seni (2001) – dan Hadiah Seni (bidang sastra) dari Gubernur Kalimantan Selatan (2006).

 

 

 

 

 

[1] Berdasarkan biografi kepenyairannya, Elegi Negeri Seribu Ombak (2010) adalah antologi puisi tunggal Eko yang kelima setelah meluncurkan Sebelum Tidur Berangkat (1982), Ulang Tahun (1982), dan Di Balik Bayang-bayang (1983), dan Di Batas Laut (2005). Akan tetapi, sejauh yang dapat saya lacak, hanya antologi yang disebut pertama dan terakhirlah agaknya yang diterbitkan dalam bentuk buku yang reperesentatif.   

[2] Menurut penyunting (Y.S. Agus Suseno), dalam kumpulan ini Eko memang sengaja hanya memuat 51 sajak terpilihnya sebagai penanda hari ulang tahunnya yang ke-51 (1959—2010). Sekadar catatan tambahan, Eko Suryadi WS dilahirkan pada 12 April 1959 di Kotabaru (sebuah kota pesisir di ujung selatan Kalimantan Selatan).

[3] Lihat M.H. Abrams, The Mirror and the Lamp: Romantic Theory and the Critical Tradition (London-Oxford-New York: Oxford University Press, 1976), hlm. 6—7.

[4] Bandingkan, misalnya, dengan uraian Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud, 1984), hlm. 1. Bandingkan juga dengan esai Jiwa Atmaja, “Sastra Bukan Jatuh dari Langit” dalam Notasi tentang Novel dan Semiotika Sastra (Ende: Nusa Indah, 1986), hlm. 9—22. 

[5] Sebagaimana dikutip Yoseph Yapi Taum, Pengantar Teori Sastra (Ende-Flores: Nusa Indah, 1997), hlm. 10.

[6] Secara leksikal, kata papadaan (bahasa Banjar) berarti “konco (Jawa), sesama teman, satu keluarga, atau anggota kelompok”. Lihat Abdul Djebar Hapip, Kamus Bahasa Banjar-Indonesia, Edisi III (Banjarmasin: PT Grafika Wangi Kalimantan, 1997), hlm. 129. Sebagai suatu konsep sosiokultural, istilah papadaan memiliki ranah pengertian yang lebih luas dari sekadar konsep kekerabatan hingga melampaui batas-batas tradisi-budaya konvensional.

[7] Untuk sajak yang satu ini, sayang sekali, saya merasa seakan kehilangan referennya. Sebab, dalam beberapa kamus yang ada, saya tidak menemukan entri kata saranjana maupun sanbu —yang jika ”keliru tulis”, misalnya, kata ”Sanbu” bisa saja menjadi ”Tanbu” (?)— karena, boleh jadi, keduanya merupakan bentuk akronim dari nama tertentu yang diimplisitkan. Namun, secara intuitif saya dapat memahami kedua kata (yang sesungguhnya merupakan kata-kata kunci) tersebut sebagai dua nama-ganti tempat yang merujuk pada wilayah geografis tertentu, bukan sebagai pronomina yang menunjuk pada individu tertentu sebagai referennya. Dengan demikian, konteks ”retaknya persaudaraan” yang dimaksudkan dalam sajak ini lebih mengacu pada makna konotatifnya sebagai keterpisahan secara geopolitis, bukan dalam makna ”persaudaraan” yang denotatif.  

[8] Secara konseptual, istilah “sastra sufistik” dalam konteks ini dibedakan dari ”sastra sufi”. Konsep sastra sufistik dipahami sebagai bentuk transformatif dari sastra sufi, yaitu karya-karya sastra yang ditulis oleh para sastrawan yang sekaligus menjalani kehidupannya sebagai ahli sufi. Disebut demikian, karena secara sadar para pengarang sastra sufistik itu tidak berpretensi untuk menjadi seorang sufi, sementara dalam proses kreatifnya mereka menggali berbagai kemungkinan estetik dari pandangan kaum sufi. Bandingkan dengan uraian Abdul Hadi W.M., ”Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Sastra Transendental dan Kecenderungan Sufistik Kepengarangan di Indonesia” (Ulumul Qur’an, Vol. III, No. 3, Th. 1992), hlm. 28.

[9] Ingat, misalnya, kontroversi pemaknaan atas sajak “Malam Lebaran”-nya Sitor Situmorang yang hanya berisi satu larik berbunyi: Bulan di atas kuburan. Dilantarankan oleh kontrovesi yang dibawanya, sajak ini menjadi salah satu karya sastra Indonesia (karya Sitor pada khususnya) yang dipandang fenomenal pada masanya. Setidaknya, sajak tersebut telah dibahas oleh J.U. Nasution dalam Sitor Situmorang sebagai Penyair dan Pengarang Cerita Pendek (Jakarta: Gunung Agung, 1963), hlm. 22; Subagio Sastrowardoyo dalam Sosok Pribadi dalam Sajak (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980), hlm. 92; Umar Junus dalam Dasar-dasar Interpretasi Sajak (Kuala Lumpur: Heinemann, 1981), hlm. 26; juga dalam pengantar ringkas Pamusuk Eneste (Ed.) untuk buku Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang II (Jakarta: PT Gramedia, 1984), hlm. vii—x.

[10] Sitor Situmorang dengan sajak “Malam Lebaran” (Bulan di atas kuburan), Sutardji Calzoum Bachri dengan sajak “Luka” (ha ha) dan “Kalian” (pun), serta Hamid Jabbar dengan sajak “Doa Terakhir Seorang Musyafir” (amin) dan ”Doa Para Penguasa Sepanjang Masa” (aman).

Komentar

Foto admin

Panduan menulis

Kami sarankan materi ini Anda reposting dengan membagi dua bagian, yakni materi kritik, dan materi karya sastra (puisi).
Untuk materi kritik, silakan Anda postingkan di WAWASAN, dan untuk materi karya sastra postingkan di KARYA SASTRA.
Untuk lebih jelasnya silakan pelajari Panduan Menulis.
Terima kasih,

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler