Berjembatan angin, kekulon
tinggalkan hambar-fajar!
lalu serentak mengepak, tinggikan langkah
naiki waktu berantau-rantau
hingga jemari jejak menjangkau penghujung mendung.
kebibir tebing senja yg menyekap mimpi-mimpi malam,
suruk!
remang hidup dan terik-lebat-berbadai.
demi menjiarai dedebu-telapak-tuhan yg bertebaran
di sepanjang jalan pulang dan demi menyembuh peluh
yang bergemuruh dalam paru,
sambil merekam sebagian cuplikan agenda luka di dada
senyap-waktu yg menguap dari almanak subuh
puisi-cengeng meraksasa seperti tindihan mimpi buruk di kesendirian.
Merekatkan udara hingga terbentang jari belukar-luka
disitulah terpacu-renang dengan berbagai gaya kayuh
di bentangkan takdir yg berombak dan berlembah.
Lupakan elegi-kuburan-tak-bernisan di muara
serta puing yg telah kering dalam dada
dan sorotkan terjang, telak ke ulu-hati matahari
agar trauma pada simfoni-bah tergugah menjadi serbuk surga
meskipun kram kaki, yg karam
dan yg sampai hanyut oleh sapuan waktu-empedu
bagi yg tersisa dari perang-rebut-hujan!
tabah menegadah dengan tubuh gagah
menunggui matahari terbit dari celah tanah
meski telah sekian bnyak yang punah setelah letih merintih
meski lebih berjuta nama yg mati-senyap, dan yg basah kuyup
oleh lingkungan maut, tapi walau mulai layu dan jelang-abu
tetap luncurkan tengadah, sampai kandas ke limit-angin.
Lalu lompati matahari-perih bergalahkan pelangi
keseberang lautan airmata yg masih berbekas di akar pohon
untuk membendung tumpahan terik
yg kemungkinan akan kekal ribuan tahun lagi
Pekanbaru, 2003
Memahat Takdir
- 429 dibaca
Komentar
Tulis komentar baru