Ia bersandar pada tiang bendera
Diusapnya lembut peluh wajah keriput
Tatapan matanya kadang kebawah,
belum ada suara gemerincing koin
Jatuh dalam mangkuk usangnya
Aduh…dimana lagi keresahan harus disembunyikan,
Biar senyumnya mengembang seindah lagu
Aduh…bagaimana menghibur lapar
Biar rasa perih masih bisa di redam…
Tapi sampai kapan ?
Apakah sampai roh terbang melayang ?
Ia memandang…,
Wajah menghiba tampak dari sorot matanya,
Tapi,
Tak ada rasa iba yang menjawab rona wajahnya,
Semua mata berpaling…!
Seakan pandangannya membentuk garis panjang,
Rasa kemanusian menjadi sirna
Di hempas panas terik ibu kota,
Mencekam seperti rimba raya.
Ibu ibu, bapak bapak, remaja remaja…
Kepedulian menjadi buta,
Kemanusiaan tak nampak lagi,
Apalagi pemerintah ?
Apalagi tuan tuan dan nyonya nyonya ?
Konon mereka menjadi buaya…
Apakah memang ini “jakarta”…?
Bagai gurun yang dahaga,
Atau seperti hutan rimba ?
Aku tak percaya…”ini Indonesia”…!
Masihkah aku berdiri di tanah tercinta
Yang orang berkata ” indonesia berbudaya “…
Aku sungguh tak percaya…
Keganasan ibu kota,
Menghamburkan jalinan persaudaraan
Ketika semua berlomba,Mencari makan…
Memalingkan wajah kepada pengemis tua
Apakah jakarta kan tetap seperti ini ?
Didalamnya bagai mesin pabrik
Memproduksi banyak gelandangan
Memperbanyak kaum miskin
Dan memproduksi banyak kaum kapitalis,
Pengemis tua…
Yang bersandar di tiang bendera
Menahan perih kelaparan,
Di bawah megahnya restoran bintang lima
Dan “anjing anjing”nya mengonggong
Menghela !,
Karena para tamunya kehilangan selera.
Rasull abidin, 30 mei 2013
Jakarta.
Komentar
Tulis komentar baru