Skip to Content

Pada 2009

Foto Ratu Diena Miftahul Zannah

Sejuta lara kusimpan dalam kresek. Kadang membuatku muak sebab ia bergesek.
Hanya tengik merengsek, busuk, hiruk, pikuk.
Terengah menyaksikan sesuatu menyambar sekelebat halilintar. Untuknya—aku bicara
Ia tak berwasilah secuilpun. Jantungku berdetak—mendayu sayu. Mata hati yang terlanjur terpukau oleh ocehan kosong. Kosong. Tak sehekta pun kau beri makna.
Mungkin engkau yang berjiwa harum layaknya logam mulia .. aku terlampau jauh mengungkungi bahasa tubuhmu yang indah itu. Ya. Indah tapi bukan untukku.
Sejumput mantera bertenggeran kala kau bersabda. Hyang mengumandangkan picisnya roman asmara. Aku membakar. Oh bukan tepatnya terbakar. Api cinta yang mulai kau letupkan persis seperti dinginya udara pagi—menyelinap di sekujur tulangku. Kulitku terpaksa menerima getaran semu itu. Menggigil hebat aliran darahku seketika—cepat. 
Kau bagiku selaik fatamorgana yang mengawang-awang di atas mahkota rahimku. 

Kembali meronta tidurku lena. Al-Mustafa mengukuhkan berbuku-buku nasihat pada dunia. Mengikrarkan kesejatian terdalam pada semua cerita. Menyesakkan dada melihatnya. Tak kudengar pembicaraan yang berpulang pada rasa. Sesosok malaikat menyeduhkan teh kehidupan pada ragaku yang nyaris membangkai. Imajinasi liar menggorok senyumku untuk lekas berbenah. Menghentikan segala ketidakadilan ini. 
Tapi dia begitu lucu. Seringainya menuntunku pada misteri. Ia serupa lego yang bisa kususun sesuka hati. 
Tuhan pun setuju semangati aku yang tengah menggebu. Harta yang paling bisa meluluh lantakkan segenap cahaya dalam remah bibirku. 
Sedang pada waktu yang berbeda, jenazah itu semakin pilu—terluka—menitikkan air mata.
Sejurus sinar aku berfatwa.. “ aku butuh dia “---tapi mereka bertutur ganas, meradang senyapku .. “ kau hanya ingin dia “, kilahnya – sebagian tersenyum atas kekalahanku, diatas semua yang telah dan pernah tergurat,, tidakkah ada yang tersirat?
Dia bagai anjing yang menyalak.. terus menghujaniku dengan nyanyian cinta yang meracuni pangkal aorta ku—semoga saja ia tak pecah—semoga saja ia tak melemah
Aku masih ingin bernafas .. menghirup bau wangi tubuhnya, walau kadang sesekali 
Kesemuanya menguras habis kekuatanku—bahkan untuk sekadar mencumbunya diatas 
Karpet hijau yang tergelar ..


Suatu hari
Akan ku jejalkan kembali padamu atas apa-apa yang telah kau beri. Itu bukan hadiah manis buatku. Cuma segumpal bakteri yang menelungkupi sisa dari asa yang terbelah
Akan ku kelilingi seluruh belahan bumi,,
Biar Ku sambangi kemegahan Alexandria, negeri asuhan tangan dingin Cleopatra,,
Kan ku susuri kebijaksanaan lahiriah Athena, dengan kuil Parthenon sebagai juru kuncinya
Dan kututup seluruh petualanganku sambil memutari keagungan Ka’bah—mencium jejak keRasulan Sang Muhammad di tanah Haram ..

Demi engkau ..
Demi kecintaanku kepadanya … supaya ia berpuas diri mengekerku dengan teropong kepura-puraannya--- secara utuh ,,

Anggap ini sebagai hibah untukmu yang pernah mengisi hari-hariku ..
Keleluasaan bagimu yang tenang secara tiba-tiba di sudut sana ..
Agar aku dapat melihat serentetan gigi putihmu saat kau tertawa..

Dan ketika datang kereta kuda itu
Izinkan aku menyuntingmu dalam keabadian yang nyata
Bukan hanya cuplikan kilat yang mengalun merdu dalam khayalanku saja ……..



Bekasi, 3-4 September 2009

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler