Skip to Content

SEUTAS RINDU BOCAH PEMALU

Foto rollytoreh

By. rollytoreh


Kau pantas menyimak gundukan mimpi semalam, sebab darimana pun kau pergi menyusun hari pasti kembali merunut misteri mimpi yang membilang maksiat. 
Dari kantong tebal sebelah mata, tidak ada yang sekarat.

Tanganmu hampir saja membeku dalam nanah kehidupan baru.
Wajahmu memelas pucat menunggu tangan pemangku raga memoles sesaat, menghanyutkan gundah. Kau pun terkapar disulut jemari kusam dari pantai seberang. Sosok yang tidak dikenal.

Bisikmu lirih, hadir di seantero pagi. Dengan tangan gemetar dan mulai lunglai dibawah sengat mentari pagi, mulutmu masih terkapar oleh kata-kata peluruh rindu, "Ayah, Ibumu sudah tiada", terpaksa dikau mengais air mata yang sudah bercampur lumpur ditepi kubur.

Kau pantas mengagungkan akidah buyutmu, ketika masa balita mereka begitu akur merawat fana tubuh kecilmu.
Kau kenyang.
Daging dan tulang kenyal menggumpal.
Tangan dan kaki sanggup beraksi lebih kental.
Mata dan telinga bisa menyimak aksara tanpa sengal.
Dan otakmu makin cerdas mengusir penat bengal.

Sesudah derita jadi tiarap di bawah kakimu, kini hanyalah akustik malu bertambah dalam kamus hidupmu.

Terpaksa ekspresi diam memburat banyak daripada berani.
Melampiaskan kesal tapi terpenjara malu daripada berani.
Mencintai alam dengan semangat tinggi tapi disikut malu daripada berani.

Bagaimana bisa rindu bertaruh di medan laga?
Bagaimana bisa ayah-ibu bertemu bertalu lewat kepingan mimpi yang kau sapa?
Karena ketika kau rela disayat malu, maka keberanian terpaksa beralih dipinggir ajal dunia yang serba malu.


Di pinggir pagi, 
12 Agustus 2015

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler