Sajak-sajak Akhir Tahun

Sungguh!

dalam telaga teduh matamu
aku masih mencari senyum ibuku


Sumpah!

kelesuan itu menjadi asap meliukliuk gelisah di kaki kursi di cengkeram gelap.
dalam tebaran pasir memantul cahaya matahari, aku tak tahu dimana cahayaMu di antara ribuan cahaya.


Aorta

di bawah bulan, aku rindu kelopak gelombang buncah pucuknya membuihputihkan hitam lautan sebab angin telah lama menumpukkan sampah sejarah ke liang kemaluanku.

di sini aku perdengarkan tangis pertama, di sini catatan kehidupan bermula, di sini bulan demi bulan tanggal dikusami cerita, di sini darah mengawali alir duka ke seluruh aorta.

di sini, di bawah bulan, aku rindu nyanyian ibu yang menciumi sembilan purnama dengan kemesraan harapan.

namun nyanyian ombak hanyalah suara tembang yang terdengar jauh, lamatlamat menjilati telinga sesudah nada kehabisan irama.

wahai,
pucuk ombak yang memutihkan lautan, dan ibu yang wajahnya tengadah penuh doa; berikan aku badik dari lipatan gelombang sebab aku rindu darahmu menetes ke dalam aorta


Menari

kau menari tarian jelangkung menjalarkan imaji hingga memasuki kepalaku genangan nanah anyir perih kelu dan letih.

nanah menari tarian ma'badong menghunjamkan badai hingga merasuki imajinasimu senyum sinis mengangkang pongah.

aku menari tarian matahari memainkan gelisah hingga senyummu lelah mengunyah kepalaku dan imajinasimu.

aku masih terus menari
dan kau lunglai menjadi pertiwi sunyi.


Ketika kau diam

waktu berhenti seperti ketika aku marah dan tak butuh statusku ditempeli jempoljempol basabasi, seperti ketika kau diam.

ingin kutulis imaji ketika kau diam mengeja ketidakmengertian bahwa kenyataan itu adalah batu yang berumah di kelopak matamu.

ingin kulafalkan waktu manakala maya pada riuh kerusuhan kemanusiaan oleh tangantanganmu yang gemetar melukis cerita berwarna derita.

imaji dan waktu yang menulis sajak kehidupan menjadi cerita yang tak pernah kehabisan kata, persis seperti makna yang tersenyum ketika kau diam.

Makassar, pekan terakhir Desember 2012.