Rembulan bisu mengambang di balik tirai samar
Perlahan lenyap ditelan gelap ruang kamar
Dalam pagut panjang bibir rindu yang bergetar
Seberkas sinar penunjuk jalanmu memudar
Dibuai waktu, sawah ladang pun menjadi liar membelukar!
Di ufuk langit bulan lenyap dibekap gelap gerhana malam
Rindu demi rindumu bercengkrama bebas di atas tilam
Sepasang kekasih saling berpelukan erat di balik pohon palm
Saling menggenggam erat bara api dahaga hingga padam
Padam oleh tikam maut belati dewata malam yang menghujam!
Merpati putih yang terbang jauh kembali pulang
Membawa bangkai sampan yang karam ditangan petualang
Angin barat menghembus nilai-nilai timurmu bagai layang-layang
Mematahkan jemari lentik melati suci yang tumbuh menjulang
Elang garang, menggiring hatimu terbang jauh hingga ke puncak gelombang!
Gerhana malam membuat rembulan terkulai pucat pasi di atas lantai
Bagai serigala liar, tangan-tangan birahi segera terjulur menjuntai
Menanggalkan lembaran pakian tidurmu helai demi helai
Dikegelapan simfoni malam pun mengalun, bergema hingga ke bukit dan ngarai
Memanggil datangnya bencana alam yang selalu saja mengintai!!!
Komentar
angin malam terlalu berbahaya
angin malam terlalu berbahaya daripada perempuan. apalagi rindu:
saat gerhana bulan adalah puncaknya.
setelah membaca puisi ini, saya menjadi ingin mengerang pada bulan. bahwa malam tetaplah malam. ya, begitulah malam. selalu menyembunyikan siapa saja, apa saja dalam pekat. entah!
om gerhana, bagus sekali puisinya!
ini cius lho hhe
Hahahaa....
Hahhaaa...semoga nggak kemasukan angin malam. Terima kasih atas apresiasinya, Salam kenal.
Beni Guntarman
Gerhana Bulan sebagai personifikasi atas benturan budaya, adat,
Gerhana Bulan sebagai personifikasi atas benturan budaya, adat bahkan nilai-nilai agama didalam masyarakat kita dikemas secara halus dalam puisi ini. Suatu puisi yang indah dan ditulis secara cerdas, meski temanya berat namun tetap komunikatif. Hebaattt!!!
Terima kasih sahabatku....
Terima kasih sahabatku Sang Pengembara, anda sangat jeli dalam menebak maksud puisi ini. Ini sekedar ekspresi atas kegelisahan hati melihat benturan demi benturan yang mengundang banyak bencana. Salam sastra.
Beni Guntarman
Tulis komentar baru