Skip to Content

Sajak Untuk Saudara Di Papua

Foto Steven Sitohang
Hai, saudaraku, selamat pagi
Tak ingin aku terlambat untuk bertemu
Waktu berlari ke mana sesukanya
Dunia terus berputar seperti 2000 tahun lalu
Ya.. dengan cara lama, diam-diam saja
Bagaimana kabarmu harini? 
Harap besar kamu bahagia bersama udara di sana
Bersama senyum cahaya matari
Bersama lagu burung-burung mewarnai hati
Bersama gunung Jaya Wijaya nan tinggi
Bersama segala keindahan karya seni

Sajak ini tertulis ingin bercerita
Berbicara, ingin saling menyapa
Terlepas dari segala duniawi,
Lepas dari kepelikan,        
Lepas dari tiap perkara,
Khususnya penggalian
Tiga itu ‘kan kita bicarakan nanti

Aku ‘tak suka diikat dengan segala
Aku sekedar hendak bersenandung denganmu                     
Manusia dengan manusia,                       
Jiwa dan rasa,                                           
Asa hempaskan hampa
Oia, maaf, kabarku pun di sini baik adanya

Tahukah dirimu, saudaraku...
Rasa berputar merasakan tiap rasa disana
Kesederhanaan tanpa batas
Batas kita robohkan yang adalah tembok penindas
Aku ingin bersenandung lepas
Bukan di layar kaca, bukan juga di pentas
Jawa masih rakus, kalian terus digali
Aku ingin menggali hati beberapa lembar puisi
Sebagai penghubung yang pantas
Sebagai alat untuk memapas segala yang melintas

Kau adalah saudaraku!
“kenapa?”
Yang ku' tahu kita adalah satu
Di antara ribu dan juta
Di antara laut biru dan hutan yang hijau
Di antara segala corak adat dan pulau
Hanya kau lah yang terpantau
Dalam tarian pena puisi ini mengicau

Saudaraku di Papua
Sering di sini aku mendengar di sana segala indah
Dan ku' pun yakin suasana hatimu masih terbuka
Terbuka bagai 'tak terbatasnya Samudra Hindia
Ku ingin mengarunginya bersama kita saling bahagia
Saling menyelami kedalaman lautan hati kita
Saling memahami setiap karang di sana sini
Saling memelihara ikan yang penuh perasaan
Saling berkumpul bagai makarel nan kecil

Ke manakah rasa tiba jika melesat layaknya panah?
Apakah nafsu dapat di arahkan oleh acitya?
Manusia wajib mengetahuinya
Bumi bukan hanya untuknya, kecoa pun berhak akan itu
Bahkan satu adri pun akan hilang ditusuknya
Apakah cacing tanah tahu isi segala satu gunung?
Kenapa kotoran-kotoran itu jenius akan tipu-tipu?!
Ya, panah raksaslah yang sedang menusuknya
Rata dengan tanah, berlubang seperti tertimpa meteor!
Apa yang dicari? Bukankah sekedar memuaskan nafsu?
Satu hal harus diketahui, alam tiada akan eror
Segala kepakan sayap burung pergi, menangis malu
Malu akan sifat dan kerakusannya

Bahkan banyak taring gigi pun malas untuk menegurnya
Pencuri itu, sekali mencuri, takkan berhenti mencuri
Memburu emas, sampah-sampah itu, dan mengusir kita, untuk apa?
Apa mereka kira, mereka lah yang mencipta dunia dan isinya?
Begitulah segala hewan liar berkicau ala warung kopinya
Begitulah segala mahluk laut menangis membanjirinya
Begitukah manusia menghancurkan rumah tempat tinggalnya??
Jangan salahkan mereka, jika mereka sekedar lapor pada ombak laut
Karena tindakan dalam hidup dapat menjadi baut ke dalam maut

Ya, saudaraku
Aku harap engkau tetap di sini, seperti salju wijaya yang abadi
Dan kita akan menghabiskan waktu bersama di Raja Ampat
Memberikan makan hiu-hiu, tanda bahwa kita mampu
Memelihara, memanfaatkan alam dengan cara yang tepat
Bernyanyi dan menari bersama goyangan pohon kelapa
Beralaskan pasir dan rumput hijau dan ilalang ikut menari
Ah, sebenarnya sangat mudah manusia jatuh cinta pada Papua
Jika kita berani mencoba melihat dari jendela yang berbeda
Walau kita nanti akan berlawanan aksa jendela umum
Tapi di sini lah kita wajib menggambarkan arti perbedaan
Menggambarnya di atas kanvas hati nan putih dan warna nan indah
Tuk saling memahami kebutuhan dan kemauan bersama
Tuk melihat cantiknya akara dunia, khususnya memelihara Indonesia

Ya, Papuaku, semua saudaraku
Begini lah isi hatiku yang sederhana, yang ku' tuangkan dalam sajak
Dengan jantung berdetak kangen ingin bertemu
Dengan kedua telinga menikmati nada-nada lagu “Aku Papua”
Bersama beberapa batang rokok yang asapnya melayang bebas di kamarku
Dan bersama kopi dalam satu cangkir bertuliskan “Papua”
Yang ku dapat dari kawanku saat berlibur hari natal di sana
Tak mampu sebenarnya penaku menggores kata terakhir
Tapi aku yakin engkau tak menyesal membuang waktu sedikit
Untuk membaca sajak ini, untuk dengar hati ini, untuk kebersamaan ini
Dan untuk mengantarkan aku kembali pulang hembuskan manisnya pamit
Sampai ketemu lagi, saudaraku, cintaku untukmu, Papua

(Kayu Agung, Palembang. 27 April 2014)

Komentar

Foto Beni Guntarman

Mantaap!

Mantaap! Puisi ini sangat menyentuh rasa persaudaraan kita setanah air. Rasa simpati untuk papua; jarang ada yang peduli dengan berbagai kerusakan alam yang terjadi di sana. Puisi ini membangkitkan kepedulian terhadap manusia dan lingkungan hidupnya! Nice!!!

Beni Guntarman

Foto Steven Sitohang

Terima Kasih Apresiasinya . . .

Begitulah kita om... manusia dengan kekuatannya yang penuh semangat terkadang berubah menjadi keengganan yang menggelisahkan, lupa pada sesuatu yang sebenarnya sangat dekat dan kita butuhkan, bahkan sering tak memiliki perasaan pada alam.

Terima kasih om Beni Guntarman atas kunjungannya..

SALAM SASTRA.

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler