Skip to Content

KUTULIS BALADA INI

Foto SIHALOHOLISTICK

Kutulis balada ini ketika matahari datang malu-malu di ufuk timur dan kicau burung kenari yang sayapnya patah tak bermakna putus asa sedangkan rinai embun sisa semburan tadi malam masih membasahi kekalutan hati. Iringan-iringan anak berseragam lusuh dan bersepatu kumal melangkah di jalan basah tapi pendidikan malah tak menjanjikan. Pada resah aku kadang bertanya kawan: “Sejauh manakah rindu mengantarkan tidurmu tadi malam?”

 

Kutulis balada ini ketika akhirnya matahari bersinar garang sejajar dengan tiang bendera di depan departemen keuangan yang kainnya kian lusuh dan warnanya kian keruh lantaran tak terganti padahal rupiah sileweran keluar masuk departemen keuangan tapi tak pernah singgah di pucuk tiang bendera, sayangnya kawan, angka-angka itu tak mau entah tak boleh berdiri kokoh di atas tiang bendera melambai-lambai bersama lagu padamu negeri, angka-angka itu hanya boleh atau dipaksakan bersemayam di dalam rekening-rekening bank luar negeri yang tak mau disebut identitasnya. Pada jalan aku kadang bertanya, kawan: “Sejauh manakah mimpi mengantarkan selingkuh birokrasi itu ke ruang bersalin di sebuah rumah sakit?”

 

Kutulis balada ini ketika sorot matahari melemah juga akhirnya dan condong dari singgasananya mendekati permukaan laut dan wajah-wajah lusuh buruh pabrik, buruh tani, buruh perkebunan berebut pulang karena lonceng telah bergema dan daftar hadir telah diteken dengan berbagai corak sumringah, letih, dan senyum setelah mencoba mengais rejeki di sisi mesin baja yang angkuh atau di balik humus tanah yang mereka cangkuli. Pada peluh aku kadang bertanya, kawan: “Sejauh manakah darah berjalan menghambakan diri pada kehidupan yang angkuh?” Kutulis balada ini ketika matahari tak mampu bertahan dan menghela rembulan yang remang ke tempatnya tapi roda yang menggelinding tetap pada lajunya jua dan ruas-ruas jalan tertentu terlihat ramai kepulan asap rokok sileweran keluar masuk dari bibir bergincu merek murahan dan suitan-suitan nakal mereka masih kalah dengan kepongahan derum knalpot baja padahal telah sebagian besar bagian mereka diekspos jadi opera gratisan yang menjanjikan kepuasan instant tanpa label depkes, yang beruntung digelandang ke jurang dosa yang tak beruntung merenungi hidup yang terus menggelinding sementara si dedek butuh susu sedangkan susu di balik kutang lusuh telah kering karena oase pemerintah pengendali banjir mulai dibangun. Pada jangkrik aku kadang bertanya, kawan: “Sedalam manakah jurang untuk mereka yang dijalanan dan di pekantoran?”


Andam Dewi

Rabu, 27 Nopember 2013

Pukul 12.55 WIB

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler