Surat Bertinta Api
Sudah pecah ombak penutup
badai sore ini. tapi,
masih ku rindu surat-surat sufimu
menerompetkan nada-nada obat
atas sunyiku yang semakin menyengat
barangkali komat-kamit lidah puisimu sudi
menjilati nanah sepiku
sebagaimana
lidah-lidah ombak yang pintar mencumbui pesisir.
aku sering kegelian, tertawa sendiri,
manggut sendiri, menjerit sendiri.
tiap kali puisi-puisimu
tiba-tiba berubah jadi pisau, jadi cacing,
jadi mawar, jadi batu,
jadi tangis, jadi badai, jadi api
jadi empedu
yang kadang terkunyah mirip ketumbar
aku tau, waktu
tak lah sekerontang pelataran sepi
yang kini kuperistri.
namun,
kecerewetanmu membongkar
segala gudang bayang seberang,
dan oleh lugumu mengirimi kabar sunyi
yang tiada beda,
seperti kulihat:
arwah cintaku bangkit lagi
dari puing gedung-gedung tua
yang telah hancur,
juga dari tiang dermaga reok
yang kini tumpas diwarnai lumut
tatapan tajam mercusuar:
meruncing, tikami mataku.
sesengat kabar-derita rinduku
yang kau tuang juga di sehelai kertas usang
yang masih terselip di saku celana
suratmu itu,
kau tulis. namun kau kirim terlambat
jauh sesudah
penghujung sunyiku pulih tiga purnama lalu.
Ampun! sepulu tahun
aku berdiri, sebagai tugu.
tungu yang jelma jadi artefak:
apa masih kurang pahit?
Ini,
ku kirimi engkau miniatur-tahta-sepiku
sebagai hadiah nikahmu.
sebab katamu
tak lagi engkau sudi melacur
pada sebait kenangan usang
yang telah kau sumpahkan
sehanya sepah-sepah permainan
Pekanbaru, oktober ’03
Komentar
Tulis komentar baru