Skip to Content

Puisi Burhanuddin Soebely

Foto Y.S. Agus Suseno

Burhanuddin Soebely dilahirkan di Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS), Kalimantan Selatan, 2 Januari 1957. Bekerja di Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten HSS. Menulis di berbagai media. Bukunya yang telah terbit Cerita Rakyat Kalimantan Selatan 2 (bersama Djarani EM dan Iwan Yusie, 1997), Lintas Revolusi Fisik Tahun 1945-1949  Daerah Kalimantan Selatan di Hulu Sungai Selatan (bersama Djarani E.M, 2001), Mamanda Ampunlah Tuanku (2002), Bahara Mingsang Idang Siritan (2002), La Ventre de Kandangan Mosaik Sastra HSS 1937-2003 (editor, 2004) dan lain-lain. Tiga noveletnya, Reportase Rawa Dupa, Seloka Kunang-Kunang dan Konser Kecemasan masing-masing Pemenang II Sayembara Penulisan Cerita Bersambung Majalah Femina (1987, 1988, 2001).

 

Burhanuddin Soebely

Concerto Balai Bilaran

 

mendatangi  loksado[1]

adalah menyetubuhi gadis berambut turun dayang

yang kecipak-kecipung di bening air sela batu-batu

 

mendatangi loksado

adalah membasuh kesederhanaan dan kerendah-hatian

yang kusam oleh jam-jam brutal kota-kota

 

mendatangi loksado

adalah ini:

 

malam rebah rindu

segenap umbun[2] menahan sedu

ada geliat bunyi serunai bambu

ketipak gendang bertalu

dengung gong yang memburu

 

----iiii....lah...

     nang manggaduh tihang aras mula jadi

     nang manggaduh tihang aras mula ada

     iiii.....lah....

     turunan di gantang amas di gantang kaca

     turunan di gantang intan di gantang sari[3]----

 

lalaya[4] tak berkerisik

kendati balian[5] balai bilaran

telah menandiki

 

kambang-kambang lilihi[6] terburai

bagai warkah tak berwasilah

 

suara-suara yang menyebut

cuma gema tak bersahut

----duh, Ning Diwata[7] sesembahan alam raya

      buyut intah Bambang Siwara[8]

      telah bersekutu dengan Datung Sumaliih[9]

      meracuni mata air buyut intah Datung Ayuh[10]

      mereka sumpahi semua menjadi batu

      hingga nurani kami pun mulai berbunga batu

      mereka serakkan ludah-ludah dunia

      dan menghela kami ke penjara kabut

      yang menghalalkan mendaki pundak sesama

      untuk bisa melihat matahari

 

      duh, Sang Jata[11] yang lunggun di sapta pertala

      bilas keringat kami yang memupuk tugalan

      pada mulanya bernama kebersamaan

      kini menjelma mimpi di langit-langit ujuk[12]

      membiuskan nafsu pemilikan kebendaan

      hingga hati kami mulai memperanakkan macan

      yang menyiapkan cakar dalam keseharian---

 

beberapa isak rebak

ada bau bunga semerbak

bau dupa semerbak

bau garu semerbak

bau menyan putih semerbak

lalu meruap bau darah

 

---dijanjii panggung dijanjii

   dihajati panggung dihajati

   gunung sangga gunung sambut

   gunung panyambutan maut---[13]

 

lalaya tak jua berkerisik

kendati pinjulang dan patati[14] balai bilaran

sudah menyampiri

 

mahligai ading[15] kosong penghuni

sangkar galung sangkar mayang

menafaskan sepi

 

---duh, Sang Mahatara[16] yang lungguh di sapta paksina

    ke mana lagi kami sangkutkan

    cicit anak-anak burung ini

    anak-anak burung yang meramal sungkawa

    anak-anak burung yang bakal hilang sarang

    anak-anak burung yang jadi anak jadah kemajuan

 

    akar-akar rimba beton

    mulai mengisapi sumsum peradaban

    gemuruh mesin dan barang jajaan

    menyerimpung kuda-kuda kaki

    yang berusaha bersitahan

    agar tak terseret arus zaman---

 

mendatangi loksado

adalah menatapi warna senja kala

 

terdengar simfoni mozart dan beethoven

di sela tawaran mc Donald

dan konsesi real estate

 

mendatangi loksado

adalah memasuki keramaian

ketika jeanne d’arc

diarak menuju lidah-lidah api

 

aku pun bertanya:

jeram di hulukah yang menghilirkan arus payau

ataukah angin hilir yang mendiruskan risau?

 

 

Lagu Tanah Tugalan

 

selembar hari. Burung-burung meninggalkan sarang

hinggap di atas arang bekas tebangan. Seperti kita,

ujarmu sambil membenamkan topi ke kepala. Dan hutan

di selatan menyahut dengan tangis. Tangis siapa?

 

perlahan kurung-kurung[17] bersisahutan, lagu panggilan

tanah tugalan[18]. Mari belajar meramu hidup,

ujarmu sambil mengibas hari. Selebihnya, lesak asak,

semaian benih padi, dan peluh yang gaib di tanah

 

Datu bini badangsanak walu[19]

   jejakkan kaki di marcapada

   ‘lah kami bangun balai[20] keemasan

   wadah istirah di tanah tugalan

 

   Datu bini badangsanak walu

   jejakkan kaki di marcapada

   tumbuhkan lagi buah jelmaan

   runduk berisi jadi idaman “

 

selembar hari. Burung-burung beterbangan

menyanyikan persetubuhan isi langit dan bumi. Seperti kita,

ujarmu sambil memandangi anak-anak padi di tugalan. Tapi hutan

di selatan masih menyahut dengan tangis. Menangisi siapa?

 

Galuh Yayang! Galuh Yayang![21]

   tolong peliharakan buah idaman

   dari keserakahan hewan asuhan

   hingga berbunyi gendang bawanang[22]

 

kembali selembar hari. Anak-anak berkejaran: memburu esok

di atas mimpi kemarin yang elok. Seperti kita,

ujarmu sambil melipat hari. Mengusapkannya

pada penat di pinggangku. Hutan di selatan

masih jua menangis. Menangisi apa?

 

 

Mitologi Hujan

 

                                    malam-malam Diyang Sanyawa

                                                menari di tanah huma

 

            malam susut sungailah yang membingkas gendang

dan serunai. Kamu depanku, meramu kelelatu, menjerang

merang itu, juga darah itu. Purba belantara. Harum dupa

menunggu tengara dari tenggara.

 

            bebatu rindu, bujukmu, mencelup rambut ke sisa

lumut, ke sisa rumput. Cuaca mengentara. Bayu

memberat pada serat bunga randu. Tapi hujan masih

jauh, kukira.

 

            o, yang melampu

                        di tiap penjuru

            jangan termangu

                        di ambang pintu

 

            o, yang bersaf

                        minta diucap

            jangan hinggap

                        beraling gelap

 

            perjamuan ’lah sedia

            pesta ’kan bermula

 

            malam susut sungailah yang membingkas gendang

dan serunai. Kamu depanku, menangkup lesung,

merajang kayu piatu, pun dedak tahun lalu. Tujuh beras

pada gelas menjerat isyarat yang bertangkap lepas.

 

            bebatu rindu, melasmu, mencelup rambut ke sisa

lumut, ke sisa rumput. Cuaca mengentara. Kercap dingin

dan bau tanah basah. Tanda hujan bakal tiba, kukira.

            Tihang Bapang[23], o

                        ulin di hutan

            Liang Umang[24], o

                        ulak[25] di awan

            berpagar mayang

            berkelambu sangkar[26] 

                        tikar terhampar

                        pun api pendiang

 

            ”batulis kaning batambang liring

              rambut ading juntai ka tawing

              libak di tilam pacah tilah

              libak di tilam sanghir banyawa...”[27] 

 

            bebatu rindu, lenguhmu, mencelup rambut ke sisa

lumut, ke sisa rumput. Cuaca mengentara. Ada derak

di tenggara. Kerakah chainsaw, ternyata.

 

 

Potret Kehilangan

 

tak ada lagi perahu

lalu-lalang di sungai itu

pun rakit bambu

yang milir dari hulu

 

tapi tak terdengar teriak kehilangan

apalagi ratap dari tangisan

 

“ Barangkali kita harus mengulang kaji

jarum arloji.” igaumu sambil menyimpan kamera

ke tas berdebu. Aku termangu memandang

keruh air, melihat bangkai kucing

mengucup kelamin angin. “ Hari memang telah senja! “

igaumu lagi. Lalu menjumput sebutir batu

melemparkannya ke wajah waktu

 

ratusan pipit lenyap

dari kawat telegrap

pun kelepak derkuku

yang mengibas orang lalu

 

tapi tak terdengar teriak kehilangan

apalagi ratap dari tangisan

 

“ Barangkali kita harus membilang jarak

pada jejak. “ igaumu sambil menyimpan kamera

ke tas berdebu. Aku menyulut sebatang rokok

dan menunjuk lingkaran asap

yang perlahan lenyap. “ Betapa ganas legiun berkuda! “

igaumu lagi. Lalu mengambil ranting kering

menombakkannya ke ombak awan

 

bunyi tarbang[28] lamut[29]

jadi batu berlumut

pun lantun madihin[30]

tinggal lagu bacin

 

tapi tak terdengar teriak kehilangan

apalagi ratap dari tangisan

 

“ Mari kita nyanyikan

lagu piatu.” igaumu sambil memandangi

potret-potret kuning di dinding. Aku melihat daun jatuh

dan menutup tirai jendela yang kusam

oleh cuaca. “ Serabut memang telah tercabut! “

igaumu lagi. Lalu puluhan puntung di asbak

menyempurnakan kehilangan kita.

 


Kasidah Biduan

 

inilah hamba, biduan yang mengais

remah dari dunia. Lalu bersenandung

ke telinga piala kesukaanmu

lagu tentang makhluk api yang sembunyi

di balik gincu si renta itu

 

inilah hamba, biduan yang mengais

air mata dari damba. Lalu bersenandung

ke telinga piala kesukaanmu

lagu tentang keriuhan zikir bulbul

ketika sayap-sayap berkepak mengangkat

ruh para penyujud cinta

 

inilah hamba, biduan yang mengais

kata dari titahmu. Lalu bersenandung

ke telinga piala kesukaanmu

lagu tentang kedahsyatan hari lepas akar

ketika degam beruntun degam

dan semesta membulu dalam angin

 

inilah hamba, biduan yang mengais

kasih dari kalbumu. Meramu lagu

Allah Hu

 

 

Ziarah Malam Melaka

 

 “ persiaran malam ni

   jejaki peristiwa lama…”

Mei Lan memandu perjalanan

 

tapi Melaka cuma kaca

dan dinding batu. Barangkali anak waktu

telah bergegas melepas susu ibu

dan menyembunyikan jejak bapa

 

di mana Tuah?

 

“ jangan cakap pasal tu…” bisik

Mei Lan. Lampu-lampu muram

menjerat irama dansa. “ selagi berulit ni

di copeng telinga cakap sahaja gelora laut

setakat kapal belum karam dalam malam…”

 

cuma kaca

dan dinding batu. Bau rambut

membuat ruang susut. Dan sebentuk pualam

terpeta pada tilam

 

di mana Tuah?

 

“ Tun Tuah tu lagi bersama Putri Cina

    mengayuh asmara di atas pusta…”

Mei Lan memandu perjalanan

 

peluh rinai

di rambut terurai. Selebihnya busa bir

meleleh perlahan di bibir cangkir

 

Melaka membunuh bunda

Mengubur bapa

 

Garden City

Melaka, 2003

 

 

Pertanda

 

kutemui pertanda di sini, di antara tunggul kayu

jerit mega dan igauan baja. Tersabda suara gaib

selaksa nisan akan bangkit di bukit-bukit

 

kutemui pertanda di sini, di sunyi kepak burung

---telah lepas tiruk riwayang yang dahaga

    memburu tubuh merindu keluh menunggu aduh---

 

maka larilah aku kehutanrimbaku kehulusungaiku

kelembahgunungku kepadangrumputku kecerukjeramku

tapi tak satu pun ketemu tempat sembunyi

semua telah dikembalikan kepada api

 

kutemui pertanda di sini, di luka-luka tanah bunda

serintis angin menyanyi belasungkawa

 

 

Perarakan Topeng

 

saat terbangun dari nikmat percumbuan, kau menemukan

bantal kosong di sisi. Diam-diam kusaksikan rama-rama itu

menyampaikan pesan penghabisanku: dengan topeng di wajah

carilah aku di entah. Aku tahu kau merasa aneh dengan permainan

cinta ini, tapi aku telah tinggalkan penanda: keharuman dari cadarku

yang tadi malam kita jadikan penyeka embun keringat di ranjang

 

Bapaku Dalang, o, Bapaku Dalang

betapa rapuh dahan tempatku berpegang

bukankah sisa percumbuan

cuma kecambah kehilangan

makanan kesukaan bagi sangkala?

 

tapi kaulakoni juga perarakan itu, mengetami bebutiran luka

di sepanjang pencarian. Diam-diam kusaksikan: kau menyurukkan

topeng ke batu penistaan sambil berharap rama-rama akan membawa

desah cintamu kepadaku. Aku tertawa. Bukankah di hari perjanjian

dulu kau merasa demikian mengenaliku, sanggup menderita atas nama cinta?

 

Bapaku Dalang, o, Bapaku Dalang

betapa lelah memburu entah

memetakan bayang cadar pada segala

membaui sisa keringat pada jejak

mengucap nama di belantara nama

 

kubiarkan bercawan-cawan darah tumpah sebelum kecambah menjelma

bunga di hatimu. Semakin rimbun kehilanganku akan semakin menegas

ketidakhilanganku. Selangkah kau berjalan kepadaku, akan berlari aku

menjemputmu. Tahukah kamu, wahai kekasih-Ku?

 

 

Loksado

 

selalu saja. Ricik air di batu. Mengaliri

penanggalan. Melarutkan aduh

daki tubuh berpeluh

 

selalu saja. Angin dan hutan bambu. Menafasi

penanggalan. Melantunkan kasidah

rumah di lembah

 

dan selalu saja. Kepompong sunyi. Membungkusi

penanggalan. Menempa lagi

tanah yang pecah

 

Loksado = tempat wisata di lembah Pegunungan Meratus

 

 

Konser Kecemasan

 

---siapakah mereka yang menyesap sanginduyung[31]

    menaburkan bau bunga bau cendana

    di petanahan purba wadah semaian asa?---

 

tak ada sahutan. Anak-anak balai bilaran

gelimpangan di lantai, dihempas musik rak-rak-gui

yang muncul dari keganasan chain-saw

 

bahkan dalam tidur pun musik itu terus mengalun

bersabung dengan raung buldoser erang eksavator

derak loader deru tronton gemuruh ratusan truk

menciptakan konser kecemasan dan pemandangan senjakala

 

lalu bagai kupu-kupu bersayap tunggal

anak-anak itu beringsut merubung lalaya[32]

 

---iiii....laaah

   batang tajunjung batang sasangga

   daunnya maharing langit

   iiii....laaah

   di langit bajunjung kaca

   di tanah baruntai anggit---[33]

 

  “ya apang[34] ya umang[35]

    apalagi yang tersisa

    di mana lagi kami semaikan asa

 

    hutan-hutan tiada

    huma-huma tiada

    tanah-tanah rekah

    mengalirkan nanah

    pancur-pancur jelaga

    sungai-sungai berbisa

      ah, apalagi yang bakal terban

      di mana letak keadilan?”

 

perempuan-perempuan berambut putih terjurai

mengais sisa tangis

 

    “jangan bertanya tentang keadilan, Diyang

      karena jiwa mereka telah kering

      karena mereka adalah bangkai

      yang berkisar di antara angka-angka

      yang sungainya cuma kerakusan

      yang muaranya cuma perasaan

      ketakcukupan akan sebiji dunia

 

      dan kita tak lebih dari binatang korban

      yang digiring ke altar persembahan

      atas nama kemakmuran

 

      tapi jangan menangis, Diyang

      kita bukan batu yang bisa digaris-tepikan

      kita akan kibarkan bendera perlawanan!”

 

---siapakah mereka yang merobeki rahim ibu bumi

    dan mengangkuti belulang moyang kami?---

 

tak ada sahutan. Para balian[36] balai bilaran

batandik[37] mengelilingi lalaya, menating mangkuk merah

berisi air mata rembulan, santan kecemasan, darah perasaan

 

---iiii...laaah

   langit baputar langit baguncang langit baradin

   tanah bargana bakumpang hati carincing gading

   basamban darah batunjuk parang batunggang angin---[38]

 

   “awas jangan papas hutan kami

     nanti aku amuk aku tuang wisa ke pembuluh raga

     awas jangan ganggu sorga kami

     nanti aku sumpit aku damak aku kirim parang maya

     jangan tuang nila jangan bawa bala

     selusupku selusup datu selusup tak berwaktu

     jariku jari pahat jari-jari tombak

     mataku mata pisau mata-mata mandau

     tiupku tiup puja tiup mantera-mantera

 

     awas jangan papas hutan kami

     jangan ganggu sorga kami

     aku ada di sukma burung di sukma gunung

     aku ada di sukma bayu di sukma kayu

     aku ada di sukma batu di sukma datu

     mengintai selalu!”

 

---siapakah mereka yang menyesap sanginduyung

    menebarkan bau bunga bau cendana

    merobeki rahim ibu bumi

    dan mengangkuti belulang moyang kami?---

 

tak ada sahutan. Pertanyaanku membentur jidat

para birokrat yang terlilit utang pada konglomerat

 

 

 

 

 

 

 

 

[1] Loksado = tempat wisata di kaki Pegunungan Meratus, kawasan permukiman Dayak Meratus

[2] Umbun = keluarga

[3] Salah satu litany Dayak Meratus

[4] Lalaya = bangunan suci sentra upacara

[5] Balian = dukun, penghubung alam nyata dengan alam supranatura

[6] Kambang lilihi = aneka kembang yang dipegang balian dalam upacara

[7] Ning Diwata = Yang Maha Kuasa

[8] Bambang Siwara = tokoh mitologi, nenek moyang orang kota

[9] Datung Sumaliih = tokoh mitologi, apa yang disumpahinya akan menjadi batu

[10] Datung Ayuh = tokoh mitologi, nenek moyang orang pedalaman

[11] Jata = penguasa alam bawah

[12] Ujuk = kamar dalam balai/rumah adat

[13] Salah satu litany Dayak Meratus

[14] Pinjulang dan patati = wanita pendamping para balian dalam upacara

[15] Mahligai ading, sangkar galung, sangkar mayang = totemik upacara

[16] Mahatara = penguasa alam atas

[17] kurung-kurung = alat musik tradisional Dayak Meratus, terbuat  dari bambu dan ulin, cara      

       membunyikannya dengan jalan dihentakkan ke tanah.

[18] tanah tugalan = tanah huma di daerah pegunungan

[19] Datu Bini Badangsanak Walu = pembawa buah padi ke bumi dalam kepercayaan Dayak Meratus

[20] balai = rumah besar; rumah adat Dayak Meratus

[21] Galuh Yayang = penguasa binatang dalam kepercayaan Dayak Meratus

[22] bawanang = upacara pascapanen Dayak Meratus

[23] Tihang Bapang = sebutan kelamin pria di dunia supranatura Dayak Meratus

[24] Liang Umang = sebutan kelamin perempuan di dunia supranatura Dayak Meratus

[25] Ulak = pusaran

[26] Sangkar = totemik dari anyaman pucuk enau

[27] Salah satu litani upacara Dayak Meratus

[28] Tarbang = gendang rebana besar

[29] lamut = salah satu teater tutur Kalimantan Selatan

[30] madihin = salah satu teater tutur Kalimantan Selatan

[31] Sanginduyung = bilah-bilah bamboo berujung runcing yang ditancapkan di sekeliling kubur, dimaksudkan sebagai penanggal hantu pemakan mayat, kepercayaan Dayak Meratus

[32] Lalaya = bangunan suci sentra upacara

[33] Salah satu litany Dayak Meratus

[34] Apang = ayah, bapak

[35] Umang = ibu

[36] Balian = dukun, penghubung alam nyata dengan alam supranatura

[37] Batandik = menari dengan menghentak-hentakkan kaki

[38] Salah satu litani Dayak Meratus

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler