Menyusuri pekarangan jiwamu yang semak oleh torehan-torehan
gerhana dan gempa masa:
terekam di matakugalau bahasa airmata umat
yang bersuara riuh menderu melebihi debur badai
hingga batinku tersadai di penghujung pelangi-batu
yang penuh dedebu.
berbagai ingatan, rapuh bersama layu waktu dan debur terik
ketika kupancangkan ayat-ayat sholatku
di lantai tahun yang melebar ke arah kulon
seirama dayu mantra cinta, berita tentang kematian musim
masih terus tersiar dari paruh subuh.
bahwa perkelanaan dengkul kita ini persis sepucuk lembing
yang mesti tancap di dinding abad
meskipun sesering–wahai kita harus berbenturan
dengan arah malam
yang melintas menenteng wajah hitamnya
di depan gubuk-gubuk kembara
sebab bilah maut pasti akan menebang usia,
maka berbuahlah selebat bintang rindang di bentang langit.
beraromalah sesemerbak bebunga di taman laut
menjalarlah mengitari liar nasib ini
yang berkelebat bersama kunang-kunang
aku masih terpekur di sekujur umur yang berlumur getah kemiskinan
bermazmur-duka di sisi altar mimpi-buta
meskipun air mata, tak kunjung kering
segaring puing sawah saat gerah tumpah-ruah
serta kucur peluh yang tak sanggup beku oleh malam yang dalam,
namun antara aku dan penantian letihmu
sungguh banyak yang kita tunggu di pelabuhan mimpi dan pagi
: surat-surat sapa ber-aroma surga
yang bertuliskan huruf salju bertinta pelangi
yang datang bersama angin purnama
menuju senja yang membabi buta
seperti tegar dermaga, dan
pesiar kita yang terus beranjak ke tenggara tahun
hasrat-larat kita
harus kita papah menggapai-gapai palung langit
agar ter-buntu-kan geliat-geliat luka
yang memamer memar di ulu mata.
Pekan baru,17-12-2004.
Komentar
Tulis komentar baru