Sajak Seorang Petarung
Karya Muhammad Rois Rinaldi
Bukan bagaimana
atau dengan siapa aku sampai di sini.
Pertanyaan dalam kegentingan
tidak lagi penting,
apalagi tentang air mata
dan tetek bengek kecengengan
seperti tangis para perempuan
dalam adegan Telenovela
atau tragedi Asmaradana.
Kisah-kisah klasik tentang rasa sedih
dan ketidaksanggupan sudah selesai.
Wartakanlah
kepada yang mencinta serta membenci
bahwa aku telah sampai di suatu tempat.
Bukan di kastil atau kuil, tapi di tepi
dekat mulut tebing.
Tak kujumpai mata setan
atau sayap malaikat.
Tak kutemukan kebenaran
atau kesesatan.
Hanya ada akar menjalar liar
menelikungi batang-batang pohon
di batu-batu hitam
atas tanah tanpa hara.
Saat langit kehilangan udara,
di depanku jarak mata tak terterka.
Di belakangku, semak
membelukar-melata.
Sunyi gagu sendiri
kekasih yang ditinggal pergi membayang lagi.
Tapi seorang petarung pada nyeri
tak peduli.
Wartakan saja kepada yang mencinta
kepada yang membenci,
aku telah sampai di suatu tempat.
Tak ada satu lelaki atau satu perempuan.
Tak ada senjata tajam atau senapan.
Di sini, pertarungan dimulai.
Tanpa lawan,
aku menang dan dikalahkan.
Cilegon, 2014
Sumber: buku kumpulan puisi penyair Asia Tenggara, Lentera Sastra, Lentera, 2014
Komentar
Tulis komentar baru