Skip to Content

Cerpen Kompas 2004

CERPEN KOMPAS 2004: “COMO UN SUEÑO” KARYA DINA OKTAVIANI

Aku ingin pulang ke Portugis. Atau ke Manhattan dulu. Kamu di sana, ’kan? Aku ingin pulang ke Portugis. Menggendong Nicole di muka Mom dan Dad. Tetapi Nicole sudah terlalu besar. Badannya mungkin sudah lebih berat dariku. Dan dia di Manhattan dengan kewarganegaraan yang mengancamnya di sana.

Ayolah mengingat- ingat masa lalu sebelum membicarakan apa-apa di masa sekarang.

CERPEN KOMPAS 20014: “COMO UN SUEÑO” KARYA DINA OKTAVIANI

Aku ingin pulang ke Portugis. Atau ke Manhattan dulu. Kamu di sana, ’kan? Aku ingin pulang ke Portugis. Menggendong Nicole di muka Mom dan Dad. Tetapi Nicole sudah terlalu besar. Badannya mungkin sudah lebih berat dariku. Dan dia di Manhattan dengan kewarganegaraan yang mengancamnya di sana.

Ayolah mengingat- ingat masa lalu sebelum membicarakan apa-apa di masa sekarang.

CERPEN KOMPAS 2004: “KEMBAR BUNCING” KARYA WAYAN SUNARTA

Tiga hari lalu, Luh Sarni melahirkan bayi kembar. Yang lebih mengejutkan, bayi tersebut bukan kembar biasa. Tapi kembar buncing, kembar laki-perempuan! Meski lahir di rumah sakit di kota kabupaten, berita telah menyebar dan menggegerkan warga desanya.

CERPEN KOMPAS 2004: “ANGIN DARI UJUNG ANGIN” KARYA TRIYANTO TRIWIKROMO

“Sudahlah Herma, kau tak perlu membayangkan lagi warna wajah ayahmu saat dia menghilang dengan menunggang kuda ke tenggara kota. Yang kutahu, mengenakan topeng emas mirip penunggang kuda dari atas angin 1), sayap di kedua bahunya berkibar-kibar membelah malam. Aku pun tak bisa melihat wajahnya. Mungkin dia telah menjelma iblis.

CERPEN KOMPAS 2004: "SENJA BURAM, DAGING DI MULUTNYA" KARYA RADHAR PANCA DAHANA

 “Ambillah! Aku ikhlas. Ambillah dan cepat pergi!” Tapi perempuan tua dengan anak tiga tahunan di gendongnya itu tetap kaku di tempatnya. Wajahnya pias, beku tak berdarah, seperti mayat yang baru terbenam dua-tiga hari: wajah yang tak berwarna. Tubuhnya yang menggigil kecil tapi menjangkau seluruh tepi jasadnya itu, menandakan ia hidup. Tentu saja ia hidup.

CERPEN KOMPAS 2004: "KUPU-KUPU SERIBU PELURU" KARYA AGUS NOOR

Bagaimanakah kami mesti mengenang perempuan buta itu-yang liang selangkangnya bengkak karena dosa dan sekujur tubuhnya bergetah nanah kena kusta! Adakah ia sundal ataukah santa?

CERPEN KOMPAS 2004: "KEKASIH BULAN SEPENGGAL" KARYA EKA KURNIAWAN

Sejenak lalu, perempuan manis berlesung pipit menggigil sempurna dirontokkan malam. Kini ia menyungging senyum, lesung pipit itu bertambah-tambah dalam jadinya, sembari membuntal pakaian. Sejenak lalu ia pengantin baru, gemeletuk, pasi, dan sekarat. Kini ia janda muda yang bahagia.

CERPEN KOMPAS 2004: "LELAKI YANG DITELAN GERIMIS" KARYA MUSTAFA ISMAIL

Kami bertemu di Rex, Peunayong, ketika gerimis baru saja reda mengguyur Kota Banda Aceh itu. Aku tidak tahu dia muncul dari mana, tiba-tiba dia sudah berada di depanku. Sejenak aku sempat terperangah dengan kehadirannya. Aku hampir tidak mengenalnya jika ia tidak menyebut namanya sendiri, sambil bertanya kepadaku dalam logat Aceh yang kental, “Kau masih ingat kan?”

CERPEN KOMPAS 2004: "ABANG YUN" KARYA ISBEDY SETIAWAN ZS

Kehadiran Abang Yun setelah puluhan tahun tidak pulang begitu cepat tersiar. Bahkan sampai kampung tetangga berita kedatangan Abang Yun menjadi perbincangan. Seakan bisa mengalahkan berita kunjungan pejabat dari kota saja. Kabar yang begitu cepat menyebar itu boleh jadi karena Abang Yun sudah dianggap meninggal hanya tak ada kuburannya.

CERPEN KOMPAS 2004: "L’ABITUDINE" KARYA AGUS NOOR

Seringkali Andini membayangkan betapa suatu hari ia akan menjelma burung kolibri, terbang tinggi melintasi pelangi di tengah keranuman musim semi. Pada saat itulah ia akan merasakan warna-warna bunga menjadi lebih berkilauan dalam kesunyian, dan cahaya pagi terasa lebih hangat dari sebuah ciuman yang paling menenteramkan.

Sindikasi materi


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler