Skip to Content

Tuhan Bicara Cinta

Foto Ratu Diena Miftahul Zannah

Hanya senyap meresap sukma waktu ku terlelap di pangkuan ardi. Bibirnya begitu dingin menjejaki pintalan tubuhku. Akupun balas mengecupnya-mengusap lidahnya yang kelu—biru dan ungu, seperti kelabu. Ah-bukan … ia manis, manis layaknya madu. Dengan tenang-terus kupautkan bibirku dengan bibirnya yang indah itu. Aku galau-tapi tetap saja aku mainkan tarianku yang konyol di depan mata Tuhan- yang setahuku Ia tak pernah berada diatas ranjang barang sedetikpun

Cahaya lampu memadamkan segenap hasratku untuk meraihnya. 
Tiba-tiba saja ia melayang, tanpa pamitan-dan entah kapan 
Akan pulang?-aku meraung dan meronta-ku tangisi sejadi-jadinya
Tanahku yang raib. Kebun yang selalu ku sebut-sebut 
Kedamaiannya. Seketika akupun terhenyak – sadar bahwa 
Peperangan masa silam yang membara nyatanya lebih ku cintai 
Ketimbang ketenangan yang ku telan bulat-bulat dalam 
Kerongkonganku saat ini. Begitu suci aku menyalahkan lolongan
Yang kuanggap srigala, namun kali ini bukan berbulu domba.
Mereka yang mengiba tanpa kenal siang atau malam-bahkan lebih
Dahsyat dari seekor kecoa.
Menghujati batin-batin yang tengadah merana. Menunggu sebuah
Penantian yang sejatinya sudah tak ada 
Semua dirasa sia-sia—segera saja sirna.
Namun aku terus bertahan diantara deru untuk tetap berirama.
Hidupku kelewat gersang bila tanpa nada
Seolah ibarat kalbu yang kosong karena tak menyentuh 
Ayat-ayatNya yang Maha.

Disisi lain dalam ruang hatiku berdesir :
Tuhan tengah memaparkan kasih sayang kepadaku yang tak melulu berbuah keindahan.
Tuhan sedang merancang naskah surgawi untukku yang tak selalu identik dengan kenikmatan.
Tuhan memang sedang menataku sedemikian rupa—dan ..
Tuhan bicara cinta terhadapku dalam pengandaian yang berbeda .
Sebab—pengkhususan memanglah untuk mereka yang terpilih


Bekasi, 20 Februari 2009 

Komentar

Foto SIHALOHOLISTICK

Saya tertarik memberikan

Saya tertarik memberikan sedikit masukan pada puisi ini tapi dalam konteks bukan menggurui, hanya belajar memaknai puisi

Secara konteks, saya melihat ada dua ide dalam puisi ini, pertama saya melihat pada bait pertama ide yang ada lebih kepada arah yang dikatakan ide personaliti yang kelihatannya agak kurang tepat dengan alur pamer pada Tuhan tentang cara bercumbu agaknya, hingga pada akhir bait terlihat pernyataan yang agaknya ditujukan pada Tuhan yang tidal pernah berada di ranjang, terlepas dari apa konsep kereligiusan kita, hal ini agaknya memberikan pengejawantahan sesuatu yang tidak pada tempatnya. Tentulah hal ini dalam konteks apapun kehambaan kita tetap kita lalui pada koridor yang tepat agar kesan imajinasi yang kebablasan itu tidak lagi menjadi konsep yang salah.

Kedua, pada bait kedua beralih pada hal yang agaknya kurang sejalan dengan yang disampaikan pada bait pertama, di sini terlihat sinkronisasi ide terpatahkan dengan munculnya ide baru sehingga kebulatan ide yang mestinya menjadi penarik puisi di sukai jadi terganggu. Memang tidak ada aturan yang begitu absah dalam bersastra, seni adalah kemutlakan peseni (dalam hal ini, seni kata atau sastra), tapi walaupun demikian tetap ada juga yang mestinya kita jadikan tolok ukur sampai dimana seni itu sukses.

Saya tetap mengajak untuk tetap berkarya sehingga kepribadian kita semakin matang dan karya-karya kita semakin menyemarakkan sastra Indonesia mesli melalui sastra cyber namun tetap dianggap dan diperhitungkan. .........

Salam Sastra dari Tanah Batak Tapanuli
Salam Kenal Salam Persaudaraan
Bravo Sastra Indonesia

=@Sihaloholistick=

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler