―kukagumi cara ia menari dari
redup dan binar matanya. Lihai
mengungkai empati. Kurasa ia tidak
butuh kedip maupun lirik.
“Pandanglah wajahku. Atau mataku. Sebab mata lebih terang mencapai
maksud. Pandanglah! Agar kaulebih kalah. Sebab aku begitu lihai merias
kelopak walau satu warna saja,” ucap si penari ketika ia melenggang
pinggangnya yang mungil.
“Bumi kelewat panas. Tepatnya bongkah bara. Sebab birahimu kelewat
dekat menarik matahari. Lihatlah! Tubuhmu yang kelewat lemah
memeluknya. Dan kau masih saja enggan berlepas atau berpaling,” balasku
hampir tertidur.
“Akulah ikan betina dari perairan dalam. Telah kujelajahi lautan dan pantai
yang berbeda. Di hadapanmu, aku siap mengakuarium, atau setusuk daging
bakar, dimana, kaubisa menyalakan batang rokokmu di tubuhku, dan
hidungmu kusuguhi aroma bawang goreng.”
“Aku hanya selusuh kain. Telah kulewati tahun-tahun yang panjang; di
tubuh bumi yang panas dingin. Aku terlalu kebal meminta secara jantan
atau mengemis secara kalah. Walau hanya seasap pendiang atau sedikit
bayangan. Jika kaumasih menjalur dolla, maka aku akan meninggalkanmu.”
Padang, 090612
Komentar
Tulis komentar baru