Skip to Content

Kumpulan Sajak Pablo Neruda 3

Foto Fahmi N Mustaqim

Serenada

Dengan tanganku kukumpulkan kekosongan ini,
malam yang menyesatkan, keluarga-keluarga yang bercahaya,
sebuah kidung yang tetap lebih tenang ketimbang kebisuan,
suara bulan, sesuatu rahasia, suatu segitiga,
suatu ukuran keberuntungan.
Inilah malamnya laut, kesunyian ketiga,
sebuah getaran yang membukakan pintu-pintu, sayap-sayap,
penduduk yang tak teraba dan tak sepenuhnya ada
bergetar dan membasuh seluruh nama muara.

Malam, nama dari lautan, tanah air, asal, mawar!

Sang pendiri

Aku memilih bayang-bayangku sendiri,
dari kristal garam kuciptakan persamannya:
kutancapkan waktuku pada deras hujan
dan aku bisa tetap hidup

Memang benar kekuasanku yang panjang
memisahkan mimpi-mimpi
dan di luar sepengetahuanku muncullah di sana
dinding-dinding, perceraian-perceraian, tanpa akhir.

Maka aku beralih ke pantai.

Aku melihat pemberangkatan kapal-kapal
menyentuhnya, lembut bagaikan ikan suci:
menggetarkan serupa citraan Tuhan,
kayu-kayunya bersih,
harum serupa madu.
Dan jika ia tak kembali,
kapal itu tak kembali,
setiap orang tenggelam dalam airmatanya
sementara aku kembali kepada kayu
dengan kapak telanjang bagai bintang.

Kepercayaanku rebah di dalam kapal-kapal itu.

Aku tak punya jalan lain kecuali untuk terus hidup.

Memandikan seorang bocah

Cinta, makhluk tertua di muka bumi
memandikan dan menyisir patung kanak-kanak,
menegakkan kaki-kakinya, lutut-lututnya,
air mengembang, busa-busa sabun merambat,
dan tubuh yang murni muncul untuk menghisap
udara dari bunga-bunga dan ibunya.

Oh perhatian yang tajam !
Oh muslihat yang manis !
Oh perang penuh kasih sayang !

Sekarang rambut itu tinggal segulung kekusutan
dihujani dari sana-sini dengan arang,
dengan tahi kayu dan oli,
jelaga, kawat-kawat, umpatan-umpatan,
sampai dengan kesabarannya
cinta
menyiapkan bak-bak dan kain-kain pembasuh
sisir-sisir dan handuk-handuk,
dan dari gosokan dan sisiran dan cahaya kekuningan,
dari keberatan-keberatan masa lampau dan dari bunga yasmin
muncullah bocah itu lebih bersih dari sebelumnya
melepaskan diri dari lengan-lengan ibunya
untuk merangkak lagi di atas badainya,
untuk mencari lumpur, oli, air kencing, tinta,
untuk melukai dirinya sendiri, berguling-guling di antara bebatuan
Di jalan itulah, dengan kebaruannya, bocah itu melompat ke dalam hidup
untuk kemudian mendapati saat di mana yang terpenting
adalah menjaga kebersihan, meski tak ada kehidupan.

Puji-pujian bagi pakaian yang hendak disetrika

Puisi itu putih :
muncul dari air yang terbungkus bulir-bulirnya
ia kisut dan bertumpuk,
ia mesti dibentangkan menjadi kulitnya planet,
mesti disetrika menjadi putihnya laut,
tangan-tangan terus menggosoknya,
permukaan-permukaannya pun menjadi halus
begitulah segalanya dikerjakan :
tangan-tangan menciptakan dunia setiap hari,
api dikawinkan dengan baja,
kain kanvas, linen dan katun kembali
dari pencucian
dan di luar cahaya seekor burung lahir :
kemurnian yang kembali dari pusaran.

Kelahiran-kelahiran

Kita tak akan pernah punya ingatan tentang sekarat

Kita begitu sabar
dengan kehidupan
mencatat habis
tanggal-tanggal, hari-hari,
tahun-tahun dan bulan-bulan,
helai-helai rambut, mulut-mulut yang kita kecup,
dan detik-detik menuju kematian itu
kita biarkan lewat tanpa tercatat :
kita tinggalkan bagi orang lain sebagai kenangan
atau kepada air begitu saja,
kepada air, kepada udara, kepada waktu.
Kita bahkan tak membawa
kenangan akan kelahiran,
padahal dilahirkan begitu baru dan menggemparkan :
dan kini kau tak mampu mengingat detilnya
tak menyimpan sebuah jejak pun
dari cahaya pertamamu.

Kita tahu kita dilahirkan.

Kita tahu bahwa di dalam kamar
atau di dalam hutan
atau di dalam naungan rumah para nelayan
atau di dalam gemersik kebun-kebun tebu
terdapat kesunyian yang luar biasa,
sebuah saat yang suram dan beku seperti
seorang perempuan yang menyiapkan sebuah kelahiran.

Kita tahu kita semua dilahirkan.

Tetapi dari tafsir yang dangkal itu
dari tidak ada menjadi ada, memiliki tangan,
melihat, memiliki mata,
makan dan menangis dan tumbuh besar
dan mencintai dan mencintai dan menderita dan menderita,
dari transisi atau getaran itu
dari kehadiran yang menggairahkan yang mengangkat
satu tubuh lagi seperti cawan kehidupan,
dan dari perempuan yang meninggalkan kekosongan,
ibu yang tertinggal dalam genangan darah
dan kesempurnaannya yang terkoyak
dari akhir dan awalnya, dan kekacauan
yang menggulingkan urat-uratnya, lantai, selimut-selimutnya
sampai semuanya hadir bersama-sama dan menyumbangkan
satu gerombolan lagi dalam jalinan kehidupan,
tak ada, tak ada yang tersisa dalam ingatanmu
tentang lautan buas yang mengumpulkan gelombang
dan merenggut sebiji apel tersembunyi dari pohon.

Tak ada yang bisa kau ingat kecuali nyawamu.

Kepada mayat lelaki malang

Hari ini kita menguburkan lelaki kita yang malang :
lelaki yang sangat sangat malang.

Dia selalu dalam nasib buruk
bahkan inilah untuk pertamakalinya
manusianya dimanusiakan.

Karena tak punya rumah, tak pula tanah,
tak punya abjad, tak pula kertas-kertas,
tak pula daging panggang,
maka dari satu tempat ke tempat lainnya, di jalan-jalan,
dia berjalan dalam kekurangan,
mati perlahan demi perlahan
begitulah dia semenjak lahirnya.

Mujur dan sangat jaranglah, mereka semua berpendapat sama
dari uskup sampai hakim
dalam menjaminnya masuk surga
dan kini wafatlah dengan hormat lelaki kita yang malang
ai, lelaki kita yang sangat sangat malang
dia tak akan tahu harus berbuat apa dengan begitu banyak langit.
Dapatkah dia mencangkulnya, menyemainya dan menuainya ?

Dia selalu melakukannya, dengan bengisnya
bertarung dengan tanah terjal
dan kini langit dengan leluasa membentangkan diri bagi cangkulnya,
dan kemudian di antara buah-buahan surga
dia akan mendapat bagiannya, dan di mejanya
di ketinggian sana segalanya tersedia
baginya untuk memuaskan hatinya akan surga
lelaki kita yang malang, yang membawa sebagai nasib baiknya
dari bawah, enam puluh tahun rasa lapar
untuk dikenyangkan, akhirnya, secara hormat,
tanpa pukulan-pukulan dari hidupnya lagi,
tanpa teraniaya demi makanan,
aman bagaikan keturunan raja-raja dalam kotak di bawah tanah
kini dia tak lagi berpindah-pindah untuk melindungi dirinya,
kini tak akan berjuang demi upahnya.
Dia tak pernah mengharapkan keadilan, begitulah dia,
tiba-tiba mereka memenuhi cawannya dan bersulang untuknya :
kini dia telah tersungkur dalam kesenangan.

Betapa beratnya dia sekarang, lelaki yang sangat sangat malang itu !
Kemarin dia cuma setumpuk tulang bermata legam
dan kini kita tahu, dari berat tubuhnya seorang,
ai begitu banyak hal yang dulu tak didapatkannya,
jika kekuatan ini terus-menerus,
mencari tanah-tanah tandus, menyusuri batu-batu,
menuai gandum, membasahi tanah liat,
menggiling belerang, mengusung kayu bakar,
jika lelaki yang begitu besar ini tak punya
sepasang sepatu, oh betapa sengsara, jika seluruh diri lelaki tersendiri
yang dipenuhi daging dan otot ini tak pernah mendapatkan
keadilan selama hidupnya dan semua orang memukulnya,
semua orang menjatuhkannya, dan meski demikian
dia terus saja dengan pekerjaannya, kini dengan mengangkat dirinya
dalam peti mati di atas bahu kita,
setidaknya kita tahu berapa banyak yang dulu tak dimilikinya,
bahwa kita tak membantunya selama hidupnya di dunia.

Kini mulai kita tanggung
segala yang tak pernah kita berikan padanya, dan kini sudah terlambat :
dia menindih kita dan kita tak mampu menanggungnya.

Berapa banyak orang yang menindih mayat kita ?

Dia menindih kita dengan seluruh berat dunia, dan kita terus
mengusung mayatnya di bahu kita. Jelas
bahwa surga dipenuhi makan besar.

 

(Diterjemahkan dari bahasa Spanyol oleh Dina Oktavini)

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler