Skip to Content

Pembuka Jalan

Foto Iyus Yusandi

Malam masih saja terasa dingin. Jalan sudah mulai lengang. Kendaraan sudah jarang yang lewat.

Aku duduk di bangku kayu. Bangku tukang gorengan yang sudah lama gak buka usaha.

Pikiranku masih saja bertumpu di rumah. Ingin rasanya pergi jauh. Semampu kakiku melangkah. Gak ada betah sesaat pun di rumah. Sudah dua hari aku berada di luar rumah.

Malam semakin larut. Udara pun terasa semakin dingin. Aku lupa tak mengenakan jaket denim kesukaanku. Kucoba melangkahkan kaki. Mencari sampah kardus yang bisa kubakar untuk menghangatkan tubuhku.

Terdengar bunyi dentang lonceng jam dinding dari sebuah toko. Malam semakin larut. Embun pun mulai turun.

Pikiran pun semakin tak menentu. Seolah-olah begitu banyak yang muncul. Satu kesalahanku kepada orang-orang di rumah. Aku benar-benar merasa bahwa orang-orang di rumah tak menghiraukanku.

Beberapa kendaraan sudah mulai lewat di jalan itu. Kendaraan yang mengantar orang-orang ke pasar. Aku masih saja duduk di bangku tukang gorengan di trotoar depan toko. Dengan segudang pikiran di kepalaku. Sendiri, tetap sendiri aku duduk di bangku itu.

Beberapa kios telah buka. Mengais untung dini hari.

“Hai, kamu! Apa yang kau lihat ke warungku?” Tanya pemilik warung.

Aku hanya mampu memandangi makanan yang ada di dalam etalase. Terbayang gurih dan nikmatnya.

Tak kuhiraukan pertanyaan pemilik warung.

Kurasakan perutku mulai lapar. Sudah dua malam perutku tak terisi makanan. Tak sepeser pun uang di saku. Bagaimana aku bisa makan. Bagaimana aku bisa membeli makanan.

Pikiran lain pun muncul. Haruskah aku. Pikiranku makin gak karuan. Menjalar ke bagian terjahat. Tidak, tidak. Jangan sekali-kali berpikir jajhat. Karena jahat itu, ya gak baik.

“Sandi, apa kamu gak punya kegiatan lain?” Tanya pak Makmur, mengagetkanku.

“Kamu itu masih muda. Manfaatkan waktumu buat belajar banyak hal!” tambah lelaki setengah baya, yang belum lama membuka kios masakan.

Tangan Pak Makmur memegang bahuku. Hangat terasa. Mengobati rasa dingin yang terasa sejak malam.

“Kemarilah. Ikutlah ke dalam. Mari kita bicara di dalam.”, sambil menarik lenganku.

Aku berpikir apa yang hendak ia lakukan kepadaku. Aku tak merugikannya. Aku tak sanggup berpikir jahat, apa lagi harus berbuat jahat.

Pak Makmur membawakanku sepiring nasi dengan beberapa lauk.

“Ini makanlah dulu. Ayo, makanlah!” sambil pak Mamkur menyodorkan piring ke pangkuanku.

“Aku tak sanggup membelinya, Pak”

“Gak apa-apa. Makanlah. Isilah perutmu, jangan biarkan ususmu kosong. Ayo, makanlah”.

Aku pun melahap makanan itu. 2 malam gak sesuap pun masuk makanan. Habislah makanan itu pun dalam waktu yang gak lama.

“Pak haji, terima kasih telah memberiku makan. Terima kasih, Pak”, sambil kudekap kedua kakinya.

Aku pun menangis. Betapa besar kurasakakn cinta Pak Makmur. Kudo’akan usahanya laris.

“Anak muda, sudahlah! Pulanglah ke rumahmu. Minta maaflah kepada kedua orang tuamu. Minta maaflah kepada bapakmu, bersimpuhlah kepada ibumu. Di kaki ibumulah surgamu”, lanjut Pak Makmur dengan mengusap pundakku.

“Terima kasih, Pak Haji!” sambil kucium kedua tangan pak Makmur.

“Izin pulang, Pak Haji. Sekali lagi terima kasih telah mengingatkanku. Permisi. Asalamu’alaikum wr.wb!”

“Waalaikumsalam wr.wb”. balasnya

Aku pun pulang. Menyusuri jalan bersemen. Memasuki gang bercahaya temaram. Cahaya yang menembus ke hati. Secercah cahaya keemasan. Cahaya penuntun ke jalan-Nya.

Jalan nan lurus melalui ridho kedua orang tuaku.

(Bali, Balandongan Indah, 02 Nov 2018, 10:10)

“Sandi, apa kamu gak punya kegiatan lain?” Tanya pak Makmur, mengagetkanku.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler