Skip to Content

Cerpen Kompas 2004

CERPEN KOMPAS 2004: “MEREKA CUMA KETAWA” KARYA SOEPRIJADI TOMODIHARDJO

Aku sudah lama duda, meski umurku tergolong muda. Pada umur 40 aku sama sekali tak punya niat buat kawin lagi, kendati Ibu-Bapak di Mojowarno mendesak-desak supaya aku tidak terus menduda. Sejak kutinggalkan delapan tahun lalu aku tak bisa lagi ketemu istriku. Aku tak bisa melupakannya. Bagaimana aku bisa menuruti saran Ibu-Bapak yang terus saja mendesak-desak tiap kali mengirim surat.

CERPEN KOMPAS 2004: “MATI KANGEN” KARYA HANNA SAYARASHI

Entah sudah berapa pekan anjing itu duduk meringkuk di sandaran sofa. Badannya mulai kurus, wajahnya kuyu, sorot matanya menerawang jauh menusuk kaca jendela, menembus rimbunnya daun tanaman pembatas halaman, merayap ke arah garis-garis di kaki langit.

CERPEN KOMPAS 2004: “MATI KANGEN” KARYA HANNA SAYARASHI

Entah sudah berapa pekan anjing itu duduk meringkuk di sandaran sofa. Badannya mulai kurus, wajahnya kuyu, sorot matanya menerawang jauh menusuk kaca jendela, menembus rimbunnya daun tanaman pembatas halaman, merayap ke arah garis-garis di kaki langit.

CERPEN KOMPAS 2004: “VAMPIR” KARYA INTAN PARAMADITHA

Bacalah ia dari belakang dan kau akan menemukan aku.

Kami datang dari tempat yang sama, sempit, gelap, basah, merah. Tapi ia tak menginginkanku karena ia kira aku menyusu ibu serigala.

CERPEN KOMPAS 2004: “AIR RAYA” KARYA AZHARI

Setiap air raya tiba perahu ini akan tumbuh, pikirnya. Memanjang beberapa depa. Sungguh, buritan itu akan gemuk nantinya. Palka melebar. Tiang yang baru saja ditancap akan menjulur menusuk langit menumbuhkan tangga serupa dahan tempat di mana kelak dia akan naik dan meneriakkan hoooi. Dia akan menyusul perahu Nuh.

CERPEN KOMPAS 2004: “HOTEL KELUARGA DI TOKYO” KARYA DEN SETIAWAN

Aku duduk di ruang tunggu menjelang boarding di Bandara Soekarno-Hatta ketika waktu hampir melewati tengah malam. Terasa aneh karena hanya aku yang sudah tiba di sana, padahal jadwal pesawat take-off tinggal beberapa menit lagi. Aku bertanya-tanya dalam hati, jangan-jangan sesuatu telah terjadi yang tak kuketahui lalu jadwal pesawat diundur.

CERPEN KOMPAS 2004: “OMBAK BERDANSA DI LIQUISA” KARYA AHMADUN YOSI HERFANDA

Ombak berdansa di Pantai Liquisa. Lidah-lidahnya menari dalam gemuruh hujan yang mengguyur pepohonan di sepanjang pesisir. Dan, dalam cuaca dingin malam Minggu berkabut, di dalam sebuah gedung sederhana di tepi pantai, orang-orang berdansa dalam hentakan musik disko.

CERPEN KOMPAS 2004: “LAKI-LAKI YANG TERSEDU” KARYA PUTHUT EA

Ada sebuah peristiwa di mana aku tahu, semenjak itu terjadi, aku tidak akan lagi menemukan sebuah pagi yang membahagiakan. Peristiwa itu menggenapi rentetan peristiwa sebelumnya, menyempurnakannya dalam satu rumus kesedihan yang tidak terelakkan. Tidak ada lagi harapan. Tidak ada rumah yang hangat. Tidak ada anak-anak yang berteriak girang dan sehat.

CERPEN KOMPAS 2004: “BIJI MATA UNTUK SEORANG LELAKI” KARYA TIMBUL NADEAK

Lelaki itu samar-samar melihat seraut wajah yang hanya memiliki bibir dan hidung. Ia memicingkan mata agar dapat melihat lebih jelas. Bibir itu tersenyum. Tapi tarikan di ujung bibir terlalu dalam sehingga senyuman itu terlihat seperti sedang mengejek. Sinis.

Sindikasi materi


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler