Mengapa?
Mengapa aku?
Mengapa aku harus duduk sendirian di tepi ombak yang mengamuk?
Mengapa?
Mengapa mereka duduk di atas batu dan aku di atas pasir?
Mengapa?
Mengapa pulalah aku menulis mengapa?
Karena aku tak dapat memendam harta selamanya
Suatu saat, pasti akan ditemukan. Pasti.
Kalau mereka bertanya, aku menjawab.
Kalau aku bertanya mereka diam sejuta bahasa.
Mereka diam. Tenang, bagai hari subuh.
Tanpa desiran angin pegunungan, tanpa suara tarian pohon.
Mereka membuatku keliling tujuh kali,
Namun mereka tak melangkahkan kaki mereka sesenti pun.
Mengapa?
Mengapa harus aku?
Mengapa harus selalu aku yang duduk sendiri menghadap barat di sore hari,
Saat matahari akan terbenam dan air mulai naik.
Naik,
Naik.
Sampai menutupi seluruh tubuhku.
Dan dimuntahkan pada pagi.
Mengapa?
Mengapa harus aku yang disalahkan?
Padahal saat itu, aku masih bersih bagai salju.
Kau!
Kau telah menodaiku dengan tetesan darah hitam.
Ya, darahmu.
Darahmu telah menjadi hitam, tanda kebencian.
Semua kuburanku menjadi hitam, dan penderitaanku bagai syair ini.
Tak henti-hentinya mengalir dari hati.
Kemanakah semua sahabat, dan kawan-kawanku?
Oh, baru kusadari.
Ternyata, aku tak memiliki satu pun.
Aku telah menggunakan kacamata hitam
Yang tak mampu melihat jelas.
Mereka pun menggunakan topeng emas
Dan membuat wajah mereka berseri.
Mengapa?
Mengapa memori akan senja terbit?
Mengapa?
Karena KAU!
Sabtu, 29 Agustus 2015
Komentar
Tulis komentar baru