Skip to Content

Puisi-Puisi Iwan M. Ridwan

Foto Iwan M. Ridwan

DI PEKARANGAN RUMAHMU

Di pekarangan rumahmu ada sebilah rindu yang kutancapkan dekat bunga mawar

Mungkin hanya kau yang tahu bagaimana memeliharanya

 

Tak usah kau sirami dengan air tiap pagi atau kau taburi pupuk sebulan sekali

Cukup dengan menyapanya setiap kau mengingatku

Bandung, 3 Juli 2009

 

KETERAPUNGAN MIMPI

Aku merasa seperti Yusuf yang diboikot oleh saudara-saudaranya lalu di buang ke dalam sumur, tapi aku tak merasa tampan. Tak ada satu pun bintang yang bersujud ke hadapanku, dalam mimpi. Atau rembulan jatuh ke tanganku. Semuanya tak kualami. Tapi aku terasing di sini, terkurung bersama lagu-lagu sendu. Rasa kantuk merayap di atap dan alis mata. Sedang kerinduan senantiasa tak tersampaikan pada-Mu.

Dalam malam yang menyimpan seribu bulan, hatiku berlari mengejar cahaya yang pernah membawa rasul menemui-Mu, sayap-sayapnya menggelepar seperti rasa. Lalu pertanyaan pun muncul bersahutan dengan keheningan, sesekali bersembunyi di ketiak buku-buku tua, atau kitab-kitab keabadian yang menceritakan kisah mereka. Bergegas menuju masa lalu dan kembali pada hari ini seperti sebuah ingatan yang terlupakan.

Aku lelah mencari peraduan sepi, bayang-bayang hanya menjanjikan perih, sesaat terluka. Lalu kemana makna surga yang didekap mimpi ketika seluruh warna malam menyatu dalam doa, dalam tarawih yang menjerit-jerit ditinggalkan jemaat, dalam tadarus-tadarus paling sunyi? Bukankah setiap nafas selalu menghembuskan dzikir yang merayap dari subuh ketika masih bernama malam?

 

Bandung, September 2007

 

YANG KUCATAT HARI INI

Ada yang kutulis di dindingmu pagi ini
sesuatu yang sebenarnya tak mau aku sampaikan
aku menulisnya bersama angin subuh yang kesiangan
bersama matahari yang terlalu cepat menaikan suhu
ah hampir saja tubuhku ikut terbakar bersama hari

Bandung, 3 Juni 2010

 

JUXTAPOSE

Kau takkan pernah tau apa yang pertama kali ditemukan Adam di Sorga
Ketika jasad kaku itu mulai menghembuskan nafas,
sekerat daging dalam tubuhnya menyimpan seribu cerita
Di antara pohon-pohon khuldi tubuh itu kemudian mempertanyakan keberadaan dirinya
saat menatap seisi ruang nadi

Kau diamana saat hujan masih bernama awan?
Hitamnya menggelembung dalam dada setiap yang bergegas menuju peraduan
Cinta atau dendamkah yang berjatuhan membasahi jalan-jalan, rumah-rumah, sungai-sungai yang kemudian menjadi banjir dan menghanyutkan seluruh cinta dari tiap-tiap nafas itu!

Masih ada gerimis dalam dada ini, seperti bulu matamu yang berkedip saat bibirku menyentuh keningmu membisikan tangis. Langit seperti ingin mencurahkan seluruh penyesalannya sementara orang-orang malah asyik dalam genggamannya.


Bandung, 28 April 2010

 

PERJALANAN KE TIMUR

(Setelah “Pasukan Siluman Haji Prawatasari”)*


Aten we aanvallen! Laten we aanvallen!
Ik ben dood , jij is varken, jij is varken.

Teriak itu penuh dendam, amarah dan keinginan untuk memusnahkan. Genderang perang ditabuh mengencangkan gemuruh jantung, mempercepat subuh. Embun-embun pagi dipaksa berjatuhan, bedil dorlok dikokang mengintip nyawa memperganas seribu tombak di tangan-tangan penghianat. Yang berkuda dan yang bersepatu laras tinggi mencambukkan ambisi, yang berjalan dengan kaki telanjang mengorbankan jiwa raga penuh hati.

Allahu akbar! Allahu akbar! Allahu Akbar!

