Skip to Content

Sajadah Kecil Kupu-Kupu Malam

Foto L Jhon DS

(1)

Lima kali sehari

Ia tak pernah lupa

Berusaha memuji Sang Pencipta

Dengan sajadah kecil

Yang digelarnya di sudut kamar.

 

Kadang ditemani tangis

Bisa pula senyuman manis

Ia memohon dengan sepenuh hati

Dengan cara sederhana

Hanya untuk kuatkan jiwanya

Karena beban hidup tak ada habisnya.

 

Bulan, begitu dia dipanggil

Usianya 24, tahun ini

Apa kerjanya?

Karyawati? Bukan!

Buruh? Apalagi!

Tak ada yang tahu

Di balik cintanya yang besar pada Sang Esa

Dirinya mengais peluh setelah petang

Jangan kira dia satpam

Dia seorang kupu-kupu malam.

 

(2)

Semua berawal, 16 tahun silam

23 Mei 1997, yang disebut Jumat Kelabu

Banjarmasin – 

Hari itu, hari terakhir Kampanye Partai Beringin

Berujung kerusuhan besar

Korbannya pun tak kalah besar

Ada yang tewas,

Parahnya yang hilang tanpa jejak

Dicari hingga berbulan-bulan

Batang hidungnya pun tak tampak.

 

Tak akan ada yang lupa

Semua dijarah,

Semua dirampas, dibakar

Sekejap hari,

Kota Seribu Sungai jadi Kota Sejuta Api.

 

Yang paling menyakitkan,

Banyak penjarah turut mati,

Terkunci tak bisa pergi, saat mengambil sepoton kain

Dari Mitra Plaza, pusat belanja termegah

Termewah

Dari Toko-toko yang ditinggal pemiliknya

Tak peduli lagi kata rugi.

 

Yang mati, bukan saja karena dipukul

Terbakar....

Terinjak....

Belum lagi yang ditendang, ditusuk, ditebas lehernya.

 

(3)

Ketika itu Bulan baru 8 tahun

Ia sudah mampu mengingat

Ia sudah mampu mengerti

Ia selamat –

Tak turut jadi korban.

Semua berkat Ibunya

Yang hanya tergores sebilah parang

Di tangan

Darahnya bercucuran, menetes menganak sungai

Jantungnya bertahan kuat, air matanya berderai

Masih bernafas

Pelukannya pada Bulan tak lepas

Ia berlari menggendong Bulan 

Melewati kerumunan

Melintasi kobaran api.

Tak berpikir apa-apa

Dibawanya Bulan masuk dalam komplek Gereja.

Di Katedral....

Tempat Bulan sering berdoa di Gua Maria.

Dia terus berteriak

Tolong anak saya

Tolong anak saya

Mereka lolos dari maut

Di tolong seorang Bapak berusia senja

Orang memanggilnya Pak Stanis

Bulan dia beri teh manis

Luka Ibunya dibalut 

Terdengar sedikit meringis.

 

Katedral itu sungguh mendapat tuah

Satu jam sebelumnya pagarnya dibakar

Bangku-bangku sudah disiram minyak tanah

Api menyala namun tak dapat berkobar

Akhirnya padam perlahan

Entah itu keajaiban

Yang jelas karena itu

Bulan dan Ibu

bisa keluar dari Jumat Kelabu.

Mereka di sana sampai pagi

Semua sudah reda

Tiada lagi huru-hara

Hanya suara burung kenari

Milik Pastor Doni.

 

Sudah saatnya mereka kembali

Rumah mungkin tak apa

Sebab tak turut diamuk masa

Tapi sudah pasti

toko mereka di Pasar lama

Kalau tidak hancur

Isinya bagai petinju babak belur.

 

(4)

Hari berlanjut, mentari berganti

Bulan dan Ibunya pulang ke rumah

Berhari-hari tiada semangat

Apalagi setitik peluh berbau pekat.

Tak ada yang dilakukan, mereka hanya berdiam

Trauma? Ya, tentu saja

Fisik mereka telah pulih

Batin yang terus tertatih-tatih.

Terus begitu hingga seminggu

Bulan dan Ibunya lalu menengok toko

Mengangkat papan nama bertuliskan ‘Penjahit Tini’

Yang retak dan gosong di sisi kiri.

 

Tini Si Tukang Jahit

Dipercaya banyak orang

Mulai pejabat hingga bandit

Walau hanya untuk sepotong pakaian usang.

Jahitannya rapi

Tiada yang ragu akan karyanya

Dia bekerja dengan hati

Hingga puas semua langganannya.

Tini, dialah ibu kandung Bulan

Menjahit sejak remaja

Hingga dewasa

Peluh keringat jadi saksi mata.

Toko Tini memang belum jadi puing

Apalah arti, toko itu bukan milik pribadi

Semua barang hancur berkeping-keping

Termasuk mesin, benang dan jarum peniti.

 

(5)

Kenangan itu pahit

Baik bagi Bulan, pula bagi Tini

Membuat kening dan dada sakit

Bebannya terus terasa hari demi hari.

Takdir di dunia

Seolah jauh dari indah

Usia Bulan 2 tahun, terbesit pengkhianatan sang ayah

Tergoda gadis belia di tanah Jawa.

Waktu itu Tini hanya pasrah

Semua disimpan dalam hati

Agar putrinya tetap punya figur ayah

Yang terbaik yang dimiliki.

Sakit memang

Di depan Bulan Tini menjaga semuanya

Seolah pernikahannya masih harmonis

Padahal sudah hampir patah arang.

Bertahun-tahun Bulan sekolah

Ikut neneknya

Tini di kota, mencari nafkah

Setiawan suaminya, jadi kontraktor rumah-rumah tingkat dua.

Hingga di usia 8 tahun

Bulan menjenguk ibunya

Hanya sebentar niatan

Tak dinanya Jumat Kelabu jadi derita.

Lima tahun setelah itu

Tini kembali ke pangkuan Sang Khalik

Pukulan berat bagi Bulan

Segalanya tak kunjung membaik.

 

(6)

Bulan anak semata wayang

Bukan nasibnya untuk di sayang

Hanya tersisa kasih ibu,

Masa kecilnya jauh dari itu

Begitulah dirumah neneknya

Kakak ayahnya selalu tak adil

Oleh sepupunya selalu miliknya diambil    

Makannya tak teratur, sering pula tiada tidur

Tubuhnya kerus kering

Hampir mirip sebilah ranting.

Saat ibunya pergi

Bulan tidak dekat ibunya

Yang meninggal karena lelah

Karena sakit dan tumpukan masalah.

 

Sejak itu

Bulan tak lagi punya Ibu

Kerabat Tini ingin membawanya

Setiawan tak mau

Katanya Bulan anak satu-satunya.

Bulan terus tersiksa jiwa raga

Kanker Otak mengerogoti dirinya

Dengan bermacam obat dan cara

Hilang juga penyakit berbahaya itu.

 

Setiawan diam seolah tak tahu

Akan derita Bulan di rumah neneknya

Pernah Bulan lari pergi dari sana

Hingga kelas 3 SMA

Ayahnya si Setiawan itu menikah lagi

Hadirlah ibu tiri.

 

(7)

Tak lama berselang

Bulan kuliah di Malang

Hanya 3 bulan

Belajar teknik indusri

Bulan pergi ke Surabaya

Ikut Setiawan

bukannya hadir rasa nyaman

Bulan harus bekerja

Jadi Marketing hingga karyawan toko.

Tak cukup itu saja

Dia bekerja di dapur

Membantu Ibu tiri yang baru punya balita

Bukan, bukan membantu

Bulan melayani ibu tiri bak tuan putri

Semua dia jalani sampai dia bisa kuliah lagi.

 

Bulan masuk Universitas Islam

Tesnya bahasa arab, sholat dan lafal Al-Quran

Tak sulit

Meski Bulan Katolik

Dia tahu dan pernah belajar

waktu di sekolah.

 

Bulan jadi mahasiswa lagi

Sungguh bahagia hati

Datang lagi

Kesempatan meraih cita-cita tinggi.

 

Dalam gundahnya

Dalam gelisahnya

Bulan jadi mualaf

Karena cinta pada kekasih?

Sama sekali tidak

Semua karena kasih pada ibunya.

 

Bulan ingin berdoa

Dalam keyakinan ibunya saat menghadap Pencipta

Dulu Tini Katolik

Dia masuk Islam karena cinta pada Setiawan.

Itu bukan masalah

Bagi Tini tiada agama yang salah

Hanya manusia salah mengartikannya

Tuhan itu satu

Caranya hadir dalam diri manusia

Itu yang berbeda.

 

Tini tekun dalam keyakinan

Saat dia Katolik

Saat dia masuk jadi Islam

Dia tekun, memenuhi janjinya

Bukan semata-mata karena cinta.

 

Begitulah hingga Bulan

Memutuskan

Mendoakan ibunya

Dalam keyakinan terakhirnya.

 

(8)

Tiga tahun kemudian

Bulan berjumpa laki-laki rupawan

Pemuda tionghoa berdarah manado irian

Reno namanya

Yang ternyata mualaf pula

Selayaknya insan manusia

Bulan jatuh cinta.

Mereka menikah

Bahagia sekali

Hati mereka satu, tiada kata marah

Tidur mendengkur pun tak jadi masalah

Pasangan yang sangat serasi.

 

Apa semua telah usai?

Berakhir bahagia seperti kisah film India

Tidak!

Bulan masih harus berjuang

Kandungannya baru lima bulan

Reno terpikat wanita Asia Selatan.

Tiada kata maaf

Bulan dan Reno bercerai

Hati Bulan terberai

Tak ada pilihan.

 

Dia pergi

Membawa anak dalam perutnya

Yang lahir saat usia delapan bulan

Saat dini hari bulan Juli

Dia seorang putri

Yang cantiknya sungguh alami

Dan diberi nama Sasa Putri Anjani.

Nama yang bukan Bulan sendirian

Berikan

Reno turut serta

Meski lewat telepon saja.

Bulan masih terlalu sakit

Dia hanya tak ingin Anjani kehilangan kasih Ayah

Sungguh pahit

Bulan berkorban agar anaknya tak rasa resah.

 

(9)

Reno sadar dia punya anak

Dia katanya ingin memeluk dan merawat

Bulan tiada izinkan

Reno tetap asyik dengan wanita-wanita lain

Reno petualang

Dan seakan tiada habis tiada henti

Perjalananan cintanya tak bertepi.

 

Bulan titipkan Anjani

Pada sebuah keluarga

Yang sederhana penuh cinta

Bulan pun memang anak angkat mereka.

Bulan tak mungkin diam

Dia harus membanting tulang

Jadi ladies

Meski berusaha ia tepis

Hanya itu yang dia mampu.

 

Dia belum sarjana

Lowongan tak pernah ada

Anjani butuh susu

Tak mungkin jika diberi batu.

Bulan bertualang

Dalam kelam

Dalam dunia malam

Dengan kerja yang sama

Sudah di tiga kota yang berbeda.

Jangan salah sangka

Kehormatannya masih terjaga

Dia hanya ladies

Hanya di tempat hiburan malam

Tidak untuk tidur semalam

Banyak yang kira semua sama

Tidak semua menjajakan tubuhnya

Asalkan pakaian mini

Rok seksi...

Keluar malam pulang pagi

Mereka tetap disebut Kupu-Kupu Malam.

 

Itu pilihan hidup

Bukan karena mau

Sebab itu saja yang mereka mampu

Padahal tiada yang tahu

Hati mereka seperti disayat sembilu

Semua untuk sesuap nasi

Karena Negeri ini selalu saja begini.

 

Bulan pun begitu

Apa dia mau?

Berkeliaran dalam asap rokok atau sabu

Alkohol pun juga tergelar disekitar tempat itu

Pahit semua dia jalani

‘Aku tak akan menangis’ janjinya

Agar anaknya

Tak turut bersedih lirih.

 

Kisah Bulan tak pernah usai

Anjani terus tumbuh

Sudah enam belas bulan

Dia jadi anak yang lincah

Teriak sana teriak sini

Bicaranya hampir sempurna menyebut kata.

Itulah semangat bagi Bulan

Tiada harapan jika tiada Anjani

Namun hingga hari ini

Anjani belum melihat ayahnya

Selama ini hanya suara saja

Bulan tetap tak izinkan pertemuan

Bulan takut Anjani diambil

Bulan tak rela

pacar Reno yang asuh anaknya.

 

Banyak pula yang jatuh cinta

pada Bulan....

Entah karena iba

Atau nafsu semata.

 

Bulan tetap memilih sendiri

Menjalani harinya

Dengah kerjanya

saat ini.

 

Suatu hari

Hadir seorang lelaki lagi

Perangainya tak terlalu suci

Tapi dia memberi seluruh isi hati

Menghormati Bulan dalam cinta dan pekerjaannya.

 

Mereka saling sayang

Lelaki itu mencinta

Bulan  tak buka hati sepenuhnya

Sekedar rasa sayang

Yang memang sesungguhnya lebih luas dari samudera.

 

Bulan hanya tak ingin gagal lagi

Dia takut, masih terlalu dini

Lelaki itu juga begitu

Dia masih tak berani

Apalagi mereka berbeda keyakinan pula

Dan adik lelaki itu masih memerlukan dirinya.

 

Mereka mencinta menyayangi

Saling peluk dan cium

Tidur bersama dalam pelukan

Tak pernah berbuat intim

Lelaki itu entah terlalu baik

Batinnya selalu saja berteriak

‘Aku tak mau sakiti Bulan’

‘Aku sayang dia sepenuh hati’

‘Aku menghormatinya dalam detak jantung ini’

 

Entah sampai kapan

Yang nyata lelaki itu menjaga dan menemani

Setiap detik dengan jiwa dan hati

Memang ada jarak

Rasa rindu yang selalu mampu mengobati

Semua rahasia Ilahi.

 

Yang lelaki itu tahu dan rasa

Bulan hanya terus berdoa

Dengan sajadah kecil....

Yang telah menemani saat rasa gundahnya

Dalam derai air mata

Memohon pada Sang Maha Kuasa

Agar Anjani...

Bisa jadi anak yang berbakti

Baik bagi dirinya

Tapi pula negeri ini

Siapa tahu jadi Presiden

Dan bawa perubahan bagi Nusantara ini

agar Gemah ripah loh jinawi

toto tentrem kerto raharjo.


Lorensiuss, sebuah Puisi Essai

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler