Di sebuah siang aku duduk di tepi jalan
Ku dapati langkah-langkah yang berlalu-lalang
Dan banyak wajah yang tak tenang
Saat itu ku buka lembar pemikiran
Ku amati makna setiap ekspresi
Menjadikannya referensiku mencari jati diri
Satu persatu ku biarkan berlalu
Dan ku lihat jejak-jejak yang tertinggal
Banyak yang teracuhkan dan tak menjadi kenangan
“Hidup itu mengalir, maka biarkanlah mengalir seadanya”
Banyak ku dengar itu dengan nada yang ringan
Tapi anehnya, dalam kalimat itu banyak cita yang meluap-luap
Kenapa?
Apakah itu hanya kata-kata penghibur?
Ataukah cara pengingkaran mereka atas kerasnya hidup?
Asmuni
Indramayu, 25 Februari 2009
Komentar
Mantap
JEJAK NAFSU YANG TERCECER
Entah, mengapa tiba-tiba hasrat itu kembali mengudara di relung hati yang telah lama mati.
Rayuan dan bisikan nakal, terngiang di daun telinga. Seakan memaksaku untuk kembali menikmati hidangan-hidangan nafsu, yang dulu belum pernah kurengkuh.
"Oh, benar-benar celaka" bathinku
Tuhan... Mengapa semua itu kini ENGKAU hadirkan. Padahal, sejak bayi kemudian menjadi anak-anak, dan berubah menjadi remaja lugu, kukerahkan segenap tenaga untuk menghindari jejak terlarang itu.
"Aaah, biarlah. Kuikuti atau kutolak apa kata nanti" desahku pada angin yang membawa menghilang dari indra dengar.
Dulu, pada waktu yang telah usang. Banyak jejakku yang tercecer di gerbang-gerbang Cafe, bahkan tak jarang sering parkir di depan lokalisasi. Namun, entah darimana bisikan-bisikan Tuhan seakan mencegahku untuk membawa jejak ini memasuki tempat itu. Akupun pergi meninggalkan ribuan nafsu yang berjejer -yang- kalau aku mau, tinggal pilih menurut seleraku.
Namun kini, tawaran-tawaran itu kembali menyapa. Dan aku tak sanggup untuk menolaknya.
"Hei, coba aja. Sekali saja gak apa-apa kok, toh Tuhan Maha Pengampun". Bisik si Iblis yang namanya hampir mirip dengan namaku "Idris".
Tulis komentar baru