Untuk Ayahku, Kakakku, Kekasihku
dari jendela itu, nampak berbatunya jalanmu,
jalan berbatu yang kau awali renda-rendanya dengan pekat sepi.
ketika satu-dua hati menyapa, dalam kerudung sahaja atau
membawa sekeranjang buah rasa, engkau
memilih kepingan batu sebagai kata tegurmu
ketika satu-dua jemari jiwa tawarkan secawan doa,
engkau reguk setetes, tanpa
rela beriringan susuri berbatunya
jalanmu, nestapa.
kadang kerlingmu tumpah di lindap berbatunya jalanmu,
terasa keruhnya, terasa luruhnya.
kunang-kunang itu saja tahu,
lebih sentosa membagi sekelumit terang
ketimbang membiar malam dalam hitam, suram, muram.
namun tumpahan kerlingmu tiada bersudut kunang-kunang,
sekian panjang waktu kau buang
demi menjadi matahari, kadang bulan,
yang jangkau tanganmu jujur katakan
; aku bukan pedang.
pada malam yang sesunyi kala ini
hanya nganyut-nganyut sapa seruling
dari bibir
yang kenyang kecupan bakaran tembakau,
serta lindapnya berbatunya jalanmu,
menjawab.
ayahku, kakakku, kekasihku,
mimpi tentang matahari dan bulan punya waktu
usai, ragu atau malu
bukan pilihan semayaman kunang-kunang
raih bahuku, kubisikkan kalimat-Nya tentang hidup dan sedu (sedan)
kita akhiri berbatunya jalanmu.
Surabaya, Nopember 2010
Komentar
Bagus ! :)
Bagus ! :)
Yudi Tahjudi Sunas
makasih
makasih.........
Tulis komentar baru