Skip to Content

Sebelum Larut Malam Menjemputku

Foto Sastra Berduri
SEBELUM LARUT MALAM MENJEMPUTKU
Malam tak mau larut saat kugadaikan mimpi untuk menembusmu ke dalam pelukan. Seperti rindu yang tak juga surut, kau selalu masuk diwaktu sendiriku. Mendesir, bersemilir, bersemayam di dalam batinku. Satu rasa yang selalu kurasa saat getir musim hijau telah mati dan hilang adanya.

Maka kutuang kembali secangkir kenangan untuk menghilangkan kantukku. Secangkir harapan yang telah mati bercampur takdir Tuhan kini. Di lintas khayal dan di pesisir kenangan, disapu ombak(!); di pantai itu kini telah menjadi lautan yang tersapu laksana tsunami waktu itu!

“Inikah musim itu yang tak lagi menentu dan berubah sewaktu-waktu? Kematian beriring kematian dan dosa beriring dosa. Lalu bagai wajah yang tak tahu malu menikam sendi-sendi yang tak berdosa yang telah menilai-memberi harga. Dan apa yang pantas dikata untuk maaf yang tiada guna, jika hari-hari selalu sama baginya, tiada ubahnya?”

“Lain memang, tak mungkin berulang. Takdir mungkin, namun tak pasti selama Tuhan masih memberi. Karena kesempatan hidup memang satu kali, dan bukan mati jika masih bisa diusahakan untuk membenah diri.”

“Sesal memang tiada arti jika dirasai tanpa disesali. Disesali pun tiada ubah jika diri tak mampu untuk merubah. Kuasa memang milik Tuhan namun manusia diberi kesempatan untuk mengusahakan.”

Nasib. Kau kata kadang seolah sudah jalan. Takdir. Kau kata seakan semakin sudah terang. Kau rangkai cerita bak melodi di atas iringan perkusi yang tersembunyi. Kau berlabuh bak terjatuh terluka diri. Kau tikam semua janji dengan akhir tanpa awal. Dan kau lupakan siulan-siulan merdu yang pernah terjadi. Bahkan kau ubah emas menjadi duri!

Cinta, indahnya tak secantik pesonanya...

Namun kan kujaga nasihat-nasihat itu. Meski terpenggal kisah hitam menimpa diri, namun arti bukanlah sebagai penghias diri. Rasa cinta kan tetap ada meski sebatas doa dan penghapus dosa.

Untukmu, sepenggal rindu, sepenggal kawan jiwaku –yang telah lampau sebelum pahit, dan sebelum rasa sakit memisahkan jiwa dan ragaku, kan kujaga doa untuk masa yang tak pernah kita tahu.



Fariz Huzairi, di Jakarta, 10 Maret 2013

Coretan pena ini dimuat pula pada laman website www.sastraberduri.com, sebagai media pembelajaran dalam memahami "apa itu yang dimaksud dengan sajak dan puisi sebagai karya sastra?"

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler