Skip to Content

Memahat Takdir

Foto Binoto H Balian

Berjembatan angin, kekulon
tinggalkan hambar-fajar!
lalu serentak mengepak, tinggikan langkah
naiki waktu berantau-rantau
hingga jemari jejak menjangkau penghujung mendung.

kebibir tebing senja yg menyekap mimpi-mimpi malam,
suruk!
remang hidup dan terik-lebat-berbadai.
demi menjiarai dedebu-telapak-tuhan yg bertebaran
di sepanjang jalan pulang dan demi menyembuh peluh
yang bergemuruh dalam paru,
sambil merekam sebagian cuplikan agenda luka di dada

senyap-waktu yg menguap dari almanak subuh
puisi-cengeng meraksasa seperti tindihan mimpi buruk di kesendirian.
Merekatkan udara hingga terbentang jari belukar-luka
disitulah terpacu-renang dengan berbagai gaya kayuh
di bentangkan takdir yg berombak dan berlembah.

Lupakan elegi-kuburan-tak-bernisan di muara
serta puing yg telah kering dalam dada
dan sorotkan terjang, telak ke ulu-hati matahari
agar trauma pada simfoni-bah tergugah menjadi serbuk surga
meskipun kram kaki, yg karam
dan yg sampai hanyut oleh sapuan waktu-empedu

bagi yg tersisa dari perang-rebut-hujan!
tabah menegadah dengan tubuh gagah
menunggui matahari terbit dari celah tanah

meski telah sekian bnyak yang punah setelah letih merintih
meski lebih berjuta nama yg mati-senyap, dan yg basah kuyup
oleh lingkungan maut, tapi walau mulai layu dan jelang-abu
tetap luncurkan tengadah, sampai kandas ke limit-angin.

Lalu lompati matahari-perih bergalahkan pelangi
keseberang lautan airmata yg masih berbekas di akar pohon
untuk membendung tumpahan terik
yg kemungkinan akan kekal ribuan tahun lagi

Pekanbaru, 2003

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler