Skip to Content

Sajak-sajak Soni Farid Maulana di majalah Story Terbitan Oktober-November 2009

Foto Soni Farid Maulana

SOLITUDE

- untuk Grace Nattassya Papilaya

cahaya menembus kabut
dalam hujan lebat. Dari arah kiblat
maut berkelebat. (Daun gugur di alir air
ngalir ke hilir, disentuh angin semilir)


2009



JAM MATI

jam mati di lengan kirinya menunjuk angka
pukul tiga sore. Jalanan lengang sabtu malam
koak burung gagak di lorong jiwa yang gelap
terdengar nyaring. Mengejutkan para arwah

yang duduk termenung di tempat tidurnya,
nun di kedalaman. Cahaya bulan dalam kabut,
erangan kucing hitam di dasar malam, kesepian.
“selarut ini aku di sini di café ini. Kau siapa

impianku?” katanya, dengan mata terpejam
dan waktu berkisar dari botol ke botol kosong
dari gelas ke gelas kosong dalam hati yang lengang

sabtu malam. Dingin mengendap dalam wangi
bunga yang aneh. “Sedap bungaku sudah
aku ambung seharum sang ajal,” ia bilang


2009



KEMBANG TANJUNG

kau benar. Akhirnya aku kembali
ke dalam sunyi. Pintu hatiku, yang aku buka
seluas tujuh tahun cahaya,
menyebabkan angin sedingin jantung si mati
bersarang di situ. Jika angin itu menjelma badai,
diriku hancur dibuatnya.
kau benar, aku harus pergi ke dunia yang lain,
menutup kembali pintu itu rapat-rapat.
kini aku mengerti, bahwa cinta, dan mencintai
harus dibedakan, tidak boleh di sandingkan dalam kursi
yang sama. Sakit juga, ya, bila pada akhirnya,
aku harus pamit dari kehidupan orang yang aku cintai.
ya, kau pernah bertanya, apa sesungguhnya cinta itu?
kini aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu,
selain terlempar ke ujung tanjung, dunia sunyi,
sepi, seperti sumur tua, yang airnya absen
dikoyak timba purba. Periku, seandainya saat ini
kau ada sisiku, kau pasti tertawa ngakak,
“apa aku bilang!” begitu kau berkata.
aku percaya pada awas mata batinmu yang mampu
membaca masa depan,
dan kau bilang, kelak aku akan sendiri, bagai
bintang mati di pojok jagat raya. Periku, apakah aku
bisa hidup sendiri? Apakah dalam kesendirian itu
aku bisa tenang menghadapi kematian, tanpa orang
yang aku cintai? Kau bilang, mati itu sendiri,
tanpa orang yang dicintai. Jadi belajarlah hidup sendiri.
periku, apa yang aku takutkan kini terjadi, betapa pamit itu
menyakitkan. Betapa kematian kini membayang
di hadapanku, dan aku dirindukannya sebagaimana
dulu aku merindukan seseorang yang datang kepadaku,
lembut bagai rembulan. Kau jangan tertawa ngakak?
Jangan pula bilang, "pangkuanku terbuka lebar, seluas
tujuh tahun cahaya! Selembut ciuman sang ajal
di bukit golgota. Bukit merah anggur darah"

2009



KANTI

kanti, pertunjukan teater di ruang maya
membenamkan tubuhku ke dalam lapisan es
di tepi waktu. Di situ, tak ada suara hujan,
tak ada gerak angin dari arah cahaya, selain helaan napasku,
ruh yang menggigil diturih runcing beling

kanti, ia yang tertawa di lantai dansa, menghilang
seiring kabut malam yang turun perlahan di puncak.
raung anjing kegelapan terdengar lagi hingga cermin retak
di tanganmu. Di situ kanti, wajahku, serupa rumah tua,
muram, tanpa penghuni, serupa sunyi jaring laba-laba

kanti. Kanti! Arah mana yang harus aku jelang
bila ingatanku berdarah lagi? Di puncak malam
tarawangsa dimainkan orang. Aku sempoyongan
seperti orang mabuk yang rubuh di ujung gang.
semua gelap. Gelap. Kecuali matamu


2009


 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler