Skip to Content

MASIHKAH KITA RAKYAT INDONESIA (SEBUAH CATATAN KECIL TENTANG SEKELUMIT KEKECEWAAN PADA PESTA DEMOKRASI BERNAMA PEMILIHAN UMUM)

Foto SIHALOHOLISTICK

Ini tentang pesta demokrasi bernama pemilihan umum

Yang akan menorehkan luka lagi dari berbagai sendi kebangsaan

Rakyat kecil kecewa pada mereka yang dianggap mampu mengemban aspirasi

Janji sekian puluh kali berlipat-lipat dalam ingatan setiap orang

Lalu menghilang saja seperti lukisan di atas air hanyut di bawa arus

Bergaung gema tanya, “Masihkah kita rakyat Indonesia?” yang entah siapa yang akan menjawab

Padahal segolongan kaum intelek dan terpelajar ikut ambil bagian di dalamnya

Tapi ilmu saja ternyata tak cukup untuk jaminan bangsa yang sejahtera, damai, adil dan makmur

Slogan-slogan hanya retorika yang menjadi sajak dan pada waktunya menggelapar kekurangan nyawa

 

Ini tentang pesta demokrasi bernama pemilihan umum

Yang menghadirkan actor-aktor kawakan dunia perpolitikan yang pada akhirnya sangat menjijikkan

Para sineas-sineas handal promotor pergerakan roda yang pincang ke sebelah nafsu

Dan kesejahteraan terperkosa tanpa peduli akan melahirkan bayi bernama politik jadah dan najis

Lalu bergaung pula tanya yang sama, “Masihkah kita rakyat Indonesia?”, yang kita tau tak akan pernah terjawab

Padahal alim ulama dan cendekiawan dari segala agama ikut maju membaurkan diri di dalamnya

Tapi keimanan rupanya telah melemah karena nafsu pada berhala bernama rupiah menutup pori-pori keikhlasan

Slogan haram dan dosa hanya terletak pada peta dua daging yang merah merekah lembut menawan

 

Ini tentang pesta demokrasi bernama pemilihan umum

Banyak yang mengaung tanpa memperdulikan makna mana yang di cari

Banyak yang terumus tapi semua malah terjerumus

Janji jadi teka-teki paling rumit dalam sejarah peradaban manusia

Manusia jadi srigala yang saling memangsa dan di mangsa

Tersesat pada peta buta dan mati berjudul kesejahteraan, damai, adil, dan makmur

Padamu negeri jiwa raga kami atau jadi pandu ibu pertiwi

Tapi kerakyatan, kebangsaan, dan nasionalisme itu hanya semata untuk rakyat

Tanya, “Masihkah kita rakyat Indonesia?”, tak perlu dijawab dan biarkan mengaung

Seperti bendera merah putih yang tetap berkibar ketika angin berhembus tak perduli terlihat sumbang

Kaum intelek dan terpelajar jadi dungu dan papa di peta politik

Kaum alim ulama dan cendekiawan jadi summum bu’mun umyun fahum la yarji’un

Slogan haram dan dosa di jawab enteng, “Nantikan masih bisa bertobat!”

(2013)

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler