Di selasar negeri Serambi Mekkah kita bertukar pandang. Luas padang dan puing
menimbun para pendulang nyawa dalam sekejap. Merentet ke selatan bau amis memenuhi
udara pekat oleh liur belatung dari mata, telinga dan sekujur badan tak kita kenal. Aku
berteriak dalam suara tertahan. Hanyut dalam lautan air mata tanpa sadar terbawa ke muara duka
nestapa tak berujung hingga hari ini. Kita saksikan peristiwa-peristiwa menggigit di ujung mata
rakyat jelata mencari keadilan yang dibenam ratu adil. Jagat tak lagi aman ditinggali musim
badai gemas meniup bencana. Di dada yang kedap lolongan kita simpan itu peristiwa. Bilur-bilur
doa tak berbuah tangkal, meranggas sebelum menembus singgasana arsy. Jika dalam gurat garis
tangan yang menyimpan api sesat cukuplah empunya tertulah. Kita menelan kecewa sebabnya
azab tak mengenal siapa. Dengan sinis dilantakkan dendam penuh amarah. Tak ada pilihan
kita berenang megap-megap dalam lautan air mata sedang tepian tak kunjung tampak.
Komentar
Tulis komentar baru