Seru kalian dengan tangan-tangan doa. Hanya sebilah gobang atau trisula yang mewakili perlindungan Tuhan sebab doa-doa lebih runcing darinya. Dzikir-dzikir lebih mematikan ketimbang bedil dorlok. Ada yang bekerjasama dengan pepohon, dengan angin, dengan rerumpun. Ada yang bersahabat dengan akar-akar, dengan kakayon, areuy-areuy, daun-daun kering. Menyerang kemudian bersembunyi dalam pelukan hutan hingga mengalahkan pasukan pertama yang menyerang dengan tangan pedang!
mereka adalah manusia yang tubuhnya samagreng alat-alat perang. Permainannya sangat liahai seperti sekawanan predator yang memasang taktik perburuannya. Mengintip, menyerang, mengejar, menunggu dan menjebak dari depan. Tapi sekonyong-konyong strategi itu dapat dipatahkan kalian. Sekawanan predator yang memburu tak bisa kembali, luka di kandang perburuan, mati dalam genggaman hutan.

Perintah penyerangan itu kembali mengaung. Menggetarkan seisi hutan dan huma tadah hujan. Terus dan terus mengisyaratkan serbuan, namun yang datang adalah panah-panah berkepala api. beribu-ribu panah. Terjatuh di pohon, terjatuh di tanah, terjatuh di akak-akar, di areuy-areuy, membakar daun-daun kering, membakar rumupun-rumpun jarong, rumpun kicenté harendong dan bongborosan. Semuanya menyala. Menyala. Membumbungkan asap tebal. Menghanguskan seisi hutan hingga menyulapnya menjadi tegalan.
Tapi kalian tak mati terbakar api. Semangatmu tak hangus digempur bara. Hanya tak mampu melindungi akar-akar, pepohon dan dedaun hingga berubah menjadi arang. Tanah-tanahnya menjadi abu seperti gurun pasir yang baru diciptakan manusia.

Perang campuh itu dimulai kembali setelah hutannya diubah menjadi medan pertempuran. Satu melawan sepuluh, satu melawan dua puluh, satu melawan tiga puluh, tiga belas melawan dua ribu lima ratus prajurit. Waktu yang tak lebih hitam dari abu hutan terus berjalan hingga peperangan memakan nyawa. Nyawa tujuh puluh prajurit terganti dengan satu nyawa Pasukanmu dalam tiap jamnya hingga di akhir hari gugurlah semua yang berbakti padamu, sementara mereka terus berdatangan dari tempat-tempat yang jauh. Terus mengelilingi tubuhmu yang telah bergelimang darah. Darah seorang syuhada yang jatuh ke bumi dan menjadi saksi kebenaran harus tetap bediri seperti jasadmu yang ditinggalkan roh suci setelah sejuta peluruh bersarang di tubuh yang dihunus dari segala penjuru. Kau tetap beridiri. Berpegang batu berdiri.

Bandung, 31 Maret 2010

 

SAJAK MALAM UNTUK NINGSIH

Jangan kau buat hujan di hatimu, Ningsih.
Biarkan gerimis hanya menghiasi kesunyian
Jangan pula kau pakai awan-awan mendung itu sebagai warna senja pada matamu
Sebab masih banyak hati yang kan memilihmu sebagai penghuni.
Rinai hujan, senja yang menua atau fajar yang masih bernama malam akan tetap sebagai jalan yang mesti kita lalui, kita lewati.
Suara-suara keheningan akan melindungimu dari keterjagaan
Mimpi orang-orang lapar bersama luka orang-orang asing adalah cermin saat kau mendandani diri.
Kau bersujud pada keagungan. Rintih pilu masa lalu, kubur dalam-dalam sehingga tak tercium lagi baunya. Kemari! Semayamkan di hamparan dadaku atau di atas bahu-bahu orang yang mencintaimu : orang tuamu, saudara-saudaramu, sahabatmu, malaikat atau Tuhan Pelindungmu sekalian.
Bendung air matamu dengan sejuta kenangan manis atau mimpi tentang masa depan
sebab esok masih menjanjikan tawa! Warna pelangi akan selalu hadir sebagai Pangeranmu yang paling setia. Sedang bayangan-banyangan yang selalu melukaimu akan kabur dan terbunuh oleh penyesalannya sendiri.
Kita akan menang, Ningsih...

Bandung, 31 Maret 2010

 

 


* Novel bahasa Sunda yang ditulis Aan Merdeka Permana sebanyak 6 jilid.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler