Skip to Content

Tunggu Aku Disini

Foto Kaseenoer

Tunggu aku disini," Ujarnya. Kemudian ia pergi. Aku hanya melihat bayangan punggungnya yang samar ketika menghilang dibalik belukar. Bayangan tersebut tetap menghantui perasaan diwaktu hari-hari sepi. Seperti hidup dan tetap tumbuh. Seperti mengalir bersama darah di tubuh. Senja yang sunyi. Kicau burungditepi belantara, merupakan rangkaian peristiwa pada saat kejadian tersebut berlangsung.

Senja hari sebelum peristiwa tersebut terlalu lama terjadi. Acapkali aku duduk di tempat itu. Di bawah pohon panggang, di tepi sungai yang mengalir tak begitu deras. Tak terasa air mataku menitik perlahan.

"Kau jangan terlalu bersedih", Ujar Madkusni tetanggaku menghibur. Aku mengangguk. Namun terasa, anggukan tersebut bagai perbuatanku yang paling keliru. Semestinya aku memandang Madkusni, menantang matanya dan meyakinkan dirinya, bahwa saat itu dirikulah yang paling menderita.

Di luar diriku, peristiwa tersebut telah membentik dalam satu pembicaraan. Menyebar jadi satu berita besar yang mengangkangi seluruh pagar diperkampungan. HIngga di ladang, di sawah jadi pergunjingan menarik, Tetapi rumahku makin sunyi. Kecuali beberapa orang yang bertanya, tak ada lagi. Meraka cukup dengan berita yang diterima dari mulut orang lain.

"Apakah kau tak melihat kemana arah perginya?" tanya Kurmen sekitar seratus hari setelah kejadian tersebut.
"Saat itu aku memandang sepintas" Sahutku.
" Lantas kau sedang apa?"
"Aku membersikan ikan."
Kurmen mengangguk-angguk. Aku menatap mencari pertimbangan.
"Arah ke Selatan?"
"Menurut ingatanku demikian, ia menyusur sungai dan tubuhnya hilang di belukar sana."
"Tapi ia pandai berenang, tak mungkin kalau ia tergelincir", Ujar Kurmen
Aku tidak berani menegaskan dengan pasti. Sebab, sebelumnya peristiwa tersebut tak pernah terbayangkan.

Setahun setelah peristiwa itu, dirumahku datang penghuni baru. Kehadirannya sebenarnya tak kusenangi. Tetapi ibu, sudah memberikan tempat tersendiri dalam rumah kami. Dua adikku sependapat, kami tak setuju atas kehadirannya dan kemudian menghuni rumah kami.

Malam-malam, ketika surti adikku mau tidur pernah kutanya.
"Bagaimana tentang dia?"
"Menyebalkan, kang" sahutnya dan Surti menitikkan air mata. Kami sama-sama menangis. Kami berpelukan dalam bilik menumpahkan duka. Aku dan adikku, setelah peritiwa itu terjadi memang acapkali berbuat demikian. Bersama menangis, bersama menghibur diri dan merentang masa depan dengan khayal. Hati kami sudah menyatu. Kami merasa senasib dalam menempuh hidup, menghadapi tantangan berat.
Tetapi selama itu pula, ibu tak pernah mengerti. Beliau asyik dalam hidupnya dan kami terpisah di dunia lain yang terpencil.

Malam hari, ketika musim kemarau dan purnama tiba. Kami bertiga bermain dipelataran rumah. Kami bernyanyi bersama, kami tertawa bersama dan kami menangis bersama bila terdengar Kasan yang rumahnya disebrang menyanyikan tembang tlutur.
Nandi sibungsu tak pernah menanyakan sesuatu yang bisa menghancurkan hatinya. Aku akan menghiburnya, jika bersama digubug ditengah ladang jagung.

Lima tahun setelah peristiwa itu terjadi, Surti diajak paman ke Sumatera. Rasanya dirumah tinggal kami berdua. Ibu jarang menanyakan sesuatu pada kami. Hanya suatu malam pernah beliau bercerita.

"Rus, kau seharusnya mengerti perasaan ibu," kata beliau mengawali. Kami berdua hanya diam. Dengan wajah redup matanya menatap kami.
"Pak Darisman adalah kekasih ibu sejak dulu,. Sejak ibu belum nikah dengan ayahmu. Sejak ibu masih kecil."
"Aku sudah tahu." jawabku ketus.
"Kenapa nada bicaramu tinggi?" tanya ibu kaget.
"Sebenarnya cerita itu tak perlu diucapkan lagi bu. Semua orang dikampung kita tahu. Pak Darisman dulu tunangan ibu. Kemudian ibu nikah degna ayah hingga Pak Darisman pergi dari kampung. Setelah itu ia datang lagi, setelah ayah...."

Kepalaku terasa sangat pusing tak sanggup diriku melanjutkan kalimat yang harus kuucapkan. Hatiku terlalu sakit. Ibu hanya menatapku dengan wajah pucat.

"Kau mau memaafkan ibu," tanya beliau tersendat.
"aku tak mengerti bu, sungguh."
"Ibu juga sudah memaafkan perbuatan eyangmu. Ibu harus menerima kenyataan, harus menikah dengan ayahmu."
"Apakah ibu tak pernah cinta dengan ayah?" tanyaku kaget.

Nandi adikku terasa memandangku dengan wajah tegang. Sikapnya tak kuhiraukan. Aku ingin meyakinkan ibu. Mengetahui kebenaran selama bertahun-thaun. Menggali tipu daya yang menyelubungi rumah kami.

Air mata ibu menitik dan akhirnya berhamburan. Isaknya tertahan-tahan dan kusaksikan, baru kali ini beliau menangis demikian derasnya. Sejak peristiwa aneh itu terjadi, sejak ayah pergi.

"Kalau demikian, kami bertiga lahir tanpa rasa cinta kasih antara ayah dan ibu."
Ibu menatapku.
"Maafkan aku Rus."
"Kemudian selama bertahun-tahun tinggal satu atap dengan ayah tanpa rasa belas kasihan sedikitpun?" Tanyaku lagi.

Ibu hanya terdiam. Pertanyaan memang terasa sudah sangat menyinggung. Sebagai seorang anak, sebenarnya sama sekali tak pantas menggali hati ibu sejauh itu.

"Maafkan bu," ujarku kemudian.
"Aku dan Nandi sudah mengerti duduk persoalannya."

Ibu tetap terpaku. Kami berdua bangkit dan masuk kedalam bilik. Tatkala terbaring, kusaksikan air mata Nandi mengurai dipipinya. Sementara di luar, malam terasa makin sunyi. Di pekarangan dekat rumah kami, terdengar bunyi jengkerik yang mempertegas sunyi.

"Kau tak perlu menangis," kataku menghibur.
"Hidup ini seperti irama nyanyian, yang acapkali sendu dan sesekali membahagiakan."
Nandi tengkurap, wajahnnya disembunyikan ke balik bantal. Namun tubhnya terguncang agak kerasyang berarti tangisannya belum reda.

Seminggu sesudah kejadian tersebut, jendela kamar kami diketuk oleh seseorang. Nandi mendengar pula ketukan itu. Lalu disusul dengan panggilan pelan.

"Rus, Rustam---Aku terluka."
Jendela kubuka. Tetapi Nandi ketakutan dan menarik tanganku kuat-kuat.
"Jangan kang, jangan."
"Kenapa?" tanyaku berbisik
"Aku takut."

Suasana makin hening dan mencekam. Gemurh air laut yang samapai ke kampung kami terdengar kian tajam. Panggilan dari arah tak menentu terdengar lagi.

"Rus, Rustam ---Aku terluka."

Semalam kami tak bisa tidur.Pagi harinya, Nandi tak mau keluar dari bilik. Tubuhnya panas, ia sakit. Ibu mengerti Nandi sakit, beberapa kali masuk ke bilik kami untuk menayakan sesuatu. Tetapi Nandi tetap membisu. Beliau binggung untuk mengatasinya. Menangis dalam bilik kami, berusaha memeluk Nandi penuh kasih sayang. Tetapi, ternyata luka hati Nandi tampak lebih dalam dibanding lukaku. Sikap terhadap ibu tetap acuh meski beliau sudah mengucapkan maaf.

Suasana rumah kami makin tegang. Kami masing-masing pihak saling memendam rasa. Sejak meletus ketegangan yang berkecamuk di rumah kami, Pak Darisman tak pernah datang lagi. Meski demikian, Nandi tetap tak mau berbicara dengan ibu. Tak pernah ia meminta sesuatu.

"Kang, aku melihat adengan aneh pada saat ayah mau pergi".
"Bagaimana , coba kamu katakan --- Nandi, katakan," pintaku.
"Aku melihat sosok bayangan terhuyung di belukar samping rumah, kemudian hilang entah kemana."
"Saat itu kau sedang apa?"
"Mau menutup jendela rumah," Ujarnya pelan.
Aku membayangkan adegan yang mencurigakan itu. Aku teringat lagi pada ketukan jendela dan panggilan samar serta rintihan seseorang.
"Sebenarnya hampir tiap malam aku mendengar rintihan yang mengerikan.Tapi aku tak pernah berbicara pada siapapun."
"Apakah rintihan ayah kita?"Nandi terpaku.
"Tetapi itu hanya bayangan belaka," katanya beberapa saat kemudian.

Tak kusangka, selang tiga minggu kemudian, Nandi adik bungsuku tak mampu menahan jiwanya. Ia meninggal dunia pada usia lima belas tahunkarena sakit yang cukup parah. Tetapi pembicaraan kami pada saat itu masih hidup, mempertebal keyakinanku. Ada sesuatu yang tak beres yang sudah diperbuat seseorang dan ibu kemungkinan besar tahu.

Setelah selamatan seratus hari, aku mendekati ibu. Akan kutanyakan sesuatu, tetapi tak sampai hati. Tubuh ibu kelihatan sangat rusak. Sorot matanya tak seindah dulu. Kekenesan yang dimiliki dan banyak dikagumi banyak pria pada saat mudanya memudar.

"Bu". ucapku pada akhir pertemuan kami yang saling membisu.
"Besok pagi aku akan pergi. Ibu kuharap tetap tunggu disini. Di ruah ini."

Beliau hanya menatapku sendu. Tetapi tak pernah mengatakan sesuatu. Beliau juga tak pernah terbuka, kemana sebenarnya ayah kami pergi. Karena sikap beliau, Kemungkinan besar aku juga tak pernah akan kembali.


*** T a m a t ***


Karya  : Atas Dunusubroto

Dimuat : Koran Wawasan Minggu, 15 Nov 1987

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler